DISCLAIMER :

Togashi-Sensei

Runandra

SUMMARY :

Sekuel 1001 Nights. Lima tahun sudah berlalu sejak Kuroro dan Kurapika berpisah di Desa Suku Kuruta, tapi sosok yang baru pun muncul mengacaukan kedamaian sementara dan keseimbangan yang rapuh yang terbentuk di antara mereka.


PROLOG


Anak-anak itu duduk berdempetan sedekat mungkin sebisanya. Meski kurungan tersebut cukup luas bagi mereka untuk merenggangkan kaki, mereka lebih nyaman saling memberi kehangatan satu sama lainnya di kurungan yang dingin itu. Lagipula, mereka ada di perahu yang sama–anak-anak korban penculikan yang nasibnya masih menggantung tak pasti. Mereka tak tahu apa yang akan terjadi pada diri mereka, apalagi membuat rencana untuk melarikan diri. Lagipula, mereka anak-anak. Yang paling tua di antara mereka adalah seorang gadis dengan umur sekitar lima belas tahun, dan anak lelaki paling tua hanya berumur dua belas atau tiga belas tahun.

Gadis yang paling tua memegangi anak lelaki yang paling muda di dalam pelukannya, berusaha menenangkan balita berusia dua tahun itu sambil mengendalikan ketakutan dan kegelisahannya. Dia melihat ke sekitar kurungan yang sepi itu. Setiap anak memiliki ekspresi yang sama di wajah mereka : ngeri, kesepian, sedih, kerinduan akan rumah mereka, takut, dan berbagai emosi negatif lainnya. Dia bisa langsung mencium aroma kemurungan di kurungan itu. Namun, seorang anak lelaki menarik perhatiannya.

Anak itu manis, dan dia bersumpah bahwa si anak tersebut bisa dikira perempuan. Rambutnya yang keemasan terurai lembut di sekeliling wajahnya, membingkai wajah bulat khas anak-anak itu bagai boneka porselen. Matanya yang gelap sedang memandang ke titik tertentu, dan dia sedang bicara sendiri. Ya, dia yakin anak itu sedang bicara entah pada siapa, tapi bukan itu yang menjadi alasan ketertarikannya. Anak itu tenang dan dapat menguasai dirinya; tak ada rasa takut, hanya sedikit ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi dan kegelisahan.

Dia terlihat seperti baru saja bepergian ke tempat yang tak dikenal–yang dalam arti tertentu memang benar adanya–sambil mengabaikan fakta bahwa mereka diculik oleh beberapa orang jahat.

"Apa kau yakin ini tidak apa-apa?" Anak lelaki itu bicara lagi entah pada siapa sambil memiringkan kepalanya. Wajahnya terlihat begitu serius seolah dia sedang mendengarkan orang dewasa bicara padanya.

Semua anak melihatnya dengan keheranan jelas terlihat di wajah mereka yang ketakutan.

"Tapi mereka mengambil kalungku!" Protesnya, hanya berbicara ke ruang kosong yang ada di hadapannya.

Anak-anak pun mulai saling pandang dengan tatapan curiga dan gelisah. Mereka tak tahu bagaimana berurusan dengan anak lelaki berumur empat tahun yang terlihat seperti gila itu. Seorang gadis kecil yang berumur sekitar enam tahun bicara dengan menggunakan suara yang terlalu keras :

"Apa dia gila?"

Pertanyaan/pernyataan gadis kecil itu bergema dalam keheningan kurungan tersebut, tapi tak ada yang menjawabnya. Namun si anak lelaki 'gila' itu, memelankan suaranya dan mengurangi perkataan yang dia ucapkan sendiri entah kepada siapa menjadi suara bisikan semata. Wajahnya memperlihatkan sedikit rasa jengah dan malu ketika dia melanjutkan monolognya.

"Teman khayalan, mungkin...?" Gadis yang berumur paling tua menanggapi dengan tanpa sadar.

Ibunya pernah memberitahu bahwa ada beberapa anak; terutama mereka yang berusia empat tahun, bermain dengan teman khayalan yang berasal dari imajinasinya sendiri, dan anak-anak yang memiliki teman khayalan cenderung jadi lebih cerdas daripada anak lain yang sebaya dengannya. Mungkin anak itulah contohnya? Berusaha mengabaikan 'keganjilan' sepele di gerombolan anak-anak selundupan itu, gadis yang paling tua tersebut kembali kepada tugas yang ia lakukan atas dasar inisiatifnya sendiri sebagai penenang anak-anak yang kelimpungan; menenangkan mereka sebaik mungkin sebagaimana yang bisa dilakukan seorang gadis berumur lima belas tahun seperti dirinya.

Dia tidak tahu bahwa si anak lelaki 'aneh' itu sedang berurusan dengan sesuatu yang lebih dari sekedar teman khayalan.


Setiap tahun pada hari yang tak tentu, dia akan mengunjungi tempat itu. Kunjungan yang sangat singkat–dia hanya berada di sana, memandangi gundukan di tanah dalam diam sebelum melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hal itu merupakan rutinitas yang dia ulangi selama enam tahun belakangan ini sejak pertama kali gundukan tanah itu dibuat di sana.

Air danau beriak dengan sangat lembut, seolah berusaha menenangkan pria berambut hitam itu. Hampir tak ada angin yang berhembus, dan hutannya masih tetap sunyi seperti kematian itu sendiri. Tak ada suara jangkrik atau burung, tak ada bisikan samar angin yang berlalu. Begitu sunyi dan waktu seolah berhenti, seperti pria itu yang berdiri tak bergerak sedikit pun bagaikan patung yang terbuat dari batu, kedua tangan dibenamkan dalam-dalam ke saku celananya.

Kuroro Lucifer memejamkan matanya dan ketika dia melakukan hal itu, berbagai imaji langsung berkelebat menyiksa mata pikirannya. Gambaran yang jelas dari suatu peristiwa tragis, begitu jelas bagaikan kaca, diputarkan kembali lagi dan lagi di dalam benaknya seperti kaset yang rusak.

Kuroro... Aku ingin mendengarnya... Sekali saja...

Suaranya menipis, lemah bagai angin. Tangannya yang menyentuh pipi pria itu buyar menjadi butiran pasir yang halus. Tubuhnya meleleh ke dalam ketiadaan. Ekspresi kerinduan di wajahnya itu, selamanya membayangi ekspresi lain yang pernah diberikan wanita itu padanya. Tatapan memohon itu. Butiran pasir rapuh lolos dari cengkeramannya. Perasaan yang melemahkan hati terasa saat pasir yang merupakan sisa jasadnya menyentuh kulitnya. Butiran halus itu tersapu angin dan ditelan danau.

