Snowflakes (Kepingan Salju)

Summary :

Taehyung jatuh cinta untuk pertama kalinya, tepat disaat kepingan salju pertama jatuh mencium bumi.

Taehyung, seorang ayah, tenggelam dalam tanggung jawab dan tekanan, menemukan kekuatannya dalam sepasang mata indah yang besar, tepat seminggu sebelum malam Natal.

Sepasang mata indah tersebut, adalah milik seorang pemuda desa sederhana bernama Jungkook.

Mengunjungi nenek Jimin sepertinya bukanlah ide yang bagus menurut Taehyung.

Apalagi setelah putrinya – Istri Taehyung yang tiba-tiba saja menghilang-, meninggalkan lelaki muda itu bersama seorang putra berumur lima tahun, setumpuk tanggung jawab, pandangan orang tuanya yang seolah-olah mengatakan, "Sudah kubilang kan?!" dan tentu saja sebuah surat dengan tulisan, "Aku tidak sanggup lagi,"

Tetapi jika saja dia tahu apa yang sedang menantinya dari awal, ia pasti tidak akan pernah membuang-buang waktu untuk datang ke desa kecil itu.

Karakter : Taehyung X Jungkook

Original story by Irinel:

AO3 : /works/9082681/chapters/20653054

AFF : story/view/1199622/snowflakes-angst-romance-bts-jungkook-taehyung-taekook-vkook-bottomjungkook-toptaehyung

Irinel account : TheForest_WhiteQueen (wattpad)

Warning (From Irinel, the author of Snowflakes)

The characters do not belong to me but the story and characterization completely belong to me, including every single word and every single sentence, unless it's stated otherwise, and any kind of similarities is purely accidental, so please respect me and my work of hardworking and do not copy or translate of this book, unless you have obtained permission from me. Otherwise, I'll take immediate action and it won't be pleasant.

Peringatan (dari Irinel, author Snowflakes)

Karakter bukan milik saya, tetapi cerita serta karakterisasi adalah milik saya, termasuk setiap kata dan setiap kalimat. Beberapa kesamaan hanya suatu kebetulan, jadi hargailah saya dan kerja keras saya. Jangan mengkopi atau menerjemahkan buku ini, kecuali anda sudah mendapatkan izin dari saya. Sebaliknya, saya akan segera mengambil tindakan dan tentu itu bukan suatu hal yang menyenangkan.

Peringatan (dari penerjemah)

Saya murni hanya menerjemahkan cerita Irinel yang berjudul 'Snowflakes', tanpa mengubah jalan cerita. Jika ada beberapa kata yang tidak sesuai dengan bahasa aslinya (English), itu karena saya ingin menjadikan kalimatnya lebih mudah dimengerti. Tolong hargai karya Irinel dengan tidak mengkopi atau menerjemahkan ke bahasa lain, kecuali sudah meminta izin langsung pada Irinel.

Chapter 1.

Kepingan salju yang menari.

Ringkasan : Kepingan salju yang menari menceritakan banyak hal tentang mimpi-mimpi yang sudah dilupakan oleh manusia hanya karena mimpi itu terlalu jauh untuk dikejar.

-I.R

Hari itu tidak terlalu dingin, walaupun sekarang adalah pertengahan bulan dari ratu musim dingin, Desember.

Tapi dia selalu merasakan kedinginan ketika dia tidak merasa baik.

Dia menggosokkan kedua tangannya yang terbungkus sarung, tangan itu mulai terasa perih walaupun sarungnya sangat tebal, seolah-olah menelan tangan itu. Penghangat sepertinya tidak melakukan tugasnya dengan baik walaupun dia bisa melihat sopirnya menyeka lapisan tipis keringat di dahinya dari tadi, mungkin karena penghangat yang sebenarnya tidak perlu dinyalakan di cuaca yang kering itu.

"Tolong kemudikan lebih cepat, Pak Wu." Ucapnya, suara itu teredam karena syal yang hampir menutupi setengah wajahnya, tapi tetap terdengar cukup jelas.

Sederhana dan jelas seperti biasanya, begitulah Kim Taehyung, seorang CEO yang masih muda dan bertalenta dari Good Men Entertainment terlihat dari luar.

Tapi tidak begitu untuk Kim Taehyung yang masih muda dan berstatus 'duda', yang justru takut dan tenggelam dalam setumpuk tanggung jawab bersama putranya yang masih berumur lima tahun.

Dari awal memang tidak ada yang sederhana dan jelas, tidak akan pernah seperti itu. Namun akhir-akhir ini, semuanya menjadi lebih rumit dan benar-benar melelahkan.

Dia menyerbu keluar dari mobil ketika sang sopir berhenti di depan kediamannya, 'berlari' menuju rumah adalah pilihan kata yang lebih tepat daripada 'berjalan dengan cepat', karena pemuda itu menghilang sangat cepat ke dalam mansionnya yang indah dan sepi.

Dia mendesis karena Desember sudah mencuri kehangatan dari tubuhnya dalam sekejap, langsung masuk dan menutup pintu dengan cepat.

Ruang tamu besar itu berantakan, pengingat yang kejam terhadap sesuatu yang telah terlupakan olehnya.

Dekorasi karangan bunga yang panjang dengan berbagai warna itu terhubung di langit-langit yang tinggi dan tergulung bersama, bintang-bintang kecil tergantung disana sehingga membuat dinding yang sebelumnya tampak tidak punya jiwa menjadi berkilat-kilat dengan indah.

Balon-balon melayang tanpa arah di atas lantai, diantara kertas pembungkus yang dibuang.

Baner dengan berbagai macam warna tergantung dimana-mana, tiap baner bertuliskan, "Selamat ulang tahun yang ke 5, Jiminnie."

"Sialan!" Taehyung menggumam sambil bernafas dengan cepat.

