Elsword belong to KoG
시간을 달려서 (Rough) by 여자친구(GFriend)
This story is mine
Warning : OOCness, AU, songfic(?), typos, deathchara(?)
Job Classes :
- Elsword (Calm!Rune Slayer)
- Aisha (Elemental Master)
- Elesis (Blazing Heart)
- Rena (Wind Sneaker)
- Raven (Blade Master)
- Eve (Code Nemesis)
- Chung (Deadly Chaser)
- Add (Diabolic Esper)
- Ara (Yama Raja)
- Lu/Ciel (Noblesse / Royal Guard)
.
.
.
Happy Reading~
(Aisha)
"Kenapa tidak kau sapa saja daripada curi-curi pandang seperti itu? Seharusnya kau fokus pada makananmu bukan padanya, Aisha."
Sudah kesekian kalinya telingaku mendengar nasihat semacam itu dari beberapa sahabatku, rata-rata seperti mendorongku untuk bergerak maju –paling tidak– menyapa pemuda berambut merah panjang berkuncir (terlihat seperti badboy, memang) yang sedang duduk di bangku kantin seberangku bersama teman-temannya.
Tidak.
Aku tidak seberani itu.
Melihatnya dari jauh sudah cukup memuaskan hati. Entah kenapa, aku merasa melihatnya saja sudah cukup. Tidak perlu menyapanya dan membuatnya sakit lagi.
"Kau tau aku tidak akan melakukannya, Rena." tolakku tegas.
"Bukan tidak, tapi 'belum'."
Kukembalikan atensiku pada makanan di hadapanku. Tepat setelah Rena berucap, seakan tahu kondisi seperti apa yang terjadi di bangku yang kutempati, salah satu teman si pemuda berambut merah –kita panggil Elsword mulai sekarang– yang berambut pirang menatapku penuh arti sambil tersenyum. Aku hanya menaikkan salah satu alisku seolah berkata 'apa?' padanya.
Dan apa yang dilakukan si pirang selanjutnya mampu membuat wajahku sewarna dengan rambut Elsword. Sontak aku menunduk menekuni ramen yang sedari tadi hanya kuaduk-aduk.
"Whoa, kau harus lihat wajahnya, Aisha!" heboh seseorang di sebelahku, yang biasa dipanggil 'ratu iblis' namun chibi berambut putih, Lu.
"Aku yakin dia akan pingsan jika mengangkat hidung, berani jamin." ejek Rena sambil terkekeh.
Ini gila, antek-antek Elsword sedang gila! Dengan polosnya Chung –pemuda pirang tadi– menoel telinga Elsword dan mengendikkan kepalanya kearahku. Elsword yang masih mengunyah sandwich memutar kepalanya sambil melebarkan manik rubynya menatap padaku yang masih menunduk. Sedangkan dua gadis di sekelilingku dengan heboh menarik kedua kepang rambutku ke bawah supaya kepalaku mendongak. Demi Nyonya El, wajahku panas!
Sungguh aku ingin sekali beranjak dari kantin dan secepat mungkin menuju kelas, rasanya aku sudah tidak punya muka bertemu Elsword. Aku tahu kalian menganggapku berlebihan, tapi aku yang terkenal manis namun garang akan menjadi sangat pemalu dan pengecut jika sudah berhadapan dengan Elsword. Ha! The power of love.
Masih dengan menunduk memakan ramen yang sudah dingin, aku merasa kehebohan di sekitarku berangsur reda, sudah sepi malah, seolah semua menunggu reaksiku. Perlahan aku mengangkat kepalaku dan aku benar-benar terkejut dengan kehadiran Elsword yang berdiri di hadapanku. Entah kemana gadis ber'dada besar' yang sebelumnya duduk disitu. Dan juga tidak ada tanda-tanda bahwa sebelumnya Rena dan Lu ikut makan bersamaku disini!
Aku akan memberi mereka pelajaran nanti.
"Hai." sapanya sambil tersenyum tipis. Astaga, aku meleleh hanya dengan melihat senyumnya dari dekat.
Hanya sekilas kudongakkan kepalaku dan kembali menunduk. "Ha-hai juga." oh ayolah, jangan mempermalukan dirimu sendiri, Aisha! Bicaralah dengan benar!
"Boleh aku duduk disini? Mereka mengusirku dari tempat dudukku sendiri," tanyanya dengan nada merajuk. Sepertinya aku tahu biang keroknya.