Kuroro mengernyit dalam-dalam saat dengan rela dia mengingat setiap detail pada hari itu. Itu tidak mudah. Itu tidak menyenangkan. Namun baginya belum cukup untuk disebut hukuman.

"Menyiksa diri lagi?"

Suara yang terdengar setua Bumi bicara di belakangnya. Kuroro memaksakan matanya untuk terbuka dan langsung memperlihatkan topeng yang tak menunjukkan emosi apapun. Dengan sedikit menoleh, Kuroro menangkap sekilas seorang wanita tua yang bungkuk berjalan ke arahnya. Dia penasaran bagaimana wanita tua yang keriput itu bisa hidup begitu lama. Dia terlihat sangat kuno tapi kuat, seperti dinding batu yang tak bisa dipindahkan.

Kuroro tak menanggapi ucapan Hatsubaba. Dia hanya meliriknya dengan dingin, sebelum mengembalikan perhatiannya kembali ke gundukan tanah yang dingin. Hatsubaba melangkah ke sampingnya dan memberi penghormatan kepada mendiang dengan menanamkan sebatang dupa beraroma sandalwood ke gundukan tersebut. Dia panjatkan doa di dalam hati, mulutnya bergerak cepat sambil menggumamkan serangkaian kata-kata yang benar-benar aneh bahkan bagi Kuroro sekalipun.

"Lima tahun, Kuroro," Hatsubaba tiba-tiba saja berkata.

Kuroro tetap diam.

"Selama lima tahun kau terus mengunjungi tempat ini setidaknya setahun sekali. Jadi bagaimana, beritahu aku, apa kau masih menolak menerima tawaran itu?" Wanita tua yang keriput itu bicara dengan suaranya yang parau.

"Pasti kau tidak cukup bodoh hingga tak mampu menyimpulkan apa alasanku, bukan?" Dia hanya menanggapi tanpa benar-benar menjawabnya, suaranya dingin dan tak menunjukkan emosi apapun.

Hatsubaba berdiri dan menoleh memberinya pandangan yang terlihat agak kesal tapi juga agak kasihan. Dia sudah menyaksikannya bolak-balik ke kuburan Ishtar, anak itu–ya, Kuroro akan selalu jadi 'anak-anak' untuknya–tak bicara dan melakukan apapun di depan gundukan kecil tanah itu. Itu adegan yang menusuk hatinya. Hatsubaba sudah mengenal Kuroro sejak pertama kali dia diadopsi Ishtar; dia menjadi dokter pribadinya hingga pria itu memutuskan untuk membentuk Genei Ryodan dan pergi dari Ryuusei-gai. Sementara Ishtar sudah secara terbuka mengekspresikan diri sebagai ibu angkatnya (meski Kuroro lebih sering mengabaikannya), diam-diam Hatsubaba menganggapnya sebagai cucu–mungkin ini terdengar bodoh.

Meskipun demikian, dia tak pernah merasa Kuroro begitu jauh dan tak tergapai sebelumnya. Seolah dia sudah membuat tembok yang lebih tebal lagi yang tak bisa dimasuki di antara diri pria tersebut dan dunia yang mengelilinginya. Dia tak tahu kenapa Kuroro begitu menutup diri, dan dia pun tak akan mau membicarakannya.

Dan lagi, dia jarang berkomunikasi dengannya. Dia tidak tahu bagaimana sesungguhnya Kuroro di luar Ryuusei-gai, jauh dari pengawasannya. Dia pun menyadari kemampuannya yang tiada tara dalam menduga berbagai kemungkinan seolah tengah berdansa di pesta topeng. Pertanyaannya adalah : kepribadian Kuroro yang sebenarnya seperti apa? Hatsubaba tidak tahu. Dia mengira andai saja ada seseorang yang tahu jawaban dari pertanyaannya, pasti hanya ada satu orang.

"Kau satu-satunya penerus Ishtar," Hatsubaba beralasan.

Kuroro hanya mendengus sedikit, seolah dia dengan bosannya sudah mengantisipasi perdebatan itu sebelumnya.

"Yang pernah dia ajarkan padaku hanyalah kemampuan bertarung dan bertahan hidup," dengan dingin dia memberitahu si wanita tua. "Kau bertanya pada orang yang salah."

"Kalau begitu kau pergilah temukan seseorang untuk mengambil alih tugasnya. Setidaknya itu yang bisa kau lakukan sebagai pewarisnya," dukun itu langsung memberitahunya dengan tanpa basa-basi, merasa jengkel dan lelah atas permainan bocah itu yang terus mengelak.

Kuroro hampir saja tertawa terbahak-bahak dengan sinis mendengar perkataan Hatsubaba, namun karena rasa hormatnya kepada wanita itu dia menahan diri untuk tidak melakukan hal tersebut. Orang lain untuk mengambil alih tugas Ishtar? Mustahil. Tak ada seorang pun yang bisa menggantikannya–puncak satu-satunya dari Kota Ryuusei-gai, fondasinya, pelindungnya, Ratu-nya. Bahkan Kuroro pun tak bisa. Sebenarnya sebesar itulah rasa hormat yang dia miliki untuk Ishtar.

Kuroro memicingkan matanya walau hampir tak terlihat.

Tidak. Mungkin, ada satu orang kandidat yang memungkinkan...


Machi merayap dalam lindungan bayangan pelabuhan. Dia terus waspada menyaksikan anak-anak korban penculikan itu, terutama si anak lelaki berambut pirang. Dia terus berada dalam kondisi Zetsu sepenuhnya, berjaga-jaga kalau saja beberapa orang dari para penyelundup itu adalah Pengguna Nen. Bahkan jika itu benar, dia tak akan mengalami kesulitan berurusan dengan para penjahat kecil-kecilan itu. Dia hanya ingin menghindari kekacauan yang tak perlu. Sebetulnya, dia sendiri tak yakin kenapa dirinya melakukan apa yang sedang dia lakukan. Satu hal yang pasti : kembaran mungil Si Kuruta mendorongnya untuk terus menyaksikan. Dia hanya berencana untuk menunggu dan melihat apa yang akan terjadi kemudian.

Sebagai seorang anggota Laba-laba, Machi percaya diri terhadap kemampuan yang ia miliki. Dia yakin sekali Zetsu-nya sempurna, maka tak ada yang akan menyadari kehadirannya di sudut gelap tempat itu. Betapa terkejut dan terperangahnya dia, ketika si anak lelaki yang-terlihat-seperti-Kurapika itu menoleh dan mengarahkan matanya yang gelap ke tempat di mana dia berada.

