Fanfic:

Pair: SasuNaru

Rating: T+

Genre: Romance/Hurt

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: OOC/TYPO/BL/YAOI/EYD masih hancur/ Masih membutuhkan bimbingan/

note: Don't Like, Don't Read !

for: Kizuna ke-7. Sasunaru day 2015

BLUE

Naruto. Sebuah judul film yang hampir beberapa bulan ini di gandrungi masyarakat jepang dengan kemunculan season dua setelah season pertama berhasil menuai keberhasilan memuaskan. Mendapatkan puluhan penghargaan gemilang sebagai film terbaik serial ninja. Film yang juga menarik dua pembintang film ternama yang sudah terkenal di umur mereka yang masih muda, Namikaze Naruto dan Haruno Sakura. Selain menggunakan nama sang idola remaja Naruto dengan karakter film yang sengaja memakai nama asli para pemeran, film ini juga menarik sang ayah idola muda, Namikaze Minato untuk membintangi film bertema penuh perjuangan ini. Minato yang juga temasuk dalam jajaran artis perfilman berkarismatikpun ikut menambah nilai plus untuk film berdurasi tiga puluh menit ini. Bukan hanya itu, kemunculan karakter Sasuke yang di perankan oleh Sasuke Uchiha yang tak lain adalah sahabat dari Namikaze Narutopun menuai meludaknya fans dikalangan perempuan. Sosok baru dalam perfilman ini mampu menarik sejuta fans di awal debutnya. Membuatnya mendapatkan penghargaan artis tertampan di jepang pada debut awalnya di season pertama film ini.

"Bagaimana perasaan Anda selama memerankan Uchiha Sasuke dalam serial film ini ?"

"Aku dengar kedekatan antara Anda dan artis Sakura benar-benar nyata, apa itu benar ?"

"Uzumaki-san, dalam serial ini Anda mendapatkan peran utama dalam film ini, sekaligus memerankan sosok pemuda dengan nama yang sama dengan Anda, bagaimana perasaan Anda ?"

"Dari kabar yang saya lihat, Anda dan Uchiha-san memang bersahabat, bukan cuma dalam serial film bernamakan Naruto ini, seakarab apa Anda dan Uchiha-san ? Maukah Anda menceritakannya kepada kami ?"

.

"Interview malam ini benar-benar sukses, terimakasih Naruto, Sasuke" Seorang pria berumur kepala empat berucap. Menghadap pada dua sosok pemuda berpakaian kemeja hitam di hadapannya. Memberi satu salaman untuk masing-masing pemuda dengan senyum bangga berkembang di kedua sudut bibirnya.

"Sama-sama, Haruto-san, kami juga berterima kasih" Pemuda dengan surai pirang menyambut uluran salam dari pria berkepala empat—Haruto. Senyum tipis berkembang di bibir Naruto.

"Kalau begitu ayo kita rayakan keberhasilan kita, minum-minum?" Haruto berucap. Tersenyum dengan gestur semangat.

"Maafkan kami, Haruto-san, mungkin untuk malam ini kami berniat langsung permisi, bukankah besok masih ada jadwal pembuatan film ? Kami ingin langsung istirahat dan yang pasti umur kami belum dua puluh tahun untuk minum-minum" Naruto berucap sopan.

"Baiklah, tidak masalah" Haruto memberi tepukan di pundak pemuda bersurai pirang.

.

"Aku lelah" Naruto. Pemuda bersurai pirang itu mengeluh. Menyandarkan punggungnya pada jok mobil bagian depan yang baru saja dimasukinya. Membiarkan sosok pemuda berambut raven nampak memutar kunci mobil di sampingnya sebelum menjalankan mobil itu keluar parkiran gedung bewarna biru. Tempat dimana dirinya sedari tadi berkutat dengan puluhan kamera dengan mikrofon yang tanpa henti menyorot mulutnya tanpa kenal lelah berceloteh ini dan itu. Pusing kembali datang.