Kujawab dengan anggukan kecil sebagai balasannya. Sedetik kemudian kurasakan bangku yang kududuki sedikit bergeser menandakan Elsword sudah menyamankan diri duduk di sebelahku dan melanjutkan makan siangnya. Kulirik dia diam-diam sambil menerka mengapa harus jalan memutari bangku dulu alih-alih langsung duduk dari posisinya berdiri tadi.
I wonder because I can't approach
I like you but you're not looking at me
(Elsword)
Duduk bersama gadis pujaan hati? Itu sebenarnya impian kecilku sejak masuk SMA. Sejak 'pertama kali bertemu pandang' dengannya. Yeah, aku tau aku masih terlalu ingusan untuk sekedar berkhayal mengobrol dengan gadis senior ini. Mengapa kusebut gadis 'senior' ini? Karena dia adalah gadis spesial. Lebih dari separuh hidupku aku mengenalnya, namun tidak untuknya. Tapi sekarang impian kecilku itu terkabul.
Hanya nikmati saja waktumu, Elsword. Tidak selamanya kesempatan ini bisa kau dapat, ucapku dalam hati.
Karena ada beberapa alasan yang membuatku tidak bisa lagi mendekatinya seperti ini...
When I try to get closer to you
You get farther away
Sepasang kaki mungil milik seorang gadis kecil menapak tanah untuk diistirahatkan sejenak setelah berapa puluh menit ia lalui mengayuh pedal sepedanya untuk sekedar berkeliling di sekitar rumah barunya. Berputar dari gang satu ke gang lainnya hingga kembali kerumahnya lagi. Pemandangan di kampung perumahannya itu menyejukkan mata dengan pohon-pohon besar nan rindang berwarna hijau bertebaran di pinggir jalan, serta jarang sekali kendaraan bermotor lewat disana. Gadis kecil berambut ungu dikepang dua itu menarik napas panjang dan menghembuskannya lumayan keras lewat mulut, berikutnya kembali mengayuh pedal sepedanya dengan tujuan kali ini adalah lapangan hijau di belakang rumahnya.
Sampai, manik ungu besar itu menatap penuh kagum lapangan hijau yang sebenarnya tidak terlalu besar –juga tidak bisa disebut kecil– yang sepi itu. Tapi sejurus kemudian pandangannya sendu. Mungkin masih belum pulang sekolah, pikirnya. Karena waktu menginjakkan kaki pertama kali di rumah barunya, satu-satunya yang menarik adalah suara ribut di belakang rumahnya, suara sorak sorai dan bunyi peluit. Aisha bisa menebak dengan cepat bahwa itu adalah sekumpulan anak-anak yang bermain sepak bola. Niatnya, besok gadis manis itu akan ikut menonton segerombolan anak laki-laki memperebutkan satu bola putih-hitam yang ditendang kesana kemari untuk bisa masuk ke gawang lawan. Namun sayang sepertinya hari ini niatnya itu belum bisa kesampaian.
Pulang saja deh, bantu ibu beres-beres. Pikirnya kemudian sambil memutar sepedanya.
Ketika berbalik, manik ungu besarnya menatap heran seorang pemuda kecil berambut merah yang sedang melongok dalam sebuah selokan. Entah apa yang dicarinya di dalam sana, Aisha hanya khawatir bocah itu jatuh tercebur ke selokan, bau selokan kan tidak pernah wangi, iuh.
Sambil menyangga sepeda yang masih setia dipeganginya, Aisha berteriak memanggil bocah yang sepertinya baru pulang sekolah itu. "Hei, kau!"
Pemuda cilik itu mendengar ada yang berteriak jauh dari tempatnya berdiri, namun ia tidak mau repot-repot mengangkat kepalanya, siapa tahu bukan dia yang dimaksud. Namun pikiran itu sirna ketika dirasa salah satu tali ranselnya ditarik ke belakang. Sambil menggeram rendah, bocah itu berbalik dan mendapati gadis cilik aneh berambut ungu yang tidak pernah ia lihat sebelum-sebelumnya sedang berkacak pinggang sambil menatapnya penuh tanya.
"Mau apa kau? Pergi sana! Mengganggu saja,"
"Nanti kau bisa tercebur kedalam situ jika melongokkan kepalamu dalam-dalam begitu, mencari apa sih?"
