Ada sebuah cermin di rumahku. Letaknya di belakang panel geser di koridor tangga. Faksi kami memberiku izin untuk berdiri di hadapan cermin itu pada hari kedua setiap tiga bulan. Hari ketika ibu memotong rambutku. Aku duduk di atas bangku dan ibu berdiri dibelakangku dengan membawa gunting. Sekadar merapikan rambut. Helaianku yang hampir menyentuh tengkuk, dengan warna seperti karbonat kelam, jatuh kelantai. Setelah selesai, sisi cepak tipis menyatu sempurna dengan bentuk baru rambutku.
Aku memperhatikan betapa ibu terlihat tenang dan fokus. Ibu sangat terlatih dalam seni menghilangkan jati diri, aku tak bisa seikhlas ibu dalam menghilangkan jati diri.
Aku sedikit melirik bayanganku saat ibu tak memperhatikan—bukan karena sombong, tapi karena penasaran. Penampilan seseorang bisa banyak berubah dalam tiga bulan. Di depan cermin, kulihat wajah lonjong dengan mata bulat dan hidung bangir yang memanjang. Aku masih terlihat seperti seorang pemuda kecil walau beberapa bulan lagi aku berulang tahun keenam belas. Faksi lain boleh merayakannya untuk menyenangkan diri.
"Nah," ujar ibu ketika merapikan helaian poniku agar tidak terlalu menutupi alis. Mata kami saling bertatapan di cermin. Terlambat untuk memalingkan muka, tapi bukannya memarahiku, ibu tersenyum menatap bayangan kami. Aku sedikit berkenyit. Mengapa ibu tak menegurku yang sedang memandangi bayanganku sendiri?
"Jadi, hari inilah saatnya," ujarnya.
"Ya," jawabku.
"Apa kau gugup?"
Aku menatap mataku sendiri sejenak. Hari inilah hari pelaksanaan Tes Kecakapan yang akan menunjukan di manakah tempatku berada di antara lima faksi yang ada. Dan besok, pada saat Upacara Pemilihan, aku akan memutuskan faksi mana yang kupilih. Pilihanku berlaku selamanya. Aku akan memutuskan apakah aku akan tinggal bersama keluargaku atau meninggalkan mereka.
"Tidak," ujarku. "Tesnya tidak harus mengubah pilihan kita."
"Benar." Ibu tersenyum. "Ayo kita sarapan."
"Terimakasih telah memotong rambutku."
Ibu mencium pipiku dan menggeser panel menutupi cermin. Menurutku, ibu saja satu-satunya wanita cantik yang begitu kupuja. Tubuhnya yang ramping tersembunyi di balik jubah kelabu. Tulang pipinya tinggi dengan bulu mata panjang melentik. Saat ibu mengurai rambutnya di malam hari, rambutnya tergerai indah melewati bahu. Tapi sebagai anggota faksi Abnegation, ibu harus menyembunyikan kecantikannya.
Kami berjalan bersama-sama menuju daput. Pada pagi-pagi seperti inilah, saat ibu menyiapkan sarapan, dan tangan ayah membelai rambutku sembari membaca koran, lalu ibu bersenandung sambil membersihkan meja—itulah pagi-pagi yang menyiksaku dengan rasa bersalah karena ingin meninggalkan mereka.
—oOo—
I take no profit. Characters are belong to their owner.
'Divergent Trilogy; Divergent' belong to Veronica Roth.
Remake belong to reepetra
Warning(s) contain; MalexMale/Slash, Violence, Alternate Universe, R18, 1st Point of View, etc
—oOo—
Busnya bau pengap. Tiap kali harus melewati jalan bergelombang, busnya berguncang dan melemparku ke sana kemari, tak peduli betapa kuatnya aku menggenggam kursi agar tidak jatuh.
Kakaku, Namjoon-hyung, berdiri di lorong bus sambil berpegangan pada sulur besi diatas kepalanya agar tidak jatuh. Kami sama sekali tidak mirip, Namjoon-hyung mewarisi rambut pirang dan hidung mancung ayah; serta iris hitam dan lesung pipi ibu. Saat masih kecil, sosoknya yang seperti itu kelihatan aneh, tapi sekarang ia terlihat tampan. Jika bukan seorang Abnegation, aku yakin para gadis di sekolah takkan melepaskan pandangan darinya.
Namjoon-hyung juga mewarisi sifat ibu yang tak pernah mementingkan diri sendiri. Ia memberikan kursinya pada seorang pria Candor yang bermuka masam tanpa berpikir dua kali.
Pria Candor itu mengenakan setelan hitam dengan dasi putih—seragam standar Candor. Faksi mereka menghargai kejujuran dan melihat kebenaran sejelas warna hitam dan putih. Jadi, warna itulah yang mereka pakai.
Jarak antarbangun mulai menyempit dan jalanan mulai lebih halus saat kami mendekati pusat kota. Gedung yang tadinya disebut Menara Sears—sekarang kami memanggilnya The Hub—mencuat dari balik kabut dan membentuk sebuah pilar hitam di langit. Bus melewati bagian bawah jalur layang kereta. Aku belum pernah naik kereta walau kereta selalu lewat dan jalur relnya dimana-mana. Hanya the Dauntless yang menggunakannya.
