Pagi yang cerah. Matahari mulai menyinari sebagian bumi dengan hangatnya. Burung–burung bertengger di dahan pohon, bercicit dengan merdu. Jalanan kecil yang berada di depan rumah becek karena hujan deras semalam. Terlihat beberapa orang lanjut usia sedang jalan–jalan pagi dengan semangat. Ada yang sendirian, ada yang berduaan, bahkan ada yang berombongan. Beberapa ibu rumah tangga sibuk menyapu dedaunan yang jatuh ke halaman sambil sesekali mengobrol dengan tetangga-tetangga yang lain.
Di antara rumah-rumah tersebut, ada satu rumah yang cukup mencolok daripada yang lain. Meskipun secara sepintas tampak biasa saja dan normal, — cat berwarna pastel, rumah tingkat dua, arsitektur tidak mewah membahana, ukuran sedang—, tetapi di rumah itu tumbuh sebuah pohon besar yang rindang. Pohon itu cukup besar karena bayangannya sampai menutupi jalanan di bawahnya, bahkan rumah tetangga di depannya. Meskipun besar, keberadaan pohon itu sama sekali tidak mengganggu. Bahkan disukai oleh beberapa tetangga karena di saat cuaca sedang panas, di bawah pohon itulah kesejukan berada.
Tak jauh dari pohon besar itu, tampak seorang remaja laki-laki sedang berjalan keluar dari pintu rumah. Matanya bulat berwarna biru, membuatnya tampak seperti seseorang yang ambisius dan sungguh optimis. Rambutnya cokelat dan pendek. Di pipi kanannya ada sebuah plester luka. Seragam sekolah yang ia kenakan kurang rapi, karena ia seperti tidak berniat untuk memasukkan kemeja ke dalam celananya. Sekilas, remaja itu tampak seperti anak sekolah yang berandalan.
Ia melongok ke dalam sambil siap-siap menutup pintu.
"Aku berangkat!" ucapnya setengah teriak, kemudian dengan sedikit keras menutup pintu tersebut setelah sayup-sayup terdengar sahutan khas seorang ibu dari dalam rumah, "Ya! Hati-hati di jalan!"
Remaja laki-laki itu membenarkan kedua tali tasnya yang sedikit melorot, kemudian meregangkan tangannya. Dipandanginya pemandangan di sekitarnya, dan tatapannya tertuju ke pagar temboknya. Ia menghela napas, tersenyum simpul, dan geleng-geleng kecil.
"Pagi, Armin!" sapanya keras sambil menuruni tangga.
"Eh—?"
Terdengar suara gumaman kecil dari depan pagar tersebut. Tak lama kemudian seorang remaja laki-laki mungil, dengan rambut pirangnya yang lembut dan sedikit panjang, muncul perlahan dari situ. Berbeda dengan remaja laki-laki berambut cokelat itu, Armin mengenakan seragam dengan rapi. Dasi terpasang sempurna —tidak kepanjangan maupun kependekan, vest putih bersih, dan kemeja rapi seperti sehabis disetrika. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya pelan.
"Aku selalu tahu,"
Armin tersenyum. "Pagi, Eren."
"Yo," Eren menaikkan alis dengan kilat. Ia membuka pintu pagar besinya. "Mikasa sudah berangkat duluan, dia ada piket pagi dari hari ini sampai besok."
"Oh, oke." Armin memasukkan buku ke dalam tasnya. "Kalau begitu, ayo."
"Kau menungguku sambil membaca buku pelajaran, huh?" tanya Eren dengan pandangan mata yang bisa diartikan sebagai, 'Astaga—apa kau tidak bosan menungguku dengan bacaan seperti itu?'.
"Tapi buku itu seru," tukas Armin, sambil mulai berjalan bersama Eren menuju halte bis. "Rasanya seperti membaca buku cerita, tahu."
"…Yah," Eren mengangkat bahunya.
Armin terdiam sambil memiringkan mulutnya. Ia melirik Eren, dan menatap plester luka yang menempel di pipinya tersebut. "Kenapa?"
"Eh?" Eren menoleh ke Armin, kemudian tersadar bahwa Armin menanyai kondisi pipinya karena pandangan laki-laki mungil itu tertuju ke situ. "Oh, ini... Kecelakaan kecil di taman. Terlalu konyol, aku tak mau menceritakannya,"
"Mikasa?" gumam Armin.
"Eeeee…" Eren menggaruk-garuk alisnya. "Yah, well, dia ada sedikit sangkut pautnya dengan luka ini. Tapi sudahlah, lupakan saja."
Armin bergumam mengiyakan sambil mengangguk-angguk lambat. "Oh ya. Hari ini diadakan pemilihan ekstrakurikuler. Apa kau sudah ada bayangan mau memilih apa?"
Eren mengernyitkan dahinya, kemudian menengadahkan kepala ke atas. Diurutkannya satu per satu ekstrakurikuler umum yang ia ketahui. Sepakbola. Basket. Renang. Band. Lukis. Pramuka. Klub-klub ilmiah. Semuanya serasa tidak memicu secuil semangat pun. Eren mendesah, kemudian kembali menatap lurus ke depan. "Aku rasa belum ada."