"Kau mau pulang atau kembali menginap?" Sasuke, sosok pemuda raven itu berucap. Masih terfokus pada jalanan di depannya.

"Aku menginap, barang sekolahku juga masih ada di tempatmu." Naruto membenarkan posisi duduknya. Menghadap kedepan dengan satu sisi kepalanya bersandar pada pundak kokoh Sasuke. Memejamkan matanya mencoba merilekskan kepalanya yang terasa semakin berdenyut.

"Kau benar-benar membutuhkan istirahat." Sasuke mengusapkan telapak tangan kanannya pada belahan wajah berpipi pemuda bersurai pirang. Mengusapnya beberapa kali sebelum melepasnya, kembali memegang kemudi mobil.

"Aku tahu." Gumam Naruto pelan, sangat pelan.

"Tidurlah, aku akan membangunkanmu kalau sudah sampai." Naruto mengangguk pelan. Benar-benar mencoba terlelap.

Sasuke menatap pemuda di sebelahnya dengan ekor matanya. Memperhatikan kerutan lelah yang tampak pada wajah pemuda bersurai pirang. Membiarkan sebelah pundaknya menjadi sandaran sementara selagi mobil berjalan cepat menuju tujuan.

Sasuke kembali mengingat berbagai pertanyaan para pemegang mikrofon. Ratusan pertanyaan yang selama ini diterimanya setelah menginjakan kaki pada dunia entertaiment. Menjadi artis pendatang baru dengan umur dua belas tahun terpanggul pada biodatanya sebelum film itu berhenti dua tahun kemudian kembali muncul dengan seson dua menampakan sosok dirinya yang sudah berumur enam belas tahun. Film luar biasa panjang yang bahkan Sasuke cukup terkejut kenapa penonton sama sekali tidak bosan dengan film berkepanjangan itu. Waktu yang bahkan tidak ada film yang memakan waktu bertahun-tahun dengan fans tetap dengan tambahan fans baru yang sama besar antusiasnya dengan film itu.

Seperti kata para pemegang mikrofon. Dia memang sahabat Naruto, Naruto Namikaze. Seorang artis muda yang mungkin lebih dulu terjun di depan kamera daripada dirinya yang bahkan Sasuke mengakui bagaimana pemuda bersurai pirang itu sangat terampil dengan akting. Selain berdarah seorang artis dari sang ayah, Naruto juga memiliki bakat tarik suara dari sang ibu. Anak sempurna itu yang Sasuke tahu dari selembaran majalah-majalah tertempel pada layar televisi yang selalu menemani minggu-minggu sorenya jika sekilas mengganti channel dan semua itu sangat berbeda dengan dirinya. Sebagian mungkin menganggap serial film ninja yang di bintanginya cuma simpang siur pembuatan sutradara pemegang pengeras suara berbentuk krucut tapi pada kenyataannya Sasuke memang sudah tidak memiliki keluarga sekarang, nyata ataupun film. Itu memang kebenarannya. Lahir dengan nama Sasuke yang di berikan ibu berumur dua puluh tiga yang bekerja pada panti asuhan tempatnya berteduh disaat masih mengemut jempol dengan selimut kecil mengitari tubuhnya sebagai penghangat saat udara malam menyengat. Sampai umurnya lima tahun Sasuke menambahkan Arashi sebagai nama marganya. Itu marga dari wanita pekerja panti yang menemukannya.