Para pelayan segera membungkuk padanya setelah mereka menyadari kehadirannya di dalam ruang tamu. Mereka terlalu sibuk membersihkan tempat itu sehingga tidak menyadari kedatangannya di awal. Mungkin hanya perasaannya saja karena ia terlalu lelah, tapi pandangan mereka yang seharusnya dia terima sebagai salam hormat, justru terlihat seperti mengejek.

Taehyung memandang keadaan sekeliling seolah-olah tempat itu adalah daerah perang, bukan tempat ulang tahun seorang anak berumur lima tahun.

"Anda baik-baik saja, Tuan?"

Dia menahan napas dan sedikit mengangguk, berbalik arah dan berlari lagi setelahnya.

"Jimin-ah?"

Taehyung memanggil sambil menaiki tangga dengan terburu-buru, setengah berlari menuju kamar putra kecilnya. Ya Tuhan, betapa benci ia pada dirinya sekarang, mungkin lebih benci dibanding hari-hari yang lain.

"Jimin-ah? Ayah minta ma-,"

"Ssssss…"

Taehyung menelan kata-katanya lagi ketika dia melihat kakak perempuannya menyuruh diam dengan dahi berkerut. Tentu saja putra kecilnya sudah tidur, sudah lewat dua jam dari tengah malam.

Muka Jimin yang gembul terlihat lelah dan sangat lugu ketika tidur, dan Taehyung benci ketika dialah penyebab air mata yang mengering di kedua pipi anak itu.

.

"Dia sudah menunggumu sangat lama, Tae. Dia terus melirik pintu setiap lima menit. Kenapa kau tidak mengangkat ponselmu? Aku benar-benar khawatir! dan Ya Tuhan, Jimin, dia benar-benar menangis selama tiga jam."

Taehyung menunduk dalam, pisau yang tajam seolah mengiris dadanya dengan brutal ketika dia membayangkan wajah sedih Jimin tepat pada hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia di hidupnya.

"A-Aku benar-benar lupa, hampir seharian waktuku tersita untuk menyelesaikan kertas-kertas perceraian sialan itu dan si pengacara bersikeras bahwa kehadiranku dibutuhkan untuk persidangan." Taehyung menjelaskan dengan lelah, mengusap wajahnya yang terlihat frustasi.

Beberapa minggu belakangan ini adalah neraka versi dunia bagi ayah muda itu, dimulai dari sebulan yang lalu, ketika dia pulang ke rumah dan bukannya ciuman sapaan yang diterimanya, malah surat selamat tinggal dari sang istri yang didapatinya.

Bukan berarti mereka sering berciuman, sih.

Tetapi menghadapi wajah menangis Jimin setiap malam, menangis karena ibunya, dan pandangan orang tuanya yang seolah-olah mengatakan, "Sudah kubilang kan?!" itu bukanlah hukuman yang paling pas untuk dirinya dan sang istri yang saling tidak mencintai.

"Aku masih tidak mengerti denganmu, Tae. Apakah perceraian itu perlu? Aku tahu ayah bersikeras tapi-"

"Ya Noona. ", Taehyung berkata dengan tegas, dia menurunkan kepalanya dengan pelan. "Lagipula apa bedanya? Dia sudah meninggalkan kami, aku yakin perceraian tidak akan mengacaukan kesenangannya."

Yang lain terlihat suram, matanya memperhatikan sekeliling sambil mengangguk lemah. "Dia tetaplah ibu dari anakmu, Tae. Dia.."

"Noona.." Tae menghentikan kalimatnya, tidak benar-benar siap untuk membayangkan masa depan Jimin tanpa ibu untuk kesekian kalinya pada hari itu.

"Juhyun sudah pergi, Noona. Sudah tidak ada lagi hal-hal tentang per-ibu-an atau omong kosong lainnya tentang itu."

Dia tidak bermaksud untuk kasar tapi sekalinya pahit, kau tidak akan bisa membuatnya terdengar manis, karena Taehyung terlalu lelah untuk mencoba.

"Tae-" Kakaknya mulai lagi dan Taehyung berharap sang kakak berhenti, dia hanya tidak bisa-

"Jimin-, dia sangat sensitif sekarang, bahkan melebihi sebelumnya. Dia adalah anak lima tahun yang belum melihat ibunya lebih dari sebulan Tae, dan ayahnya melupakan hari ulang tahunnya, dia membutuhkanmu disampingnya," sindirnya dengan pelan, sepelan mungkin, Taehyung menyadarinya tapi sayang sekali kata-kata itu terlalu kasar untuk ditutupi dengan mudah.

"Berbaikanlah dengannya semampumu.." tambah sang kakak setelahnya, Taehyung mengangguk dan tetap memandang ke bawah, kata-kata itu bermain dalam pikirannya dengan kejam. Dia butuh bernafas.

"Hey, Tae.." jari-jari itu, menopang dagunya, tapi tidak bisa mengeluarkannya dari pikiran-pikiran kejam tentang wajah penuh air mata Jimin, wajah sedih Jimin, anak itu pasti menyalahkannya atas segala hal yang terjadi.

"Semuanya akan baik-baik saja, adikku. Ini akan berlalu. Masih banyak anak-anak kecil diluar sana yang baik-baik saja walaupun tanpa ibunya," dia memberikan senyum menenangkan, dan Taehyung membalas senyuman itu.

"Aku tahu. Terima kasih, Yongsun Noona."

Wanita itu tersenyum dan mengangguk, "Sama-sama, dan aku harus pulang sekarang, oke?"

Taehyung mengangguk lagi, tersenyum senyata mungkin sambil mengantarkan kakaknya ke depan pintu.

"Aku akan menghubungimu." Sang kakak mencium dahinya dan menghilang.

Hening.

Tentu saja, sesekali ada suara berisik dari dapur. Mungkin suara para pelayan yang sedang berbicara atau suara dari jam dinding, menuju hari esok.