"Bukan urusanmu." jawab bocah merah itu ketus.
Jelas Aisha merengut, apalagi bocah itu kembali melakukan apa yang dilakukan sebelumnya, melongokkan kepalanya dalam-dalam sambil melempar pandangan nyalang pada sudut-sudut selokan itu. Belum habis cara, dia memungut ranting kecil yang ada di samping kaki Aisha untuk diobok-obokan ke dalam selokan. Tanpa lama, Aisha menjambak rambut merah bocah kasar itu.
"Kau itu sedang dikhawatirkan, dasar cebol, peka sedikit kenapa?!" amuk Aisha.
"Apa kau bilang?!" berang, bocah cilik itu berdiri. Dan membelalakkan manik rubynya ketika sadar bahwa gadis ini memang sedikit lebih tinggi darinya.
Menudingkan jari telunjuknya sambil pasang muka cemberut. "Berani bilang cebol lagi, akan kuteror kau seumur hidup. Namaku Elsword! Ingat itu, ungu!" lanjutnya sambil memberi peringatan keras untuk Aisha yang dahinya sudah dihiasi urat-urat kemarahan.
Pertama, dia benci dihiraukan. Kedua, dia benci dituding. Apalagi oleh bocah yang lebih pendek darinya serta belum ia kenal. Belum ia kenal! Sontak tangan Aisha yang juga kecil itu menjitak kepala merah yang sejajar dengan matanya.
"Berani bilang ungu lagi akan kuhujani dengan jitakanku! Namaku Aisha, ingat juga itu." ucapnya tenang tanpa rasa bersalah. Meninggalkan bocah merah di belakangnya yang masih menatapnya jengkel.
Perkenalan yang aneh.
.
.
Dari perkenalan aneh mereka, entah kenapa di hari berikutnya Aisha tak bisa lepas dari sisi Elsword. Aura yang ditebarkan Elsword seperti menarik Aisha mendekat dan tidak rela jauh-jauh dari bocah merah itu. Tapi sayang sekali, Aisha di sekolahkan orang tuanya di sekolah menengah yang berbeda dengan Elsword, membuat gadis cilik ini sedikit kecewa tidak bisa menggoda hari-hari monoton Elsword. Dari sudut pandang Elsword sendiri, Aisha itu...
"Pengganggu,"
"Bisa halus sedikit tidak? Tidak perlu mengataiku begitu kan?"
"Coba kubalik, bisa tidak kau menjauh sedikit dariku? Kau seperti perangko saja."
Meski ia sama sekali tidak merasa terganggu dengan kehadiran dan kecerewetan gadis ungu yang selalu membuntutinya kemana-mana itu, entah kenapa mulutnya tidak bisa berhenti menggumamkan kata "pengganggu" pada Aisha. Dan beruntungnya –atau sialnya– Aisha tidak pernah ambil hati dengan gumaman itu.
Seperti saat ini, selesai adu mulut rutin mereka, Aisha yang berjalan di depan Elsword sama sekali tidak mengindahkan kalimat terakhir pemuda itu. Aisha mendengarnya sambil lalu, seperti biasa. Gadis itu malah berceloteh riang tentang teman barunya yang dia juluki sendiri dengan sebutan "Emotionless Queen". Dan Elsword juga mendengarkannya seperti biasa. Dia tidak bisa mengacuhkan gadis mungil itu.
Elsword merasa dia juga terikat dengan makhluk ungu di depannya sekarang...
We keep wandering around
Like parallel lines
"Apa yang kau lakukan disini, ungu?"
"Aku sedang kunjungan study tour, dan jangan bilang ini sekolahmu, cebol."
Elsword tampak tidak bisa menutupi wajah kagetnya ketika melihat gadis ceriwis berambut ungu yang menjadi perangkonya sehari-hari itu menampakkan hidung di area sekolahnya. Gadis mungil itu mengenakan jaket kebesaran berlabel nama sekolahnya, dengan diikuti dua orang temannya yang juga mempunyai warna rambut tak lazim. Sama-sama anehnya... Batin Elsword.
"Ini memang sekolahku, dan tidak biasanya pihak guru tidak heboh ketika ada pendatang dari institut lain." jelas Elsword.