Lima tahun lalu, beberapa pekerja konstruksi sukarela dari Abnegation memperbaiki beberapa jalan. Mereka memulainya dari tengah kota dan terus bekerja sampai ke luar kota, hingga akhirnya mereka kehabisan bahan baku. Jalanan tempatku tinggal masih retak-retak dan penuh tambalan; benar-benar tak aman dilewati. Tapi itu tak masalah karena kami tak memiliki mobil.
Ekspesi Namjoon-hyung terlihat tenang saat bus berayun dan berguncang. Jubah kelabunya menjuntai dibagian lengan saat ia menggenggam tiang untuk menjaga keseimbangannya. Aku tahu dari matanya yang terus bergerak kalau ia sedang mengamati orang disekitarnya—berusaha untuk hanya melihat mereka dan tak melihat dirinya sendiri. Candor menghargai kejujuran, tapi faksi kami, Abnegation, menghargai sifat tak mementingkan diri sendiri.
Bus berhenti di depan sekolah. Aku bangkit dan melewati pria Candor itu. Aku meraih lengan Namjoon-hyung saat aku tersandung sepatu pria itu. Celanaku memang terlalu panjang dan aku memang canggung.
Gedung Tingkat Atas adalah bangunan sekolah tertua diantara tiga sekolah di kota ini; Tingkat Rendah, Tingkat Tengah, dan Tingkat Tinggi. Seperti gedung lain di sekelilingnya, bangunan ini terbuat dari kaca dan baja. Dibagian depannya ada ukiran besi besar yang sering dipanjat Dauntless sepulang sekolah. Mereka saling menantang untuk memanjat lebih tinggi dan tinggi. Tahun lal aku melihat salah satu dari mereka jatuh dan kakinya patah. Akulah yang pergi mencari pertolongan perawat.
"Hari ini tes kecakapan," ujarku. Selisih usia Namjoon-hyung dan aku tidak ada setahun, jadi kami berada dikelas yang sama.
Namjoon-hyung mengangguk saat kami melewati pintu depan. Otot-ototku menegang begitu kami masuk. Suasananya terasa seperti kami semua tengah diserang dahaga. Sepertinya semua murid yang berumur 16 tahun berusaha menikmati apa pun yang bisa mereka nikmati di hari terakhir ini. Karena kemungkinan besar kami tidak akan berjalan di aula ini lagi setelah Upacara Pemilihan—begitu kami membuat pilihan, faksi kami yang barulah yang akan bertanggung jawab untuk tuntasnya pendidikan kami.
Pelajaran hanya berlangsung setengahnya hari ini, jadi kami bisa menyelesaikan semua pelajaran sebelum tes kecakapan yang akan berlangsung setelah makan siang. Detak jantungku sudah terlanjut naik.
"Kau sama sekali tidak khawatir yang mereka katakan, hyung?" tanyaku pada Namjoon-hyung.
Kami berhenti sejenak dipersimpangan aula, di mana kami akan pergi ke satu arah untuk mengikuti kelas Matematika Lanjutan dan aku akan pergi ke arah lainnya menuju kelas Sejarah Faksi.
Ia mengangkat alisnya dan menatapku. "Kamu sendiri?"
Aku bisa saja berkata padanya berminggu-minggu ini, aku khawatir bagaimana hasil tes kecakapanku nanti—Abnegation, Candor, Erudite, Amity, Dauntless?
Tapi, aku malah tersenyum dan berkata, "Tidak juga."
Ia ikut tersenyum. "Nah…, semoga harimu menyenangkan."
Aku berjalan menuju kelas Sejarah Faksi sambil menggigit bibir bawah. Ia tak menjawab pertanyaanku.
Aula terlihat sesak walau ada cahaya menyeruak masuk melalui jendela dan menciptakan ilusi ruangan yang lebih luas. Inilah salah satu tempat di mana semua anggota faksi berkumpul. Saat seusia kami. Hari ini kerumunannya seperti memiliki semacam energi baru, kegembiraan akan hari terakhir.
Seorang gadis dengan rambut keriting panjang berteriak "Hei!" tepat di telingaku sambil melambai ke arah temannya di kejauhan. Lengan jaketnya menampar pipiku. Kemudian, seorang anak laki-laki Erudite ber-sweater biru mendorongku. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk.
"Minggir, dasar orang kaku!" bentaknya sambil berlalu pergi.
Pipiku memanas. Aku bangkit, lalu menepuk jubahku. Beberapa orang berhenti ketika aku terjatuh, tapi tak ada satupun menawarkan bantuan. Mata mereka mengikutiku sampai ke ujung aula. Hal seperti ini juga terjadi di anggota faksiku beberapa bulan belakangan—Erudite membuat laporan menyudutkan tentang Abnegation dan itu mulai memengaruhi hubungan kami di sekolah. Jubah kelabu, tatanan rambut sederhana, dan sikap sahaja faksi kami seharusnya membuatku melupakan keberadaanku. Tapi sekarang, mereka menjadikanku target.
Aku berhenti sejenak didepan jendela saya E dan menunggu para Dauntless tiba. Aku melakukannya tiap pagi. Tepat pukul 07.25, Dauntless membuktikan keberanian mereka dengan melompat dari sebuah kereta yang tengah melaju.
Ayah memanggil para Dauntless itu dengan panggilan "Hellion". Mereka bertindik, bertato, dan berpakaian serba hitam. Tugas utama mereka adalah menjaga pagar yang mengelilingi kota kami. Menjaga dari apa, aku tidak tahu.