"Begitu ya," Armin menunduk. "Aku.. Aku ingin mengambil ekstrakurikuler matematika,"
Eren menoleh, menatap sahabatnya itu dengan pandangan heran-heran penasaran. "Kau... Mat—? Hei, dengar, terlalu banyak belajar sepertinya tidak bagus,"
"Tapi itu belum pasti," kata Armin buru-buru. "Ng, maksudku, aku belum pasti ingin memilih matematika. Kita belum tahu daftar yang lengkap kan. Mungkin ada yang lebih menarik,"
"Yeah, benar juga." gumam Eren pelan. "Semoga saja,"
"Hei, mungkin kau bisa mengambil basket," usul Armin sambil tersenyum cerah. "Kau jago olahraga kan,"
"Nah, Armin," Eren menggelengkan kepalanya. "Entahlah,"
"Kenapa tidak?" tanya Armin. "Lagipula kabarnya sekolah kita kan memiliki tim basket yang cukup disegani,"
"Yaaaa, menang di berbagai pertandingan memang membanggakan,"
"…Jadi?"
Eren menahan nafas, lalu menatap Armin. "Entahlah,"
"Eren! Syukurlah kau sampai dengan selamat!"
Eren membelalakkan matanya, kaget dengan reaksi saudara angkatnya, Mikasa, yang sedang menatapnya penuh kelegaan. Perempuan cantik dengan rambut hitam legam sebahunya itu kelihatan tersengal-sengal, kecemasan seperti baru saja menguap dari dirinya. Eren tersenyum kaku.
"Ya, syukurlah," katanya tanpa nada.
"Memangnya ada apa, Mikasa? Tidak seperti biasanya kau begini," tanya Armin heran, sambil berjalan menuju tempat duduknya.
Mikasa menghela nafasnya. "Ada kakak kelas yang masuk rumah sakit karena dihadang dan dihajar preman kemarin pagi, dia dicegat di jalan kecil tempat biasa kita lewat,"
"Ha?" Eren dan Armin menganga kaget.
"Apa dia baik-baik saja?" tanya Armin prihatin.
"Kurang lebih. Aku baru saja dapat informasinya dari kantor guru," jawab Mikasa cepat-cepat, sambil menatap Eren dan Armin bergantian dengan tajam. "Kalian benar tidak apa-apa?"
"Kami tidak apa-apa," jawab Eren sambil mengernyitkan keningnya. Ia mengerling ke arah Armin. "Jalan tadi memang sepi sih,"
Armin mengangguk singkat. "Tapi aku tidak merasakan ada seseorang di sana selain aku dan Eren,"
"Mereka ingin kalian berpikir begitu," tukas Mikasa tegas. "Mulai sekarang kita harus berangkat pagi bersama-sama terus. Aku akan tukar jadwal piket pagi,"
"Hei, hei, hei, tenang," Eren menepuk pundak Mikasa sebelum saudaranya itu pergi mencari sang ketua kelas. "Aku juga bisa mengatasinya kok, kau tenang saja."
Mikasa memandang Eren, ragu dan tidak terima bahwa usulannya ditolak.
"Tapi… Eren, kalau kau bertengkar kau selalu meninggalkan bekas luka di badanmu. Pihak sekolah akan sadar hal itu dan mereka jelas tidak akan menerimanya," kata Armin pelan.
Eren menoleh, siap-siap menyanggahnya dengan pembelaan tetapi Mikasa terlanjur memotongnya, "Armin benar! Aku harus terus bersama kalian, aku tidak akan meninggalkan bekas luka kalau aku yang berkelahi,"
Armin tersentak kaget, ia buru-buru melanjutkan ucapannya sebelum Mikasa salah paham. "T-tapi kau juga tidak boleh berkelahi, Mikasa. Bagaimana kalau ada seseorang yang melihat dan mereka mengadu? Kita kan bisa mencari jalan lain menuju sekolah, berkelahi tidak akan menyelesaikan masalah,"
"Begitu juga dengan tidak melakukan apa-apa,"
"Oi, hei, tung-" Eren kembali menoleh ke Mikasa, tapi ia sudah terlanjur berlari keluar kelas menyusuri koridor. Eren menghela napas panjang, kemudian memijit-mijit keningnya.
"Astaga," gumamnya pelan. Ia membalikkan badan dan berjalan ke arah mejanya yang berada di sebelah Armin. "Aku tidak akan pernah mengerti dia,"
"Eren…" Armin duduk sambil melihat Eren. "Dia kan hanya khawatir,"
"Dia mulai terdengar seperti ibuku tahu," tukas Eren setengah merengut. Ia meletakkan tasnya, kemudian menghela nafas panjang. "Kau tahu ektrakurikuler apa yang akan dia ambil?"
Armin menggelengkan kepalanya. "Bagaimana aku bisa tahu kalau kau tidak tahu," katanya pelan. Eren terdiam, lalu mengangkat bahunya.