Secara naluri, Machi merunduk lebih jauh ke dalam bayangan. Dia memeriksa kembali Zetsu-nya dua kali, dan masih tetap sempurna. Dia menoleh ke anak itu lagi dan mendapati si anak masih memandang ke arahnya dengan intens.

Dia tak mungkin melihatku. Mungkin hal lain... Machi berusaha meyakinkan dirinya sambil melihat ke sekeliling, tapi tak menemukan apapun yang mungkin telah menarik perhatian anak lelaki itu...kecuali dirinya sendiri.

Dia menoleh kembali, melihat si anak lelaki dengan tatapan menyelidik. Dia mendapati mata si anak masih mengarah kepada dirinya dengan intensitas yang menyerupai tatapan Kuroro, membuatnya tersentak walaupun hanya sekilas. Tapi meskipun demikian dia tetap mengamati wajah anak itu demi suatu petunjuk mengenai apa yang mungkin dia pikirkan. Anak-anak biasanya mudah dibaca, termasuk anak berusia empat tahun seperti anak itu yang terkenal memiliki rentang perhatian yang sangat pendek (hanya lima belas menit saja), tapi yang satu ini merupakan pengecualian. Itu sangat membingungkan. Wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan perasaan dan emosinya, hanya ketenangan dan pengharapan yang membuat Machi mengernyit.

Bagaimana bisa seorang anak berharap ketika dia berada dalam situasi semacam itu? Dia merenung. Lalu dia melihatnya.

Anak itu mengisyaratkan dengan gerakan bibir–"TOLONG"–kepada Machi.

Machi menaikkan kedua alis matanya heran. Jadi anak itu memang melihatnya, tapi bagaimana bisa? Dengan kukuhnya dia percaya diri bahwa Zetsu-nya sempurna sejak tadi!

Tiba-tiba, suara berderak yang keras menyadarkan Machi dari renungannya yang mendalam. Beberapa orang pria menghampiri kurungan itu dan bicara dengan suara yang serak kepada anak-anak tersebut. Beberapa dari mereka membawa kurungan yang lebih kecil, cukup untuk memuat beberapa orang anak sekaligus. Isakan dan tangisan menyedihkan bisa terdengar dari dalam kurungan, tapi langsung terbenam dalam keheningan ketika salah seorang lelaki itu membentak mereka dengan kasar sambil menendang bagian samping kurungan.

"Anak bandel yang berisik. Tidak bisa menutup mulut mereka dalam beberapa menit saja! Sialan!"

"Yah, mereka disebut anak nakal ada alasannya. Sekarang kau jangan malas begitu. Cepat bergerak!"

Dengan beberapa patah kata sumpah serapah dan kata-kata kombinasi lain yang penuh warna dilontarkan kedua orang yang tidak puas itu, mereka menempatkan kurungan yang lebih kecil di depan kurungan yang sudah ditempati sebelumnya dan membukanya. Lalu mereka membuka kurungan anak-anak dan memerintahkan mereka keluar dan berdiri. Machi berjongkok dalam kegelapan, menyaksikannya dengan waspada begitu anak-anak tersebut bergegas keluar kurungan dengan tangan dan kaki yang gemetar. Ketika si anak pirang akhirnya keluar–dia yang terakhir–Machi menjadi tegang karena alasan yang belum dia ketahui. Dia punya firasat yang buruk mengenai hal itu.

Lalu, dia menemukan alasannya begitu si anak lelaki berdiri tegak.

Dia berlari menuju ke arahnya.

Para penculik pun menyerapah dengan keras dan salah seorang dari mereka berbalik mengejarnya. Mata Machi membelalak lebar karena terkejut dan jengkel. Apa yang dipikirkan anak itu? Pasti dia tahu, jika dia cukup pintar, bahwa dia tak akan mampu melarikan diri dari orang-orang dewasa itu? Namun, menilai kecepatan yang dimiliki si anak lelaki–yang sangat tak biasa untuk anak sekecil itu–Machi mengira dia memang sudah berharap untuk melarikan diri dari mereka. Apakah dia putus asa? Ketika anak itu sudah berada cukup dekat hingga Machi bisa mempelajari ekspresinya lebih dekat, dia pun tahu bahwa dia benar. Anak itu putus asa. Sangat.

Bagaimana bisa dia tidak mengetahuinya? Tidak ketika matanya menyala merah.

Lelaki yang bersungut-sungut karena kesal itu semakin mendekati si anak lelaki berambut pirang, dan ketika dia mengulurkan lengannya untuk meraih anak yang dari luar kelihatan lemah itu, Machi tak bisa menahan diri untuk tidak bereaksi. Dalam sekejap, dia berdiri dan menyerang dengan benang Nen-nya. Dalam waktu yang hampir sama cepatnya, sebelah tangan lelaki itu menjadi rusak.

Terlalu kaget karena rasa kehilangan yang begitu mendadak atas sebelah tangannya, lelaki itu hanya bisa menatap bengong ke ujung bagian lengan yang kini tumpul dan berdarah sementara anak-anak lain menjerit ketakutan. Ketika Meta sudah sampai dan bersembunyi di belakang Machi dan saat rasa sakit itu sudah mencapai otaknya, dia berteriak kesakitan–teriakan yang bisa membangunkan orang mati dari kuburnya.

"Kau memotong tangannya!" Protes anak kecil itu, suaranya terdengar kecewa, berasal dari belakang Machi. Machi menoleh dan menaikkan sebelah alis matanya. Bagaimana bisa dia bicara begitu dalam kondisi semacam itu?

"Apa? Siapa kau sebenarnya?" Orang-orang itu pun menghampiri Machi, amarah dan rasa takut bercampur di mata mereka yang kecil.

Dengan ekspresi sedingin gunung es dan aura sedingin angin Kutub Selatan, Machi berbalik memberi mereka tatapan yang merendahkan. Dia menyeringai kepada mereka sambil melenturkan kedua lengannya, bersiap-siap menyambut tantangan apapun. Tak ada seorang pun dari para penjahat itu yang berani mengambil langkah selanjutnya. Ketika Machi memicingkan matanya dengan berbahaya, jelas sekali mereka tersentak.

"T-Tangkap anak-anak itu!"

Dengan sangat tergesa-gesa mereka mengelilingi anak-anak itu dan menghunus belati dan pisau yang terlihat menyedihkan itu kepada anak-anak tersebut.

"Melangkah lebih dekat, kami akan membunuh mereka semua!" Salah seorang lelaki itu berteriak, tapi lengannya terus gemetar.

