Warning!
Hunhan Fanfiction. Sehun & Luhan as main cast.
Yaoi. BL. Rated T.
DLDR
Happy Reading~~
LOVED BY YOU
"Hei, Luhan! Apa kabar?" seseorang menepuk pundak Luhan pelan. Luhan berbalik dan tersenyum mengetahui siapa yang menyapanya. "Kyungsoo?" tanya Luhan meyakinkan. Ia memang mengenal wajah itu, tapi tidak dengan penampilan seperti ini. "Ya, of course. Memangnya kau tidak mengenaliku?" tanya Kyungsoo.
Luhan menggeleng pelan. "Aku tahu, hanya saja kau sedikit berubah", kata Luhan seraya memperhatikan penampilan Kyungsoo dengan lebih seksama. Penampilan Kyungsoo memang tampak lebih mencolok dari dahulu. Rambut cokelat pirang, mata yang dihias kontak lens biru tua, serta gaya pakaian yang sedikit terbuka, membuat Luhan sempat ragu kalau orang itu adalah temannya. "Tapi tetap aku tetap tampan kan?" kata Kyungsoo. Luhan mengangguk pelan, "Ya, kau tampan." Kyungsoo tertawa kecil lalu mengajak Luhan untuk mengobrol di kafe terdekat.
"Sedang sibuk apa sekarang?" tanya Kyungsoo setelah mereka duduk di kursi kafe dekat jendela. Seorang pelayan datang mencatat pesanan mereka. Dua cangkir cappucino dan dua potong chesee cake. "Aku masih sibuk mengejar gelar doktor, sekarang sedang menyusun. Doakan ya semoga semuanya berjalan lancar.", jawab Luhan.
Kyungsoo memandang temannya itu kagum. "Kau hebat! Masih mau belajar. Aku sendiri masih beruntung bisa meraih gelar sarjanaku. Itupun berkat bantuanmu." kata Kyungsoo. Luhan tersenyum, "Kau sendiri sedang sibuk apa sekarang?" tanya Luhan balik. Pesanan mereka datang. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka melanjutkan pembicaraan. "Sibuk jadi ibu rumah tangga. Aku sudah punya dua anak sekarang", kata Kyungsoo.
"Oh iya, maaf aku tidak datang ke acara pernikahanmu dulu. Waktu itu aku sedang berada di Jerman" ucap Luhan. "It's okay. Aku tahu kau sibuk. Bagaimana kabar suamimu?"
Deg!
Pertanyaan Kyungsoo seakan menusuk jantung Luhan. Pertanyaan yang paling ia hindari. Pertanyaan paling tidak ia suka. Tetapi orang-orang terus saja menanyakan pertanyaan yang sama saat bertemu dengannya. Karena pertanyaan sederhana itu cukup kuat untuk mengorek kembali lukanya.
Luhan meyeruput cappucinonya. "Aku sudah berpisah" ucapnya kemudian. Kyungsoo terkejut mendengarnya. "Maaf, aku tidak tahu. Kenapa bisa?" tanya Kyungsoo lagi. Ia tidak menyangka Luhan akan berpisah secepat itu. Padahal ia menikah lebih dulu daripada Luhan. Luhan menyeruput cappucinonya lagi. Pahit. Itulah yang dirasakannya saat ini. Luhan tidak bisa mengatakan alasannya. Bukan, ia bukan tidak bisa tapi ia tidak mau. Memberikan alasan perpisahan itu sama saja dengan memaksanya kembali ke masa itu. Kembali merasakan kesakitan itu dan kepedihan yang menyelimutinya.
"Tidak ada kecocokan. Lagipula kejadiannya sudah lama. Aku tidak ingin mengungkitnya lagi", ucap Luhan sambil tersenyum kecut. Kyungsoo mengangguk mengerti. Luhan memandang jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 21.36. "Sudah malam. Kapan-kapan kita bisa bertemu lagi. Aku harus pulang." kata Luhan.
"Tentu. Berapa nomormu sekarang?", tanya Kyungsoo. Luhan membuka tes kecilnya lalu memberikan selembar kartu namanya pada Kyungsoo. "Kau bisa menghubungiku kapan saja. Sampai jumpa." kata Luhan sambil berlalu. "Iya, bye-bye." Kyungsoo melambaikan tangannya ke arah Luhan yang telah berada di belakang kemudi mobil dan melaju pergi.