"Inikah anak yang suka ringan tangan itu, Els? Yang sering kau ceritakan itu?" entah dari mana asalnya, seorang anak laki-laki beriris hijau kebiruan muncul dari balik punggung Elsword. Membuat kaget si empu dan juga Aisha yang sontak mundur tiga langkah.
"Chung! Berhentilah mengagetkanku!"
"Tapi benar kan? Ciri-cirinya sama loh,"
"Iya itu anaknya."
"Apa yang kalian bicarakan? Cebol, kau menyebar gosip apa tentangku, hah?!"
"Apasih?! Berhenti memanggilku cebol! Kau tidak sadar apa kau juga tidak lebih tinggi dariku?!"
"Intinya tetap aku yang lebih tinggi. Lagipula–"
Adu mulut mereka berlanjut. Chung dan Rena sempat menganga dibuatnya, dan Eve menatap mereka datar seolah kejadian ini begitu biasa di matanya –padahal Eve tidak pernah melihat bocah merah itu sebelumnya–. Namun detik itu juga, ketika manik emas Eve menemukan tangan Elsword yang mengepal erat diarahkan ke sepasang tangan mungil yang sedang mencengkeram kerah kemejanya, tanpa tedeng aling-aling telapak tangan Eve mendarat dengan sangat mulus ke pipi Elsword. Kali ini yang menganga bertambah satu orang dan rasanya rahang bawah mereka sanggup menyentuh lantai.
.
.
"Yaaaah yang tadi anggap saja hadiah perkenalan dari sahabat-sahabatku Els." suara tawa jernih nan jenaka disebelahnya membuat Elsword kembali sadar. Dan sekarang dia sedang merutuki dirinya sendiri yang menyanggupi permintaan pribadi Aisha untuk mengantarnya jalan-jalan keliling sekolahnya. Bukan berakhir manis memang, tapi setidaknya jalan-jalan kali ini cukup damai (Elsword yang jadi pendiam dan Aisha yang cukup menikmati pemandangan rindang sepanjang jalan sehingga lupa dengan sifat cerewetnya) dan mengagetkan –bagi Elsword–.
Karena ini pertama kalinya Elsword melihat senyum tulus yang manis dari Aisha ketika mentraktirnya minuman sebagai pertanggungjawaban atas sikap sahabatnya dan juga merasakan tangan hangat gadis itu menggenggam tangannya.
"Tidak masalah." sahutnya dengan menggenggam balik tangan mungil Aisha.
'Sejak kapan nyaman begini berada di dekatnya?' herannya.
"Halo?"
[Halo? Ah akhirnya tersambung juga! Kukira si pirang itu berbohong soal nomor ponselmu hahahaha.]
"Si pirang? Kau menstalkerku, cebol?!"
[Mana mungkin! A-aku hanya ingin terus menteror hidupmu sampai aku mati nanti. Wee..]
"Kalau begitu kuharap kau mati saja supaya hidupku damai aman sejahtera sentosa."
[Dasar baka Els! Aku yakin, hidupmu akan membosankan, penuh penyesalan dan penderitaan ketika aku tidak ada.]
Dan entah mengapa Elsword merasa nada berbicara Aisha barusan tidak terdengar sarkas seperti biasanya, lebih ke arah– murung?
Sukses membuatnya bertanya, "Kau baik-baik saja?"
[Ada apa dengan pertanyaanmu? Kau mengkhawatirkanku Elsword? Aku baik-baik saja kalau kau ingin tahu, aku sedang dalam perjalanan sekarang. Piknik keluarga.]
"Ah, semoga menyenangkan kalau begitu." Elsword terlentang di kasurnya sambil masih memegang ponsel. Membayangkan wajah cebol-ceriwis-berambut-ungu di seberang. Eh?
'Mana mungkin seperti ini?!' batinnya, dengan sebuah pukulan di dahi sendiri, tentunya.
[Apa sih? Tidak biasanya. Kau salah obat ya?]
'Mungkin iya.'
"Kau saja yang salah obat."
[Mungkin iya kalau aku salah obat. Kalau benar, tidak mungkin aku sampai meneleponmu begini kan?]
Elsword mengernyit, ada sesuatu yang aneh terjadi pada 'temannya', "Kau sungguh baik-baik saja kan, Aisha?" pastinya lagi sambil bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju meja nakas dimana ia meletakkan fotonya bersama Aisha pada saat gadis itu study tour ke sekolahnya. Bahkan si emotionless queen yang sempat menampar pipinya waktu pertama kali bertemu itu yang menghadiahkan piguranya, sebagai permintaan maaf.