Tapi dunia Taehyung memang terlalu hening dan dia tidak pernah mengeluh.

Selalu seperti itu.

Dunianya selalu hening dan penuh dengan, kekosongan.

Dia melirik ke arah kamar Jimin. Dia menggosokkan kedua tangannya untuk menghilangkan rasa dingin.

Dan dia selalu merasakan kedinginan yang aneh ketika segala hal tidak berjalan seperti yang seharusnya.

.

Berbaring di sampingnya, memeluknya membuat dirinya terasa sangat baik.

Jimin itu indah. Dia sangat indah dengan mata besar seperti rusa dari ibunya dan bibir penuh seperti Taehyung, lebih pendek dibanding tinggi rata-rata anak berumur lima tahun tapi figur mungil itu sangat pas di pelukan Taehyung sehingga dia tidak akan protes soal itu.

Jimin adalah satu-satunya cerita sempurna dalam hidupnya, satu-satunya orang yang tidak akan ia tinggalkan, walaupun dia belum melakukan yang terbaik sejauh ini.

Taehyung menarik anak kecil itu ke dalam dekapannya, kasur Jimin telalu kecil untuk menampung mereka berdua tapi ayah muda itu entah kenapa bisa merapat manja pada figur anaknya yang sedang tidur.

Air mata yang telah mengering tidak mengurangi kesan 'malaikat' di wajah Jimin tapi itu justru membuat Taehyung merasa kesal.

Pipinya sangat lembut, seperti yang seharusnya, dan Jimin ada disana, ditempat dia seharusnya berada.

Taehyung menghela nafas dengan keras, menyandar untuk mencium dahi Jimin.

"Ayah benar-benar minta maaf, jagoan kecil," dia bergumam entah pada siapa, mungkin kepada dirinya sendiri. Karena Jimin adalah matahari bersinar di gurun kehidupannya dan Taehyung mengotorinya dengan kesalahan bodoh. Jimin membalikkan kepalanya dan menggumamkan sesuatu yang tidak karuan, dia menggosok hidungnya dengan imut dan kembali terhanyut ke dunia mimpinya.

Taehyung menutup matanya. Terhanyut. Bukan ke dalam dunia mimpi, karena mimpi itu tidak nyata.

Paling tidak bukan di dunia ini.

.

"Ayah.."

"Hmm.."

"Ayah, aku tidak bisa bernafas.."

"Hmm?"

"Jimin bisa mati.."

Mata Taehyung terbuka dengan segera, sinar matahari yang tajam menusuk pandangannya setelah itu, membuatnya mengerutkan dahi.

"Ayah bahkan belum bangun dan ayah sudah mengerutkan dahi? Dasar galak, benarkan Tuan Teddy?" Jimin menggelengkan kepala sambil memandang bonekanya itu dengan alasan yang tidak diketahui, dia suka memanggilnya Teddy.

Dan Taehyung sungguh tidak cemburu dengan beruang itu. Tidak. Sama sekali.

Dia tersenyum malas, "Kau tidak bisa mengkritikku menggunakan sebuah boneka.."

"Dan Ayah tidak boleh berbicara padaku, pergi dari kerajaanku pengkhianat!"

"Pengkhianat? Bagaimana kau tahu kata itu?" Taehyung bergumam, suaranya masih serak karena bangun tidur.

"Karena aku adalah raja di pertunjukan sekolah dan aku akan menghukum seorang pengkhianat, Hooo!" Jimin berucap dengan bangga sambil mengangkat tinjunya.

Taehyung mengangkat alisnya, "Pertunjukan apa?"

Raut wajah bahagia bocah itu langsung berubah sedetik kemudian dan kesedihan yang menyakitkan menguasainya, Taehyung menggigit bibir bawahnya karena gugup.

"Pertunjukan yang aku ceritakan pada ayah beberapa hari yang lalu, aku akan tampil besok dan a-ayah sudah berjanji.." Jimin terlihat muram, matanya bergerak-gerak liar tanpa memandang pada ayahnya. Taehyung sejujurnya bisa mati setelah menyadari hal itu.

"Tidak apa-apa. Lagipula ayah tidak pernah menepati janji." Jimin melompat dari kasurnya dan berlari keluar kamar dengan segera, kaki-kaki kecilnya menghentak sepanjang jalan.

"Ah sialan!"

Lagi, tapi yang benar saja! Bagaimana mungkin dia bisa mengingat sebuah pertunjukan anak TK ketika dia jauh lebih sibuk dibanding presiden?

"Itu bukan sekedar pertunjukan biasa.." bagian pikirannya yang rasional gagal meyakinkannya kali ini. Dia membalikkan kepalanya untuk bertemu dengan mata beruang Teddy, seakan-akan membor ke dalam batok kepalanya. "Itu pertunjukan Jimin.."

"Jadi apa? Kau hanya terlihat imut dan lucu ketika bersama Jimin?" Dia bergumam.

"Apakah menurutmu, aku ini ayah yang buruk?"

Beruang Teddy mengangguk, mungkin jari tengahnya sendiri yang membantu boneka itu menggerakkan kepala bulatnya yang lucu, tapi Taehyung ikut mengangguk. "Aku berpikiran sama denganmu."

Pintu terbuka kembali, Jimin yang terlihat marah masuk lagi, Taehyung menggunakan kesempatan itu dan berdiri dengan menopang tubuhnya menggunakan siku.

"Hei teman, aku.."

Jimin sama sekali tidak memandangnya, dia hanya mengambil boneka itu darinya dan keluar lagi.

"Ya Tuhan, yang benar saja!"

Taehyung sudah kalah bahkan sebelum permainan dimulai.

.

.