"Hebat!" Luhan masih mengingat pujian Kyungsoo. "Hebat? Kurasa kau salah. Justru kaulah yang hebat. Hidupmu sempurna, Kyungsoo. Kau bertemu seorang pria yang baik dan memiliki anak. Kau hebat!" guman Luhan. Matanya mulai kabur oleh butir-butir air yang menetes satu per satu ke pipinya. Ia tak tahu mengapa ia menangis. Ia hanya iri. Ia iri pada Kyungsoo.
Tiba-tiba seseorang melintas di depannya. Luhan mengijak rem refleks. Tetapi ia terlambat. Badan mobilnya telah menabrak seseorang. Luhan gemetar. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Jalanan memang sedang sepi. Tak ada seorangpun yang melihat kejadian itu. Lalu bagaimana keadaan orang yang ia tabrak itu? Luhan ingin keluar dari mobilnya dan melihat orang itu. Tapi ia takut menghadapi segala kemungkinan. Bagaimana kalau orang itu terluka parah? Atau bagaimana kalau orang itu sudah mati? Luhan semakin ketakutan. Ia tetap duduk mematung di balik kemudi mobilnya.
Seseorang bangkit. Luhan dapat melihatnya. Seorang pria yang sebagian wajahnya tertutup darah yang masih menetes. Pria itu mencoba melihat ke dalam mobil meski matanya disilaukan oleh cahaya lampu mobil yang telah menabraknya. Luhan semakin ketakutan. Pria itu menghampiri Luhan. Lalu mengetuk kaca mobil Luhan pelan. Luhan tak berani memandang wajah pria itu. Namun, Luhan menurunkan sedikit kaca mobilnya. Dipandangnya pria itu dengan sangat ketakutan. "Ma...".
"Maaf." kata pria itu mendahului Luhan. Luhan setengah terkejut mendengarnya. Atau mungkin ia yang salah mendengar?
"Aku yang salah. Tidak melihat mobilmu melintas dan menyebrang begitu saja. Maaf", kata pria itu pelan lalu beranjak pergi. Luhan terpaku dalam kebingungan. Tapi ia segera keluar dari mobilnya dan menahan pria itu. "Kita ke rumah sakit sekarang", ucapnya kemudian.
Pria itu keluar dari unit gawat darurat dengan perban di kepalanya. Lukanya sudah dibersihkan. Sehingga Luhan baru bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ternyata pria itu masih sangat muda. Mungkin beda sepuluh tahun dari Luhan.
"Kau masih di sini?" tanya pemuda itu. Luhan heran melihat sikap pemuda itu. Sudah jelas Luhan lebih tua darinya, tapi nada bicaranya sangat tidak sopan. Luhan menahan nalurinya sebagai pengajar untuk menceramahi anak muda itu. Ia sadar ini bukan saat yang tepat.
"Bagaimana keadaanmu? Apa kau bisa pulang sendiri? Atau bagaimana kalau aku mengantarmu pulang, dik?" tanya Luhan dengan sedikit menekankan pada kata Dik agar pemuda itu tahu ia lebih tua darinya.
"Dik? Namaku bukan Dik, tapi Oh Sehun. Kau bisa memanggilku Sehun," kata pemuda bernama Sehun itu. Luhan sedikit kesal juga dibuatnya. "Sepertinya kau baik-baik saja. Kau pasti bisa pulang sendiri. Soal kecelakaan tadi, itu juga salahku. Aku minta maaf," kata Luhan lalu beranjak pergi. Sehun hanya diam saja. Namun ia tak dapat menahan bibirnya untuk tidak tersenyum.
...
...
...
Luhan bersiap berangkat ke kampus. Bukan sebagai mahasiswa, tapi sebagai dosen. Ya, Luhan memang seorang dosen yang merangkap sebagai mahasiswa di saat bersamaan. Luhan seorang dosen akuntansi yang sedang berusaha meraih gelar doktornya. Hari ini ia bertugas untuk menggantikan seorang dosennya yang sedang cuti karena berobat ke luar negeri. Luhan diberi tanggung jawab penuh untuk mengajar mahasiswa baru.
Waktu tepat menunjukkan pukul 08.00 saat Luhan melangkahkan kakinya memasuki kelas. Tanpa canggung, Luhan berdiri di depan tiga puluh mahasiswa yang baru ditemuinya. Setelah memperkenalkan diri, ia pun mulai mengecek kehadiran mahasiswanya.