Masih bertempat tinggal pada panti asuhan di umur enam tahun. Otak pintar di atas rata-rata dan wajah tampan sudah terlihat dengan jelas membuat salah satu keluarga datang berniat mengapdosinya. Keluarga kaya itulah yang Sasuke lihat saat menginjakan kaki pertamanya pada bangunan megah tempat tinggal keluarga barunya. Mengganti marga dengan Uchiha di hari keduanya tinggal di sana. Tapi, pemikiran bahagia terluap begitu saja saat dia tersenyum untuk minggu ketiganya. Kecelakaan pesawat penerbangan Amerika-Jepang mengenaskan terjadi dalam sekejap mata. Membuat kedua orang tuanya harus menutup mata untuk selamanya tanpa berniat kembali mengusap rambutnya untuk pengucapkan salam perpisahan sebelum pergi. Umur enam tahun yang bahkan Sasuke tak memikirkan untuk merasakan senyumannya hilang di umur dininya.

Kekayaan menjadi hidupnya setelah itu. Bergelimang harta dari warisan kedua orang tuanya dengan orang kepecayaan yang memegang kendali perusahaan untuk sementara waktu selama umurnya masih belum siap duduk di kursi perkantoran ataupun menandatangani surat-surat membingungkan. Tapi jika ditanya Apa Sasuke bahagia ? Tidak, sama sekali tidak. Walaupun kedua sosok itu bukan kedua orang tua kandungnya, Sasuke sudah cukup tahu arti kebahagiaan hanya ada saat kedua sosok itu mengusap rambutnya. Bukan sebaliknya.

Tahun berjalan dengan jarak empat langkah mempertemukannya dengan pemuda bersurai pirang. Artis berumur bocah yang selalu bergelayut dengan kamera-kamera orang dewasa berceloteh saat dirinya turun dari mobil jemputan. Sasuke diam saat itu. Hanya menatap kedatangan bocah bersurai pirang itu tanpa berniat peduli. Memanggul tas hitam di punggungnya. Melangkah pergi menuju kelas sebelum teriakan melengking menyerukan sebutan 'Kau' untuknya. Terlihat tidak sopan sekali untuk orang yang tidak saling kenal. Sasuke tahu bocah pirang itu murid baru.

Ya, hanya sebutan tidak sopan 'Kau' tapi berawal dari itulah persahabatan yang mengawali obrolan ringan dari bocah bersurai pirang, dengan sahutan ataupun keterdiaman dirinya terjalin hingga sekarang. Saat tarikan tangan pemuda berumur dua belas tahun menariknya untuk menemaninya menemui sutradara dewasa tanpa tahu niatan awal. Bocah bersurai pirang itu juga sengaja memperlihatkan dirinya pada sutradara jika Sasuke cocok untuk mendapatkan peran dari cerita di dalam naskah yang sudah di bacanya sekilas dua hari sebelumnya.

Di mulai dari itulah. Sasuke mulai mengenal dunia entertaiment yang mengepakan namanya sampai terkenal seperti saat ini. Tapi jika di ingat kembali sangat sulit untuk Sasuke beradaptasi memulai debutnya. Mencoba bicara lebih banyak dari biasanya walaupun karakter yang di perankan memiliki sifat minim bicara. Bahkan berusaha tersenyum di depan kamera ataupun fans terasa begitu konyol untuknya. Dia bukan pengumbar senyum, itu yang di ketahuinya.

Berbeda jauh dengan sosok Naruto. Bocah itu sudah lama hidup dikelilingi kamera. Tersenyum di depan puluhan orang atau bahkan ribuan orang sudah menjadi makanannya setiap hari. Tapi, satu hal yang mungkin Sasuke cukup tahu. Sebagaimana senyuman pemuda itu berkembang senyuman pemuda itu tidak sehidup dulu. Ya dulu, sebelum sosok ibu untuk pemuda itu harus pergi meninggalkan nafas kehidupannya. Mengidap penyakit kanker, itu yang Sasuke ketahui.

Sasuke tersentak saat lamunannya terhentikan dengan bangunan putih dengan lampu berderet di pinggiran pagar besi tempatnya tinggal terlihat dari kejauhan. Bukan rumah megah yang sebelumnya sudah lama ditinggalinya melainkan apartemen sederhana menengah atas. Tak begitu mewah ataupun biasa saja.

