NarutoFanfiction!

Belongs MasashiKishimoto

Rate : M for save

InoYamanakaxShikamaruNara

XiánrúDafrilioun25

.

.

Standard warning applied.

Don't Like Don't Read.

.

Chapter 1

Suara rantai bergoyang bergema bersama debum samsak yang dipukul. Sesekali westafel yang longgar menitikkan air dari kran. Diseling suara napas dan suhu tubuh yang panas, gadis itu mengabaikan keringat yang sudah membanjiri tubuh dan wajahnya. Fokusnya masih tertuju pada gundukan pasir yang menggantung.

Beat!

Bugh. Bugh. Bugh. Bugh.

Semuanya dilakukan dengan dengan cepat. Perban yang dipakainya untuk membelit tangannya kini tidak lagi berwarna putih. Setelah menghabiskan waktu 3 jam melatih pukulannya, gadis dengan rambut ponytail itu menghentikan kegiatannya. Kaki jenjangnya yang hanya mengenakan boxer menuntunya kemeja makan, mengambil sebotol isotonik dan meminumnya rakus hingga butirannya meluber menuruni lehernya yang kini berkilau karena keringat.

Tiba-tiba sebuah layar transparan selebar LCD muncul diatas meja makannya. Gadis itu masih melakukan kegiatannya; menggigiti wortel mentah, tak mempedulikan laki-laki yang ada di layar—mengabaikan pakaiannya yang kini hanya mengenakan tank top hitam lekat dan tidak peduli meski dilihat.

"Hei kau dengar, tidak?" Panggil laki-laki dengan tato segitiga terbalik di pipinya. Rupanya video call hologram.

"Iya, Kiba. Aku dengar. Langsung saja. Kali ini apa?" Gadis bermarga Yamanaka itu menatap layar dengan mata sewarna lautnya.

"Ah.. Uh...," terpesona sejenak, orang di layar itu—Kiba, buru-buru mengecek file di komputernya.

"Apa kau sudah lihat keributan kemarin di Tokyo?" tanyanya sementara tangannya menari lincah diatas keyboard.

"Keributan?" gadis itu menatap permukaan lantai, mengingat-ingat. "Yang tembakan konyol itu?" gumamnya asal.

"Iya yang itu. Dan Ino, ini bukan tembakan konyol, kau tahu,"

"Konyol, lah. Harusnya peluru itu berhasil bersarang diotak si brengsek itu!" Ino menunjuk kepalanya dengan isyarat tangan telunjuk dan ibu jari. "Aku bertanya-tanya siapa yang menembaknya. Jelek sekali bakatnya. Kalau bisa, akan kuajari ia biar nanti tidak meleset lagi," omelnya. "Dasar penjahat teri," decihnya sambil menghempaskan diri di kursi.

Kiba yang sudah terbiasa, hanya menghela napas. "Mereka bukan penjahat kelas teri, sayang. Ini SC-out. Kau tahu? Agen kita ada disana, makannya berhasil digagalkan,"

"Iya, iya. Kau berisik deh. Cepat bilang ada apa," Ino memutar bola matanya malas.

"Tugas barumu sekarang adalah mengawal mahkluk brengsek yang ingin kau habisi otaknya," Kiba berkata dengan nada yang dimain-mainkan.

"Apa?" Ino memicingkan mata. "Lagi?" serunya.

"Apa maksudmu?" Tanya Kiba bingung.

"Kenapa aku harus selalu mengawal para bajingan?!" Meja digebrak kesal.

"Astaga, Ino. Tenang-tenang,"

"Kau juga! Kenapa setiap muncul selalu memberiku kabar buruk, sih?!"

"Aku hanya melakukan pekerjaanku," Kiba memelas. Lagi. Ini sudah sering terjadi. Ino yang marah-marah padanya. Dari sekian banyak operator, hanya Kiba yang tahan dengan sikap garang Ino.

"Tolak, kek. Kan bisa!" Ino melempar botol kosong itu kearah Kiba yang hanya menampar udara kosong.

Nah, itu dia yang sangarnya.

Ino mendengus kesal lantas kembali duduk.

"Lanjutkan," Ekspresinya berubah dalam sekejap. Kalau Ino sudah memasang mode 'work' begitu, artinya ini baginya untuk mulai deskripsi.

"Senjata yang digunakan merupakan AK-47, lebih tepatnya AKM dengan kaliber 7.62x39 mili meter dengan tipe semi automatic assault rifle," Sebuah gambar senjata rakitan ditampilkan. Memperlihatkan senjata laras panjang warna klasik. Cokelat kayu dan silver logam dengan piston gas yang lebar.

