Halo semuanya, ini adalah fic pertamaku di fandom Hetalia Indonesia, yei!
Fic ini tentang Rusia, seperti cirri khasku, aku suka nulis angst. Padahal, aku lebih suka Jepang, tapi Rusia itu lebih gimana rasanya. Jadinya, aku nulis ini tentang dia. Mungkin agak OOC tapi mungkin juga nggak.
Oh ya, fanfic ini dibagi jadi 2 part, sekarang adalah part satu, "Reality", part dua belum ditulis nih...
Silahkan baca!
Warning: OOC, Miss Typo
Disclaimer: Himaruya-sensei, saya pinjem karakternya bentar ya! *ditembak mati
A Tearful Smile
The Reality 1: An Isolated Nation
Di dunia ini, manusia hidup secara berkelompok karena manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendirian. Kelompok-kelompok manusia banyak yang bersatu dan membentuk suatu satu kesatuan menjadi sebuah Negara atas dasar asas dan cita yang sama. Setiap Negara memiliki sejarahnya sendiri mengapa mereka bisa terbentuk. Dan para Negara pun mengambil wujud manusia dan hidup menyimbolkan Negara mereka.
Sebenarnya apa fungsi Negara itu? Bagi para Negara hal itu bukanlah hal yang bisa dijelaskan. Meski hidup layaknya manusia tapi banyak hal yang membuat mereka kadang ingin dan tidak ingin menjadi manusia.
Karena para Negara pun memiliki perasaan, suatu hal yang membuat mereka kadang menderita dan berharap dapat hancur dengan mudah layaknya manusia-manusia yang rapuh.
Tapi, seorang Negara harus tetap kuat, untuk rakyatnya, untuk dirinya, sehingga mereka tidak bisa hancur semudah itu.
Kematian sebuah dan seorang Negara hanya terjadi bila para rakyatnya sudah tak menginginkan lagi Negara tersebut ada.
Setidaknya, hal itu yang selalu membayangi seorang Negara setiap harinya. Ia hidup untuk rakyatnya, untuk dirinya dan untuk orang yang menginginkannya. Dan ia akan mati untuk mereka juga. Itulah hal yang terus ia tanamkan ke otaknya setiap ia bangun pagi.
Tersebutlah Rusia, Negara besar yang tinggal di sebuah wilayah dingin. Ia tinggal di sebuah rumah yang kelewat besar dan kosong, karena ia hanya tinggal sendiri.
Setiap pagi ia akan bangun dan menanamkan ke kepalanya alasan kenapa ia hidup dan alasan ia akan mati. Itu adalah jadwal rutin, hal itu ia lakukan untuk mengontrol 'hati'nya yang kian tahun kian rapuh saja. Memang, hatinya…lebih tepatnya, jantungnya dapat mencelat keluar dan jatuh berceceran dengan darah bila ia lengah, tapi bukan itu yang ia maksud. Yang ia maksud adalah perasaannya.
Menjadi Negara besar yang sering kali diterpa masalah bukanlah hal yang mudah. Tubuhnya sering dilanda rasa sakit, meski tidak begitu parah hingga ia pingsan. Itu adalah kejadian rutin lainnya.
Menjadi Negara yang selalu dijauhi Negara lain juga bukan hal yang mudah. "Ah tidak apa-apa, aku sendiri juga tidak apa-apa" rasanya kalimat itu bagaikan mantra yang selalu ia ulang dalam kepalanya untuk menghindari rasa sakit di hatinya.
Rusia sebenarnya sadar, ia memang agak 'aneh' dibanding Negara-negara lainnya, meski mereka juga aneh. Jalan pikirnya sedikit meleceng dan tidak stabil, membuat banyak orang bertanya-tanya sebenarnya apa yang ia pikirkan. Tapi, ia yakin ia tidak pernah menyakiti sesuatu ataupun suatu Negara secara permanen, tidak sampai mereka lenyap tanpa sisa, tapi tetap saja ia tidak bisa mengubah pandangan para Negara terhadap dirinya.
Karena itu, Rusia selalu menjalani hidupnya apa adanya. "Ya sudahlah" itu adalah kalimat lain yang sering ia ucapkan dalam hatinya, meski sebenarnya ia ingin berkata lain.
