Title : Freedom ( Ind )
Chapter : 1
Fandom: Takumi-kun Series
Desc : Gotoh Shinobu & Kazumi Ohya
Characters : Saki Giichi & Hayama Takumi
Rat: M ( untuk aman )
Genre : Hurt & Comfort / Romance
A/N : Cerita yang digunakan sama dengan 'Freedom-Eng' atau dengan kata lain di 'terjemahkan' ulang. Inti cerita tetap sama walau penggunaan kalimat berbeda. Untuk masalah CR atau CopyRight tidak perlu khawatir karena 'author'nya sama XP
Pov : Saki Giichi
-00START00-
Tidaklah mudah untuk hidup tanpa dukungan dari mereka yang seharusnya berada disisimu, mendukung ataupun menyemangati, ketika kamu jatuh ataupun menghadapi banyak masalah. Adanya kemungkinan untuk membawamu dalam kematian jika kamu tidak kuat. Cepat menyerah, tidak memikirkan konsekuensi dan kehidupan dimasa yang akan datang, menjadi salah satu alasan bagi seseorang mengakhiri kehidupannya dengan jalan cepat. Teman-temanku lebih memilih cara tersebut dari pada mencoba untuk mengerti, dan mempelajari cara untuk mengubah kehidupan mereka.
Beruntung aku dapat menghadapi seluruh masalah dengan bantuan pengalaman yang sudah kualami. Tidak jarang masalah yang kuhadapi ini terasa sangat berat dan menyakitkan. Tidak jarang perasaan 'menyerah' datang dalam pikiranku, namun aku harus tetap bertahan untuk memenuhi janjiku. Dia adalah adik, sahabat, dan yang terpenting...
DIa adalah seseorang yang berarti untukku...
-0000-
Lahir tanpa mengetahui keberadaan orangtua dan hidup selama 6 tahun dengan bergantung dari sumbangan seseorang, adalah sebuah kenyataan yang begitu pahit untukku. Tinggal di sebuah panti asuhan dengan Takahashi-san, sebagai seorang 'ibu' untukku. Beliau yang menemukan diriku ketika kedua orangtuaku meninggalkanku dalam sebuah kotak didepan pintu panti asuhan dengan sebuah surat dan uang.
'Anak ini sangat murni dan tidak seharusnya tiinggal bersama dengan kam. Kami yang tinggal didalam kejamnya dunia, tidak dapat memberikan apapun untuk dirinya. Tolong rawat dirinya dengan sedikit uang ini. Uang ini adalah seluruh tabungan yang kami punya sebelum memasuki lingkungan buruk. Tolong katakan pada dirinya untuk melupakan dan membenci kami...dan tolong panggil dirinya, Giichi...'
Di hari ulang tahunku yang ke tujuh, Takahashi-san menceritakan rahasia kelahiranku ini. Aku mulai membenci, ingin bertemu dan membunuh mereka. Tetapi Takahashi-san mengatakan bahwa aku harus mencintai dan memaafkan mereka.
"Giichi, mereka tidak akan meninggalkanmu dipanti asuhan ini jika mereka tidak menyayangimu. Bahkan mereka meninggalkan sedikit uang didalam surat mereka...," Takahashi meletakan tangan kirinya pada pundak kecilku. "... bukan hal yang mudah untuk hidup didalam kerasnya dunia seperti dalam cerita-cerita yang sudah kamu baca. Kamu harus mengerti dan tidak jarang kamu harus meilih dengan merelakan dirimu jika pilihan tersebut adalah pilihan yang terbaik."
Seluruh kalimat dan penjelasan Takahashi-san terdengar membingungkan dengan pikiranku yang masih begitu dangkal. Tetapi Takahashi-san selalu mengingatkan diriku untuk tetap belajar dan mengerti dari pengalaman orang lain. Teman-temanku yang keadaannya sama dengan diriku, dengan kebaikan Takahashi-san, rasa benci perlahan menghilang seiring memulai kehidupan baru mereka.
Masa pengadopsian menjadi sebuah kesenangan yang bercampur dengan rasa takut. Kesenangan untuk mempunyai 'orang tua', namun menjadi sebuah rasa takut jika 'orangtua' tersebut tidak menyayangimu sepenuhnya. Tidak menutup kemungkinan 'orang tua' tersebut menunjukan rasa 'baiknya' di awal waktu namun akan membuangmu jika mereka sudah merasa bosan.
Aku mengatakan demikan atas pengalaman yang aku lihat maupun aku dengar secara langsung. Tidak jarang dari mereka yang sudah diadopsi, kembali ke panti asuhan tanpa memberitahu 'orang tua' asuhnya. Mereka lebih memilih untuk tinggal di panti asuhan dari pada tinggal di kehidupan barunya.