"Masa SC-out pakai AKM di penyerangan payah kemarin? Mereka bercanda, ya?" Mereka gila. Sepertinya mereka mau perang. Dan lagi, harusnya mereka lebih baik dari itu. "Keisengan mereka sangat keterlaluan," Tambah Ino.

"Keisengan, ya. Hahaha," Kiba tertawa hambar. "Sudah kubilang itu bukan tembakan konyol. Memang benar korban aslinya tidak kena. Itu karena agen kita ada disana. Lain ceritanya kalau polisi sipil yang berjaga. Mereka berhasil melumpuhkan 5 boduguard dengan perpindahan kurang dari 1 detik. Dan asal kau tahu, mereka menyerang dari jarak 400 meter," lanjut Kiba.

Ino bersiul. Jarak efektif AKM adalah 300 meter. SC-out menembak dari jarak 400 meter dengan tepat sasaran. Memang sih daya serangnya bagus, tapi senapan ini punya akurasi yang tidak terlalu bisa diandalkan. SC-out jelas para penembak handal.

"Orang itu pintar sekali menyewa orang dari agen kita," decih Ino yang dibalas kekehan dari Kiba. 'Itu' yang dimaksud adalah orang yang Ino bilang 'brengsek' itu.

"Kita 'kan bekerja dibalik pemerintah. Tidak bisa menolak kalau kepala negara sudah memerintah. Kecuali kau. Tentunya kau spesial," Kata Kiba dengan nada bercanda.

"Nah," Gambar diganti seorang laki-laki berusia sekitar 20 tahun dengan rambut hitam melawan grafitasi.

"This is... another—,"

"Jerk man who i have to cover," Ino melanjutkan sambil tersenyum malas sementara Kiba mengangguk memasang senyum simpulnya.

"Namanya Sasuke Uchiha. Bungsu dari dua bersaudara keluarga Uchiha. Keluarganya bergerak diperusahaan bidang perminyakan yang menjalin kerjasama dengan kerajaan Saudi Arabia. Terhitung ini penyerangan ketiga sampai ia meminta untuk dikawal secara pribadi oleh agen kita. Kakaknya—Itachi tidak diketahui keberadaannya setelah penyerangan di Tokyo Ring Bell sebulan lalu," Kiba menyebutkan salah satu menara tertinggi di Tokyo. "Itu penyerangan pertama. Kau tahu, jarak waktunya penyerangannya cukup jauh. Sepertinya mereka sedang mengulur waktu entah untuk apa,"

Kiba melanjutkan,

"Jadi sementara ini kendali perusahaan mereka dipegang Sasuke. Motif SC-out terkait penyerangan mereka kemungkinan karena pers sebulan lalu yang mengatakan Uchiha Corp akan meguasai perminyakan dunia bersama Saudi Arabia. Etto.. dan klien SC-out kali ini tidak jauh-jauh dari para pesaing Uchiha corp,"

"Biar aku yang menghabisinya," Mata Ino berbinar semangat.

"Kau tahu apa tugasmu, nona manis. Kau. Mengawal. Tuan muda. Biarkan tim lain yang bergerak mengurus sisanya,"

"Aku 'kan belum bilang mau menerimanya,"

"Ohh ayolah Ino~" Kiba memutar matanya bosan.

"Mereka harus tahu peraturanku," Gumam Ino. Kalau mereka mau menyewa jasanya, maka mereka harus ikut aturan Ino.

"Aku tahu. Anak itu sudah setuju untuk bertemu besok. Aku sudah memintanya. Bagaimana menurutmu?"

"Oke," Ino mengendikkan bahunya asal.

Yang penting privasinya dihargai dan itu sudah cukup.

"Mansion Uchiha jam 8 pagi," Dengan itu Kiba memutus sambungan.

Xox

Ino melangkah masuk begitu saja, mengabaikan pelayan yang menyambutnya dipintu depan. Lagaknya sudah seperti yang punya rumah. Lurus langsung ketempat tujuan, tanpa perlu repot bertanya atau lirik sana-sini. Ino sudah sering memasuki mansion dan rumah sebesar istana. Sudah bosan dirinya melihat kemegahan duniawi. Sekali-sekali, ia ingin disewa oleh seorang yang tinggal ditempat kumuh. Tapi masa ya.

Ino menatap jengah kearah pelayan yang sedari tadi mengikutinya dengan tampang gugup. Menahan-nahan Ino karena amanat tuan rumah, sekaligus takut karena Ino terlihat menyeramkan dengan hoodie hitam dan celana tentara. Ditambah dengan sepatu boot kulit yang kerahnya mencapai setengah betis Ino. Kaos yang dikenakannya tersingkap memperlihatkan tulisan dengan grafiti gothic bertuliskan 'I Love You'.