Seperti pagi ini, tanggal 21 Desember, di tengah musim dingin. Rusia terbangun di tempat tidurnya yang besar dan mengucek matanya dengan wajah sedikit kekanak-kanakan. Ia merasakan hawa kamarnya agak dingin, padahal ia yakin sudah menyalakan pemanas hingga maksimum sebelum ia tidur. Yah, tempatnya berada memang selalu diterjang musim dingin, terlebih di tengah musim dingin seperti ini.
Rusia segera bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Jujur saja, dalam keadaan seperti ini, ia ingin mencontoh rivalnya, Amerika, tidak keluar tempat tidur hingga musim semi datang.
Tapi, tentu saja ia tidak bisa begitu, jika ia tidak mau menerima protes dari bosnya dan rakyatnya, ia harus bangun dan menjalani harinya yang penuh dengan hal-hal berurusan kenegaraan seperti biasanya.
Segera setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Rusia keluar kamar mandi dengan wajah kurang bersemangat. Yah, apa mau dikata? Ia memang tidak punya alasan khusus untuk merasa bersemangat hari ini.
Apalagi hari ini ada rapat G8 di Amerika. Memikirkannya sudah membuat badan Rusia pegal-pegal. Bagaimana tidak? Ia harus menerjang musim dingin yang melanda daerahnya sebelum bisa sampai di Amerika. Lagipula, kenapa harus Amerika? Kenapa tidak di Jepang? Atau Negara pulau selatan yang hangat? Mungkin kalau ia pergi ke Negara dekat garis khatulistiwa ia akan merasa lebih bersemangat.
Tentu saja, ia tidak ingat ia pernah menyukai hal yang namanya "dingin".
Tapi, yah…apa boleh buat? Menggerutu dan mengeluh tak akan mendatangkan apapun, karena itu Rusia bergegas bersiap-siap untuk pergi ke Amerika, Negara rivalnya yang sampai kini pun belum begitu membaik hubungannya dengannya.
Dengan setengah hati, Rusia membereskan kopernya dan bergegas pergi. Begitu keluar pintu saja, dinginnya udara sudah menerpanya ditambah dengan salju turun membuat suhu semakin turun melewati batas 0 derajat. Rusia menarik syalnya yang sedikit lusuh dan mantelnya lebih erat dan segera berangkat menuju bandara.
Di bandara, Rusia harus menahan amarah dengan tersenyum saat mengetahui bahwa pesawatnya telat karena buruknya cuaca. Yah, mau marah pun tak akan mengubah keadaan, begitulah ia ucapkan dalam hati meski tangannya gatal untuk mengambil "tongkat ajaib"nya yaitu pipa besi panjang dengan ujung berhiaskan keran air yang sudah menjadi ciri khasnya.
Ia pun duduk dan menunggu kedatangan pesawat dan mengira-ngira apakah ia akan telat untuk meeting. Mungkin ya, tapi tak apalah toh ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Seperti yang ia kira, pesawat tiba 4 jam lebih lambat, hampir membuatnya menganiaya petugas bandara yang secara tidak sengaja menumpahkan kopi ke mantelnya saking stresnya.
Meski sebenarnya menunggu bukanlah kegiatan yang menyita banyak tenaga, tapi menunggu 4 jam suntuk membuat stress menumpuk di kepala Russia, sukses membuatnya tambah tidak bersemangat hari ini.
Dengan kesal yang berhasil ia sembunyikan dengan sempurna dibalik topeng senyum manisnya, ia menaiki pesawat. Ia bersyukur sudah memilih tiket paling mahal sehingga ia mendapat pelayan paling baik dan dapat tertidur sebentar sambil menunggu pesawat tiba di tempat tujuan.
Begitu tiba di Amerika, Rusia turun dari pesawat, keluar dari bandara, menaiki taksi, kemudian segera pergi menuju gedung dimana rapat diadakan.
Ia sudah telat, 1 jam lebih, entah apa yang akan dikatakan Negara-negara yang lainnya, ia tidak tahu. Segini saja, sebenarnya ia sudah memilih pesawat paling pagi untuk berangkat agar tidak telat, bila ia memilih jam yang mepet maka sudah dipastikan ia telat 4 jam lebih. Bukan telat lagi mungkin, rapat pasti sudah selesai.
