Holla semua...!

Yei, akhirnya Frau buat juga fict yang lebih ringan dari BloodyHolic. Walau vampfit yang satu itu belum selesai, Frau pengen ganti suasana dengan membuat fict yang lebih ringan, penuh dengan comedy romance (Frau harap sih...) yang selama ini Frau impikan...

Tapi Frau masih bingung dengan rating-nya, apa para Readers mau memberi saran untuk rating kedepannya. Apa setuju kalau Frau tetap buat jadi rating M?

Fict ini sangat jauh berbeda dengan vampfict yang Frau buat, tidak akan ada pertumpahan darah maupun Dark Naru, semoga para Readers suka, sesekali buat fict manis seperti ini menyenangkan...

Fict ini Frau persembahkan untuk My Beloved Friends, Shita Kuran. Yang baru-baru ini mengalami kecelakaan dan mendapat beberapa jahitan. Semoga cepat sembuh...

Pokoknya selamat membaca dan semoga terhibur, Readers...

.

.

.

My Beloved Boy

Author : Frau – chan si pecinta kucing

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Rating : M

Pairing : SasuNaru

Warning : Shonen Ai, Yaoi, Abal, AU, OOC, Typo, dll

.

.

.

Love 1 : Velvet Road.

Tokyo terkenal dengan kota industr dan hiburang besar, di sana berdiri sebuah agensi model nomor satu yang sangat di inginkan hampir seratus persen remaja Jepang, Akatsuki. Siapa yang tak mengenal agensi besar itu, banyak model yang menjadi bintang film terkenal lulusan dari agensi itu, pendirinya adalah raja hiburan Jepang, Uzumaki Mito. Kursi Direktur sendiri langsung ditangani oleh Uzumaki Kyuubi, cucu pertama Mito, pemuda berumur dua puluh tiga tahun itu menangani agensi langsung. Sang adik yang tidak terlalu handal, menduduki kursi wakil Direktur.

Hari ini sang adik, Uzumaki Naruto yang tahun ini genap berusia 20 tahun, berdiri menghadap sang kakak, membicarakan hal yang akan merubah hidupnya selamanya.

"Kyuu, ada apa memanggilku? Aku sibuk, banyak formulir pendaftaran yang harusku baca," ucap si bungsu.

Kyuubi mendengus, "Apanya yang sibuk, pekerjaanmu tidak ada apa-apanya dibandingkan aku! Kau tahu, Kakashi?" tanyanya.

"Hu-um, suami paman Iruka, kenapa?"

"Saat ini, dia dan Iruka-san sedang cuti untuk mengadakan perayaan ulang tahun pernikahan mereka, ke Okinawa kurasa atau ke Australia," Naruto memandang kakaknya dengan tatapan aneh.

"Kyuu, tumben sekali kau peduli dengan kehidupan orang lain, tapi kau jadi seperti ibu-ibu yang bergos—" ucapan Naruto terhenti setelah menghindari sebuah asbak rokok yang melayang dari kursi Direktur. "WTH! Apa kau mencoba membunuh adikmu!"

"Cerewet, dasar Onnaotoko!" ucap si rambut orange.

Mereka saling bertatapan sengit, kakak-adik yang memiliki wajah sama, seperti pinang dibelah dua, hanya warna rambut dan kulit mereka yang berbeda, dan tentu saja kepribadian mereka juga berbeda.

"Kau memanggilku ke sini bukan untuk bertengkarkan, Di-rek-tur," ucapan terakhir Naruto membuat Kyuubi sedikit kesal dan ingin menjitak adiknya itu.

"Kakashi sedang cuti, aku tidak bisa mendapatkan manager pengganti, mulai besok kau akan menjadi manajer sementara, untuk Sasuke."

"Apa?"

"Menjadi manajer pengganti untuk Sasuke, Uchiha Sasuke. Apa kau tidak tahu, dia top model nomor satu, setelah Itachi baka, ehm! Maksudku Uchiha Itachi, kau tahu kan?"