Memasukan mobilnya pada bangunan kotak terbuat dari semen yang di pergunakan sebagai garasi di sebelah kiri. Sasuke memakirkan mobilnya. Mematikan mesin mobil kemudian menoleh kearah pemuda bersurai pirang yang masih terlelap menumpukan sisi kepalanya pada pundaknya.

"Bangun." Sasuke menggoyangkan pundak pemuda itu pelan. Mengusap dengan pelan sisi pipi wajah pemuda itu berharap pemuda itu membuka kelopak matanya. "Kau ingin aku menggendongmu?" Lanjutnya saat tidak mendapatkan reaksi.

"Sebentar lagi." Naruto bergumam pelan. Menyerukkan wajahnya diantara pundak Sasuke yang menyandar pada jok mobil setelah sang pemuda bersurai raven melepaskan sabuk pengaman pada tubunya.

"Lanjutkan tidurmu di kamar." Sasuke mengusap rambut pemuda itu dengan tangan kirinya. Membiarkan setengah tubuh Naruto bersandar lebih dekat pada dadanya dengan kening pemuda bersurai pirang menyentuh perpotongan lehernya.

"Sebentar lagi." Gumam pemuda bersurai pirang. Mengulang kalimatnya kembali. Sasuke diam, membiarkan surai pirang masih diusap tangannya.

"Lima menit, lebih, aku akan mengendongmu sampai kamar." Sasuke tersenyum tipis. Beberapa mili dengan pandangan menatap pemuda bersurai pirang yang membenarkan posisi duduknya. Duduk tegap dengan mata sayu menahan kantuk.

Tanpa berucap apapun. Naruto membuka pintu mobil. Menguap kecil saat kantuk menderanya lebih kuat. Menatap Sasuke yang juga keluar dari mobil. Pemuda itu menghampirinya kemudian mereka berjalan beriringan memasuki gedung apartement.

"Jangan sampai tertidur disini." Sasuke mengacak surai pirang itu saat pemuda bemarga Namikaze itu hampir terhanyut tidur dengan bersandarkan dinding di dalam lif.

"Jam berapa sekarang?" Ucap Naruto. Menggaruk lehernya dengan membenarkan posisi berdirinya. Bersandar pada dinding lift—berhadapan dengan Sasuke yang melakukan hal yang sama di bagian dinding depannya.

Sasuke mengangkat tangannya setinggi bawah dada. Meneliti jarum detik pada jam bermerek yang melingkar di tangan kirinya "Jam sebelas tiga puluh." Ucapnya kemudian.

Naruto menghela nafas pelan. Mengalihkan pandangannya pada angka-angka lift yang menyala di atas pintu "Pantas aku mengantuk sekali." Dengusnya.

Ting

Dentingan pintu berbunyi. Lift terbuka.

"Bersabarlah." Ucap Sasuke. Kembali mengacakan tangannya pada rambut Naruto saat pemuda itu sedikit terhuyung ketika berjalan.

.

"Kau harus menjaga dirimu baik-baik."

"Kenapa ibu mengatakan itu?" "Jangan tersenyum seperti itu, ucapan ibu aneh."

"Dia tidak bisa di tolong lagi."

"JANGAN MAIN-MAIN, DOKTER! IBUKU BAIK-BAIK SAJA KAN ?!"

"Kau harus jaga dirimu, baik-baik."

.

"AAAAAAAAAA!"

"Naruto!" Menggoncang tubuh Naruto. Sasuke berteriak lantang. Mencoba membangunkan pemuda bersurai pirang yang berteriak parau dalam lelapnya. Memaksa pemuda itu kembali ke alam nyata dengan paksaan.

