*Athrun Zala POV*

"Entahlah" kataku mengakhiri renungan-renunganku
tentangmu.
Kembali aku mengerjakan makalah dan berjibaku
dengan leptop, buku dan tak lupa kopi.
Sudut kamar yang tak begitu luast tapi penuh barang-barang yang tertata rapi. Pojok kiri
berdiri kokoh lemari, di sampingnya berjejer rak buku. Tepat depan rak buku, ada sebuah kasur ukuran sedang warna hijau. Samping kanan kasur terdapat meja yang berukuran 2 meter. Di situ terdapat lampu belajar, leptop, dan tumpukan buku yang tertata epik.
Di atas meja menjuntai sebuah papan yang
berisi coretan-coretan warna warni.
"Finis" kataku tegas.
Aku bergegas membereskan buku-buku yang berserakan di meja, mematikan leptop, tak lupa membuang plastik snack dan bergegas mencuci 3 cangkir kotor sisa kopi. Tak terasa sudah jam 2 dini
hari.
Time to sleep, sebelum beranjak tidur aku menulis di
papan "Selamat malam cinta" sambil tersenyum sinis.
Kulanjutkan kalimat itu. "Kita apa Cagalli? Kita sepakat untuk memilih abu-abu"

Gerimis di kala senja, bagai kesejukan di sore ini. Sepertinya rona senja ikut merayakan kehadiranmu disini bidadariku. Hari ini adalah salah satu hari yang spesial bagiku. Di mana kita berdua bisa duduk berdampingan di ufuk barat taman kota. Kita hanya bisa senyum-senyum tanpa banyak kata. Diammu, senyummu dan sinar senja yang menyapamu. Betapa indah. Lebih dari itu, aku hari ini memintamu untuk menjadi kekasihku. Setelah setahun lebih aku menantimu hingga lulus SMA dan sekarang aku sudah di tahun akhir masa kuliah. Dan kamu mau dengan sabar menantiku dengan sabar sampai aku melupakan masa laluku.
Yah masa lalu. Masa lalu bersama Fllay Alster, tiga tahun menjalin hubungan tapi pada akhirnya aku dicampakan. Dia mencintai orang lain, teman baikku Kira Yamato. Tapi ya sudahlah biarkan masa lalu menjadi ingatan bukan karena kenangan tapi karena masa depan. Tanpa masa lalu tak akan ada masa depan. Kita yang sekarang adalah imbas dari masa lalu. No matter, aku sekarang menjadi pribadi yang tegar, tidak lagi emosian dan selalu berusaha berbuat lebih baik lagi. Begitu adalah pemikiran sahabat baikku. Si abu-abuku. Cagalliku. Terima kasih ya teman, sudah mau menjadi sampah di setiap sisi gelapku dan sisi terangku. Semoga kau di sana baik-baik saja.
Dan inilah masa sekarang. Di sini Lacus Clyne duduk disampingku menghabiskan senja bersama. Ku genggam erat tangannya. Ku dengar lirih suaranya, "terima kasih Cinta". Deg, tiba-tiba pikiranku melayang ketika mendengar kata "cinta" pada sosok yang samar si abu-abuku.