Sarapan pagi itu terasa kaku dan Taehyung wajib mengucapkan selamat pada kemampuannya yang dapat membuat dirinya sendiri merasa canggung dengan anak yang bahkan baru berumur lima tahun, dan bukan sekedar seorang anak lima tahun, tapi putranya yang berumur lima tahun!

Dia menghela napas keras, Taehyung tidak pernah pintar dalam berbicara, meskipun dia adalah seorang pengusaha sukses dengan keuntungan yang sangat besar tiap tahun, dia hanya berbicara ketika diperlukan.

Berbicara membuat mulutnya kering dan pikirannya terganggu, oleh karena itu segala hal yang bisa mengacaukan konsentrasinya adalah hal yang tidak diperbolehkan.

Tapi ini adalah tentang Jimin.

Jimin adalah hidup baginya, dia bersedia mati demi Jimin, dan mungkin beberapa patah kata bukanlah hal yang sulit untuknya.

Kenyataan bahwa beruang Teddy duduk diantara mereka pada hari itu sama sekali tidak membantu. Dia membelalak pada boneka yang selalu tersenyum itu dan Taehyung melanjutkan acara makannya dengan ragu-ragu.

Yang benar saja, dia cemburu pada sebuah boneka? Taehyung menengadah dan menemukan Jimin sedang cemberut, bibir manyunnya menghiasi muka sedihnya yang bulat, pipi gembulnya memerah karena panas yang mengelilingi mereka- Demi Tuhan, sekarang adalah tengah bulan desember, harusnya cuaca sedang dingin sekarang!

"Jimin, makan sayuranmu juga. Kau.." Taehyung menelan kata-katanya lagi ketika Jimin memandangnya dengan alis bertaut menandakan anak itu sedang benar-benar serius, gawat. Setelahnya, Jimin mengalihkan pandangan dan mengambil tangan kecil Tuan Teddy.

"Lihat ayahku? Dia hanya peduli pada sayuran menjijikkan itu, bukan pada Jiminnie-nya." Dia bergumam pada boneka dan Taehyung mengerutkan dahi ketika mainan itu menganggukkan kepala kecil dari wolnya dengan bantuan tangan kecil Jimin.

"Aku tidak percaya aku dihakimi oleh sebuah boneka." Taehyung memberengut.

Dia juga tidak percaya kenapa dia peduli terhadap penghakiman sebuah boneka tapi ya sudahlah.

"Jika kau ingin jadi besar, kau harus makan Jimin.."

"Ayah bahkan tidak peduli.."

Suara Jimin terdengar samar tapi menggema di pikiran Taehyung cukup kencang sehingga dia seakan tuli untuk beberapa saat-

Nafas yang lepas dari mulutnya tetap dingin dan Taehyung berdiri dengan pelan sambil mendekati penghangat, tangannya dijulurkan untuk merasakan kehangatan itu.

Suasananya terasa dingin dan Taehyung tau jika kali ini bukanlah kesalahan bulan Desember.

.

.

Taehyung bertemu dengan Juhyun ketika dia tidak seharusnya bertemu dengan seorang gadis. Juhyun dengan mata yang besar dan senyuman yang lembut.

Juhyun itu cantik –sangat cantik-, tidak seperti perempuan lainnya, Juhyun punya kecantikan yang murni, bersama dengan kardigannya yang sederhana dan rok sepanjang lutut yang tidak akan pernah ia temukan pada gadis-gadis lain yang menggunakan eyeliners tebal serta pakaian ketat.

Mendekati gadis itu tidaklah sulit, yang harus dilakukan hanyalah memberikan senyuman maut andalannya serta pujian-pujian untuk menangkap gadis itu dalam genggamannya, membuat sang gadis merona dan tersenyum malu.

Juhyun tidak bodoh, tapi terlalu naif layaknya gadis desa seperti yang sudah diduga oleh Taehyung. Gadis itu mencintai traveling dan melukis, kesukaan yang sama dengannya, sehingga tidak mengherankan ketika dia akhirnya bisa berjalan berdampingan dengan gadis itu setiap hari dengan alasan mengantarnya ke kelas. Setiap hari pula mereka menghabiskan waktu bersama saat jam makan siang, hingga akhirnya mereka kencan paling tidak tiga kali seminggu.

Semuanya berjalan seperti yang ada di film-film romantis, sempurna dan tenang. Tetapi Taehyung menginginkan lebih- dia menginginkan segalanya, berbeda dari bagaimana mereka seharusnya dan itulah alasannya mengapa setiap malam selalu ada argumen di rumahnya.

"Memiliki segala hal yang kau minta dalam sekejap mata itu tidak gampang, kau juga punya tanggung jawab, Kim Taehyung." adalah kata-kata ayahnya, berawal dan berakhir dengan argumen yang sekarang menjadi bagian konstan dari hari-hari bocah delapan belas tahun itu.

"Tidak, dia tidak berasal dari keluarga baik-baik.."

"Tidak, dia tidak selevel dengan kita Taehyung."

"Tidak, dia akan menjadi bencana bagi reputasi kita."

"Tidak."

"Tidak"

"Tidak"

Dan lagi-lagi, "Tidak.." adalah ketika Taehyung menutup matanya pada malam sabtu dan mengutarakan kemantapan kata-kata "Ya" pada dirinya sendiri.

.

Jakson selalu mengadakan pesta paling liar dan Taehyung lebih dari yakin bahwa membawa Juhyun ke tempatnya adalah ide yang buruk.

Berkelahi sampai berdarah-darah karena mabuk bukanlah ide yang bagus juga, tapi dia terlalu frustasi karena berbagai masalah yang dihadapinya sehingga Taehyung tidak membiarkan bagian rasional dari otaknya mengambil alih kali ini.

Semuanya terjadi begitu cepat pada malam itu. Bahkan lebih cepat dari bagaimana hidup yang dihabiskan Taehyung selama delapan belas tahun ini.