"Apa kau gila? Aku menjadi manajernya, hell no!"

"Nenek sudah setuju, mulai besok kau jadi manajernya, ini agendamu, datanglah besok pagi ke apartemennya, di dalam agenda ada alamat rumah dan nomor teleponnya," ucap Kyuubi sambil menyerahkan sebuah agenda bersampul hitam pada sang adik.

"Sasuke itu egois dan sombong, aku tak mau jadi manajernya, ayolah Kyuu... Berikan aku tugas yang lain saja, lebih baik aku berenang bersama kumpulan ikan piranha!" jerit Naruto frustasi.

"Berisik! Jangan mengeluh, kalau kau tak mau, aku tidak akan menggajimu. Kartu kredit, apartemen dan mobil, akan kubekukan semuanya!" ancam Kyuubi, membuat tubuh Naruto merinding.

.

.

.

Dan disinilah Naruto keesokan paginya, didepan pintu apartemen Uchiha Sasuke. Menunggu dengan sabar, sudah setengah jam yang lalu dia memencet bel dan tidak ada tanggapan, ingin sekali dia menggedor atau mendobrak pintunya, tapi dia lebih tidak mau membuat masalah dengan petugas keamanan. Jadi, sekarang yang dia lakukan menunggu, seperti Hachiko?

Tak lama pintu terbuka, menampilkan sesosok selebritis berkharisma, Uchiha Sasuke. Walau terlihat baru bangun tidur, pancaran seorang idola tak lepas darinya. Lelaki berambut raven itu sedikit bingung, saat ingin mengambil koran pagi di depan pintu apartemennya berdiri sesosok lelaki atau wanita, yang memakai stelan rapi dengan pandangan kosong.

"Um, nona sedang apa didepan pintuku?" tanyanya tak berdosa.

"Enak saja, nona? Aku ini lelaki tulen, Teme!" ledak Naruto.

"Berisik, Dobe," Sasuke berlalu dan ingin menutup pintu, tapi ada sebelah kaki yang menghalangi pintu tertutup, "apa-apaan ini!" ucap Sasuke kesal.

"Mulai hari ini, aku Uzumaki Naruto akan menjadi manajer sementara sampai Hatake Kakashi selesai berlibur, Sasuke."

"Apa? Kau adik si siluman rubah itu? Menjadi manajerku?" Sasuke tak yakin sama sekali dengan Naruto, penampilan Naruto seperti manajer umumnya, stelan rapi, memakai jas dan dasi lalu tak lupa membawa buku agenda. Tapi, sepertinya dia bodoh begitulah pikir Sasuke.

"Salam kenal dan mohon kerjasamanya, Uchiha Sasuke."

"Hn."

Pertemuan pertama yang tak disangka, perjalanan panjang mencari kebahagian baru saja dimulai dua anak manusia.

.

.

.

"Pukul 10.00 ada pemotretan dengan majalah Top Men."

"..."

"Pukul 12.00 ada janji makan siang dengan produser iklan minuman di hotel Teito."

"Hn."

"Pukul 19.00 ada undangan mkan malan dengan fotografer Tn. Y."

"..."

Baru seminggu menjadi manajernya, rasanya Naruto sudah ingin menyerah saja. Sasuke benar-benar terkenal, jadwal pemotretan dimana-mana, menjadi bintang tamu, belum lagi wawancara, semua itu juga melibatkan Naruto sebagai manajernya yang 'mengatur' segalanya agar berjalan lancar.

"Huweee... Kyuu... Aku meneyerah saja, aku capek jadi manajer..." curhat Naruto pada sang kakak sambil berurai air mata, di sebuah siang. Si blonde melarikan diri dari Sasuke.

"Itulah artinya sebuah pekerjaan, jangan manja. Kembalilah, Sasuke pasti menunggumu, setelah ini dia ada pemotretan di Shibuya, kau harus bersamanya," Kyuubi menanggapi sang adik dengan acuh-tak acuh, pekerjaannya menumpuk, untuk apa dia menanggapi curhatan manja sang adik.