Mereka membuatku bingung. Aku bertanya-tanya apa hubungan keberanian—yang merupakan nilai yang paling mereka hargai—dengan cincin besi yang menembus cuping hidung mereka. Namun, tetap saja mataku tak bisa lepas menatap mereka ke mana pun mereka pergi.
Peluit kereta melengking nyaring. Suaranya menggema didadaku. Lampu yang terpasang di bagian depan kereta berkedap-kedip saat melaju melewati sekolah. Rel besinya berdecit kencang. Dan, saat beberapa gerbong terakhir melaju, sekumpulan remaja laki-laki dan perempuan berpakaian hitam berlompatan diri dalam gerbong yang sedang berjalan itu. Ada beberapa yang jatuh, ada pula yang terguling. Yang lainnya terjungkal beberapa langkah sebelum akhirnya kembali seimbang. Salah satu bocah laki-laki itu malah merangkul pundah seorang gadis sambil tertawa.
Menonton mereka hanyalah sebuah tindakan konyol. Aku berbalik dari jendela dan berjalan menembus kerumunan menuju kelas Sejarah Faksi.
—oOo—
Tesnya mulai setelah makan siang. Kami semua duduk di meja panjang kafetaria dan para penguji akan memanggil sepuluh nama sekaligus. Masing-masing menempati satu ruang pengujian. Aku duduk di samping Namjoon-hyung. Diseberangku ada tetangga kami, Zitao.
Ayah Zitao bepergian ke penjuru kota untuk bekerja, jadi beliau memiliki mobil untuk mengantar jemput Zitao setiap hari. Beliau menawari kami juga, tapi seperti kata Namjoon-hyung, kami lebih suka berangkat siang dan tak ingin membuatnya repot.
Para penjaga tes kebanyakan pekerja sukarela dari Abnegation walau ada juga seorang Erudite di salah satu ruang uji. Ada pula seorang Dauntless di ruang uji lainnya untuk menguji kami yang berasal dari Abnegation, karena peraturannya menyatakan kami tak boleh diuji oleh penguji yang berasal dari faksi yang sama. Peraturan juga menyatakan kami tak boleh mempersiapkan apa pun untuk tes itu, jadi aku tak tahu apa yang akan diujikan.
Pandanganku beralih dari Zitao ke arah meja Dauntless di seberang ruangan. Mereka tertawa, berteriak, dan bermain kartu. Di barisan meja lainnya, kaum Erudite sibuk berdiskusi di antara tumpukan buku dna koran, mengejar ilmu pengetahuan tanpa henti.
Sekelompok gadis-gadis Amity berpakaian kuning dan merah duduk melingkat di lantai kafetaria. Mereka memainkan semacam permainan tepuk tangan dengan lagu berirama. Tiap beberapa menit, aku mendengar tawa mereka saat harus ada yang dieliminasi dan duduk ditengah lingkaran. Di meja sebelah mereka, anak-anak lelaki dari Candor sibuk merentangkan tangan. Mereka sepertinya berdebat tentang sesuatu, tapi pasti bukan masalah yang serius, karena beberapa dari mereka masih tersenyum.
Di meja Abnegation, kami duduk tenang menunggu. Aturan faksi kami mengatur bagaimana bersikap hingga menentukan preferensi pribadi. Aku ragu apakah semua Erudite mau belajar setiap saat atau setiap Candor menikmati debat penuh semangat, tapi mereka pun tidak bisa menentang norma faksi seperti aku.
Nama Namjoon-hyung yang berikutnya dipanggil. Dengan penuh percaya diri, ia berjalan menuju pintu keluar. Aku tak perlu mendoakan semoga ia beruntung atau meyakinkannya kalau ia tak perlu merasa gugup. Namjoon-hyung tahu di mana tempatnya, dan sejauh yang kutahu, ia selalu tahu. Kenangan pertamaku tentangnya adalah ketika kami berusia empat tahun. Ia memarahiku karena aku tak mau memberikan tali permainanku pada seorang anak lelaku di taman yang tak memiliki apapun untuk dimainkan. Ia tak lagi sering memarahiku sekarang, tapi aku masih terkenang tatapannya yang penuh teguran.
Aku pernah mencoba menjelaskan padanya kalau instingku tak sama sepertinya—bahkan tak terpikir olehku untuk memberikan kursi pada seorang pria Candor didalam bus tadi—tapi ia tak mengerti. "Lakukan apa yang harus kau lakukan," ia selalu berkata seperti itu. Mudah baginya. Seharusnya mudah bagiku.
Perutku melilit. Aku menutup mata dan terus terpejam sampai sepuluh menit sampai akhirnya Namjoon-hyung kembali duduk.
Ia kelihatan pucat. Ia mengusapkan telapak tangan di celana seperti yang biasa kulakukan untuk menghapus keringat. Setelah selesai mengusap tangannya, jemarinya gemetar. Aku membuka mulut untuk bertanya sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Aku tak diizinkan untuk menanyakan hasil tesnya, dan ia dilarang memberitahuku.
Seorang sukarelawan Abnegation menyebut nama-nama putaran selanjutnya. Dua dari Dauntless, dua dari Erudite, dua dari Amity, dua dari Candor, dan kemudian: "Dari Abnegation: Huang Zitao dan Jeon Jungkook."