Ini sangat menyeramkan bagi si pelayan.

"Aku ada janji sama Uchiha," Ino mengucapkan kalimat dengan lugas.

"O-oh," Sepertinya sang pelayan sudah diberi tahu sebelumnya. "Silahkan kesebelah sini," Dengan canggung pelayan itu menuntun Ino kesebuah ruangan dua pintu dilantai dua. Koridornya dilapisi karpet merah dengan lilin yang menggantung disisi tembok setiap beberapa meter, dan juga lukisan klasik dengan Venus yang tengah berpose. Daripada indah, Ino lebih setuju menyebutnya 'suram'.

Untungnya, pintu besar itu tidak berderit saat dibuka. Malu, dong. Orang kaya pintunya bunyi.

"Ahh, pasti kau agen itu," suara laki-laki yang bisa Ino asumsikan sebagai penyewanya menyambut Ino saat ia pertama kali melangkah kedalam ruangan itu.

Ino berdiri tegap; dua meter didepan meja lelaki dengan rambut yang tampak kelebihan gel. Rambutnya mencuat keatas membuat Ino sedikit terbayang kepala itu berubah jadi ayam.

Matanya menelusur sekeliling ruangan dengan cepat. Bukan kepo, hanya saja, ia harus memeriksa setiap tempat yang ia diami. Lemari buku besar, gitar listrik, sound system disudut ruangan, lalu sofa panjang dan sebuah meja kaca lebar yang disimpan diatasnya berbagai macam snack dan minuman kaleng. Sekarang Ino tahu kenapa ia merasa ditatap berpasang-pasang mata sejak ia masuk tadi. Rupanya teman kliennya ikut-ikutan juga. Duduk santai dengan gaya pongah. Yang satu bersurai spike dengan warna rambut serupa miliknya—duduk dilengan sofa menghadap jendela, asik memainkan PSP, yang satu lagi tengah berbaring dengan sebelah kaki naik kesandaran sofa. Rambutnya hitam dikucir seperti nanas dengan sebagian wajahnya yang tertutup jaket.

Ino masih mengabaikan orang didepannya. Matanya menatap satu demi satu barang yang ada disana. Ruangan itu cukup besar. Tapi terbilang kecil kalau membandingkan pemiliknya adalah seorang milyuner. Barang-barang disana hanya barang seperti kamar pada umumnya.

Ino mengalihkan atensinya kedepan laki-laki yang tengah duduk dengan tangan terpaut didepan dagu.

"Kau pasti Sasuke Uchiha," Tidak perlu bersikap formal karena itu sungguh bukan gaya Ino.

"Yah, kau benar. Aku minta agen dengan kemampuan paling hebat. Tak kusangka perempuan yang mereka kirim. Kemana laki-laki lainnya?"

"Tidak usah berlembek-lembek. Aku sudah cukup. Agen yang lain tidak akan mau mengatasi misi kecil seperti ini," Agaknya tidak perlu memperkenalkan diri karena Sasuke sendiri sepertinya sudah mengecek data diri tentangnya.

"Misi kecil?" Alis Sasuke berkedut tidak suka sementara Ino membalas dengan menaikkan kedua alisnya. Gayanya percis bocah tengil yang ngeyel pada gurunya.

Bohong deng. Kalau bersangkutan nyawa, misi ini bisa masuk ke tingkat expert; kalau di game.

"Baiklah terserah. Bisa bilang peraturanmu? Katanya kau agen yang punya syarat." Lelaki itu tidak lepas menatap Ino dari atas kebawah, lalu duduk menghepaskan punggungnya. Mata hitamnya menatap langsung kemata Ino—mengintimindasi—yang sayangnya tidak berefek sama sekali. "Padahal 'kan aku sudah bayar mahal. Kenapa ada syarat juga? Payah,"

Ino mengabaikan gumaman banci Sasuke dan berdehem.

"Baiklah, langsung saja. Aku hanya punya satu syarat dan kau cukup mematuhinya,"

"Kau tidak bisa memerintahku. Aku menyewamu. Aku tuanmu untuk sementara waktu," Sasuke mendesis kesal.

"Aku melindungimu, bukan melayanimu. Harap kau tahu. Dan perlindunganku tidak seperti yang lain. Jadi maaf kalau kau mungkin akan 'sedikit' menderita didalamnya," Balas Ino sama-sama kesal. "Kecuali kau mau membatalkannya. Masih belum terlambat, kok," Tambah Ino. Matanya melirik sepintas kearah sofa saat orang yang tengah tidur itu bergerak bangun.