"Huh, dia tak peduli padaku."

Jawaban yang meluncur dari sang adik membuat Kyuubi menghentikan pekerjaannya dan melihat si adik menggembungkan kedua pipinya, tanda sebal. "Maksudnya?"

"Dia tak peduli, ada manajer atau tidak, kehadiranku tak dihiraukan olehnya. Setiap kali aku bertanya padanya, dia diam atau memakai dua kata 'Hn' yang tidak kumengerti artinya, dan berlalu pergi begitu saja, dia tak perlu manajer!"

"Hhh...Naru, sebagai manajer kaulah yang harusnya peduli padanya, jangan berharap dia akan mempedulikanmu. Profesional, kau yang harusnya perhatian padanya, itulah tugas seorang manajer yang sebenarnya, mungkin hanya sebuah kata 'Apa kau baik-baik saja' tapi itu akan sangat berarti, kau mengerti?"

"...Kurasa dia akan tetap tak menghiraukan ku."

"Pergi sekarang juga, ke Shibuya! Atau kau tak ku gaji!" ancam Kyuubi, wajah Naruto memucat dan pergi secepatnya, tentu saja ke Shibuya.

.

.

.

Pemotretan kali ini sore, jalanan macet dimana-mana, taxi yang dinaiki Naruto sama sekali tak bergerak seinci pun, Naruto memutuskan untuk keluar dan memilih berlari ketempat tujuannya di depan stasiun Shibuya. Sesampainya di sana pemotretan sudah selesai, Naruto rasa, karena hanya tinggal Sasuke disana duduk di samping patung Hachiko dan di kerumuni beberapa gadis SMU yang penasaran padanya, walau tak ditanggapi oleh si raven, gadis-gadis itu tak begitu saja bubar, malahan betah mengelilingi Sasuke.

"Hah...hah...hah... Ma...maaf...Sasuke, aku..." Naruto tak bisa berkata-kata, dia sudah lama tak berlari dan sepertinya hal itu sudah menghabiskan tenaganya.

Sasuke menyeruak dari kerumunan para gadis dan memberikan Naruto sebuah saputangan dari kantung celananya, "Pakailah," ucapnya singkat saat Naruto memandanginya bingung, "kau berkeringat banyak, apa yang terjadi?" tanyanya.

Naruto terkesiap, barukali ini Sasuke bicara padanya selain diam dan dua kata 'Hn' andalan si raven. "A...aku berlari dari tiga stasiun pertama, taxi yang kunaiki tak bergerak seincipun, jadi aku putuskan berlari kesini, jalanan macet sekali," jelas Naruto.

Sasuke menatapny tajam dan menghela napas, "Dobe, untuk apa pakai taxi segala, pemotretan kali ini di depan stasiun Shibuya, kenapa kau tidak memakai kereta saja sih."

Naruto terdiam memikirkan perkataan Sasuke yang ada benarnya, bukan tapi memang benar. "Ah, benar juga."

"Dobe."

"Kau sendiri Teme! Bagaimana pemotretannya? Apa berjalan lancar?" tanya Naruto penasaran, ketidak hadirannya dalam pemotretan Sasuke kali ini sedikit membuatnya bersalah pada si raven.

"Hn, pemotretannya di batalkan, karena 'manajerku' datang terlambat, mereka tak mau bekerja sebelum ada kesepakatan dari 'manajer'," ucapnya tanpa beban.

Naruto terdiam, dia memegang T-shirt Sasuke dari belakang, "Maaf ini salahku..."

"Hn, jangan terlalu dipikirkan. Sesekali aku ingin libur, kau sudah makan? Mau makan denganku?"

"Huweee...maafkan aku Sasuke..." tangis Naruto berurai airmata di tengah kota Shibuya, mau-tak mau mereka berdua menjadi pusat perhatian, Sasuke panik sekali.