Aku bangkit karena memang itu yang harus kulakukan. Tapi, jika semua terserah aku, aku lebih suka tetap di kursi sampai semua selesai. Rasanya seperti ada gelembung di dadaku yang membesar dalam hitungan detik, siap menghancurkan tubuhku dari dalam. Aku mengikuti Zitao menuju pintu keluar. Orang-orang yang kulewati mungkin tak bisa membedakan kami. Kami mengenakan pakaian sama dan menata rambut kami dengan cara yang sama. Satu-satunya perbedaan adalah Zitao tidak merasa hampir muntah. Dan, dari yang bisa aku simpulkan, tangannya tidak gemetar hebat sampai harus menggenggam pinggiran kemejanya agar tetap tenang.
Diluar kafetarian ada sepuluh ruangan berjajar. Ruangan itu semua hanya digunakan untuk tes Kecakapan, jadi aku tak pernah berada didalamnya. Tak seperti ruangan lain di sekolah ini, ruangan ini dipisahkan oleh cermin, bukan kaca. Aku melihat diriku sendiri, pucat dan ketakutan, berjalan menuju salah satu pintu. Zitao menyeringai gugup padaku saat ia memasuki ruang 5 dan aku masuk ruang 6, di mana seorang wanita Dauntless menungguku.
Wajah wanita itu tak sekeras wajah para Dauntless muda yang pernah kulihat. Matanya kecil, hitam, dan tajam. Ia mengenakan blazer hitam—seperti setelan pria—dan jins. Hanya saat ia menutup pintu, aku bisa melihat tato di balik lehernya. Tato berupa elang hitam putih dengan mata merah menyala. Jika jantungku tidak terasa seperti mau loncat ke tenggorokan, aku akan menanyakan apa artinya. Pasti ada artinya.
Cermin-cermin itu menutupi bagian dalam dinding ruangan. Aku bisa melihat bayanganku dari semua sudut. Jubah abu-abu ini menutupi punggungku, leher jenjangku, jemariku yang gemetaran. Langit-langit memendarkan warna putih. Di tengah ruangan, ada kursi dengan sandaran punggung seperti yang ada di dokter gigi, dengan sebuah mesin di sampingnya. Sepertinya tempat di mana sebuah kejadian buruk akan terjadi.
"Jangan khawatir," ujar wanita itu, "tidak sakit."
Rambutnya hitam dan lurus, tapi saat tertimpa cahaya, kutemukan beberapa helai uban.
"Duduklah dan santai saja" ujarnya. "Namaku Chungha. Kau bisa memanggilku Noona, aku lebih tua darimu." Tentu saja dengan melihat perbedaan postur kami aku tahu, bahwa aku memang lebih muda darinya. Rasanya ada yang asing dengan lidahku, karena jarang bagiku menyebut kata Noona terutama bertemu wanita yang lebih tua untuk bisa membuatku menyebut panggilan itu.
Aku duduk di kursi itu dengan kikuk dan bersandar. Kuletakkan kepalaku di sandaran kepala. Lampunya membuatku silau. Chungha sibuk dengan mesin di sebelah kananku. Aku mencoba fokus padanya dan bukan pada kabel-kabel di tangannya.
"Apa artinya elang itu?" aku keceplosan saat ia menempelkan kabel elekroda di dahiku.
"Aku belum pernah bertemu Abnegation yang ingin tahu sepertimu sebelumnya," ujarnya sambil mengangkat alis ke arahku.
Aku merinding. Bulu kuduk di lenganku seperti berdiri semua. Rasa ingin tahuku adalah kesalahan. Sebuah pengkhianatan untuk nilai-nilai Abnegation.
Sambil bersenandung kecil, ia menempelkan kabel elektroda lainnya di dahiku dan menjelaskan, "Di beberapa belahan dunia di masa lalu, elang adalah simbol matahari. Saat aku memperoleh tato ini, aku tahu kalau aku selalu memiliki matahari di dalam diriku, aku takkan takut akan gelap."
Aku mencoba menahan diri untuk menanyakan pertanyaan selanjutnya, tapi tidak bisa. "Noona takut gelap?"
"Aku pernah takut akan gelap," ia mengoreksi ucapanku. Ia menempelkan elektroda lainnya ke dahinya sendiri dan menyambungkannya dengan sebuah kabel. Ia mengangkat bahu. "Sekarang, tato itu mengingatkanku pada rasa takut yang sudah bisa kuatasi."
Ia berdiri di belakangku. Aku mencengkeram sandaran tangan begitu kuat sampai tanganku memucat. Ia menarik beberapa kabel ke arahnya, lalu memasangkannya padaku, padanya sendiri, juga pada mesin di belakangnya. Kemudian, ia menyodorkan sebotol cairan bening.
"Minum ini," ujarnya.
"Apa ini?" rasanya tenggorokanku seperti bengkak. Susah payah aku menelannya. "Apa yang akan terjadi?"
"Tak bisa kuberi tahu. Percayalah padaku."
Aku menarik udara dari paru-paru dan menenggak isi botol itu. Mataku terpejam.
Saat mataku terbuka, sekejap saja, tapi aku seperti berada di tempat lain. Aku berada di kafetaria sekolah lagi, tapi tak ada lagi meja-meja panjang. Aku melihat ke luar melalui dinding kaca, salju turun di luar. Di meja di hadapanku ada dua keranjang. Salah satunya berisi sebongkah keju dan yang lainnya berisi sebilah pisau sepanjang lengan bawahku.