Berawal dari ciuman-ciuman kecil hingga berubah menjadi ciuman panas, dan sebelum Taehyung menyadari apa yang sudah ia lakukan, suatu hal yang sebenarnya tidak mereka inginkan akhirnya terjadi.

Paling tidak, bukan ketika Taehyung mabuk dan terkuasai oleh hormon remaja.

Dan Juhyung ada disana, ketika dia seharusnya tidak berasa disana.

Juhyun tidak datang ke sekolah selama beberapa hari dan Taehyung benci ketika bagian rasional dari pikirannya baru datang setelahnya.

.

Gadis itu sudah hamil dua bulan ketika Taehyung memutuskan untuk menghentikan konflik dengan orang tuanya dan bertanggung jawab terhadap kesalahan-kesalahannya.

Memberi tahu orangnya lebih mengerikan daripada yang dibayangkannya. Taehyung baru delapan belas tahun dan akan masuk kuliah, ditambah lagi perusahaan sang ayah sudah menunggu calon pengganti dalam dua tahun ke depan. Memulai sebuah keluarga bukanlah salah satu dari rencananya dulu.

Orang tuanya sangat menakutkan. Taehyung mengerti akan hal itu, karena kekacauan yang diperbuatnya sudah melampaui kata 'keterlaluan'.

"Dia harus menggugurkannya."

Tapi dia tidak akan mengacaukannya lebih parah lagi.

Juhyun sudah menyatakan dengan tegas bahwa tidak masalah jika Taehyung tidak mau bertanggung jawab, yang jelas dia tidak akan menghancurkan sebuah kehidupan dari seorang anak yang tidak berdosa, dan sejujurnya Taehyung juga tidak akan tega meminta Juhyun melakukan hal itu.

Tidak seperti orang tua Taehyung, keluarga Juhyun yang hanya terdiri dari seorang ibu itu sama sekali tidak kalap.

Nyonya Bae hanya memberengut dan memarahi mereka karena bertindak tidak hati-hati dan memberi tahu mereka tentang tanggung jawab yang harus mereka tanggung, sebelum akhirnya memeluk dan menenangkan mereka dengan caranya yang sangat keibuan.

Taehyung mengingat semuanya dengan jelas karena pikirannya yang selalu membanding-bandingkan wajah marah dari orang tuanya dengan wajah lembut nyonya Bae, dan mengatakan pada mereka bahwa semua akan baik-baik saja.

Nyaman, adalah salah satu dari banyak hal yang tidak diberikan oleh keluarganya pada Taehyung saat itu, bahkan sampai sekarang.

.

,

"Sudah berapa kali kami mengatakan ini padamu, Taehyung? Dia hanyalah seorang wanita penyuka uang, dan ketika dia sudah mendapatkannya, dia akan meninggalkanmu. Lihat dirimu sekarang! Kau ditinggalkan dengan kehidupanmu yang sudah kacau dan seorang anak lima tahun di dalamnya."

"Bagus, Kim Taehyung."

Terkadang Taehyung bertanya-tanya jika mereka –orang tuanya- melakukan itu dengan sengaja hanya untuk melukainya padahal mereka tau segala hal sudah terasa berat olehnya.

Disalahkan, adalah yang Taehyung dapatkan selain perintah, sejak dia masih seumuran Jimin bahkan hingga sekarang ketika sudah jadi seorang pria dewasa.

"Semuanya sudah berakhir. Kami sudah menyadarinya sekarang." Ayahnya menyela, matanya seakan-akan membakar jiwa anaknya ketika dia berbicara, memastikan Taehyung melihat padanya.

Taehyung membuang pandangannya, perasaan yang sama datang lagi- perasaan ketika dia dikontrol oleh kekuatan yang lebih besar, dia rasanya muak.

"Ayah, aku akan.."

"Jangan sekarang, aku mohon.." Sang ibu segera menghentikannya. "Nanti saja kita bicarakan masalah ini Wooyoung." Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, Taehyung mendengar nada putus asa dari suara ibunya, dia mengerutkan dahi dan menundukkan kepala.

"Baiklah." Kata ayahnya dengan ragu. Tahyung masih tidak melihat pada mereka, dia tetap memperhatikan karpet Persian mahal yang membentang di atas lantai yang dipijaknya.

"Kami kesini untuk melihat Jimin, semalam pesta ulang tahunnya kan? Taehyung menelan ludah kasar sebelum mengangguk.

Wow, bahkan orang tuanya jauh lebih baik daripada Taehyung dalam mengingat hari ulang tahun Jimin.

"I-iya, kemarin adalah ulang tahunnya.."

Dia bergumam, suaranya tenggelam dalam rasa malu.

Taehyung suka berpikir alasan dari bagaimana cara orang tuanya memperlakukan Jimin, sebagai hasil dari Jimin yang telalu baik untuk tidak dicintai, bahkan untuk orang tuanya yang berhati dingin.

Bukan berarti dia sudah melakukan pekerjaan yang baik sebagai orang tua, sih. Tapi itu juga karena kesalahan orang tuanya sendiri, kan?

Tidak.

.

"Jiminnie? Taehyung menghela nafas. "Buka pintunya." Dia sudah mencoba untuk ketiga kalinya, hari sudah petang dan bocah itu masih betah mengunci dirinya di kamar.

"TIDAK! Ayah lupa denganku, jadi aku akan duduk disini sampai aku juga lupa padamu. Dasar ayah jahat, iya kan Tuan Teddy?"

Taehyung berbalik dan menyandarkan kepalanya ke pintu. Ya Tuhan.

"Teddy berkata benar."

Punggung Taehyung menyentuh pintu, lelah dan letih, hari itu mungkin adalah liburan paling buruk selama hidupnya, senyum jimin hilang dan itu adalah salahnya.

"Ayah? Ayah masih disana?" Suara Jimin terdengar sedikit khawatir dan Taehyung akhirnya tersenyum karenanya.