Sasuke segera menghampiri lelaki blonde berpenampilan kacau itu, bagaimana tidak. Jasnya sudah kusut dasinya dialonggarkan, rambutnya acak-acakan, belum lagi airmata deras berurai dari matanya, tapi melihatnya menangis membuat dada Sasuke berdetak kencang.

Sasuke menghapus airmata Naruto dengan lengan T-shirt yang dipakainya dan memeperbaiki penampilan si blonde, merapikan rambutnya sedikit. "Sudah dong, apa kau tidak malu di perhatikan banyak orang? Umurmu berapa sih? Masa manajer cengeng seperti ini."

Sasuke tak marah padanya, lelaki itu malah mengkhawatirkan Naruto, membuat si blonde tersipu, "Maaf, aku tidak akan bertindak egois lagi, aku janji."

"Hn." Sasuke menarik tangan Naruto keluar dari kerumunan orang-orang yang tertarik melihat mereka berdua, berjalan bergandengan tangan menyusuri pertokoan.

"Kita mau kemana? Besok jadwalmu penuh, sebaiknya kita pulang cepat."

"Hn, aku lapar. Kita makan dulu, kau mau makan apa? Aku akan taraktir, tapi berjanjilah tidak akan menangis seperti ini lagi."

Wajah Naruto memerah mendengar ucapan Sasuke, kata-katanya terdengar lembut ditelinga Naruto, mungkin gosip miring tentang Sasuke salah. Gosip yang selama ini di dengar oleh Naruto.

"Aku mau Ramen!" ucap si blonde riang.

.

.

.

Pemotretan yang batal kemarin akhirnya di laksanakan hari ini, Naruto berkali-kali menundukan tubuh meminta maaf pada sang fotografer. Pekerjaan hari ini berjalan lancar, kecuali para pengunjung Shibuya berdesakan dan sangat tertarik dengan pemotretan beberapa model di depan stasiun ini. Naruto duduk di dekat peralatan fotografi, menunggu Sasuke selesai bekerja.

Sasuke benar-benar cocok menjadi model, walau pemotretan kali ini hanya memakai T-shirt lengan pendek tanpa motif dan berwarna biru tua dengan jins juga sepatu boots sebagai alas kakinya, penampilannya jadi terlihat makin mencolok dengan pakaian sederhana seperti itu, sampai-sampai membuat Naruto bengong.

"Sampai kapan kau mau bengong, Dobe. Ayo makan siang," ajak Sasuke.

Naruto memperhatikan jam tangan yang melingkar di tangan kirinya sudah menunjukan pukul 12.00, waktunya makan siang. "Kau mau makan apa, Teme?" sepertinya panggilan Teme-Dobe ini sudah melekat dan mereka jadikan panggilan 'akrab'.

"Aku tidak ingin makan sesuatu yang berlemak," sinis Sasuke. Masih segar dalam ingatannya, beberapa waktu yang lalu dia dan Naruto makan di sebuah tempat yang memiliki plang nama 'Ichiraku Ramen', tidak ada yang salah dengan tempatnya. Tempat itu memang sedikit sesak, penuh dengan orang-orang, Sasuke memang tidak terlalu suka tempat yang sesak dan penuh orang, dia mengakaui kalau dirinya itu makhluk anti sosial, tapi bukan itu masalahnya.

Masalah utama adalah pada apa yang dihidangkan restoran 'bobrok', begitulah si raven menyimpulkan tempat makan itu, semangkuk mie dengan daging babi dan kuah kental adalah makanan yang paling tidak sehat di dunia, baunya membuat Sasuke mual walau dia tahan untuk tidak muntah, ayolah...walau terkadang dia itu tidak peduli, tapi kalau muntah dirumah makan itu, bisa-bisa dia menurunkan omset penjualan dan terlihat tidak sopan untuk seorang bintang.