Menyedihkan. Menyedihkan, dan menggelikan, Machi mendengus di dalam hati.

Sudah pasti mereka bukan Pengguna Nen, kalau tidak mereka pasti akan menyadari trik benang Nen-nya. Machi tidak melangkah maju, karena dia tidak perlu melakukan hal itu untuk mendapatkan mereka. Nen-nya sudah cukup.

"Lakukan apa yang kau inginkan pada mereka. Aku tak peduli," dia berkata dengan santai dan suara dingin yang membuat mereka tersentak, tapi tetap saja dia maju selangkah hanya untuk menikmati raut wajah ngeri di wajah mereka.

Saking putus asanya, salah seorang dari mereka mengeluarkan sepucuk senapan dan menembaknya. Dengan satu gerakan pergelangan tangan saja, pelurunya terbelah dua dengan sempurna sebelum peluru itu mengenai dirinya. Tak mampu memahami situasi itu, mereka memutuskan untuk melarikan diri daripada menghadapi wanita mungil yang dahsyat dengan kekuatannya yang aneh. Baru saja Machi memutuskan untuk membiarkan mereka pergi, anak lelaki pirang di belakangnya berseru kepada mereka.

"Tunggu! Kembalikan kalungku!"

Dan dia berlari mengejar mereka dengan kedua tangan mengepal diangkat ke udara.

"Hei Nak!" Machi memanggilnya, tetapi tak dihiraukan.

Si anak lelaki pirang terus berlari mengejar orang-orang itu dengan kecepatan yang luar biasa. Segera saja, penjahat yang ketakutan itu mulai saling pandang satu sama lainnya untuk 'melenyapkan anak sialan itu'. Pemegang senapan tersebut berputar dan membidikkan senapannya kepada anak tersebut. Hampir tidak menyadari bahayanya 'senjata api' yang diarahkan padanya, si anak lelaki pirang itu terus mengejar mereka. Hanya saja ketika pelatuk ditarik, mengeluarkan suara ledakan yang memekakkan telinga, anak itu baru menyadari situasi genting yang tengah dia alami. Machi menyerang dengan benang Nen-nya, tapi bahkan sebelum benang Nen-nya mencapai peluru, secara refleks anak itu bertindak lebih dulu.

Reaksinya sangat luar biasa, mengingat hal itu dilakukan oleh anak yang baru berumur empat tahun.

Sambil menjerit ketakutan dan memejamkan matanya, anak itu benar-benar berusaha menghindari peluru dengan melakukan roll depan yang terlatih. Menempelkan kedua tangannya terlebih dahulu ke tanah, dia berguling dengan punggungnya hingga berdiri kembali. Setelah mengedipkan matanya beberapa kali; sepertinya menyadarkan diri sendiri dari disorientasi sementara, dia kembali mengejar 'orang-orang jahat' itu dengan gelora kemarahan yang sama.

Sementara Machi menatap ketangkasan tak terduga yang dilakukan anak itu dengan mata terbelalak, orang-orang itu sudah pucat pasi. Dengan penuh ketakutan, melihat 'iblis' kecil itu mendekati mereka, mereka memutuskan untuk melemparkan benda yang diminta oleh iblis pirang kecil itu. Dengan sebuah lemparan tak peduli, mereka membuang kalung tersebut dan pergi melarikan diri.

Anak lelaki pirang itu menjerit senang dan dengan girang memungut kalung tersebut. Dia bersihkan kalung itu dan kemudian memakainya di leher dengan hati-hati, sebelum menyelipkannya ke balik kausnya yang tipis. Dia menoleh kepada Machi, yang masih menatapnya seolah dia memiliki dua kepala, dan memberinya senyuman lebar yang polos. Machi pun langsung sadar kembali ke dunia nyata.

"Kau siapa?" Dia bertanya dengan hati-hati. Anak itu bukan anak biasa.

Si anak berkedip, memiringkan kepalanya ke salah satu sisi dan menjawab dengan begitu ceria seperti apa yang dilakukan anak-anak.

"Aku dipanggil Meta."

Machi mengernyit mendengar jawabannya. Itu jawaban mencurigakan yang penuh dengan kehati-hatian–bukan sesuatu yang akan diucapkan oleh anak kecil seumuran dia. Biasanya anak-anak akan menjawab dengan "Namaku...", tapi yang satu ini...

"Kau ini apa?" Machi mengulangi pertanyaannya. Anak-anak pada normalnya tak akan mengerti arti pertanyaan itu, tapi lagi-lagi anak lelaki tersebut bukan anak biasa. Membenarkan intuisinya, anak bernama Meta itu langsung kaku mendengar pertanyaan tersebut.

Machi mengernyit dalam-dalam padanya, dan Meta menelan ludah dengan gugup. Machi teringat akan waktu yang sekilas itu ketika mata Meta berkilat merah. Dengan hati-hati dia mendekatinya dan berlutut di hadapannya maka dia bisa mengamati wajahnya lebih dekat. Mengagetkan, Meta tidak lari ketika dia mendekatinya meski dia ingat wanita itu telah memenggal sebelah lengan salah seorang penjahat tadi. Membingungkan, Meta bersikap tenang selama kekacauan tadi. Dari jarak sedekat itu, Machi pun tahu bahwa warna matanya bukan hitam. Sebenarnya, warna biru yang kaya–seperti warna biru batu safir.

Tiba-tiba, sebuah panggilan telepon membuyarkan rentetan pikiran Machi. Dengan tatapan yang masih tertuju pada wajah si anak pirang, Machi menjawab panggilan itu tanpa memeriksa identitas si penelepon. Ketika suara dari seberang sana menyapanya dengan suara setenang lautan, Machi membeku dan sekilas matanya terbelalak.

"Danchou."


Hutan menjadi semakin lebat dan padat di setiap langkah yang mereka ambil. Di waktu yang sama, semakin jauh mereka masuk ke tengah hutan, hutan jadi semakin sunyi. Suara serangga dan burung-burung menjadi begitu samar, hanya meninggalkan suara bisikan yang terdengar dari kejauhan.

"Benarkah kau tidak apa-apa ikut bersamaku dalam misi kali ini?" Kurapika bertanya kepada temannya.

Una tidak keberatan. Una selalu bersamamu dalam setiap misi yang kau ambil.

Kurapika mengernyit mendengar pilihan kata-kata Una. Kata 'misi' selalu mengingatkannya pada Genei Ryodan, karena mereka sering menggunakan istilah itu untuk kegiatan yang mereka lakukan. Menghilangkan pemikiran yang sepele itu, dia kembali mengalihkan perhatiannya kepada Sang Unicorn bertanduk hitam.