"Jadi apa syaratnya?" entah kenapa lelaki didepannya seperti bersikeras ingin Ino yang mengawalnya.

"Aku meminta kerjasamamu untuk kedepannya. Segala macam hal yang merupakan privasimu, akan jadi urusanku. Tolong dengarkan dulu," Ino menangkat tangannya saat Sasuke hendak menyela. "Privasiku hanya mencakup relasi; dan dengan siapa kau berhubungan,"

"Kupikir itu peraturan umum, kan, Sasuke?" Tahu-tahu laki-laki yang main PSP tadi sudah berdiri disisi Sasuke. Tangannya bertumpu pada sandaran kursi. Laki-laki dengan tiga garisi panjang dikedua pipinya itu bersiul menatap Ino.

"Aku Uzumaki Naruto. Kau boleh panggil aku kapanpun," Lalu berkedip menjijikkan. Mirip om-om culas menurut Ino.

"Aku Ino," Dalam hati ia prihatin menatap kedua laki-laki didepannya. "Daan.. peraturan itu tidak umum, Uzumaki-san," ucap Ino. "Kalau kau berhubungan dengan Uchiha-san, maka kau..," Ino menunjuk dengan telunjuknya, "Menjadi urusanku. Gerak-gerikmu, ucapanmu, kegiatanmu, semua ada dalam pengawasanku,"

"Aku tidak keberatan," Naruto mengangkat bahunya sambil terus tersenyum sementara Ino tersenyum simpul—Ia pasti akan menyesal.

"Baiklah. Itu peraturan biasa. Aku bisa menerimanya," Sasuke berbicara setelah agak lama berpikir.

Ketiganya masih diam sampai Naruto membuka percakapan yang kelewat kurang ajar. "Kira-kira apa yang ada dibalik kausmu, nona? Keberatan aku melihatnya?" Matanya terus-terusan terpaku pada dada Ino. Untungnya Ino sudah terbiasa mengatasi laki-laki sejenis ini.

"Senjata," Ino tersenyum manis sambil membuka hoodienya. Naruto bersiul lagi lalu tersenyum miring. 'Senjata' yang dipikir dua laki-laki itu tentu saja bongkahan daging.

Disisinya Sasuke duduk menarik sedikit bibirnya keatas—meremehkan. Agaknya, hal ini sudah biasa melihat para perempuan yang mudah terbujuk rayuan Naruto.

"Kau tampaknya sudah terbiasa," Ujar Sasuke sambil menikmati gerak-gerik Ino.

"Tentu saja. Aku sudah sering melakukan ini," Lalu gadis itu menarik keatas kaus hitamnya, membuat Naruto dan Sasuke menahan napas sejenak.

Kaus dilempar asal. Menampilkan Ino yang mengenakan rompi kecil dengan banyak pisau lipat disakunya.

Dipinggangnya melilit rantai dan borgol. Naruto bisa melihat pistol yang terselip manis dibelakang pinggang Ino.

"Kau mau pilih yang mana U-zu-ma-ki-san?" Sensual tapi sedikit horror.

"Ku... rasa aku mau minum saja," gumamnya asal.

"Bagus. Sebaiknya kalian berdua menjaga mulut kotor kalian. Aku paling sensitif sama laki-laki yang busuk otaknya," Kali ini Ino berbicara lebih santai. Dipakainya kembali kaus tadi dan hoodienya.

Naruto memilih menuruti kalimat Ino sementara Sasuke berdecih. Dia memang suka dengan perempuan jutek yang sulit dijangkau. Menantang baginya. Tapi kalau semacam Ino, Sasuke menolak. Dari hawanya saja sudah berbeda. Barangkali didepannya ini bukan perempuan.

"Nah, karena aku sudah disini, tidak mungkin aku kembali lagi," Ino mengikis jarak sampai tepat didepan meja Sasuke. "Aku akan bekerja. Mari mulai dengan memeriksa ponsel kalian," Ino membuka kedua telapak tangannya.

"'Kalian'?" Naruto menunjuk dirinya sendiri.

"Tentu saja. Kan aku sudah bilang soal privasi. Lupa?" Ino menggerakkan tangannya—lantas menerima dua buah ponsel yang diberikan para pemiliknya dengan berat hati.

"Kalau tidak mau, kau bisa berhenti menemui Sasuke sampai penjahat brengsek itu tertangkap," Gumam Ino ditujukan pada Naruto sambil mengecek satu-satu aplikasi ponsel Sasuke—yang sudah dibuka kunci passwordnya.