Sasuke tidak mengerti kenapa 'si pirang' julukan lain untuk Naruto selain Dobe, dengan gila-gilaannya dapat menghabiskan sepuluh mangkuk Ramen, kalau malam itu Sasuke tak meyeratnya pulang, Naruto akan tetap bertahan untuk menghabiskan seluruh Ramenyang tersisa direstoran itu. Pengalaman yang menyeramkan, kenapa dia selalu saja tidak pernah mendapat manajer yang 'normal'.

Hatake Kakashi, manajernya adalah seorang 'homo' atau 'gay', yang hobinya terlambat dan mengkoleksi novel mencurigakan dengan judul 'Icha-icha Paradise', novel yang dijual untuk kalangan terbatas, begitulah yang bisa disimpulkan Sasuke. Dia tidak peduli kalau manajernya itu gay dan menikahi seorang pegawai lelaki di agensinya, ini negeri bebas siapa yang tahu, siapa akan jatuh cinta dengan siapa, cinta tidak memandang gender, itulah kesimpulan yang dapat Sasuke tarik melihat manajernya itu.

Lalu, manajer penggantinya sekarang, Uzumaki Naruto, pemuda yang tidak jelas gendernya, dia lelaki tapi entah kenapa begitu manis dan 'eksotis' kalau boleh Sasuke bilang, adik dari Direktur agensinya. Wajahnya memang sama dengan si Direktur siluman itu, tapi bisa dikatakan Naruto terlihat lebih lembut dan naif. Dan seorang maniak Ramen.

"Teme, kenapa bengong? Jadi mau makan dimana?" tanya Naruto menghentikan lamunan Sasuke.

"Hn, karena setelah ini tidak ada jadwal apapun, ada cafe di dekat stasiun yang baru buka, bagaimana kalau kita coba kesana."

"Oke!" jawab Naruto dengan riang.

Sasuke memang tidak mengganti pakaiannya setelah pemotretan, tapi dia memakai kacamata hitam untuk penyamaran, walau rasanya hal itu tak berhasil menutupi, kalau dia adalah pemuda nomor satu yang di inginkan banyak wanita dan sedang duduk berdua di sebuah cafe dengan seorang yang gendernya tidak jelas memakai pakaian rapi seperti pekerja kantoran.

"Aku pesan, black coffee non sugar dengan tomato sandwich," ucap Sasuke pada seorang pelayan laki-laki yang sedang menuliskan pesanannya.

"Aku, orange juice dan orange cake," setelah menulis pesanan si pelayan pergi dan meninggalkan mereka berdua.

'Bukan cuma maniak Ramen, tapi juga maniak jeruk' pikir Sasuke saat mendengar pesanan si blonde.

Siang ini tidak terlalu panas karena ini masuk musim semi, jadi mereka putuskan untuk memakai meja cafe yang memang di sediakan di luar, kelopak bunga Sakura hampir bermekaran di sepanjang jalan, membuat tempat ini jadi wangi Sakura, bisa dikatakan tempat yang romantis.

"Menyedihkan sekali... Aku sama sekali belum pernah kencan ditempat bagus seperti ini, tapi sekarang aku malah terjebak, duduk dengan seorang cowok..." rengek Naruto.

"Kau tidak pernah kencan? Kau hidup dimana sih? Tapi aku mengerti, punya wajah 'cantik' pasti malah membuat banyak gadis iri, lalu yang mengerubungi mu selama di sekolah hanya lelaki'kan?" tebak Sasuke.

"Tebakan mu memang benar, aku cuma punya teman lelaki waktu aku masih sekolah, cewek-cewek yang ingin kudekati membenciku."

"Hn, itu hal yang wajar, wanita punya insting untuk membenci makhluk yang lebih cantik dari mereka," lalu si pelayan datang membawakan pesanan mereka, menggangu pembicaraan keduanya, "lalu, bisa ceritakan tentang dirimu? Kau manajerku saat ini dan aku tak tahu tentang mu, selain nama dan kenyataan bahwa kau adik dari Direktur," ucap Sasuke sembari meneguk cairan kental berwarna hitam dari cangkir porselen miliknya.