"Mereka benar-benar tak akan menyakitimu, ya 'kan?"

Una mendengus singkat.

Mereka dari Suku Unicorn tak peduli terhadap Unicorn pengkhianat. Meskipun...

Langkahnya menjadi sedikit bimbang.

Merupakan hal yang bijaksana tidak membawa serta Meta untuk perjalanan ini, karena para ksatria Suku Unicorn sedikit...kasar.

Kata-kata itu baru saja keluar dari mulutnya ketika tiba-tiba sebuah suara meledak dalam keheningan hutan.

"BERHENTI!"

Suara yang terkesan otoriter terdengar di dalam hutan dan di saat yang sama sebuah anak panah mendarat di depan kaki Kurapika. Kurapika mundur selangkah dengan hati-hati. Ada pergerakan di depannya, yaitu di puncak bukit. Ketika Kurapika mendongak, dia disambut oleh satu-satunya sosok di sana.

Sosok itu adalah seorang gadis, atau wanita muda yang baru saja beranjak dari kehidupan masa remajanya. Rambutnya adalah rambut merah liar yang mencuat ke segala arah meskipun dikepang. Dia mengenakan sejenis baju berburu khas sukunya; seluruhnya terbuat dari kulit dan senjata tersemat di badannya. Kulitnya berwarna kecokelatan seperti warna kulit yang terbakar matahari dan otot-ototnya yang terbentuk dengan halus. Mencuat dari keningnya dan dari rambut liarnya yang tebal adalah sebuah tanduk berwarna putih gading. Warna matanya seperti warna kuning diopside, dan ada kobaran tajam berwarna hijau di dalam sepasang mata tersebut; memberikan perbedaan yang jelas dengan rambut dan kulitnya yang berwarna lebih gelap. Di dalam cengkeraman tangannya adalah busur yang ukurannya sangat besar, sementara terpasang melintang di punggungnya adalah setempat penuh anak panah yang kokoh.

Kurapika mengernyit ketika melihat wanita muda itu, terutama ketika dia memperhatikan tanduknya. Dia merasa pernah melihatnya, tapi bukan Una.

Yorn, putri Kepala Suku Unicorn, Una mengumumkan dengan suara pelan yang terdengar gugup.

"Ini Tanah Suci Suku Unicorn! Kau tidak diperkenankan melangkah lebih jauh!" Si Wanita Muda berseru dari puncak bukit, dengan dagu yang diangkat tinggi dengan bangganya.

Ketika tatapan tajamnya tertuju kepada Una, dia mengernyit dalam-dalam. Lalu, raut wajahnya menjadi masam dan tidak senang.

"Una, putri Bara," dia berkata dengan suara yang sengaja dibuat pelan dan datar, tak menunjukkan emosi apapun. "Apa yang kau lakukan di sini? Bersama seorang manusia, dan lihat tandukmu! Kau benar-benar putri ayahmu!"

Orang mungkin akan bilang dia terdengar mengejek dan menghina, tapi Kurapika bisa merasakan sedikit keterpaksaan di balik kata-kata itu. Dia bahkan merasakan tanda kekecewaan. Kata-katanya tidak seluruhnya tulus. Jadi kenapa dia mengucapkan kata-kata yang kejam itu jika sebenarnya dia tidak sungguh-sungguh bermaksud begitu?

"Katakan apa urusanmu!" Yorn mengumumkan lagi, kali ini dengan tidak sabaran.

Dengan hati-hati, Kurapika menjawabnya : "Namaku Kurapika. Aku datang ke sini sebagai perwakilan dari Perkumpulan Hunter–"

Kurapika bahkan belum menyelesaikan kalimatnya ketika mata Yorn berkobar terang dengan apa yang mungkin digambarkan sebagai kebencian tak terbendung.

"Hunter!" Desisnya dengan penuh kebencian, suaranya menyuarakan penghinaan yang sengit.

Tanpa peringatan apapun sebelumnya dan dengan kecepatan yang bahkan mengejutkan Kurapika, wanita muda itu sudah menyematkan beberapa anak panah ke busurnya sekaligus dan melepaskannya. Semburan anak panah menghujani Kurapika, dan secara refleks dia mengeluarkan rantai Nen-nya. Dengan gerakan lengan dan pergelangan tangannya yang terlatih, dia berusaha membelokkan sebagian besar anak panah itu. Masalahnya Una tak bisa menghindar karena ukuran badannya yang besar, maka Kurapika harus melindungi mereka berdua.

"Tunggu! Aku tak bermaksud jahat!"

"Bohong!" Wanita muda itu memekik, dan dia melepaskan gelombang anak panah yang lainnya lagi.

Kali ini, semburannya lebih intens dari yang tadi. Hanya saja, salah satu anak panah menggores lengannya tapi hanya itu. Mengira bahwa satu atau dua luka goresan tak masalah, Kurapika mengabaikannya dan tidak memeriksa luka yang dangkal itu. Malah, dia fokus kepada wanita muda bernama Yorn tersebut.

"Tunanganku dibunuh oleh seorang Hunter!" Dia berteriak marah. "Seorang wanita yang tak tahu malu, membuatnya terpesona dengan Nen-nya yang menjijikkan, memenggal dan menguliti kepalanya!"

Darah Kurapika langsung menjadi beku.

Vaise...

Kurapika ingat. Waktu itu, selama tes yang diterapkan untuk menjadi pengawal Neon Nostrad, salah satu artefak yang harus mereka dapatkan adalah tengkorak anggota Suku Unicorn. Wanita itu yang kacau secara seksual dengan kemampuan Nen-nya yang menghebohkan–'Instant Lover'–yang sudah pasti mengerikan–menjadi satu-satunya peserta yang mendapatkan tengkorak itu. Kurapika tak pernah membayangkan wanita itu akan bertindak sangat jauh seperti membunuh dan menguliti kepala untuk mendapatkan tengkoraknya. Sungguh kejam! Hal itu membuat Kurapika merasa mual.

Dia begitu teralihkan dengan pikirannya hingga dia terlambat menyadari semburan anak panah berikutnya. Bergegas dia mengeluarkan dan mengarahkan rantai Nen-nya tapi sebuah anak panah berhasil melewati pertahanannya. Waktu bagaikan melambat ketika panah tersebut langsung menuju ke wajahnya. Ketika hanya berjarak satu meter dari wajah Kurapika, kejadian aneh pun terjadi : anak panah tersebut terbakar dan menyusut menjadi debu.