Di hari ulangtahunku yang ke sembilan, Takahashi-san mengundangku ke dalam ruangannya dan memperkenalkan diriku pada seorang anak baru. Takahashi-san 'menemukan' dirinya ketika dia berbelanja dengan beberapa pengurus lainnya. Dia terlihat lusuh ketika Takahashi-san bertemu dengan dirinya.
"Giichi, kamu mau jadi temannya Takumi, kan? Walaupun umurnya sama dengan dirimu, tolong perhatikan dan ajarkan dirinya sebagai yang lebih 'tua'."
Tinggi Takumi sama dengan diriku. Wajahnya terlihat manis dengan kedua mata besarnya yang berwarna hitam dan rambutnya yang berwarna coklkat. Ketika aku mencoba untuk bersalaman dengan dirinya, wajahnya terlihat bingung lalu menyembunyikan dirinya dibalik tubuh Takahashi-san. Senyuman terukir diwajah Takahashi-san seiring dirinya menjelaskan beberapa hal kepada Takumi. Merasa cukup aman, tangan kecil Takumi dapat kuraih dan membawa dirinya untuk bermain ditaman utama.
Pertemanan kami menjadi lebih dekat hanya dalam waktu singkat. Bagiku, Takumi terlihat seperti adik dari pada seorang teman. Kami selalu melakukan aktivitas bersama ketika waktu makan, bermain ataupun membantu pengasuh lainnya ketika mereka tidak dapat mengurus anak-anak lainnya. Melihat lebar senyumannya, membuatku berjanji pada diriku sendiri untuk melindungi senyumannya itu dan tidak akan membuatnya menangis seperti dulu.
Setelah dua tahun berlalu, aku mulai mengerti dengan perasaan 'melepaskan' sesuatu yang berharga tanpa dapat melakukan tindakan apapun. Sebuah pasangan baru datang ke panti asuhan dan memberikan sebuah surat pengadopsian. Mereka datang untuk mengadopsi Takumi sebagai anak mereka. Ketika Takahashi menginformasikan berita tersebut, beliau mengijinkan kami untuk kembali ke kamar kami dan perlahan kedua wajah kami mulai dipenuhi air mata seiring kami saling berpelukan.
"Gii...," Takumi menyandarkan kepalanya pada bahu kiriku. "Aku tidak mau diadopsi, Gii. Aku hanya ingin bersama dengan dirimu... Tolong, Gii... aku tidak mau..."
Keheningan diantara kami dan kupeluk erat dirinya sebagai ganti jawaban untuk dirinya. Aku ingin menyembunyikan dirinya sehingga tidak ada seorangpun yang dapat menyentuhnya. Tetapi, aku tidak dapat melakukannya. Aku tidak mempunyai kuasa dan wewenang untuk melakukan itu.
Kulepaskan pelukanku, menghapus airmatanya lalu menatap lurus kedua mata hitamnya. "Dengar, Takumi. Aku benar-benar minta maaf karena aku tidak dapat menolongmu...," perlahan kedua mataku terasa berat dan airmata mulai membasahi wajahku. "... tolong maafkan aku, Takumi.. Ah, kamu dapat membenciku bahkan melupakan diriku jika kamu mau.. Tetapi aku ingin kamu tahu, kalau aku sangat menyayangi dirimu. Aku ingin selalu bersama dengan dirimu, membantumu disetiap kamu membutuhkan bantuan, namun... aku tidak mempunyai kekuatan untuk masalah ini. Aku sungguh minta maaf, Takumi..."
Aku menundukkan tubuhku sedalam-dalamnya hingga Takumi tidak dapat menatap langsung wajahku.
"G-gii... tolong angkat wajahmu... Ma-maafkan aku, Gii... Kamu jangan menangis untukku... " Kedua tangan Takumi menyentuh wajahku, menghapus air mataku lalu kami kembali berpelukan dan menangis bersama. "Aku juga sayang dirimu, Giichi... Tidak mungkin aku membencimu... Tetapi, Gii, boleh aku meminta sesuatu kepadamu?"
Aku mengangguk seiring menghapus air mataku. "Apa itu, Takumi?"
Takumi meraih kedua tanganku lalu menggenggamnya dengan erat. "Gii, berjanjilah kalau kita akan bertemu kembali dan tinggal bersama seperti saat ini... Tidak perduli dengan bagaimaan keadaan kita dimasa depan, kita harus tetap bersama... Janji?"
Aku mengangguk sebagai jawaban lalu mengkaitkan jari kelingking tangan kananku dengan jari kelingkingnya. "Aku berjanji, Takumi..." Kami kembali berpelukan dan menangis bersama hingga lelah bersama... dan tidak lama kemudian orang tua baru Takumi datang untuk membawanya pergi.