"Ayah kedinginan, Jagoan. Koridor tidak punya penghangat dan ayah benar-benar membeku." Taehyung menjaga suaranya selembut mungkin. "Biarkan ayah masuk?"

Hening.

"Ayah bisa mati.."

Dia mendengar helaan nafas keras dan tidak butuh waktu lama untuk pintu itu terbuka lebar, Taehyung dapat mendengar kaki-kaki kecil menghentak di atas lantai kayu.

Dia tersenyum.

Jimin membenci dingin sama seperti dirinya.

Taehyung kedinginan, tetapi pemandangan ketika ia melihat Jimin menangis tersedu-sedu membuatnya jadi lebih buruk lagi.

Jimin berdiri diambang jendela yang tinggi, jendela itu berkabut karena nafasnya. Jimin berbicara sambil menekan Teddy ke dadanya,

"Semua orang melupakan Jiminnie, Ayah melupakan Jiminnie, dan sekarang Ayah akan pergi juga seperti ibu." Jimin mendengus, sambil mengusap matanya dengan tangan.

Taehyung menghembuskan nafas berat yang daritadi ditahannya, hingga akhirnya dia berjalan ke arah bocah itu dan duduk diujung jendela.

"Ayah minta maaf, Jimin-ah, untuk segalanya. Ayah berjanji tidak akan melakukannya lagi." Taehyung berbisik sambil mengusap poni putranya yang berantakan, dan tersenyum hangat.

Bocah itu mendengus dan mengangguk. "Oke, aku akan memaafkan Ayah jika Tuan Teddy setuju."

Taehyung tersenyum lebar dan ikut mengangguk, mengambil boneka itu dari tangan Jimin.

"Uhm, Teddy, bisakah kita bicara sebentar? Tidak? Kenapa?" Taehyung mendekatkan mulut beruang kecil itu ke telinganya dan berpura-pura seakan dia mendengarkan dengan khidmat.

"Dia bilang dia marah padaku karena membuat Jimin sedih." Taehyung berbisik pada Jimin, pura-pura cemas. "Apa yang harus ayah lakukan?"

Jimin terkekeh dan menopang dagunya dengan tangan. "Yah, berikan dia padaku."

"Dia bilang dia memaafkan ayah jika ayah membelikan Jiminnie sebuah lolipop yang sangat besar dan membiarkan Jimin makan semuanya sampai habis." Bocah kecil itu menyeringai dengan kilatan jahil dimatanya.

"Katakan pada Teddy.."

"Tuan Teddy untukmu, Yah.."

"Baiklah, katakan pada Tuan Teddy kalau gigi Jiminnie akan sakit jika dia melakukannya." Taehyung mengangkat alisnya, tersenyum pada rencana kekanakan dari Jimin untuk memanfaatkan situasi.

"Tidak! Tuan Teddy tidak akan mengubah syaratnya! Kita kan sudah sepakat dengan tuan Teddy, Yah."

Taehyung menghela nafas. "Baiklah. Sepakat."

"Apakah kita sudah sepakat dengan Tuan Ayah?" Jimin bertanya, melihat langsung pada mata boneka itu. "Dia bilang iya! Ayah sudah dimaafkan. Sela- semaa-, ummm selaa-"

"Selamat." Taehyung membantu bocah itu menyelesaikan kata-katanya, terkekeh lembut karena kelucuan sang putra.

"Apa ayah masih kedinginan?"

Taehyung menunduk, menggosokkan kedua tangannya. "Iya, sedikit."

"Menurut ayah, apakah ibu juga kedinginan?" ucap Jimin pelan, sambil meremas kaos bajunya.

"Kenapa kau bertanya begitu, jagoan?" Bagaimanapun Taehyung tidak suka membicarakan tentang wanita itu, dia tetaplah ibu dari putranya. Tidak akan ada jalan yang mudah untuk mengusir wanita itu dari hidup mereka.

"Ibu selalu meminta untuk dipeluk ketika dia kedinginan. Dia bilang ayah tidak pernah memberikan pelukan pada ibu, oleh karena itu Jiminnie bertugas untuk menjaga ibu agar tetap hangat." Bocah itu menghela nafas. "Dia bilang tidak ada yang sehangat Jiminnie."

"Oh-"

"Dan sekarang ibu tidak punya Jiminnie untuk menghangatkannya."

"Ayah yakin ibu sudah menggunakan pakaian yang berlapis-lapis Jagoan, tidak usah khawatir." Taehyung memaksakan sebuah senyuman, bahkan hanya dengan melihat keluguan bocah ini, bagaimana mungkin ibunya sendiri tega?

"Ayah?"

"Ya?"

"Apakah ayah ingin berpelukan? Mungkin itu bisa menghangatkan ayah juga?" Jimin bergumam lembut, mukanya memerah dan sesungguhnya hal itu membuat jantung sang ayah muda berdetak lebih cepat, bahwa bocah kesayangannya itu malu-malu hanya karena sebuat pelukan.

"Iya Jagoan, maukah Jiminnie memberikan ayah sebuah pelukan?"

Muka manis Jimin terlihat sangat bahagia, dia meletakkan boneka itu dan membiarkan tubuhnya tenggelam dalam pelukan sang ayah.

Taehyung memeluk bocah itu dengan erat, menghirup aroma strawberry dari rambutnya ketika dia mencium kepala anaknya. "Ayah janji akan melakukan segalanya untukmu Jagoan."

"Ayah janji."

.

Makan siang jauh lebih baik daripada sarapan yang kaku tadi pagi.

Jimin sekarang duduk ditengah, bukan lagi Teddy si boneka dan Tahyung merasa berterima kasih pada Tuhan.

"Kenapa sampai sekarang belum salju, Yah?" Jimin bertanya dengan mata yang sedih sambil mengobrak abrik makanannya ragu.