Mata Kurapika terbelalak karena kaget dan terkejut, dia menoleh memandangi Yorn. Ksatria Suku Unicorn itu menampakkan ekspresi tercengang yang sama di wajahnya, tapi dia segera menguasai diri. Begitu dia mengambil lagi beberapa anak panah dari tempatnya dan baru saja akan menyematkannya ke busur raksasa miliknya itu, sebuah suara lain terdengar di hutan yang terusik tersebut.

"Cukup, Yorn!"

Dengan sedikit suara gemerisik dedaunan dan suara benturan pelan akibat sesuatu mendarat di tanah kokoh bukit itu, ksatria yang lainnya pun muncul. Jelas sekali dia ksatria yang jauh lebih tua dan jauh lebih berpengalaman daripada Yorn, seperti bagaimana Kurapika menilai dari cara pria itu membawa diri dan banyaknya bekas luka lama yang menghiasi kulitnya yang kecokelatan. Anehnya, kulitnya lebih terang dari kulit Yorn. Kurapika membuat suatu kesimpulan tegas saat memperhatikan cara Yorn mengikuti perintah tajam pria itu dengan patuh, meski dengan sangat keberatan.

"Tapi, Lazmorgh! Dia–" Yorn mulai bicara, tapi langsung dipotong oleh pria yang bernama Lazmorgh itu.

"Dia satu-satunya yang bisa bertahan hidup dari pembantaian Suku Kuruta," dia memberitahunya dengan kasar. "Akhirnya, ada seorang yang bertahan. Para Druid ingin bertemu dengannya."

Tampaknya jawaban Lazmorgh memuaskan Yorn karena dia segera memasukkan kembali anak panah ke tempatnya dan menurunkan busur ke samping tubuhnya. Namun, dia mengumumkan bahwa dirinya masih belum yakin bahwa Kurapika benar-benar seorang Kuruta. Untuk mendukung pernyataan Lazmorgh, Kurapika memaksakan matanya untuk berubah warna menjadi merah. Begitu melihat matanya, barulah Yorn menyerah dengan desakannya untuk mengusir Kurapika. Dengan enggan dia berbalik kepada Kurapika dan dengan kasar meminta maaf atas kelancangannya tadi.

"Karena Para Druid meminta diadakan pertemuan denganmu, kami akan memperlakukanmu sebagai tamu kami. Ayo," katanya datar, sebelum berbalik dan menghilang dari pandangan Kurapika dengan begitu cepat, tersamarkan oleh bukit.

Lazmorgh; pria dengan rambut ikal pendek berwarna pirang gelap dan mata giok, memandangi Kurapika dengan tatapan lurus sebelum dia pun mengundangnya masuk ke pedesaan Suku Unicorn yang tersembunyi.

"Jika kau berhasil pergi hingga sejauh ini, artinya hutan mempersilakanmu. Ayo, Gadis. Suku Unicorn menyambut kedatanganmu," katanya sopan, tapi menoleh kepada Una–menatapnya dengan galak. "Tapi dia tidak boleh ikut."

Kurapika baru saja akan protes, tapi Una menghentikannya.

Tidak apa-apa. Una mengerti. Una hanya bisa mendampingi hingga sejauh ini. Una akan menunggu di sini, katanya lembut, meski ada rasa sakit terdengar di nada suaranya.

Merasa tidak senang; karena dia harus meninggalkan Sang Unicorn, Kurapika mengikuti petunjuk Lazmorgh menuju ke pedesaan.

Dalam kesepakatan yang tak perlu diucapkan, Lazmorgh membimbing Kurapika melintasi pemukiman suku tersebut. Itu memang betul sebuah desa, tapi dia bisa benar-benar merasakan kehati-hatian dan rasa takut terhadapnya keluar dari para penduduk desa. Dia bisa memahami hal itu. Hidup diam-diam dalam persembunyian dan di tempat terpencil bukanlah hal yang menyenangkan–dia pernah melakukannya. Dia memaklumi ketakutan dan kehati-hatian mereka–dia pernah hidup dengan sentimen negatif seperti itu. Kurapika hanya berusaha sebaik mungkin mengabaikan tatapan gelisah yang diarahkan kepada dirinya itu.

Lazmorgh berhenti ketika mereka sudah sampai di suatu rumah. Sebenarnya, kata 'rumah' bukanlah kata yang paling tepat untuk menggambarkannya karena tidak sedikit pun mendekati rumah yang biasa dia lihat di desa, kota atau kota besar lainnya. Menyerupai sebuah gubuk, tapi sudah pasti kondisinya jauh lebih baik daripada gubuk di pemukiman kumuh. Terlihat seperti rumah yang dibangun dengan gaya Celtic kuno–atapnya masih ditutupi jerami dan dindingnya terbuat dari batu dan beberapa batang kayu yang kuat dan tebal.

Melihat pakaian yang dikenakan para penduduk desa dan dari penelitian yang sudah dia lakukan mengenai Suku Unicorn, Kurapika mengambil kesimpulan bahwa semua rumah di sana dibangun secara tradisional.

Kurapika menghilangkan masalah itu dari benaknya. Sepertinya tidak ada hubungannya begitu Kurapika tahu dengan baik hasrat mereka untuk melestarikan dan hidup di dalam tradisi mereka. Jika diberikan pilihan, Kurapika pasti akan memilih untuk mengenakan pakaian khas sukunya–seperti yang dilakukan orang-orang Suku Unicorn itu–tapi sayangnya dia sudah tak bisa lagi melakukan hal itu.

Menghilangkan masalah lama, Kurapika menegakkan postur tubuhnya saat Lazmorgh memberi isyarat untuk masuk ke dalam gubuk yang paling besar–sepertinya gubuk itu milik Kepala Suku. Dia ada di sana untuk melakukan tugasnya sebagai seorang Hunter, bukan untuk merenungkan rasa kehilangan berkaitan dengan sukunya sendiri. Dia sudah tahu rasa sakit kepunahan suatu suku. Dia tak akan membiarkan suku-suku yang lain mengalami tragedi yang sama.

Satu korban sudah cukup.


Dengan susah payah Meta berusaha memahaminya. Seorang kakak perempuan dengan rambut mencuat yang lucu berwarna biru gelap, baru saja menjawab telepon, tapi yang dia ucapkan hanya satu kata : "Danchou", dan selanjutnya dia tetap diam. Bahkan itu tak bisa dibilang sebuah percakapan, makanya Meta tidak mengerti kenapa dia mengangkat telepon kalau tidak mau bicara sama sekali?

Si kakak perempuan itu menatapnya tajam setiap saat dengan ekspresi aneh di matanya. Dia terlihat gelisah berada di dekatnya, dan Meta tahu itu. Dia sungguh bisa melihat kehati-hatian di udara sekelilingnya seolah ada wujudnya.