Di foto itu, mereka kelihatan normal. Tanpa alis mengkerut dan bibir cemberut seperti biasanya mereka bertemu. Aisha yang tersenyum lebar sampai matanya menyipit, tangan kanan membentuk huruf V dan tangan kiri menggandeng lengan Elsword yang hanya menunjukkan wajah datar dengan manik rubynya melirik Aisha.
'Foto ini seperti anak pacaran saja.' batinnya sambil tersenyum tipis.
[Hei, pertama kalinya kau memanggil namaku dengan benar! Coba panggil lagi.]
"Aisha."
[Ya, Elsword? Hihi rasanya menyenangkan, tidak saling memanggil cebol.]
"..."
[Elsword?]
"Apa?"
[Aku menyukaimu.]
Sayangnya, kalimat barusan adalah hal terakhir yang tertinggal dari Aisha dalam hidupnya. Kenangan terakhirnya dengan Aisha. Karena setelah kalimat itu terucap, terdengar suara gaduh seperti logam menggesek tanah dan kaca pecah. Setelah itu, bunyi 'tut-tut-tut' khas mengiringi ponsel Elsword yang jatuh, lalu mati. Lututnya lemas, telinganya berdengung, dan matanya yang sekarang membeliak lebar setelah membayangkan kejadian di seberang. Mungkin Elsword bisa disebut bodoh, namun ia tahu persis suara-suara itu. Suara-suara yang mengiringi ayah ibunya meregang nyawa di tempat.
'Kumohon jangan begini lagi!'
.
.
.
.
Berharap semua hanya ilusinya semata, beberapa hari kemudian Elsword memberanikan diri untuk mampir kerumah Aisha. Menolak percaya suara-suara itu, dan ia juga merindukan gadis pendek cerewet yang selalu berada di depan rumahnya ketika ia pulang sekolah. Namun nihil, halaman rumahnya kosong, bunga-bunga dalam pot yang dirawat oleh Aisha dan ibunya juga setengah layu, pertanda sudah tidak pernah dirawat lagi.
Aisha menghilang, Elsword tidak mau mengatakan 'Aisha meninggalkanku'. Meski hatinya sudah berteriak pilu mengharap Aisha kembali.
But we can't be, I know we'll meet one day
I'll wait forever
Berminggu-minggu setelahnya, Elsword pun masih kacau. Kakaknya –Elesis– sampai heran setengah mati melihat adiknya yang biasanya berantakan dan berisik –sampai memicu tetangga melongok ke dalam rumah– sekarang malah seperti butler hidup. Bagaimana tidak? Contoh saja, pagi sebelum berangkat sekolah Elsword biasanya sudah heboh karena jam bangun dan jam masuk sekolah sudah mepet. Bahkan pernah tidak mandi saking terlambatnya, membuat Elesis harus kelimpungan mengurus kebutuhan pagi Elsword.
Tapi sekarang? Bahkan jam 6 pagi –jadwalnya menyiapkan sarapan– Elesis menemukan rumahnya kosong melompong, sandwich dan susu sudah tersedia di meja makan, dan hebatnya lagi, piring-piring bekas makan malam sudah bersih. Tidak mau berspekulasi berkepanjangan, dengan sigap Elesis naik ke lantai dua (sekarang Elesis menggunakan kamar kosong di sebelah kamar orang tuanya, lantai satu, sebelumnya kamarnya tepat di sebelah kamar adiknya), mengetuk beberapa kali pintu kamar Elsword sebelum membukanya, dan pemandangan kamar dengan nuansa merah itu sukses membuat Elesis sakit kepala.
Pertama kali dalam hidup Elesis di hari itu, dimana ia tidak perlu menemukan dan melempar boxer yang terselip di bawah tempat tidur adiknya ke mesin cuci, karena Elsword senantiasa sudah mencuci bahkan menjemur pakaiannya sendiri di balkon kamarnya.
Perubahan yang benar-benar drastis.
"Demi raja Nasod, apa yang sudah terjadi dengan adikku?"
.
.