Setibanya di tempat tujuan, setelah membayar uang taksi, Rusia bergegas pergi ke ruangan dimana tempat meeting diadakan. Ia bahkan tidak sempat untuk mampir ke hotel dan menaruh kopernya, bisa membuang waktu lagi. Ia pun menitipkan kopernya ke receptionist dan segera berlari menuju ruang rapat.
"Aduh…apa mereka akan marah padaku ya?" gumam Rusia pada dirinya sendiri dengan wajah khawatir di dalam lift. Yah…mudah-mudahan saja tidak, ia tidak suka bila ada orang yang marah padanya. Sayangnya, Rusia tidak sempat ingat bahwa selama ini tidak pernah ada Negara yang pernah memarahinya.
Setelah pintu lift terbuka, Rusia berlari kecil sepanjang koridor dan mencari ruangan dimana rapat diadakan.
"Ah itu dia," gumamnya lega, sedikit berkeringat dan kelelahan. Ia segera menuju sebuah ruangan dengan dua daun pintu besar dan megah. Tak lupa memasang senyum dan pipinya sedikit memerah karena malu ia datang telat, tangannya segera meraih gagang pintu, setidaknya sebelum ia mendengar percakapan di dalam ruangan.
Rusia hapal betul apa yang akan terjadi dalam rapat sebenarnya, daripada rapat, kebanyakan Negara hanya bercakap-cakap, bertengkar dan meributkan suatu hal yang tak penting. Ketika mendengar sedikit percakapan di balik pintu, Rusia berpikir itu adalah percakapan tak penting lainnya.
"…sebenarnya undanganmu itu apa-apain sih Amerika, mau ngundang atau maksa?" ia mengenali suara itu sebagai Inggris. Undangan? Rusia bertanya-tanya, lupa membuka pintu dan hanya berdiri di luar.
"…Ha…ha…ha…! Seperti tahun sebelumnya! Aku akan mengundang semua Negara untuk merayakan natal di rumahku!" itu adalah suara Amerika, yang terdengar sangat keras bahkan di luar ruangan.
Oh, pesta natal, Rusia pikir. Ia lupa tanggal 25 Desember adalah natal, tapi ia merayakan natal pada tanggal 7 Januari, jadi wajar ia lupa.
"…semuanya? Rusia juga?" kali ini suara Perancis terdengar. Rusia terdiam di tempat, ia bisa merasakan jantungnya berdebar keras. Dengan perlahan ia meraih dadanya, dimana jantungnya berada, tidak ingin jantungnya kembali meloncat keluar dan membuat noda darah di bajunya.
"…aduh kau ini gimana sih France? Ya nggak lah!" kata Amerika dengan nada 'ceria' seperti biasanya.
Rusia tertegun mendengarnya dan segera mendesah sedih. Ia seharusnya tahu itu, karena tahun lalu ia juga tidak undang, ataupun tahun-tahun sebelumnya, ia tidak pernah diundang.
Tapi tetap saja, saat mendengar kata "semua Negara", hati kecilnya berharap ia termasuk di dalamnya. Namun kali ini kenyataan tetap pahit untuknya, ia tidak diundang, sama seperti sebelumya.
Ya sudahlah, toh ia juga tidak merayakan natal, bukan masalah besar, pikir Rusia dalam hati. Kini ia kembali meraih gagang pintu sebelum mendengar percakapan lain.
"…yah, kalau ada Rusia memang gimana gitu rasanya…"
Eh? Rusia terdiam lagi.
"Maksudmu apaan sih?" tanya Amerika, lagi-lagi tidak sensitive seperti biasanya.
"…Rusia kan memang begitu, ada aura menyeramkan di belakangnya begitu. Kalau ia datang, pasti merusak suasana pesta! Nanti para gadis kabur semua!" kata Perancis agak berlebihan seperti biasanya.
Eh? Rusia tidak bisa berkata apa-apa dan terus mendengarkan percakapan di dalam ruangan.
"Hiiee! Aku tidak mau para gadis pergi! Aku juga takut pada Rusia!" pekik seseorang…suara ini…Italia?
'Takut?' tanya Rusia pada dirinya. Bukankah ia sudah menjalin hubungan cukup baik dengan Italia? Kenapa dia…
"Karena itu aku tidak undang dia!" kata Amerika lagi, kedengarannya senang karena semuanya sependapat dengannya.