Meta bosan sekali. Dia ingin pergi menyusul anak-anak lain dan kabur dari tempat menyeramkan ini, tapi demi kesopanan dia harus tetap tinggal hingga kakak perempuan itu selesai dengan panggilan teleponnya dan setelah itu barulah dia bisa pamit. Tata krama yang baik merupakan sesuatu yang sudah ditanamkan oleh ibunya sejak dia bisa berjalan dan berbicara. Tak punya hal lain untuk dilakukan, dengan gelisah Meta mulai memainkan apapun yang bisa dia mainkan–rambutnya, jari tangannya, jari kakinya, bajunya, dan terus berlanjut ke hal yang lain.

Dalam sikap diamnya Machi mengamati anak lelaki itu dari sudut matanya sembari mendengarkan dengan intens apa yang dikatakan Sang Danchou padanya.

[Kita akan bertemu lagi di Yorkshin dalam waktu dua hari. Yang lain sudah diberitahu.]

Dia tak mau repot menanyakan apa tujuan pertemuan itu. Machi tidak menanyakan perintah dan keputusan Danchou-nya, hanya saja manusiawi menanyakan tujuan suatu kegiatan dan sesekali, jika memang ingin, dia bertanya kepada Kuroro. Namun, kali ini dia begitu teralihkan oleh 'anak kecil iblis' itu hingga dia hanya memperhatikan beberapa rincian yang penting : pertemuan, dua hari, Yorkshin. Itu saja.

Bahkan sekarang jadi lebih membuat perhatiannya teralih lagi ketika anak lelaki itu mulai bicara entah kepada siapa. Dia tidak terlihat sedang bicara sendiri, karena caranya berbicara menunjukkan bahwa dia sedang melakukan percakapan sebagaimana selayaknya dengan sesuatu.

"Mereka membawa truk?" Meta berkata dengan mata terbelalak.

Dia memiringkan kepalanya seolah tengah mendengarkan sesuatu.

"Bisakah mereka menjalankannya?" Jeda sejenak, sebelum dia melanjutkan, "Dia bisa mengemudikan truk? Keren!"

Machi mengernyit. Untuk seorang anak berusia empat tahun, ucapannya luar biasa fasih, tapi yang paling penting, apa yang sedang dibicarakan anak itu? Dan dengan siapa? Saat itu, anak tersebut memunggungi Machi sementara pandangannya tertuju kepada yang lain yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.

"Mereka tidak meninggalkanku, 'kan?" Meta berkata lagi dengan suara ngeri, matanya terbelalak begitu lebar. Lalu dia terlihat sedikit tenang. "Benarkah? Mereka datang untukku? Bagus!"

Meta berbalik hendak menghadap Machi, tapi dia hanya menatap tempat kosong di mana si kakak perempuan itu berdiri beberapa menit yang lalu. Wajahnya terlihat sangat kecewa dan bahunya pun terkulai.

"Aw, ke mana dia pergi? Dia tidak mengucapkan selamat tinggal..." Dia merengek sambil berlalu pergi. "Dan aku baru saja mau mengajaknya ikut bersamaku."

Sebesar keinginannya untuk mengikuti anak itu dan sebesar apa dia dibuat penasaran olehnya, Machi memutuskan bahwa masalah itu bukanlah masalah yang bisa dia campur tangani–setidaknya bukan hanya dia sendiri. Dia harus membahasnya dengan yang lain terlebih dahulu.


"Tunggu."

Dengan patuh Kurapika berhenti melangkah dan menoleh memandang orang yang baru saja memanggilnya: ksatria Unicorn yang mudah emosi, Yorn. Dia sedang berdiri di pintu masuk gubuk yang baru saja mereka lewati saat keluar tadi; gubuk Kepala Suku Unicorn. Di sampingnya adalah Lazmorgh, yang memandangi ksatria yang lebih muda darinya itu dari sudut matanya.

Si Gadis Kuruta baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai duta dari Perkumpulan Hunter untuk membentuk suatu kesepakatan bersama Suku Unicorn. Untung baginya, Sang Kepala Suku lebih dari sekedar bersedia untuk berada di bawah perlindungan Perkumpulan Hunter. Secara logika, tak ada bahayanya menerima tawaran itu karena Suku Unicorn benar-benar berada dalam bahaya kepunahan. Namun, Sang Kepala Suku merupakan seseorang yang angkuh, negosiasi pun menjadi lebih sulit. Dengan menyetujui kesepakatan tersebut, sedikit banyak secara otomatis Suku Unicorn sekarang menjadi milik Perkumpulan Hunter dalam arti tertentu. Sepertinya, itu tidak menjadi perhatian Kepala Suku selama sukunya bisa terhindar dari kepunahan yang mungkin akan segera terjadi.

Menurut pendapatnya, Sang Kepala Suku sudah bertindak bijaksana.

Yorn memperlihatkan tatapan penasaran yang mengalihkan perhatian di wajahnya. Kurapika dapat merasakan bahwa Yorn punya satu atau dua pertanyaan yang ingin dia tanyakan, tapi dia tahan karena suatu alasan. Keraguan, mungkin. Bersikap sabar dan sopan, Kurapika menunggu hingga ksatria wanita itu siap untuk bertanya.

"Bahu itu," akhirnya Yorn berkata sambil menunjuk bahu Kurapika yang terdapat luka sayatan yang dangkal di atasnya. "Luka sayatan itu karena anak panahku, benar 'kan?"

Kurapika melihat luka yang tidak dalam itu dan teringat pada semburan anak panah yang telah Yorn lepaskan padanya ketika gadis Unicorn itu mengetahui pekerjaannya sebagai seorang Hunter. Kurapika mengangguk mengiyakan. Yorn pun mengernyit dalam-dalam.

"Anak panahku diberi racun khusus yang bisa menembus pertahanan Nen manapun," dia mulai bicara pelan-pelan.

Ya. Dia mulai membuat anak panah itu sejak hari saat tunangannya dibunuh dengan kejam oleh Vaise. Dia menyadari ada banyak Hunter di luar sana dengan kemampuan Nen untuk membuat penawar yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit, maka dia pun bertahan dalam pembalasan dengan membuat racun yang kebal terhadap segala bentuk Nen. Selain kekebalannya terhadap Nen, racun itu sendiri cukup mematikan hingga mampu membunuh seseorang dalam waktu kurang dari dua jam ketika diberikan langsung melalui suntikan atau secara oral, sementara luka goresan sekecil apapun yang diakibatkan oleh senjata beracun itu cukup membuat orang dewasa lumpuh seluruhnya.