Di sekolah, yang paling merasakan perubahan Elsword adalah Chung. Pemuda pirang itu menatap sahabatnya dari pintu masuk kelas 3-A yang sedang melancarkan jurus sok-kenal-sok-dekatnya dengan pecinta sains yang duduk di bangku paling belakang, Add Kim. Pemuda berambut putih itu terlihat risih dengan sikap Elsword, bahkan menunjukkannya terang-terangan. Tapi Elsword terus saja bertanya rumus-rumus kimia yang tidak ia mengerti.
"Akhir-akhir ini, apa Elsword punya masalah?" tanya pemuda bersurai hitam dengan bekas goresan di pipi, mengagetkannya.
"Ah Raven-senpai. Kurasa iya, Elsword sebelumnya tidak seberani itu mengganggu Add-senpai." gumamnya pada Raven yang berdiri di depannya.
"Elsword sekarang juga menjadi lebih ceria, tapi suram di waktu yang sama." timpal gadis berambut hitam panjang sambil mengambil duduk di bangku sebelah pintu. Chung memilih untuk tidak menanggapi, melainkan memutar kepala ke belakang lagi, memilih untuk memperhatikan sahabat merahnya yang tertawa lebar di belakang sana, dengan pukulan di kepala dari Add sebagai balasan.
"Apapun itu, semoga masalahnya cepat selesai." harap Chung.
The little space between us won't fill
Like parallel lines
Someday, I'm going to tell you everything
I'll come for you
Tiga tahun.
Menderita, menyesal, kesepian.
Kata-kata terakhir Aisha masih membayangi.
Dan ia menyesal mengatakan bahwa jika gadis itu mati, hidupnya akan tenang sentosa.
Elsword tidak merasa bahagia, dia hancur, ingin sekali menyalahkan waktu. Waktu selalu membawa pergi hal-hal sedang ia nikmati. Dan karena waktu itulah, Elsword tidak sadar bahwa sesuatu yang absolut itu telah membuatnya tidak bisa melihat perubahan, dan tidak bisa menjadi dewasa.
'Hei Aisha, kuharap kau masih menyukaiku... Tunggu disana ya, aku pasti akan datang untukmu.'
.
.
"Loh Elsword?"
Elsword yang tersadar dari lamunannya dengan cepat menolehkan kepala ke sumber suara, dan nampak gadis dengan perawakan sempurna–dalam artian yang 'ehem'– menyapanya sambil menelengkan kepala. Elsword dengan ragu menggumamkan namanya.
"Re–Rena kan ya?"
"Ah kau masih mengingatku rupanya. Kau calon murid baru disini?" tanyanya riang sambil berlari kecil menuju Elsword.
Elsword menengadahkan kepalanya, matanya menangkap nama sekolah yang selama 3 tahun ke depan menjadi tempatnya menuntu ilmu.
"Iya. Rena– ah maksudku, Rena-senpai sedang apa disini? Bukannya ini masih liburan ya bagi murid senior?"
"Aku sedang– eumm..."
"Rena!" suara itu sepertinya Elsword kenal.
"Raven?!" kaget mereka berdua. Wajah Rena sudah merah sepenuhnya, dan Elsword langsung tahu ada hubungan diantara keduanya.
"Aku mencarimu kemana-mana, kukira sedang di ruang– Elsword?!"
"Yo." balas Elsword datar sambil mengangkat tangannya.
"Kau sedang apa disini?" tanya Raven heran. Pasalnya, Elsword adalah adik kelasnya, berbeda 2 tahun. Dan Raven lost contact dengan Chung maupun Elsword ketika dirinya sudah lulus SMP. Tahu-tahu sekarang pemuda pendek –ups, sekarang sudah tidak bisa disebut pendek lagi sih, meski tingginya masih dibawah Raven– berisik itu muncul di sekolahnya. Apa dia calon murid baru? Terkanya.
"Aturan sekolah ini cukup ketat kan? Yang tidak berkepentingan dilarang masuk area sekolah. Itu tandanya aku punya kepentingan disini. Dan yang paling mencolok adalah–"
"–sekarang pengumuman penerimaan murid baru, oke aku sudah cukup jelas, Elsword. Selamat datang di Elrios Gakuen." potong Raven cepat sambil menyodorkan tangannya.
"Arigatou, mohon kerjasamanya ya, kalian berdua."
"..." Rena blushing, Raven hanya menatap kepergian Elsword yang bahkan tidak balas menjabat tangannya. Memasukkan kembali tangannya ke dalam saku celana, Raven mengajak Rena keluar area sekolah.