"Penjahat brengsek? Maksudmu yang menembak waktu itu?"

"Iyalah. Memang ada yang lain?" Ino menatap sekilas dan mendapat tatapan Naruto yang seolah mengiyakan pertanyaannya. "Siapa?" Tanya Ino dengan nada menuntut.

"Tidak ada," Kali ini Sasuke yang membalas. Ino bersitatap dengan pemuda bersurai dark-blue itu beberapa detik. Meneliti isi hati sebenarnya dari mata. Jelas sekali kalau kliennya hanya menutupi itu.

"Oke," Ino bisa tanya lain kali. "Pokoknya, mulai sekarang kalian akan melihatku selama 24 jam." Ino selesai dengan kedua ponsel lalu memberikannya pada pemiliknya masing-masing.

"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" Tanya Sasuke. Mata tajamnya mengawasi arah pandangan Ino. Sebenarnya ia tidak mau bekerjasama dengan agen semacam Ino. Apalagi campur tangan soal privasi sedalam ini—ia kira hanya sebatas hubungan biasa. Tapi ia sudah terlanjur setuju.

"Kau serius ingin tahu?" Ino menaikan alisnya sambil menatap Sasuke Yang ditatap hanya mengatupkan mulutnya, malas merespon.

"Aku akan memasang kamera dirumahmu, diruanganmu. Lalu, aku akan memeriksa setiap inci barang ditempat ini," Ino mulai berjalan berkeliling ruangan. "Terus aku juga akan memeriksa isi rumahmu. Lebih dalam lagi, laptopmu, jejaring sosialmu, handphonemu, smsmu, orang-orangmu, temanmu, sahabat, keluarga, lalu... lemarimu, pakaianmu, badanmu, pokoknya semuanya. Dan barangkali wanitamu kalau kau punya,"

"Itu melanggar attitude, nona," Naruto menggeram kecil, Ino hanya memutar bola mata.

"Yang benar saja kalian ini. Kalau begitu buat apa capek-capek menyewaku, hah? Kalau ingin privasi kalian aman sewa saja bodyguard payah yang kemarin mati itu!" Balas Ino sebal. Ia paling malas kalau harus berlemah lembut memberikan penjelasan. Tidak bisakah orang menurutinya saja sementara ia bekerja?!

"Asal kau tahu saja. Yang menyerangmu kemarin-kemarin itu bukan mantan tentara, bekas polisi, atau teroris," Ino menajamkan pandangannya menatap lemari buku. "Mereka itu orang gila. Tidak ada rumah sakit jiwa atau penjara yang pantas untuk mereka tinggali," Kakinya melangkah maju, mendekati jajaran buku tebal yang tersusun rapi. "Satu-satunya tempat bila kau ingin aman dari mereka adalah, mengirim mereka ke neraka,"

Artinya, mati di tempat.

"Sudah jelas, 'kan bagaimana keadaannya? Kuharap kalian—dan temanmu yang belum bangun ini tidak bertanya lagi. Aku akan keluar sekarang dan kembali lagi nanti malam. Mulai sekarang aku tinggal disini," Atas permintaan kliennya—Ino tidak meminta untuk pindah tempat ke yang lebih tersembunyi. Jadilah ia yang pindah sementara.

"Kalian akan sangat kesal padaku kedepannya. Jadi sabar saja, ya," Ino melangkahkan kakinya keluar ruangan.

Sepeninggalnya dari ruangan itu, mata Ino jadi lebih awas menatap sekitar. Tangannya menggenggam erat sebuah myc kecil yang saking eratnya sampai benda itu remuk ditangannya.

Baru hari pertama, dan ia sudah mendapati kliennya disadap. Berani benar mereka.

Ini bukan lagi rahasia-rahasiaan. Mereka mengajak perang!

"Awas saja SC-out. Akan kuenyahkan kalian sampai keakar," Geramnya.

.

.

Tbc

Eaaahhh. Lagi pengen nulis ff yang action gt :3

Haha. Watashi mah gini, suka pingin cepet-cepet kalo ada ide baru diotak. Moga readers maklumin saya. Hahha.

Padahal cerita lain pada belum beres.

Btw, watashi ngga gt pinter soal senjata blablabla. Jadi kalo readers ada yang tahu, maaf kalo watashi agak salah-salah gitu.

Akhir kata, terimakasih sudah baca. Rnr boleh kok. Boleh banget/ngarep. Krisarnya juga.

Regrats,

Dafrilioun.