Naruto membuka matanya cepat. Tubuhnya bergetar hebat. Dengan pandangan tak fokus. Pemuda itu meraba tempat tidur yang kini di tempatinya. Meraba dengan posisi merayap untuk menyentuh permukaan meja berbahan coklat kayu hingga menimbulkan suara 'prak' dari lampu meja yang jatuh menyentuh lantai takel. Tak memperdulikan suara pecahan itu Naruto kembali meraba kesegala arah. Tubuhnya bergetar hebat dengan wajah memucat membuat Sasuke yang duduk di sampingnya langsung merengkuh tubuh pemuda itu dalam rengkuhannya. Mendekapnya kuat dengan kepala menyeruk pada leher pemuda bersurai pirang itu. Menancapkan kedua taringnya dengan cepat kearah perpotongan leher pemuda itu hingga kedua telinganya mendengar desisan pemuda bersurai pirang. Jengitan tubuh terkejutpun nampak terasa sesaat dari sang pemuda.

"I.. Ibu." Naruto mendengung terbata dengan suara lirih. Kepalanya mendongak keatas membiarkan gigitan sahabatnya semakin dalam menancap kulit tannya. Tetesan darahpun nampak melumber membasahi piayama bersamaan dengan aliran air mata yang mengalir dari kedua bola mata sapphire miliknya.

"Sa.. Sasuke." Sasuke berderit. Mendengar namanya di sebutkan Naruto. Pemuda berambut raven itu melepaskan gigitannya. Masih dalam merengkuh tubuh pemuda bersurai pirang, Sasuke menatap raut wajah pemuda itu. Masih ada aliran air mata di wajah pemuda pirang, cukup jelas telihat walaupun hanya berbantuan dengan cahaya bulan dari celah cendela.

"Kau sudah baikan?" Ucap Sasuke lirih. Mengusap deretan air mata yang masih mengalir di wajah Naruto dengan tangan kanannya.

Sasuke menatap miris. Menatap sosok sahabatnya yang bahkan banyak orang yang tidak mengetahui kebenaran dari artis sempurna di dunia entertaiment ini. Sosok yang masih mengeluarkan senyumannya walaupun dalam kenyataannya pemuda bersurai pirang begitu banyak menyimpan rasa sakit yang belum juga sembuh walaupun bertahun-tahun pengalaman buruk yang membuatnya seperti ini sudah terlewatkan.

Kematian sang ibu, itulah yang membuat pemuda pirang itu seperti ini. Terbangun dari tidurnya dengan mimpi penjemputan sang ibu. Kenangan terakhir dimana dokter menyatakan sang ibu tidak bisa di selamatkan lagi. Dimana alat eletronik penunjang kehidupan ibunya sudah di lepaskan membiarkan sosok wanita separuh baya dengan surai pirangnya tergeletak dengan selimut putih menutupi wajahnya, membiarkan Naruto menjerit meminta untuk ibunya terbangun dari lelapnya. Mengatakan semuanya adalah lelucon konyol yang sama sekali tidak lucu.

Saat itupun Sasuke berada disana. Melihat semuanya dengan jelas bagaimana kehancuran sosok pemuda bersurai pirang sahabatnya. Berbulan-bulan sahabatnya tak lagi tersenyum. Bermimpi buruk itu yang dikatakan ayah pemuda itu saat Sasuke bertanya 'Kenapa kantung mata Naruto hitam?'. Tapi bukan hanya hal itu yang membuatnya terkejut. Di hari itu dimana dia meminta ijin untuk menginap di rumah pemuda bersurai pirang. Tengah malam dimana Naruto menjerit parau di sebelahnya saat dirinya terlelap membuatnya terbangun dengan bola mata membola mendapati Naruto memainkan pisau lipat di tangannya yang bergetar. Menggoreskan permukaan tajam benda itu pada permukaan kulitnya berulang kali sampai tubuh pemuda itu berhenti bergetar.

Sasuke hanya diam saat itu hingga Naruto mengucapkan kata 'Maaf membangunkanmu' dengan suara lirih, sangat lirih.