Hari-hari berat terlalui, bahkan Elsword sampai lupa pada masalahnya. Itu menyebabkannya kembali menjadi Elsword yang dulu, yang berisik, yang bodoh, yang ceroboh, yang konyol. Chung juga bersekolah di Elrios Gakuen, omong-omong. Mereka berdua tak terpisahkan, ujar Ara setelah tau Elsword dan Chung masuk di sekolahnya.
Mari kudeskripsikan keadaan mereka saat ini.
Di Elrios Gakuen ini ada dua kantin, kantin depan dan kantin kelas 3. Kantin depan diperuntukkan anak-anak kelas 1 dan 2, guru juga bisa makan disana karena itu kantin umum. Tapi di kantin kelas 3, hampir seluruh angkatan kelas 3 makan dan nongkrong disini. Jarang ada guru mampir kemari, kecuali untuk sweeping anak-anak yang membolos. Dan disini sempat heboh karena dua bocah pirang dan merah dengan santainya masuk ke kandang singa. Penampilan Elsword tidak mencerminkan bahwa ia anak baru –rambut Elsword tebal, poni panjangnya menutup salah satu matanya, dan surai merah panjang itu juga dikucir tipis di belakang tengkuk–, kemejanya tidak dimasukkan, dan juga tidak memakai dasi dan blazer. Semuanya sempat tertipu kalau saja badge hijau di lengan kiri kemejanya itu tidak nampak. Sedangkan penampilan Chung biasa saja, surai pirang pendek dengan corak hitam di kedua ujung rambutnya –oh jangan salah, Chung juga ikut-ikutan menjadi badboy seperti Elsword, hanya saja rambut pirang panjangnya yang dikucir itu dimasukkan ke dalam kerah baju–, berpakaian rapi, dan mengganti blazer sekolahnya dengan sweater. Aura dewasa Chung juga menipu. Jika saja dia tidak membuka sweater warna pastelnya sehingga menampakkan dasi dengan satu garis bercorak hijau, ia juga pasti akan dikira anak kelas 3.
Keduanya sedang berjalan menuju meja yang berada di ujung sendiri, dimana para senpai-senpainya sedang makan dengan tenang. Di bangku yang menghadap jendela, telah duduk dengan nyaman Add Kim sambil mendengarkan sesuatu-entah-apa lewat headphone putihnya, tangannya juga bekerja mengoprek benda kecil –yang terlihat seperti remote televisi bagi Elsword– yang dipangkunya. Piring di hadapannya telah kosong. Di sebelahnya, duduk dengan tenang sang-emotionless-queen yang sedang mengusap mulutnya dengan sapu tangan putih bercorak ungu–dan Elsword sedikit berjengit ketika mengingat bahwa gadis itu yang menampar pipi Elsword ketika pertama kali bertemu, mengingatnya membuat Elsword jadi muram–, piringnya juga telah kosong. Di sebelah Eve juga duduk Ara Haan, senior yang dulu cukup dekat dengan Chung waktu masih SMP, gadis anggun itu makan dengan tenang sambil sesekali tertawa kecil karena kelakuan teman-temannya.
Di seberang tempat duduk Ara, duduk bersebelahan pemuda tinggi bersurai biru dan gadis berambut putih kecil –kalau tidak mau disebut chibi– dimana sang pemuda tenang sedang menghela napas lelah tapi sambil terus berusaha menyuapi gadis kecil –serupa iblis, dia bahkan memakai aksesori seperti tanduk di kepalanya–. Di kiri gadis bersurai putih panjang itu duduk Rena dan Raven bersisian.
"Konnichiwa~!" sapa Elsword dengan gaya konyol. Chung hanya tersenyum pada yang lain sebelum duduk di sisi kanan Raven yang masih tersisa tempat kosong.
Bermacam-macam balasan diterima Elsword, ada yang menggumam, ada yang cuek, ada yang melambaikan tangannya menyuruhnya duduk di sebelahnya, ada juga yang hanya menatapnya.
"Kau tidak makan siang, Els?" tanya Ara yang tadi melambaikan tangannya, heran melihat Elsword yang hanya duduk dan tidak ada tanda-tanda akan memesan makanan. Bahkan Chung sudah menghilang ke konter makanan.