"Apa itu harus?" tanya Naruto, asik menyantap orange cake yang terasa lumer dimulutnya.

"Aku tidak mau di tangani oleh orang yang tidak jelas asal usulnya. Kau tidak perlu ceritakan hal yang sangat rahasia padaku, aku hanya ingin tahu sedikit tentangmu."

"Baklah, aku Uzumaki Naruto, tahun ini genap berusia 20 tahun. Adik Uzumaki Kyuubi, pekerjaan asliku wakil Direktur Akatsuki. Cucu Uzumaki Mito, orangtuaku sudah lama meninggal saat aku berusia 5 tahun, kalau tak salah," terang Naruto.

"Kau memang sangat biasa saja, dan kau lebih muda dariku, aku 21 tahun ini."

"Oh yeah... Kau tidak seperti kakak dan ayahmu, Teme. Kau sangat...bagaimana mengatakannya ya, um...sinis..."

"Kau kenal ayahku dan baka Itachi?" heran Sasuke.

"Tentu, mereka sering kerumah nenek, maksudku kerumah Mito-san. Kurasa ayahmu dan Mito-san punya hubungan kerjasama dan kakakmu, bukankah dia pacar Kyuubi?"

Sasuke memucat, "Pacar? Yang kutahu dia bertepuk sebelah tangan dengan kakakmu. Siapa yang mau dengannya, dia itu dari pada disebut artis berbakat lebih tepat disebut maniak."

"Kenapa? Dia keren dan tampan kok, lalu sikapnya juga manis. Itachi-nii sangat perhatian dengan Kyuu, dia bilang kalau mereka pacaran."

"Dan kau sudah masuk dalam bualannya, ada yang pernah bilang kalau kau naif?"

"Oh...kau brengsek Teme."

"Terimakasih kembali Dobe."

Pembicaraan ringan itu berubah jadi pertempuran sengit, antara kedua mata yang memiliki warna berlainan itu. "Hentikan menatapku dengan sinis Dobe."

"Hentikan juga cara bicaramu yang sinis itu."

Sasuke menghela napas, mengalah pada si blonde. "Oke. Aku akan berusaha untuk tak bersikap sinis padamu, tapi aku tidak janji. Ini untukmu," Sasuke menyerahkan sebuah kunci elektronik yang mirip kartu kredit pada Naruto.

Naruto memandangi dengan curiga, "Itu kunci apartemenku, kau butuh itu untuk masuk, sebagai manajer kau tidak harus menunggu aku membukakan pintu, seperti Hachiko yang menunggu tuannya."

"Teme brengsek," ucapnya kesal sambil mengambil kunci itu dimeja dan menarunya dalam dompet miliknya.

"Hari ini sudah 2 kali kau mengataiku brengsek, apa tidak ada kata lain?"

"Teme jelek."

"Cukup. Cepat habiskan makananmu dan kita pulang."

.

.

.

Hari ini Sasuke membawa sport car-nya yang berwarna biru tua, tidak selamanya mereka akan bertahan untuk naik kereta yang penuh sesak. Si raven mengantar manajernya kesebuah rumah atau bisa dikatakan rumah yang mirip sebuah kastil di era edo. Bangunan khas Jepang dengan pagar tinggi dan pengawal berbaju hitam mengelilingi tempat itu membuat Sasuke heran.

"Kau tinggal di sini? Kau benar-benar tuan muda."

"Bukan kok. Ini rumah Mito-san, apartemenku sedikit dirombak jadi untuk sementara aku tinggal dengannya," jelas Naruto sambil melepas sabut pengaman. "Terimakasih sudah diantar, pulangnya hati-hati dan jangan ngebut," peringat Naruto.

"Hn. Aku pulang," ucapnya, lalu dengan sekali injakan gas, sport car miliknya sudah melaju dan menghilang dibelokan jalan pertama.