Berawal dari itu semua, psikiater menjadi pilihan pertama yang Sasuke ucapkan. Mereka berdua datang bertemankan supir kepercayaan datang kedokter. Mencoba menyembuhkan traumatik pemuda bersurai pirang itu tanpa sepengetahuan Minato-ayah dari Naruto. Masih ingat saat pemuda pirang itu mengatakan 'Aku tidak ingin membuat ayah khawatir.' Saat Sasuke menyarankan memberitahu apa yang terjadi kepada ayah pemuda itu.

Penyembuhan di lakukan secara berlahan. Dari mencoba menerima kematian sang ibu sampai mencoba untuk berpikir positif ataupun sampai cara ekstrim mencoba melupakan sedikit demi sedikit kenangan sang ibu tapi dari semua hal itu Naruto menolak keras untuk melupakan kenangannya dengan ibunya. Dia ingin sembuh tapi dia tidak ingin melupakan semuanya. Hingga setelah dua bulan Naruto meminta berhenti berobat pada psikiater. Membiarkan semuanya berjalan dengan sendirinya.

'Tidak begitu buruk. Psikiater sudah cukup membuatku beberapa kali tidur terlelap tanpa bermimpi buruk, terimakasih.' Itu yang di ucapkan bocah berusia empat belas tahun itu saat tidurnya begitu lelap dan bangun di pagi hari dengan tubuh segar bugar. Walaupun kenyataannya beberapa kali juga pemuda pirang itu kembali bermimpi buruk dan kembali mengambil rutinitasnya kembali menyakiti tubuhnya untuk mengalihkan pikirannya. Hingga sekarang.

"Akan aku ambilkan minum." Sasuke mengusap pelan surai pirang sahabatnya. Beranjak dari tempat tidur yang mereka tempati berdua. Melangkah keluar dari ruang kamar.

Naruto menatap kepergian Sasuke. Mengusap wajahnya dengan kasar. Pikirannya kembali menggila. Sudah beberapa kali mimpi itu terulang dengan potongan-potongan kecil Yang sebagian besar sama tapi kenapa getaran ketakutan itu masih ada? Dia tidak memungkiri otak tololnya yang masih belum menerima kepergian sang ibu. Sudah dua tahun lebih.

Meraba dataran empuk tempat tidur, Naruto mencari benda eletronik persegi kesayangannya. Ketemu, tepat tertumpuk bantal miliknya.

Membuka berlahan folder-folder di dalamnya. Hingga tangannya berhenti pada folder bernama 'Memory' . Tempat dimana berkumpul segala hal tentang kenangannya bersama sang ibu. Dimulai dari foto hingga video berdurasi sebentar. Ada juga kumpulan lagu yang dinyanyikan oleh sang ibu disana. Semuanya sampai lagu khusus yang dinyanyikan ibunya disaat hari ulangtahun ketiga belas umurnya.

"Aku baru meninggalkanmu beberapa menit, kau sudah menangis lagi." Suara Sasuke. Naruto mengusap aliran bening di pipinya dengan selimut. Menghadap kearah sang pemuda raven yang melangkah mendekat kearah tempat tidur dengan segelas air putih dan segelas susu hangat di atas nampan.

"Cukup air putih, Sasuke." Ucap Naruto saat melihat nampan diletakan sang pemuda raven pada meja kecil di sampingnya. Melangkahi pecahan dari lampu tidur yang sudah terbengkalai di lantai tekel.

Sasuke menyodorkan satu gelas berisikan air putih kepada Naruto. Pemuda itu menyambut setelah handphone di tangannya di letakan di pahanya yang masih tertutupi selimut bewarna hitam. "Mau aku nyalakan lampu?" Ucap Sasuke setelah melihat Naruto menyelesaikan minumnya.

"Tidak, seperti ini saja, kau akan susah tidur kalau lampu menyala, aku akan pindah tidur di kamar tamu." Naruto hampir beranjak dari tempat tidurnya sebelum tangan kokoh Sasuke menghalangi Naruto untuk turun dari tempat tidur.