Sekitar 10 menit kemudian bel sekolah berbunyi nyaring. Siswa-siswi mulai berjalan masuk ke kelas masing-masing. Suasana kelas mulai ramai dan berisik akan celotehan para remaja tersebut. Eren menatap pintu kelas, menunggu kehadiran Mikasa sambil sedikit berharap bahwa jadwal piket Mikasa tidak bisa diganggu gugat. Bukan maksud bahwa Eren tidak menyukai keberadaan Mikasa, Eren hanya ingin membuktikan bahwa dia bisa sendiri tanpa bantuan Mikasa.
Eren menegakkan badannya ketika melihat Mikasa berjalan masuk kelas dengan ekspresi datar yang samar-samar terlihat kecewa. Eren mengernyitkan alisnya, bersiap-siap menanyai saudaranya itu ketika Mikasa akan melewatinya.
"Jadi?"
Mikasa berhenti sesaat, kemudian menggeleng pelan.
"Oh," Eren mengangguk sangat lambat.
"Eren, dengar, kau harus hati-hati. Kau harus menjaga dirimu sendiri dan Armin, mengerti? Aku tidak ingin kau kenapa-kenapa," kata Mikasa serius, sambil sedikit membungkukkan badannya. "Kalau besok preman itu mencegatmu, kau harus meneleponku, aku usahakan akan…"
"Astaga, Mikasa. Aku dan Armin akan baik-baik saja. Cepat duduk, Pak Auruo akan segera datang!" tegur Eren setengah jengkel. Mikasa mengulum bibirnya, kemudian menegakkan badan dan berjalan ke tempat duduknya dengan kecewa berlipat.
Benar saja, tak lama kemudian masuklah seorang pria yang berumur sekitar 25-30 tahun dan berbadan sedang yang mengenakan pakaian classy. Rambutnya cokelat terang, wajahnya seperti sedang jengkel sekaligus meremehkan sesuatu. Tangan kanannya membawa buku absen, tangan kirinya dimasukkan ke saku celana. Ia melihati seisi kelas sambil geleng-geleng kepala.
"Selamat pagi," ucapnya sambil menaruh buku absen di meja, kemudian berdiri menatap seantero kelas. Diamatinya siswa-siswi itu satu persatu, kemudian diambilnya bolpen dari saku jasnya. "Lengkap. Wow. Saya rasa tidak perlu ada absen,"
Eren menoleh ke belakang, memastikan apa benar semua temannya sudah hadir. Tidak biasanya semuanya sudah hadir. Biasanya ada yang telat lima sampai sepuluh menit. Tetapi baguslah, karena kalau ada yang telat, Pak Auruo akan memberikan rentetan kata-kata teguran yang kurang mengenakkan.
"Baiklah, sebelum pelajaran hari ini dimulai, saya akan membagikan lembar daftar ekstrakurikuler ini," Pak Auruo mengangkat puluhan lembar kertas yang dijepit menggunakan penjepit kertas, "nanti kalian baca dan daftarkan pilihan kalian. Setelah seluruh jam pelajaran berakhir, kalian serahkan ke meja saya di kantor guru. Mengerti? Baik."
"….Jadi sehabis pelajaran ini kami taruh di meja bapak?" tanya salah satu siswa dengan polosnya.
"Kau tidak mendengarkan, hei bocah." Pak Auruo berkacak pinggang, matanya menyipit menatap tajam siswa tersebut. Eren mengatupkan mulutnya. Ia paling tidak suka dengan suasana aneh seperti ini. Ia menoleh ke arah Armin yang kemudian juga meliriknya. Mereka berdua sama-sama menggelengkan kepalanya.
"Saya bilang, sehabis seluruh jam pelajaran. Kau tahu maksudnya? Itu artinya jam 3 sore nanti dan yang pasti daftar itu sudah harus ad―"
Belum sempat Pak Auruo menyelesaikan pembicaraannya, tiba-tiba lidahnya tergigit dengan keras. Momen menyakitkan itu sungguh terasa intens dan terasa lambat, semua siswa-siswi yang melihatnya langsung menahan napas.
"Haah!" Teriak beberapa siswa-siswi yang tersentak kaget sambil melotot lebar-lebar. Beberapa secara spontan menutup mulutnya. Armin nyaris terperanjat, dia tidak pernah tidak kaget melihat kejadian seperti ini. Eren merengutkan alisnya, simpatik sekaligus entah kenapa ikut merasa perih.
Pak Auruo tampak pucat, darah menetes dari mulutnya. Ia terdiam sambil menahan perih, tangannya mencengkeram kuat-kuat ujung meja. Ia berusaha terlihat seperti, 'Ah ya ampun, cuma ini saja,'.
"―da.. di meja.. saya…" Pak Auruo melanjutan kalimat terakhirnya dengan terbata-bata. Ia terdiam lagi, menunduk sambil mengumpat dalam bisikan, kemudian menengadah menatap beberapa murid. Ditahannya perih yang masih menjalar di lidahnya itu. "Ya. Baik. Selamat belajar,"