"Terima kasih Tuhan." Pikir Taehyung ketika dia melahap makanannya-dia benci salju- bukan karena apa-apa tapi hanya saja ia tidak suka kedinginan.

"Padahal sudah tinggal 10 hari lagi menuju malam Natal dan salju belum turun juga."Jimin menghembuskan nafas keras. "Itu pasti karena pol-polu-po.."

"Polusi."

"Iya! Ibu guru mengatakan itu karena polusi, Yah."

Taehyung mengangguk. "Iya, sebenarnya bukan sepenuhnya karena itu tapi ya, polusi juga salah satu penyebabnya."

"Mama bilang padaku kalau Incheon sudah tenggelam oleh salju Yah." Jimin berkata ragu.

Taehyung mengalihkan pandangan pada putranya. "Kapan kau berbicara dengan nenek, Jimin-ah?"

"Kemarin Mama menelponku karena ulang tahun. Ayah, aku sangat merindukannya." Jimin bergumam, sambil mencebik.

Taehyung menyayangi Nyonya Bae, tidak akan ada yang bisa merubah fakta itu, bahkan ketika sekarang putrinya sudah meninggalkan Taehyung dengan putra mereka yang baru berusia lima tahun. Saat Jimin berada diusia ketika dia sangat membutuhkan ibunya.

Nyonya Bae adalah wanita yang sangat baik dan ramah, selama enam tahun ini Taehyung mengenalnya, dia tidak mendapatkan apapun selain kebaikannya dan senyuman hangat yang tidak pernah habis.

Tapi tetap saja dia tidak bisa memungkiri bahwa terkadang dia menyalahkan semua orang atas apa yang terjadi, karena sekarang semua aspek kehidupannya secara dramatis telah berantakan dan dia butuh bantuan ketika dia tidak punya siapa-siapa disampingnya.

"A-aku bertanya-tanya, kebetulan ayah sedang libur juga, bisakah kita menghabiskan waktu bersama Mama? Dia bilang dia sangat merindukan kita."

Taehyung menghela napas. Bukan berarti dia tidak menerima ide itu, sungguh tidak, tapi menemui Nyonya Bae dan berpura-pura seakan-akan masalah putrinya yang pergi dengan meninggalkan tanggung jawab besar untuknya bukan apa-apa, sepertinya hampir tidak mungkin untuk Taehyung. Tidak peduli sebaik apapun Taehyung berpura-pura selama beberapa tahun ini.

"Ayah, aku mohon?"

"Tidak, Jimin. Kita tidak bisa. Ayah masih punya banyak pekerjaan."Taehyung berdehem, menelan kopi hangatnya sambil berharap hal itu bisa membasuh rasa bersalahnya terhadap Jimin.

Selama beberapa saat Jimin tidak mengatakan apapun, yang terasa seperti berabad-abad lamanya.

Helaan nafas kasar keluar meninggalkan mulut Jimin yang sedang cemberut, membuat jari-jari Taehyung yang masih berada di cangkir itu bergetar, mengingatkannya betapa sering dia bertingkah seperti itu ketika dia sedang gugup.

"Aku minta maaf Tuan Teddy, tapi ibu tidak ada disini untuk membawa kita ke Incheon tahun ini. Tidak ada boneka salju dan kue kering." Jimin berbisik pada bonekanya dan memeluk boneka itu ke dadanya.

'Ibu tidak disini' . Kata-kata itu terngiang dikepala Taehyung seperti film jadul yang sedih, membuatnya tersentak pada kenyataan bahwa sudah tiga bulan Jimin tidak merasakan kehadiran Juhyun disisinya.

Juhyun selalu mengeluh soal Taehyung yang tidak ikut liburan keluarga pada hari Natal, pengusaha muda itu sebenarnya bukan tidak mau ikut, tapi pekerjaannya tidak benar-benar berhenti juga ketika hari libur seperti yang orang-orang pikirkan, dan Taehyung masih memiliki setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan serta meeting yang harus dihadiri.

Oleh karena itu, dia tidak ikut bersama Juhyun dan Jimin mengunjungi Incheon selama tiga tahun terakhir karena dia sangat sibuk. Sekarang, dia bisa merasakan kebebasan yang manis sampai awal tahun depan karena Jimin, supaya anak itu tidak sendirian.

"Baiklah."

"Ayah?"

"Baiklah, kita akan ke sana tiga hari lagi. Pergilah hubungi nenek dan kabari dia."

Jimin berteriak dengan senang, memeluk bonekanya dengan erat. "Kamu benar, Tuan Teddy. Puppy eyes selalu berhasil."

"Tunggu, apa?"

"Aku menyayangi ayah."

.

.

Sudah lama sekali semenjak Taehyung terakhir kali berkendaraan jarak jauh, Incheon memang tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 100 kilometer tetapi mengingat jalanannya adalah jalan gunung, ditutupi oleh lapisan salju yang tebal dan licin membuat perjalanan ini menjadi lebih lama. Jimin sudah meracau dari awal mereka meninggalkan rumah, mungkin kecuali selama tiga puluh menit ketika bocah itu tertidur.

Perjalanan itu adalah kesempatan bagi Taehyung untuk mendengarkan kisah-kisah yang sudah diabaikan ketika dia sibuk bekerja di kantornya daripada berada dirumah bersama bocah-nya itu.

"Ayah! Apakah ayah mengenal Jungkook hyung?" Jimin tiba-tiba bertanya, suaranya terdengar ceria dan muda.

"Jungkook? Tidak, siapa dia?" Taehyung bertanya, tetapi matanya tetap fokus pada jalanan. Mereka hampir mendekat pada Incheon sedikit demi sedikit. Mendekat pada Kota yang membeku.

"Yang benar saja, Yah. Ayah harus bertemu dengannya." Jimin memekik, mengambil kesempatan itu sambil melepaskan seatbelt nya.