Setelah itu, tanpa Rusia sadari, kakinya melangkah mundur dari pintu, tidak ingin mendengar percakapan lebih jauh lagi. Ia merasa….sakit….jantungnya berdebar kian keras dan keringat dingin bertetesan di wajahnya.
Sejenak ia memejamkan mata, menenangkan diri, ia seharusnya sudah tahu itu, sudah tahu. Ia merupakan Negara yang ditakuti, ia tahu itu. Jadi, untuk apa merasa kaget? Untuk apa merasa sakit? Ia seharusnya sudah terbiasa sekarang.
Ia harus kuat! Ia adalah Rusia! Rusia!
Rusia membuka matanya dan kembali tersenyum, rasa sakit di dadanya sudah pergi namun berganti dengan mati rasa. Ia pun segera memasuki ruangan tak lupa dengan senyum innocentnya.
"Halo, semuanya, maaf aku telat," kata Rusia dengan nada ceria. Tak ayal lagi, semua Negara tersentak dan berkeringat dingin melihat bahan pembicaraan mereka kini sudah muncul. Rusia berusaha untuk tidak memperdulikan hal itu, terutama Italia yang kini menangis histeris dan memeluk Jerman karena takut.
"Oh, kau kemana saja sih! Untung rapat belum dimulai!" sahut Amerika yang tidak terlihat merasa bersalah, tidak sensitive seperti biasanya.
"Ah, tadi pesawatnya telat datang karena cuaca buruk, maaf ya Amerika-kun," kata Rusia menyugingkan senyum sedih pada Amerika.
Amerika hanya mengangguk dan mengambil sebuah burger entah dari mana dan memakannya dengan cuek. Negara-negara lain tidak mengatakan apa-apa jadi Rusia segera menuju tempat duduknya.
Hari ini, rapat berjalan…agak sunyi senyap, tidak heboh seperti biasanya. Tentu saja, karena para Negara merasa sedikit bersalah dan merasa seperti 'tertangkap basah' hari itu. Rusia yang terlihat tersenyum sepanjang waktu dan bersikap seperti biasanya membuat mereka semua cemas sekaligus lega.
Entah Rusia mendengar percakapan mereka atau tidak, mereka tidak tahu, mereka juga tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Rusia saat ini.
Mungkin, sesuatu yang tak pernah bisa mereka bayangkan.
IoI
Rusia berjalan di tengah kota di Amerika. Rapat sudah selesai berjam-jam yang lalu, meski seharusnya ia segera menuju hotel dan beristirahat sebelum pulang, Rusia memilih untuk berjalan-jalan sebentar. Dusta besar bila ia bilang bahwa ia sudah lupa percakapan antara Negara-negara tentang dirinya. Kata-kata mereka menusuk dadanya sedingin es, membuatnya kesakitan juga mati rasa.
Rusia sibuk menenangkan dirinya sepanjang waktu. Ia bukanlah Negara yang tidak sensitive seperti Amerika, meski selalu terlihat polos dan tersenyum sepanjang waktu. Ia juga bisa merasa sedih. Tapi, mungkin tak ada yang sadar atau malah…tak ada yang peduli.
Rusia memang tidak ingat, kapan ia pernah menunjukkan emosinya yang sebenarnya di hadapan Negara-negara yang lain…ah keculai kedua saudara perempuannya dan Lithuania. Tapi, saudaranya kini bukan saudaranya lagi. Kini, Lithuania bukan 'teman'nya lagi.
Sebagai sebuah Negara yang besar dan kuat, Rusia tahu ia harus bersikap tegar agar tidak ditindas dan dijajah seperti saat ia masih kecil.
Ia adalah Rusia, ya begitulah…
Karena itu ia mematikan perasaannya untuk beberapa saat bila diperlukan, saat itulah ia akan memendam semua kenangan pahit dan menyesakkan jauh di dasar hatinya. Dengan begitu, ia akan menjadi lebih baik…untuk sementara. Setidaknya sampai semua kenangan itu bangkit dan mengejarnya dalam mimpi buruk.
Tapi, ia sudah makin terbiasa dengan semuanya. Sakit hati, sedih, marah, kecewa, semuanya sudah biasa. Meski Rusia sendiri tak pernah sadar, betapa menyedihkan dirinya untuk merasa terbiasa 'disakiti' oleh Negara lain.
Ia memang sudah terbiasa dan…yah…lagipula ia memang tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menjadi tidak terbiasa.