Di belakangku, terdengar suara seorang wanita, "Pilih."
"Kenapa?" tanyaku.
"Pilih," ulangnya.
Aku melihat ke belakang, tapi tak ada siapa pun. Aku berbalik ke arah keranjang itu lagi. "Apa yang harus kulakukan dengan benda-benda ini?"
"Pilih!" teriaknya.
Saat ia berteriak padaku, rasa takutku hilang dan sikap keras kepalaku muncul. Aku marah dan menyilangkan tangan di dada.
"Terserah kau," ujarnya.
Kedua keranjang itu menghilang. Aku mendengar ada suara pintu terbuka dan langsung berbalik untuk melihat siapa yang datang. Yang kulihat bukan "siapa", melainkan "apa". Seekor anjing berhidung mencuat berdiri beberapa langkah di hadapanku. Anjing itu membungkuk rendah dan bergerak perlahan ke arahku. Menyeringai, memperlihatkan taringnya. Terdengar suara menggeram dan sekarang aku paham kenapa keju tadi bisa berguna. Atau juga pisaunya. Tapi sekarang sudah terlambat.
Aku berpikir untuk lari, tapi anjing itu akan berlari lebih cepat. Aku tak bisa pula bergulat dengan anjing itu. Kepalaku berdenyut-denyut. Aku harus membuat keputusan. Kalau aku bisa melompati salah satu meja itu dan menggunakannya sebagai pelindung—tidak, aku terlalu pendek untukmelompati meja dan tak terlalu kuat untuk mengangkatnya.
Anjing itu menggeram. Aku hampir bisa merasakan suaranya bergema di kepalaku.
Buku pelajaran Biologi pernah menyebutkan kalau anjing bisa mencium rasa takut karena ada sejenis zat kimia yang dikeluarkan kele manusia dalam bentuk rasa takut, zat kimia yang sama yang disekresikan mangsa anjing pada umumnya. Mencium rasa takut bisa mendorong anjing untuk menyerang. Anjing itu sudah mendekat beberapa inci. Kukunya menggures-gores lantai.
Aku tak bisa lari. Aku tak bisa berkelahi. Aku malah menarik napas dengan udara yang dipenuhi napas anjing dan berusaha tidak berpikir apa yang baru saja dimakan anjing itu. Tak ada warna putih di bola matanya. Hanya ada kilatan hitam.
Apalagi yang kutahu tentang anjing? Aku tak seharusnya melihat matanya. Itu tanda penyerangan. Aku ingat pernah meminta anjing peliharaan pada ayah waktu aku masih kecil. Dan sekarang, saat menatap mata anjing itu, aku tak bisa ingat mengapa aku pernah meminta hal seperti itu. Anjing itu makin mendekat dan masih menggeram. Jika melihat matanya adalah tanda penyerangan, lalu apa tanda kepatuhan?
Napasku masih terdengar kencang, tapi mulai tenang. Aku berlutut. Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah berbaring di depan anjing itu—berusaha membuat giginya sama tinggi dengan wajahku—tapi itulah pilihan terbaik yang kupunya. Aku menjulurkan kakiku ke belakang dan menopang tubuh dengan siku. Anjing itu makin mendekat dan makin dekat, sampai aku merasakan hangat napasnya di wajahku. Lenganku bergetar hebat.
Anjing itu menggonggong di telingaku dan aku menggertakkan gigi, menahan diri agar tidak teriak.
Ada sesuatu yang kasar dan basah menyentuh pipiku. Gonggongan anjing berhenti. Saat aku mendongakkan kepala untuk melihat sekali lagi, anjing itu terengah-engah. Menjilati wajahku. Aku jongkok sambil mengernyitkan dahi. Anjing itu menaikkan kakinya ke lututku dan menjilati daguku. Sejenak aku merinding saat menghapus tetesan liur dari kulitku, dan akhirnya tertawa.
"Kau bukan hewan liar yang mengerikan, ya?"
Aku bangun perlahan agar tak mengejutkannya. Tapi, sepertinya anjing ini bukan anjing yang tadi kulihat beberapa detik yang lalu. Aku mengulurkan tangan hati-hati agar aku bisa cepat menariknya kembali jika diperlukan. Anjing itu menyentuhkan kepalanya ke tanganku. Mendadak aku senang bahwa pada kenyataannya tadi aku tidak memilih pisau.
Aku mengedipkan mata dan membukanya, seorang anak kecil berbaju putih berdiri di seberang ruangan. Ia mengulurkan kedua tangannya dan berteriak, "Anak anjing!"
Saat anak perempuan itu berlari mendekati anjing di dekatku, aku membuka mulut untuk mengingatkannya. Tapi, aku terlambat. Anjing itu membalikkan badan. Bukannya menggeram, anjing itu langsung menggonggong. Menggertak. Dan menyerang. Otot-otot tubuhnya melengkung seperti kabel gulung. Anjing itu siap-siap melompat. Aku tak berpikir apa-apa lagi, aku melompat; mendorong tubuhku ke bagian atas tubuh anjing, berusaha meraih leher besarnya dengan rengkuhan lenganku.
Kepalaku membentur tanah. Anjingnya menghilang, juga gadis kecil itu. Yang ada hanya aku sendiri—sekarang berada di dalam ruang uji yang kosong. Aku membalikkan tubuh perlahan dan tak menemukan bayanganku sendiri. Tak ada cermin. Aku mendorong pintu dan berjalan menuju aula. Tapi, ini bukan aula. Ini bus dan semua kursinya penuh.