"Tidak apa-apa, tetaplah tidur disini, aku bisa menutup mataku dengan bantal atau selimut." Sasuke berucap. Beranjak dari tempatnya kemudian melangkah kesisi pojok kamar untuk menekan saklar lampu. Lampu bercahaya sedang menyala.

"Aku ambil sapu." Naruto beranjak dari tempat tidurnya sebelum kembali mendengar intrupsi dari pemuda berambut raven.

"Besok saja di bersihkan, habiskan susumu, tidur, besok kita sekolah, butuh badan fit untuk sekolah dan kembali syuting di sore hari." Jelas Sasuke. Naruto menghela nafas. Kembali merebahkan diri pada tempat tidur. Sebelumnya menghabiskan gelas berisi setengah susu rasa vanila yang di sediakan sahabatnya.

"Sasuke." Naruto berucap. Menatap langit-langit ruang kamar setelah merasakan derit tempat tidur yang dirasakan tubuhnya. Menandakan sahabatnya mulai merebahkan diri di tempat tidur.

"Ada apa?" Sahut pemuda itu pelan.

"Apa aku bisa sembuh?" Sasuke menoleh kearah Naruto. Pemuda itu masih menatap langit-langit ruang kamar.

"Kau akan sembuh, mungkin membutuhkan waktu benar-benar lama untuk menerimanya, tapi setidaknya walaupun lama kau tidak perlu di paksa untuk melupakan orang itu-ibumu."

"Apa kau tidak menganggapku seperti orang gila? maksudku, kau juga memiliki pengalaman yang bahkan lebih dari apa yang aku rasakan tapi kau bisa baik-baik saja"

"Kadang aku berpikir seperti itu, kau gila, tapi pemikiran orang masing-masing, aku sudah merasakan sakit dari kecil, cukup tahan banting." Jeda "Tapi tenang, menurutku kau tidak segila dulu, sudah lumayan." Naruto mendengus pelan.

"Ini sedikit romantis, tapi kau akan tetap menjadi sahabatku kan? Setidaknya walaupun aku tidak sembuh."

"Jangankan sahabat, kekasihpun aku tidak masalah."

"Jadi kau sudah rela dibawahku?"

"Aku tetap diatasmu, bahkan saat menjadi sahabat, kekasih ataupun suami, jadi jangan bermimpi terlalu tinggi."

"Tapi aku laki-laki, laki-laki selalu di atas."

"Jadi kau pikir aku perempuan?" Sasuke mengernyitkan alis.

"Wajahmu cantik untuk ukuran laki-laki, Sasuke, wajahku lebih manly darimu."

"Wajah manly seseorang tak menentukan kadar kejantanannya, kau lebih sering merengek daripada aku."

"Kau bisa menjadi cerewet jika membahas masalah ini."

"Kau keberatan?" Naruto tersenyum kecil mendengar ucapan sahabatnya.

"Haruno bagaimana? Banyak kabar memberitakan kalian."

"Aku hanya memiliki perasaan padanya dalam film, bukan di kenyataannya." Jeda "Kau cemburu?"

"Kalau aku jawab ya, apa kau senang?"

"Sangat senang, akan aku usahakan kami semakin romantis supaya kau cemburu padaku berulang kali."

"Kau jahat sekali."

Mereka terlelap dalam lamunan sesaatnya.

"Sasuke." Naruto berucap. Masih menatap langit-langit.

"Hn."

"Kita ini sahabat atau apa? aku menghitung kata romantis dalam hubungan kita."

"Entahlah, mau sahabat, kekasih, aku tidak masalah, kau masalah dengan itu?"

"Tidak."

"Kalau tidak, jadi tidak ada yang perlu di permasalahkan, tidurlah."

"Teme."

"Dobe."

.

.

END