"Tak ada kemampuan Nen penyembuh yang mampu mengeluarkan racun dari metabolisme tubuhnya–kecuali kau. Kau ini apa? Aku tahu Suku Kuruta terkenal dengan Mata Merahnya, tapi ini? Aku ragu ini merupakan salah satu kehebatan Mata Merah," Yorn berkata dengan ucapan yang tidak menyakitkan hati.

"Aku..."

Kurapika tahu jawabannya, tapi dia tak bisa mengatakannya–adalah intisari Ishtar mengalir di dalam sistem metabolisme tubuhnya, memberinya kekuatan luar biasa bahkan melampaui Nen. Dia sendiri tidak yakin bagaimana menanggapi pertanyaan itu. Memang, dia termasuk manusia macam apa? Manusia normal? Pengguna Nen? Penyihir? Pesulap? Dia tidak termasuk ke dalam semua kategori itu. Jadi dia itu apa?

Apakah dia seorang monster? Apakah dia termasuk keanehan alam?

Mungkin.

"Jangan biarkan ucapan gadis ini membuatmu bingung, Nona Muda," sebuah suara yang lembut, pelan, tiba-tiba bicara padanya.

Kurapika menolehkan kepalanya melihat seorang pria tua jangkung dengan janggut panjang seputih salju menggantung dari dagu hingga ke pinggangnya. Dia begitu mengingatkannya pada Hatsubaba dari Ryuusei-gai, hanya yang satu ini memiliki kesan penurut di wajahnya, sementara wanita tua keriput itu memiliki kesan seperti seorang penyihir di seluruh penampilannya. Pria tua itu pun kurus dan tinggi sementara Hatsubaba pendek dan 'gemuk'. Pria tua itu menghampiri mereka dalam sikapnya yang tenang, anak buahnya aman dalam cengkeraman tangannya yang hampir layu dan terlihat rapuh.

"Druid Olaf, salam," Yorn mengakui kehadirannya dengan sedikit menundukkan kepala.

Druid tua itu balas mengangguk menanggapi salamnya.

"Yorn, jangan pusingkan dirimu dengan masalah yang tak ada hubungannya," dia mengingatkan ksatria muda Unicorn itu. "Sifatnya sama alamiahnya denganmu."

"Mengenai tatanan alamiahnya?" Yorn bertanya dengan sedikit sinis.

"Seperti apa yang diperintahkan takdir," pria bijaksana itu mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Dan ngomong-ngomong tentang itu..."

Druid Olaf menoleh memandangi wajah Kurapika yang dingin–dia tak punya ekspresi pasti di wajahnya. Dia tak tahu apa yang seharusnya dia rasakan karena terlalu bingung dengan arus percakapan di antara orang-orang Suku Unicorn itu. Meski dia mengerti, bahwa Sang Druid berusaha mengatakan bahwa kondisinya sekarang bukanlah sesuatu yang mengerikan yang berlawanan dengan alam dunia ini. Dia merasakan kelegaan aneh yang teramat sangat di dalam hatinya.

"Jika aku jadi kau, Sayangku," Sang Druid melanjutkan dengan suara yang lebih lembut. "Aku pasti sudah bergegas pergi menghampiri keluargaku."

Mata Kurapika terbelalak hingga ukuran maksimum sementara Yorn menatap Sang Druid seolah dia orang tua yang pikun. Lazmorgh harus menyikutnya agar dia lepaskan ekspresi itu dari wajahnya–dan itu bukan sikutan yang pelan. Yorn mengusap bagian samping tubuhnya yang nyeri sambil menanyai Sang Druid dengan nada suara jengkel.

"Apa? Aku kira dia keturunan terakhir Suku Kuruta?"

"Tidak. Tidak lagi," Sang Druid berkata dengan tatapan mata yang masih tertuju ke wajah Kurapika–yang kemudian langsung berubah pucat pasi begitu suatu kenyataan merasukinya.

"Dia satu-satunya orang yang selamat dari pembantaian itu, tapi dia sudah bukan lagi keturunan Suku Kuruta yang terakhir," Lazmorgh menjelaskan untuk Yorn, tapi gadis itu hanya memberi ekspresi bengong.

Ksatria lelaki yang lebih tua darinya itu mulai menggumamkan sesuatu seperti "bengong tapi tak mengerti", dan Yorn mulai meneriaki Lazmorgh. Kurapika tidak memperhatikan lagi apa yang mereka katakan–bahkan dia tidak menghiraukan kombinasi perkataan Yorn yang berwarna yang membuat Sang Druid meringis. Hanya ada satu hal yang dia perhatikan di benaknya; satu yang diisyaratkan Sang Druid dengan baik hatinya kepada Kurapika. Sesaat kemudian, barulah dia bisa mengungkapkannya ke dalam kata-kata yang disertai dengan rasa takut :

"Meta."


Leorio meraih ponselnya yang berdering sambil menjaga pandangannya tetap menempel ke layar TV, mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi di Kota Yorkshin dengan semua anak-anak berkumpul di pinggiran kota. Polisi segera mengambil perwalian atas mereka, tapi Leorio tak bisa menemukan Meta di antara anak-anak itu. Itulah hal terburuknya.

"Killua? Bagus sekali! Apa kau sudah menonton berita?" Leorio bicara kepada ponselnya sambil bergumul dengan bajunya yang terkena noda kopi, berusaha melepaskannya. Noda kopi itu masih berasap.

[Bodoh. Kami mendapatkan telepon dari Fino. Meta menghilang tiga hari yang lalu. Dia berusaha mencarinya, tapi tidak bisa menemukannya di mana pun di sekitar kota dan hutan.] Killua menjawab melalui telepon.

"Dia ada di Yorkshin! Untuk alasan tertentu, dia bersama anak-anak 'tersesat' lainnya. Siapa yang tahu dia terlibat masalah apa kali ini," Leorio mengomel sambil berusaha memakai kaus kakinya, melompat-lompat menuju ke pintu masuk apartemennya.

[Yorkshin, hah? Baiklah. Aku dan Gon akan mengambil penerbangan pertama menuju ke sana. Kita bertemu di sana?]

"Ya. Sampai jumpa di bandara," Leorio berkata sebelum dia menutup telepon, meraih tasnya yang selalu siap dibawa kapan saja dan berlari ke pintu. Sarapan dan kopinya yang berantakan di ruang keluarga benar-benar terlupakan begitu dia fokus menyelamatkan seorang anak lelaki pirang dari masalah.


TBC


Leave your review please...? ^^


~KuroPika FOREVER~