Aku berdiri di lorong bus dan berpegangan di tiang. Di sebelahku, duduk seorang pria dengan korannya. Aku tak bisa melihat wajahnya yang tertutup koran, tapi aku bisa melihat tangannya. Penuh bekas luka, seperti bekas luka bakar. Tangan itu mencengkeram lembaran koran kuat-kuat seakan ia ingin meremasnya.
"Kau kenal pria ini?" tanyanya. Ia mengetuk gambar di halaman depan koran. Headline-nya tertulis: "Pembunuh Brutal Akhirnya Tertangkap!"
Aku menatap kata "Pembunuh". Sudah lama sejak terakhir kalinya aku membaca kata itu, tapi itu pun masih bisa membuatku ketakutan.
Gambar di bawah headline adalah gambar seorang pria muda berjenggot. Rasanya aku kenal ia, tapi aku tak ingat bagaimana bisa aku mengenalnya. Dan, pada saat yang bersamaan, aku rasa bukan ide yang baik untuk mengatakannya pada pria itu.
"Jadi?" aku dengar nada marah di suaranya. "Kau mengenalnya?"
Ide buruk—bukan, ide yang sangat buruk. Jantungku berdebar-debar dan aku menggenggam tiang itu lebih kuat agar tanganku tak makin gemetar dan membuatku menyerah. Jika aku memberitahunya kalau aku kenal pria di dalam artikel itu, sesuatu yang buruk akan terjadi padaku. Tapi, aku bisa menyakinkannya kalau aku tak kenal. Aku bisa berdeham dan mengangkat bahu—tapi itu berarti aku harus berbohong.
Aku berdehem.
"Kau kenal?" ulangnya.
Aku mengangkat bahu.
"Jadi?"
Aku gemetar. Ketakutanku tak masuk akal; ini cuma tes. Tidak nyata. "Nggak," ujarku, sewajar mungkin. "Aku tidak tahu siapa dia."
Ia berdiri dan akhirnya aku bisa melihat wajahnya. Ia mengenakan kacamata hitam dan mulutnya melengkung menyeringai. Pipinya dipenuhi bekas luka, persis seperti yang ada di tangannya. Ia membungkuk ke arahku. Napasnya bau rokok. Tidak nyata, aku mengingatkan diriku sendiri. Tidak nyata.
"Kau bohong," ujarnya. "Kau bohong!"
"Tidak."
"Aku bisa tahu dari matamu."
Aku menegakkan tubuhku. "Kau tidak tahu apa-apa."
"Kalau kau kenal dengannya," ujarnya dengan suara rendah, "kau bisa menyelamatkanku. Kau bisa menyelamatkan-ku."
Aku memicingkan mata. "Yah," ujarku. Aku mengatupkan rahangku. "Aku tidak kenal."
Aku terbangun dengan telapak tangan basah dan serangan rasa bersalah di dada. Aku berbaring di kursi di ruangan penuh cermin. Saat aku memiringkan kepala ke belakang, kulihat ada Chungha di belakangku. Ia menggigit bibir dan mencabut elektroda dari kepalaku. Aku menunggunya mengatakan sesuatu tentang tes ini—tesnya sudah selesai, atau aku mengerjakan tesnya dengan baik, walau entah apa ukuran bahwa aku bisa melakukan tes ini dengan baik?—tapi, ia tak berkata apa-apa. Ia cuma menarik kabel-kabel dari dahiku.
Aku duduk tegak dan menggosokkan telapak tanganku yang berkeringat di celana. Pasti aku sudah melakukan kesalahan, bahkan kalaupun itu cuma terjadi di dalam benakku. Apa tatapan aneh di wajah Chungha itu karena ia tak tahu bagaimana caranya memberi tahu kalau betapa buruknya aku? Kuharap hanya itu yang akan ia ucapkan.
"Yang tadi," ujarnya, "membingungkan. Permisi, aku akan segera kembali."
Aku menekuk lutut sampai ke dada dan membenamkan wajah ke sana. Rasanya aku mau menangis karena air mata mungkin bisa membuatku lega, tapi aku tidak bisa. Bagaimana kau bisa gagal dalam tes yang kau sendiri tak diizinkan untuk melakukan persiapan?
Setelah beberapa lama, aku makin gugup. Kuusap telapak tanganku beberapa detik sekali karena makin berkeringat—atau aku melakukannya hanya karena itu membuatku merasa lebih tenang. Apa jadinya kalau mereka memberitahuku aku tidak cocok berada di faksi mana pun? Aku harus tinggal di jalanan, dengan mereka yang tak memiliki faksi. Aku tak bisa melakukannya. Hidup tanpa perlindungan faksi bukan sekadar hidup miskin dan tidak nyaman; tapi juga hidup terpisah dari masyarakat, terpisah dari hal yang terpenting dalam hidup; komunitas.
Ibu pernah berkata kalau kita tidak bisa bertahan hidup sendiri, tapi kalau kita bisa, kita tidak akan mau melakukannya. Tanpa faksi, kita takkan memiliki tujuan dan alasan hidup.
Aku menggeleng. Aku tak boleh berpikir seperti itu. Aku harus tetap tenang.
Akhirnya, pintu terbuka. Chungha pun masuk. Aku mencengkeram sandaran kursi.