-9 tahun kemudian- 20th
Siang ini aku sudah berjanji dengan ibuku untuk membelikan sebuah kue disebuah toko kesukaannya. Ketika supir sibuk memarkirkan mobil hitam ini, kusadari adanya seseorang yang berdiri didepan toko, kedua matanya tertuju pada setumpukan kue dihadapannya tanpa bergerak sedikitpun. Dari penampilannya, aku menduga bahwa dia mampu untuk membelinya walau hanya sepotong saja.
'Namun, mengapa dia tidak membelinya...?'
Kulangkahkan kakiku keluar dari mobil hitamku dengan sebuah dompet coklat ditanganku lalu berjalan perlahan menuju toko. Pandanganku masih tertuju pada anak tersebut walau diriku sudah berada didalam toko. Penasaran, kucoba mengikuti arah pandangannya lalu membeli 2 kue tambahan. Satu untuk dirinya dan satu untuk diriku.
Sejalannya waktu, kurasakan detak jantungku berdetak lebih cepat. Perasaan membiungungkan yang bercampur dengan rasa senang. Menunggu pelayan toko menyiapkan pesananku, pandanganku kembali tertuju pada anak tersebut.
Tubuhnya terlihat sangat kurus dengan kaus hitam dan celana jeansnya. Mata besar dan rambut hitam membuatnya terlihat seperti seorang anak remaja. "Mungkin dia lebih muda dariku... anak pelajar SMA?."
Pandanganku teralihkan ketika pelayan toko datang dengan sebuah kotak besar dan sebungkus plastik yang ukurannya lebih kecil. Setelah membayar, kulangkahkan kakiku menuju pintu keluar, berdiri disisinya sebelum kembali masuk kedalam mobilku.
"Bawa ini," kuberikan bungkusan plastik ditanganku ini namun dia menggeleng cepat dengan tubuhnya yang bergetar ketakutan. "Tenang saja. Aku tidak meletakan sesuatu ataupun racun pada kue ini... Kamu... mau kue coklat itu, bukan? Ambilah.."
Raut wajahnya terlihat ragu namun aku kembali lagi meyakinkan dirinya hingga akhirnya tangan kurusnya mulai meraih bungkusan putih ini dan bergumam...
"Gii..."
"Eh...?"
Belum sempat aku membalas dan mempertanyakan perkataannya, tiba-tiba saja seorang wanita datang, memanggil namanya dengan nada tinggi yang cukup membuat tubuhnya terhentak takut. Langsung saja dia mengembalikan kantung plastik yang baru kuberikan kepada dirinya, lalu membelakangi arah pandanganku kepadanya.
"...mi! Apa yang kamu lakukan!," wanita yang terlihat seperti ibunya, datang menghampirinya lalu meraih tangannya dengan rasa kesal. Tangan kirinya dia letakan diatas kepala anaknya, memaksanya untuk menundukkan tubuhnya sebagai rasa permintaan maaf. "Maaf untuk tindakan anakku ini. Dia terkena penyakit pada pola pikir dan sikapnya, sehingga dia tidak tahu apa yang sudah dilakukannya. Saya mohon maaf sebesar-besarnya..."
"Ti-tidak apa...," jawabku langsung. "Lagipula, ini kesalahanku yang sudah..."
Tanpa mendengarkan penjelasanku, ibu tersebut kembali lagi menundukan kepalanya sebelum menarik kasar tangan anak laki-lakinya menuju pemberhentian bus. Seluruh kejadian yang begitu cepat, membuatku terdiam dan kembali berfikir, "...mengapa anak tersebut terus menatapku.. dengan wajah sedih dan kecewa?"
Tidak ingin berfikir lebih jauh, kulangkahkan kakiku kembali menuju parkiran mobil. Namun langkahku kembali tertahan ketika kudengar teriakan ibu tersebut kepada anaknya, yang membuatku kembali terfokus kepada mereka berdua.
Aku semakin menyadari bahwa sudah seharusnya aku tetap fokus kepada mereka berdua... karena percakapan yang aku dengar...
"...kalau kamu melakukan itu lagi, aku akan mengusirmu dari rumah kami, Takumi! Apa kamu mengerti?!," seru ibu tersebut sebelum mereka masuk kedalam bus.
Jantungku berdetak sangat cepat seiring bus yang mereka gunakan berjalan menjauhi posisiku. Kejadian begitu cepat hanya membuat tubuhku terdiam membatu, namun arah pandanganku tetap tertuju pada anak laki-laki tersebut dan berkata...
"Ta-takumi... i-itukah kamu..."
-00TO BE CONTINUE00-
Review?