Ada sekitar tiga puluh mahasiswa yang ia sebut namanya satu per satu. Mahasiswa bergiliran menyahut saat nama mereka disebut. Nama terakhir membuat Luhan terhenti sejenak. Oh Sehun. Tampaknya nama itu tak asing baginya. Akhirnya, Luhan mengabsen nama terakhir itu. Seorang mahasiswa yang duduk paling belakang menyahut, "Hadir!" seru mahasiswa yang kepalanya diperban itu.
...
...
...
Sehun mengisap rokoknya kemudian menghembuskan asap racun tanpa merasa berdosa. Seorang pemuda berkacamata menepuknya dari belakang. "Hei! Kenapa kepalamu? Kok diperban begitu?" tanya pemuda bernama Chen itu. "Kemarin tidak sengaja menabrak mobil," ujar Sehun sambil tetap menikmati kegiatannya merokok. Alis Chen mengkerut, "Menabrak atau ditabrak? Mana yang benar?" tanya Chen tak mengerti. "Menabrak! Aku menabrak mobil, masak begitu saja tidak mengerti." ketus Sehun lalu berjalan meninggalkan Chen yang masih berusaha mencerna kalimatnya.
Sehun melangkah memasuki ruang dosen. Di depan sebuah meja bertuliskan papan nama Xi Luhan, M.E. ia duduk. Luhan yang sedang asyik membaca terkejut melihat Sehun yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Aku lapar. Ayo makan!" ajak Sehun tanpa tedeng aling-aling. Luhan keheranan melihat tingkah mahasiswanya itu.
"Apa yang kau katakan?" tanya Luhan tak percaya.
"Aku belum makan dari kemarin. Kepalaku sakit terus. Ayo kita pergi makan." ujar Sehun. Luhan mencoba menahan emosinya, "Apa kau sadar sedang berbicara pada siapa? Atau mungkin benturan di kepalamu sudah membuatmu tidak waras?"
Sehun tersenyum mendengar ucapan Luhan. "Kau benar. Karena benturan itu aku jadi tidak waras. Kau harus bertanggung jawab."
Luhan menghela nafas panjang, "Jadi sekarang apa maumu?" tanya Luhan berusaha sabar. "Makan. Mudah kan'? Aku tunggu di gerbang belakang kampus." ujar Sehun lalu beranjak pergi. Luhan mendengus kesal. Entah apa yang harus ia lakukan pada pemuda tak tahu diri itu.
Luhan menancap gas mobilnya meninggalkan kampus. Tanpa menemui Sehun. Luhan merasa inilah yang harus ia lakukan daripada harus menuruti keinginan mahasiswanya yang tidak waras itu.
Hari Senin berikutnya, Luhan kembali mengajar di kelas yang sama. Dengan mahasiswa yang sama. Dan ada Sehun pula. Tanpa rasa canggung, Luhan mengajar. Walaupun sepasang mata terus menatapnya. Luhan pura-pura tidak menyadarinya. Tapi ia tahu sepasang mata yang terus menatapnya itu adalah Sehun tanpa perban di kepalanya. Hanya saja Sehun tampak lebih kurus dari minggu lalu.
"Kenapa kau tidak datang?" tanya Sehun saat mencegat Luhan memasuki mobilnya.
"Sehun, sebaiknya kau menghentikan tingkahmu ini. Aku ini dosenmu. Kau seharusnya lebih hormat padaku. Apa kau tidak sadar? Aku bisa melaporkan tingkah lakumu ini pada Ketua Jurusan. Kau pun tahu kan' akibatnya jika itu kulakukan!" ujar Luhan tak bisa menahan kesabarannya lagi.
"Laporkan saja." balas Sehun. "Lalu apa setelah kau melaporkanku, kau bisa memenuhi keinginanku? Kau tahu, aku belum makan dari minggu lalu. Dan sekarang perutku amat sangat lapar." sambung Sehun.
Luhan tidak percaya akan apa yang didengarnya. Benarkah pemuda itu tidak sudah seminggu tidak makan? Memang pemuda itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Tapi apa benar dia sudah satu minggu tidak makan? Apa dia orang senekat itu? Akhirnya, Luhan menyetujui permintaan Sehun.