"Maaf membuatmu khawatir," ujar Chungha. Ia berdiri di dekat kakiku dengan tangan tersimpan di saku. Wajahnya kelihatan tegang dan pucat.
"Jungkook, hasil tesmu tak bisa disimpulkan," ujarnya. "Biasanya, setiap tahap simulasi akan mempersempit satu atau lebih jenis Faksi yang ada. Tapi dalam kasusmu, hanya ada dua faksi yang dicoret."
Aku menatapnya. "Dua?" tanyaku. Tenggorokanku tercekat sampai susah untuk berbicara.
"Kalau tadi kau langsung membuang pisau dan memilih keju, simulasi akan membawamu ke skenario berbeda yang nantinya akan menunjukkan kalau kecakapanmu adalah Amity. Karena tidak terjadi, itu artinya Amity dicoret." Chungha menggaruk bagian belakang lehernya.
"Biasanya, simulasi berjalan secara linear dengan mengunci simbol satu faksi dan membuang simbol faksi sisanya. Pilihan yang kau buat bahkan tidak memberi jalan untuk Candor, kemungkinan berikutnya, untuk dibuang, jadi aku harus mengubah simulasi dengan membawamu ke dalam bus. Dan, keteguhanmu untuk berbohong membuang kemungkinan untuk Candor." Ia sedikit tersenyum. "Tak perlu khawatir. Hanya Candorlah yang akan jujur dalam kasus itu."
Satu ikatan beban di dadaku melonggar. Mungkin aku bukan orang seburuk itu.
"Tapi, menurutku itu tak sepenuhnya benar. Yang selalu berkata benar adalah Candor…, dan Abnegation," ujarnya. "Dan disanalah masalahnya."
Mulutku terbuka saking terkejutnya.
"Di satu sisi, kau melompat ke atas anjing daripada membiarkan gadis kecil itu diserang adalah respon khas Abnegation... tapi di sisi lain, saat pria itu bilang kalau kebenaran yang kau sampaikan itu akan menyelamatkannya, kau masih menolak mengatakannya. Itu bukan respon khas Abnegation." Ia menghela napas. "Tidak kabur dan berani menghadapi anjing menunjukkan kau Dauntless, dan itu berlaku juga kalau kau mengambil pisaunya. Tapi tidak kau lakukan."
Ia berdeham lalu melanjutkan. "Respons kepandaianmu saat menghadapi anjing itu menandakan hubungan sejajar yang kuat dengan kaum Erudite. Aku tak tahu apa yang membuatmu ragu pada tes tahap pertama, tapi—"
"Tunggu," aku memotong pembicaraannya. "Jadi, kau tak tahu apa bakat kecakapanku?"
"Ya dan tidak. Kesimpulanku," ia menjelaskan, "kau menunjukkan tingkat kecakapan yang seimbang antara Abnegation, Dauntless, dan Erudite. Mereka yang memiliki hasil seperti ini adalah..." ia melirik ke belakang seakan ia sedang menunggu seseorang muncul di belakangnya. "disebut Divergent." Ia mengatakan kata terakhir itu begitu lirih sampai aku hampir tak bisa mendengarnya. Wajahnya yang tegang dan cemas itu kembali. Chungha berjalan mengitari kursi dan membungkuk ke arahku.
"Jungkook," ujarnya, "dalam keadaan apa pun, kau tak boleh memberitahukan hal ini pada siapa pun. Ini hal yang sangat penting."
"Kami tidak boleh memberitahukan hasil tes kami." Aku mengangguk. "Aku tahu."
"Bukan." Chungha menopang tubuhnya dengan lutut di sandaran kursi dan lengannya berada di sandaran tangan. Wajah kami begitu dekat. "Yang ini berbeda. Maksudku, kau tak perlu memberitahukan hasilnya pada siapa-siapa sekarang; maksudku kau tidak boleh memberitahukannya pada siapa pun, selamanya, apa pun yang terjadi. Divergent—mereka yang memiliki perbedaan—benar-benar berbahaya. Kau mengerti?"
Aku tidak mengerti—bagaimana bisa hasil tes yang tidak pasti bisa berbahaya?—tapi aku tetap saja mengangguk. Lagi pula, aku memang tak mau memberitahukan hasil tesku pada siapa pun.
"Oke," aku mengangkat tanganku dari sandaran kursi berdiri. Aku merasa linglung.
"Kusarankan," ujar Chungha, "kau pulang. Kau harus berpikir dengan matang dan menunggu dengan yang lain takkan ada gunanya."
"Aku harus bilang dulu pada kakakku ke mana aku pergi."
"Biar aku yang bilang."
Aku menyentuh dahi dan berjalan meninggalkan ruangan sambil menatap lantai. Aku tak tahan menatap matanya. Aku tak bisa memikirkan tentang Upacara Pemilihan besok.
Sekarang, semua bergantung pilihanku. Bagaimanapun hasil tesnya.
Abnegation, Dauntless. Erudite.
Divergent.
—oOo—
Kuputuskan tidak naik bus. Kalau aku pulang lebih cepat, ayah akan tahu saat ia memeriksa log rumah nanti dan aku harus menjelaskan apa yang terjadi. Kuputuskan jalan kaki saja. Aku harus mencegat Namjoon-hyung sebelum ia menceritakan apa pun pada ayah ibu, tapi Namjoon-hyung bisa menyimpan rahasia.