"Naru-sama sudah pulang. Mito-sama sudah menunggu anda untuk makan malam," ucap Shino, salah seorang tangan kanan yang dipercaya oleh neneknya, seperti biasa dia terlihat mencurigakan dengan stelan serba hitam dan kaca mata hitam. Lelaki itu sengaja menunggu Naruto di luar bersama dengan pengawal yang lain.

"Lagi-lagi kau menungguku diluar, cepat lepas kacamata hitammu itu, malam-malam kenapa di pakai sih, aneh..."

"Ini bukan aneh, tapi keren. Tadi itu kalau boleh saya tahu, dia siapa?" tanya Shino menyelidik.

"Bukan orang jahat kok, dia anak bungsu Uchiha Fugaku. Sekarang aku jadi manajernya, ngomong-ngomong apa aku cocok pakai sport car, Shino?" tanya Naruto sambil menuju kediaman neneknya itu.

"Oh... Anda mau ganti mobil? Saya rasa anda cocok memakai jenis mobil apapun kok, tapi apa Mito-sama akan mengizinkan anda memakai mobil seperti itu? Sport car sangat tidak 'aman' untuk anda."

"Benar juga, bisa-bisa Mito-san ngomel panjang lebar. Hah...apa selamanya aku harus pakai mobil BMW sedan klasik dengan kaca anti peluru dan ban anti bocor, Mito-san terlalu berlebihan, aku ingin mobil yang normal..."

"Impian yang indah, tapi tidak mungkin terkabul Naru-sama."

"Benar sekali."

Setelahnya Naruto makan malam dengan sang nenek yang sudah kesal menunggunya sedari tadi dimeja makan. Seperti biasa kalau dia tinggal dengan sang nenek, tiada hari tanpa ceramah.

.

.

.

Di belahan negara lain, tepatnya di Kanada, terlihat sebuah rumah super besar dan mewah ditengah hutan. Terlihat banyak pengawal berbadan besar yang menjaga rumah itu, di salah satu berandanya terlihat seorang kakek tua yang masih terlihat segar, dengan wajah berwibawa dan pandangan mata yang tajam, memandang langit malam yang terlihat cerah dengan bintang bertaburan, tangan kirinya memegang sebuah gelas wine yang isinya sudah habis setengah. Warna rambut dan matanya mirip dengan Naruto, sangat mirip.

Tak lama ada seseorang yang menghampirinya, seorang wanita berambut pendek dan pakaian yang rapi, sebuah stelan berwarna gelap menjadi pilihannya. "Rikudo-sama, persiapan untuk keberangkatan ke Jepang sudah selesai, sebaiknya anda segera beristirahat, angin malam tidak baik untuk kesehatan. Besok pagi-pagi sekali anda harus berangkat."

"Terimakasih Anko, tapi jangan memperlakukan aku seperti seorang kakek tua, aku masih sangat kuat untuk mendaki puncak Himalaya. Kau sudah bekerja keras, istirahatlah. Aku akan menghirup udara segar sebentar lagi."

"Baiklah, saya undur diri dulu," ucap wanita bernama Anko itu.

Pemilik rumah yang bernama Rikudo itu menatap bintang dilangit malam dengan mata yang sedih, memikirkan banyak hal. Tapi, hanya sebuah nama yang diucapkannya saat itu, nama yang sangat dia rindukan. Nama yang membuat dia merasa bersalah dan bahagia disaat bersamaan. "Sebentar lagi kita akan bertemu, Naruto. My beloved grandson..."

Naruto dan keluarga Uzumaki tak mengira, badai besar akan datang dari tempat yang tak terduga, memporak-porandakan segalanya. Takdir dan masa depan Naruto mulai bergulir, semua keputusan nantinya ada pada seorang pemuda yang masih naif dan tak mengerti kejamnya dunia.

.

.

.

TBC

.

.

.

~ So, mind to review, minna-san… \(-_-)/