"Kurasa aku masih kenyang, Ara."
Obrolan berlanjut, dan diselingi canda gurau konyol dari Elsword dan timpalan konyol lainnya dari Chung.
I couldn't tell you, but I loved you
Like my dream when I was young, like a miracle
If I can become a grown-up through the time
I'll hold your hands
(11.20pm, Elsword room)
Saat ini Elsword sedang berkutat dengan rumus matematika, seperti biasanya, hanya memandangi buku sambil menyangga dagu dan sesekali menguap. Ingin bertanya pada senpai-senpai nya, tapi mengingat ini sudah hampir tengah malam, rasanya tidak sopan–Elsword hanya mengingat tujuh orang itu sebagai senpai di saat ia sedang kepepet saja–.
Chung pasti sudah tidur, dan jika ia nekat, dapat dipastikan esok hari ia mendapat tikus berjejalan di lokernya. Tidak dikerjakan? Nanti ketika Elsword tidur ia akan diteror di dalam mimpi oleh gadis berambut ungu galak.
Gadis berambut ungu galak...
Aisha.
Sudahlah, Elsword tidak lagi peduli pada tugasnya. Menopang kepala diatas tangannya yang terlipat, menggumamkan kata 'maaf' lagi, dan menangis lagi, sampai tertidur.
Itulah kebiasaan Elsword sejak tiga tahun lalu ketika teringat gadis mungil ceriwis yang selalu mengganggu hidupnya. Yang sekarang sudah tidak ada lagi untuknya.
"Kalau begitu kuharap kau mati saja supaya hidupku damai aman sejahtera sentosa."
[Dasar baka Els! Aku yakin, hidupmu akan membosankan, penuh penyesalan dan penderitaan ketika aku tidak ada.]
'Ya kau benar Aisha. Hidupku membosankan, penuh penyesalan dan penderitaan ketika kau tidak ada. Aku menyesal mengatakan hal itu padamu. Maafkan aku, Aisha. Maafkan aku.'
'Aku mencintaimu.'
'Kembalilah...'
Dengan melangkahnya Elsword ke alam mimpi, air matanya berhenti mengalir. Begitu juga penderitaannya selama ia terjaga. Kata-kata penuh penyesalan yang selalu ia ungkapkan dalam hati, selalu berhasil membawa mimpi indah dimana ia bertemu Aisha di danau, berlatar gemerlap cahaya matahari yang terbias air, tersenyum padanya, dan membuka tangan seolah memanggilnya dalam dekapan.
"Aku juga mencintaimu, Elsword."
Elsword kembali menangis namun juga tersenyum tipis, di mimpi, maupun di alam nyata. Elesis yang lewat di depan kamarnya sempat melongok ke dalam, sebelum mengambil selimut di tempat tidur Elsword dan menyampirkannya di pundak Elsword. Sebelum mematikan lampu Elesis sempat melihat adik laki-lakinya itu menitikkan air mata sambil tersenyum. Rasanya Elesis juga ingin menangis, pasalnya, adiknya itu banyak berubah tapi sebagai kakak ia tidak tahu apa yang menyebabkan Elsword seperti ini. Ia merasa gagal menjadi kakak. Terlebih, satu-satunya penopang dalam hidup Elsword hanya dirinya, setelah orang tuanya meninggalkan mereka.
Kedua kalinya Elesis melihat Elsword menangis. Walau sambil terlelap.
Menyibak poni panjang dari dahi adiknya, ia menciumnya. Kecupan selamat tidur dari kakak kepada adiknya, menyalurkan maaf dan harapan semoga Elsword mau menceritakan apa yang terjadi kepadanya.
Semoga...
"Oyasumi, Elsword."
.
.
TBC
AN :
Halo, Alizu disini :3 fanfic perdana di fandom Elsword nyiahaha. Nekat bikin karena dapet ilham dadakan. Saya tau perbendaharaan kata-kata saya minim banget, dan mungkin cerita ama lagunya kurang cocok ya, kesannya jadi muaksa banget #nangis. Betewe saya baru pertama kali bikin yang angsty begini, jadi maaf kalo kurang ngefeel, namanya juga nekat x'D
Dan lagi saya kurang bisa nentuin genre maupun rating, kira-kira yang saya masukin udah bener belum ya? :/
Maafkan segala kekurangan, berminatkah untuk meninggalkan review? :3