Di hadapan Luhan sudah tersaji berbagai macam hidangan. Mulai dari daging yang siap dipanggang, selada, acar, pancake, dan lainnya. Semua pesanan Sehun. "Baiklah, sekarang saatnya makan. Selamat makan!" seru Sehun girang. Lalu memakan makanannya dengan lahap. Sepertinya benar dia sudah tidak makan satu minggu, pikir Luhan. Sehun tersedak karena makan terlalu cepat. "Pelan-pelan saja," kata Luhan sambil menyodorkan minuman ke arah Sehun. Sehun heran melihat Luhan yang tidak makan. "Kenapa kau tidak makan?" tanya Sehun. "Aku tidak lapar." jawab Luhan. Sehun mengangguk mengerti lalu melanjutkan makannya.
Setelah selesai makan, Luhan dan Sehun pun melangkah keluar restoran. Langit mulai gelap pertanda akan hujan. Luhan harus pulang ke rumah secepatnya, sebelum hujan turun. "Sekarang kita sudah impas, bukan? Jadi mulai sekarang anggap aku sebagai dosenmu." kata Luhan. Sehun tersenyum tapi tak mengatakan apa-apa.
Hujan turun, sangat deras. Luhan yang baru akan menyeberang jalan menghentikan langkahnya. Tubuhnya tiba-tiba terpaku. Menggigil. Kaku. Tak dapat digerakkan. Hujan membasahi sekujur tubuhnya. Tapi Luhan tidak dapat berbuat apa-apa. Sehun melihat kejadian itu lalu menarik tangan Luhan untuk berteduh di depan sebuah toko.
"Ada apa denganmu?" tanya Sehun cemas. Luhan hanya dapat menatap Sehun tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Namun Sehun bisa mengetahui kalau saat ini Luhan sangat ketakutan. Rasa takut yang tak bisa ia pahami sebabnya. Luhan tak kuat menopang tubuhnya. Ia jatuh pingsan.
Sehun menyeka wajah Luhan dengan handuk yang sudah ia basahi air hangat. Sehun memandangi wajah itu. Masih tampak bekas kesedihan di sana. Kesedihan yang timbul akibat luka yang amat dalam. Sehun ingin tahu penyebabnya.
Tak lama kemudian Luhan sadar. Ia mendapati dirinya terbaring di sebuah kamar yang sangat asing baginya. Kamar bernuansa biru langit yang tak terlalu luas. Hanya ada sebuah tempat tidur kecil, lemari, dan meja bundar. Di samping lemari tampak buku-buku yang dibiarkan bertumpuk hingga membentuk menara yang cukup tinggi. Luhan mengerjapkan mata, ia tidak sedang bermimpi. Ia memang sedang berada di kamar yang sangat asing. Ia pun beranjak dari tempat tidur dan menyadari bahwa ia memakai pakaian yang bukan miliknya. Sebuah kaos lengan panjang yang kebesaran dan celana jeans pendek. Luhan terkejut melihat keadaan dirinya. Pikirannya mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi. Sehun.
"Oh, kau sudah bangun," kata Sehun saat muncul dari balik pintu. Ia membawa segelas cokelat panas yang ia letakkan di meja bundar. "A..Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa berada di sini?" tanya Luhan. "Kau lupa? Kau pingsan di depanku. Karena aku tidak tahu rumahmu, jadi aku membawamu ke apartemen-ku" ujar Sehun dengan ekspresi datar.
"Apa? Apartemenmu? Apa kau sudah gila?! Lalu bagaimana dengan pakaianku? Jangan bilang kalau kau yang menggantinya!" Luhan mulai histeris. Ia tidak berani membayangkan apa yang terjadi.
"Pakaianmu basah. Jadi, aku menggantikan pakaianmu. Tapi aku bisa jamin kalau aku tidak melakukan apapun. Aku tidak akan segila itu untuk menyentuh tubuh dosenku. Mengerti? Jadi apa sekarang kau bisa tenang dan duduk sebentar?" tanya Sehun sambil menunjuk tempat di dekatnya di meja bundar. Luhan melihatnya ragu. "Lagipula di luar masih hujan,"sambung Sehun. Perkataan Sehun itu sukses membuat Luhan duduk.
"Minumlah. Kau pasti haus," kata Sehun sambil menyodorkan segelas cokelat panas yang dibawanya tadi. Luhan tidak menghiraukannya. Ia cemas memikirkan dirinya yang harus terjebak di kamar mahasiswanya sendiri tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Kenapa? Apa kau tak percaya padaku? Apa aku terlihat seperti laki-laki bajingan? Kalau aku ingin melakukan hal yang tidak-tidak, aku pasti sudah melakukannya sejak tadi, waktu kau tidak sadarkan diri," jelas Sehun mencoba membuat Luhan percaya padanya. Luhan berpikir sejenak, ia memang sulit untuk mempercayai orang lain setelah apa yang telah dialaminya. Tapi melihat wajah Sehun, pikirannya berubah. Entah mengapa ia merasa mempercayai wajah itu. Tangannya kemudian bergerak memegang gelas itu dan meminumnya.