"Kencangkan seatbelt-mu Jimin, sekarang."

Jimin mengerang keras ketika dia mengencangkan seatbelt-nya lagi. Bibirnya menari dalam senyuman lebar ketika mereka kembali membahas topik awal.

"Jungkook hyung selalu bermain denganku setelah pekerjaannya selesai. Dia bahkan membiarkanku mewarnai buku bio-biol-umm"

"Biologi." Taehyung membantu bocah itu lagi menyelesaikan kalimatnya.

"Ya, biologi. Dia membiarkanku mewarnai gambar-gambar yang ada di bukunya. Dia sangat keren dan lucu, dan lagi Tuan Teddy sangat menyukainya."

Taehyung mengangguk. Dia tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan. Lampu-lampu Natal yang bersinar sudah terlihat olehnya, seakan-akan menyelimuti kota kecil itu.

"Kau, sepertinya sudah menghabiskan waktu yang banyak bersama Jinyo-"

"Jungkook, Yah." Jimin membenarkan kalimat ayahnya dengan senang, mood-nya benar-benar sedang bagus ketika membicarakan Jungkook.

"Dia membantu Mama di kebun dan di rumah."

"Berapa umurnya?" Taehyung bertanya tak sabar, karena memikirkan anaknya yang masih kecil bermain bersama seorang lelaki dewasa yang bahkan dia tidak tau namanya itu cukup menakutkan.

"Tujuh belas tahun, Yah." Jelas Jimin. "Aku menelponnya ketika dia ulang tahun bulan lalu, aku bahkan membawakannya hadiah ulang tahun sekarang." Jimin menunjukkan tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah gambar yang sedikit kusut.

"Ini dia. Lihat? Betapa tampannya dia. Dia ingin jadi peternak dikemudian hari. Jungkook hyung adalah teman terbaik kita kan, Tuan Teddy?"

Taehyung bergumam, tersenyum pada lukisan manis Jimin. "Berarti dia orang yang pintar bergaul dengan anak kecil, ya?"

Jimin mengangguk sambil memasukkan lagi lukisannya ke dalam tas. "Iya, tapi ibu bilang dia pintar bergaul dengan anak kecil hanya karena dia tinggal bersama banyak anak kecil juga."

Mata Taehyung sedikit menajam ketika cahaya dari lampu-lampu makin mendekat, dia bahkan sudah bisa mencium bau Natal.

"Apa maksudmu dia tinggal bersama banyak anak kecil?"

"Aku juga tidak tau, Yah. Tapi ibu bilang dia tinggal di pan-umm panti asuhan dengan anak-anak yang sangat banyak."

Cengkraman Taehyung di kemudi mobil menguat ketika kenyataan memukulnya telak. "O-oh."

"Panti asuhan itu dimana Yah? Apakah itu suatu tempat seperti taman kanak-kanak yang penuh oleh anak kecil?"

"Y-yeah, agak mirip tapi anak-anak pergi kesana bukan untuk belajar. Mereka tinggal disana dan sebenarnya bukan tempat yang bagus." Tambahnya, dengan ragu berharap pembicaraan ini segera berakhir.

"Kenapa tidak? Kami selalu bernyanyi dan menggambar di sekolah, para ibu guru memberikan kami kue kering setiap kali kami menamai hewan dengan benar, dan aku sudah mendapatkan dua puluh kue kering sejauh ini." Jimin menjawab dengan lugu.

"Iya Jagoan, tapi panti asuhan itu tidak sepenuhnya sama dengan sekolahmu. Anak-anak yang tinggal disana sudah kehilangan orang tua mereka."

Jimin menarik nafas terkejut, "Maksud ayah, Jungkook hyung tidak punya ayah atau ibu?"

"Mungkin tidak."

Bocah kecil itu mengerutkan dahinya dalam, membuang pandangan dari ayahnya.

"Apakah aku harus tinggal di panti asuhan juga?"

Taehyung mengangkat alisnya heran, "Kenapa kau harus kesana?"

"Aku kehilangan ibuku juga, dia meninggalkan ku, jadi.."

"Tidak, Jagoan. Kau masih punya ayah. Sudah lupakan semuanya, kita sebentar lagi sampai di rumah Mama. Kita harus bersenang-senang."

Jimin mengangguk, cemberut kekanakannya berubah menjadi senyuman.

"Ayah?"

"Hmm?"

"Bisakah ayah menjadi ayahnya Jungkook hyung juga?"

Taehyung tersenyum lembut pada anaknya ketika Jimin bertanya dengan lugu, kebaikan dan rasa peduli mengalir dari suaranya, pemuda bernama Jungkook ini secara total sudah menemukan tempat di hati Jimin.

"Ayah tidak yakin, nak."

"Kenapa tidak, Yah? Dia adalah anak yang sangat baik dan juga mempunyai mata besar yang sangat indah, bahkan jauh lebih indah dibanding mata ibu ketika dia mewarnai matanya dengan pensil hitam itu."

Taehyung tertawa keras, "Baiklah Jagoan, ayah akan mencobanya." Karena mengatakan 'tidak' pada pembicaraan lugu ini hampir tidak mungkin.

"Paling tidak berikan dia sebuah pelukan. Dia sangat hangat, ayah pasti akan sangat menyukainya."

Taehyung mengangguk, memperhatikan Jimin dari kaca. "Baiklah."

"Janji?"

"Ya, janji."

Taehyung mengedipkan matanya ketika lampu-lampu Natal menusuk penglihatannya dengan lembut tepat ketika mereka memasuki kota.

Dia hampir bisa mendengarkannya, butiran salju itu, terkikik dan berdansa di pandangannya. Menjanjikannya sebuah mimpi yang akan ia temukan di suatu tempat di kota ini, 'tidak sejauh itu untuk terlupakan.'

.

.

To be continued.