Aku berjalan di tengah jalan. Bus-bus cenderung berjalan di lajur pinggir, jadi lebih aman berjalan di sini. Kadang-kadang di jalanan dekat rumahku, aku bisa menemukan garis kuning yang dulu pernah ada. Kami tak memerlukannya lagi sekarang karena mobilnya tidak banyak. Kami tak perlu lampu merah juga, tapi di beberapa tempat, lampu lalu lintas itu menggantung berbahaya di atas jalanan dan bisa saja jatuh berserakan kapan saja.
Renovasi berjalan lambat di penjuru kota yang serupa seperti paduan dari gedung-gedung baru yang bersih dan gedung-gedung tua yang hampir roboh. Sebagian gedung baru berada di dekat rawa yang dulunya adalah sebuah danau. Agen sukarelawan Abnegation tempat ibu bekerja yang mengurusi sebagian besar renovasi ini.
Saat aku melihat kehidupan Abnegation dari kacamata orang luar, menurutku itu hidup yang indah. Saat aku melihat keluargaku dalam harmoni, saat kami pergi ke acara makan malam dan semuanya saling membersihkan meja setelah pesta tanpa diminta; saat aku melihat Namjoon-hyung membantu orang asing membawakan belanjaannya, aku jatuh cinta dengan cara hidup seperti itu berkali-kali. Tapi, ketika aku mencoba untuk menerapkannya, aku gagal. Aku merasa itu bukan diriku.
Tapi, jika aku memilih faksi yang berbeda, aku mengorbankan keluargaku. Selamanya.
Tak jauh dari sektor Abnegation di kota ini adalah jajaran rangka-rangka bangunan dan trotoar rusak yang sekarang tengah kulewati. Ada tempat-tempat di mana jalannya benar-benar rusak. Pipa pembuangan air terlihat di mana-mana dan jalur kereta bawah tanah yang kosong dan benar-benar harus kuhindari. Aku pun melewati tempat yang begitu bau oleh busuknya sampah dan limbah, sampai-sampai aku harus menutup hidung.
Disinilah para factionless atau mereka yang tak dilindungi faksi, tinggal. Karena mereka gagal memenuhi inisiasi di faksi mana pun yang mereka pilih. Mereka hidup miskin dan melakukan pekerjaan yang tak mau dilakukan siapa pun. Mereka tukang bersih-bersih, pekerja konstruksi, dan pengumpul sampah. Ada pula yang bekerja sebagai buruh kain, operator kereta api, dan sopir bus. Imbalan atas pekerjaan mereka adalah makanan dan pakaian, tapi seperti kata ibu, itu tidak cukup.
Aku melihat seorang pria factionless berdiri di sudut jalan di depan sana. Ia memakai baju lusuh berwarna cokelat dan kulihat ada kulit bergelambir di rahangnya. Ia menatapku dan aku balik menatapnya. Aku tak bisa mengalihkan pandangan.
"Permisi," ujarnya. Suaranya terdengar parau. "Apa kau memiliki sesuatu yang bisa kumakan?"
Tenggorokanku tercekat. Ada suara menggema di kepalaku, berkata, tetap menunduk dan terus berjalan.
Tidak. Aku menggeleng. Aku tidak boleh takut pada pria ini. Ia membutuhkan bantuan dan aku harus menolongnya.
"Um... ya," ujarku. Aku meraih sesuatu ke dalam tas. Ayah selalu memintaku menyimpan makanan di dalam tas untuk alasan ini. Aku menawarkan pria itu sekantong irisan apel kering.
Ia mengulurkan tangan, tapi bukannya mengambil kantong itu, tangannya mencengkeram tanganku. Ia tersenyum. Ada celah di gigi depannya.
"Ya ampun, mataku begitu indah," ujarnya. "Sayang sekali, yang lainnya kelihatan sederhana."
Hatiku berdegup kencang. Aku berusaha menarik tanganku, tapi ia mencengkeram makin kuat. Aku mencium napasnya yang berbau tajam dan menjijikan.
"Kau kelihatannya terlalu muda untuk berjalan-jalan sendiri, Nak," ujarnya.
Aku tak berusaha menarik tanganku lagi dan berdiri lebih tegak. Aku tahu aku kelihatan muda. Tak perlu diingatkan. "Aku lebih tua dari kelihatannya," jawabku. "Umurku enam belas."
Bibirnya menyeringai lebar. Aku bisa melihat gerahamnya yang kelabu dengan lubang hitam di sebelahnya. Aku tak tahu apakah ia tersenyum atau menyeringai. "Lalu, bukankah hari ini hari yang spesial untukmu? Hari sebelum kau memilih?"
"Lepaskan aku," kataku. Aku mendengar suara denging di telinga. Suaraku terdengar jelas dan keras—bukan seperti yang kuharapkan. Rasanya seperti bukan diriku.
Aku siap. Aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku membayangkan diriku menarik siku dan memukulinya. Aku melihat kantong apel itu melayang. Aku mendengar suara langkah kakiku yang berlari. Aku siap beraksi.
Namun, kemudian ia melepaskan genggamannya, mengambil apelnya, lalu berkata, "Pilih dengan bijak, Anak Manis."
Setelahnya pun aku berlari, menuju rumah, meninggalkan pria itu dengan apel kering yang kutinggalkan.
—TBC—
Be friend with me?
Wattpad : reepetra
IG/Twt : reepettra