"Apa karena hujan? Kau takut pada hujan?" tanya Sehun meski ia sudah tahu jawabannya dari apa yang dilihatnya tadi. Luhan tidak langsung menjawab. Matanya menerawang jauh. Sehun menghidupkan radio yang berada di dekatnya. Terdengar suara penyiar wanita yang bercuap-cuap kemudian memutar sebuah lagu. Seasons in the sun–Westlife mengalun mengisi ruangan. Suara rintik hujan samar berganti suara merdu Shane, Nicky, Mark, dan Bryan.
"Benar, aku takut pada hujan. Hujan membuatku teringat masa lalu yang menyakitkan." kata Luhan pelan. Sehun terdiam, ia membiarkan Luhan melanjutkan ceritanya. "Entah apa aku harus menceritakan hal ini padamu. Kau mungkin tidak akan mengerti. Kau masih terlalu muda untuk mengerti,". Luhan menghela nafas panjang. "Aku pernah menikah saat masih jadi mahasiswa strata satu semester tiga. Pernikahan karena dijodohkan. Dan menerima pernikahan itu adalah satu-satunya kesalahan terbesar yang pernah kulakukan dalam hidupku," ungkap Luhan. Matanya mulai berkaca-kaca. Sehun hanya menatap Luhan tanpa ekspresi terkejut sama sekali. Sehun memang sudah tahu.
"Aku telah salah memilih. Sosok yang menikahiku tidak seperti bayanganku sebelumnya. Dia kasar dan...selalu memukulku hanya karena aku berbicara pada teman priaku. Bukan hanya perlakuannya saja yang menyakitkan, tapi...juga perkataannya. Suatu hari, dia memukulku tanpa alasan, dengan stick golf miliknya. Lalu mengusirku saat hujan di luar sangat deras. Seluruh tubuhku terluka dan...rasanya semakin perih saat terbasuh air hujan..."
"Sejak saat itu, aku sangat takut pada hujan. Aku tidak tahu alasannya... Hanya saja jika terkena sedikit saja air hujan, aku tak dapat mengendalikan tubuhku. Aku tak tahu bagaimana mengendalikannya..." air mata Luhan mengalir bak sungai mengingat peristiwa sepuluh tahun silam. Sehun hanya dapat memberikan sapu tangan miliknya untuk menghapus air mata Luhan.
"Sekarang kau tahu bagaimana hidupku yang sebenarnya. Inilah aku. Hanya seseorang yang dipenuhi luka trauma. Aku menceritakan hal ini agar kau tahu yang sebenarnya. Aku tidak seperti yang kau pikirkan. Jangan menyia-nyiakan masa mudamu hanya karena orang sepertiku. Aku adalah dosenmu. Selamanya akan tetap seperti itu," kata Luhan setelah dapat mengontrol dirinya kembali.
"Memangnya kenapa? Aku sama sekali tidak peduli akan hal itu. Aku menyukaimu, Luhan. Bisakah kau membiarkan aku mengobati lukamu? Aku berjanji tidak akan pernah menyakitimu," kata Sehun.
Luhan tersenyum tipis mendengarnya. Tangannya bergerak membelai rambut Sehun lembut. "Kau bahkan lebih muda dari adik bungsuku. Setiap melihatmu aku merasa seperti melihat adikku sendiri. Kau sangat manis. Tapi apa yang bisa kau lakukan? Kau hanya anak muda yang baru mengenal dunia. Seperti diriku sepuluh tahun lalu. Kau belum tahu apa-apa. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan karena suatu saat kau pasti akan menyesalinya. Hujan sudah berhenti, aku harus pulang," kata Luhan sambil beranjak menuju pintu.
"Apa karena kau dosenku? Jadi aku tidak bisa bersamamu?" tanya Sehun. Luhan tersenyum lalu pergi tanpa menghiraukan pertanyaan pemuda itu.
.
.
.
TBC
Ini cerita berbeda dari yg pernah sy buat. Tidak ada Luhan unyu-unyu menggemaskan yg ceria. Hanya Luhan yang dewasa yg suka menutup diri.
Adakah yang berminat cerita ini dilanjut?