Meski aneh…terbiasa tapi masih terasa sakit….
Sudahlah, dipikirkan terus menerus pun tak ada akhirnya, pikir Rusia. Kakinya sudah membawanya entah kemana. Ia tidak begitu mengenali jalan yang ia lalui. Jalanan pun sepi karena udara dingin. Memang, belum turun salju, tapi cukup dingin untuk membuat orang-orang memilih berdiam di dalam rumah daripada pergi ke luar.
Setidaknya, tidak untuk Rusia.
Saat itu, sebuah kotak kardus yang berada di pinggir jalan dekat taman menghentikan langkahnya. Ia memandang kotak kardus itu dari jauh. Bukan…tentu saja ia tertarik bukan pada kotak kardusnya, tapi pada apa yang ada di dalam kotak kardus tersebut.
Seekor kucing….besar, berbulu coklat gelap dan sedikit agak kotor.
Ia duduk di dalam kotak kardus dan mengeong, seakan memanggil setiap pengguna jalan yang lewat.
Apa itu? Rusia bertanya dalam hati. Ia yang berada cukup jauh dari kucing tersebut mencoba membaca tulisan yang ada pada kardus dimana kucing itu berada.
'Tolong pungut aku' begitu tulisannya. Pungut? Rusia semakin bingung, apakah itu artinya kucing itu telah dibuang?
Di Rusia, Negara yang selalu dilanda salju, jarang ada yang memelihara hewan peliharaan karena cuaca yang cukup ekstrem, apalagi membuangnya. Bisa dipastikan hewan naas itu akan mati membeku kedingininan.
Rusia memperhatikan kucing itu, mendengar meongannya yang parau seakan memelas untuk dikasihani.
Orang lewat satu demi satu, ada yang bersikap ia tidak mendengar apapun, ada yang hanya meliirik pada kucing itu dan bahkan parahnya lagi ada yang melihat dengan wajah jiik pada kucing itu.
Angin dingin bertiup, membuat Rusia agak menggigil dan menarik syalnya lebih erat ke lehernya. Ia melihat kucing itu pun kedinginan dan meringkuk dalam kardus yang kumuh.
Tiba-tiba, seorang anak kecil menghampiri kucing itu, membuat Rusia dan kucing itu kaget. Ia berjongkok dan mengelus kucing itu, Rusia tersenyum saat kucing itu mengeong senang. Namun, seorang wanita paruh baya segera datang dan dengan kasar menarik tangan anak kecil itu.
"Apa sih yang kau lakukan? Kucing itu kan kotor," sahut wanita itu agak kasar. Anak kecil itu menatapnya sedih.
"Mama, aku mau pelihara kucing ini boleh?" tanyanya dengan nada meminta. Kucing itu pun menatap wanita itu dengan memelas, tapi pandangan benci wanita itu membuat sang kucing bergidik.
"Kalau kamu mau kucing, kita bisa beli di toko hewan. Untuk apa mengambil kucing buangan yang jelek dan kotor seperti ini, ayo pergi, kamu sekarang harus les balet," omel wanita itu dan memaksa anak kecil itu berjalan bersamanya.
Kucing buangan dalam kardus itu pun mengeong, sedih karena anak kecil itu pergi. Rusia yang melihat semua kejadian itu merasa marah, apa maksudnya wanita itu. Sok sekali….
Ia pun kembali melihat orang-orang lalu lalang melewati kucing itu, tapi sama seperti sebelumnya, tak ada yang peduli.
Seakan kucing itu ditolak keberadaannya.
Seakan tak ada yang menginginkannya.
Dengan wajah sedih, Rusia menghampiri kucing itu. Ia tersenyum kepada kucing itu. Merasa iba juga sedih, seakan ia melihat dirinya sendiri dalam kucing itu. Tidak diinginkan, sendirian….
Ia pun berjongkok dan dengan sedikit agak ragu, Rusia membelai kucing itu perlahan. Matanya agak membelalak saat sang kucing mengeong senang, tampaknya menyukai belaian Rusia. Rusia yang agak kaget merasa keheranan. Seingatnya, semua binatang secara naluri tak pernah menyukainya. Entah karena apa Rusia tidak begitu mengerti.
Ini adalah pertama kalinya…
Ada kucing yang tidak menolak sentuhannya…
Sebuah senyum hangat terpulas di bibir Rusia. Merasa lega juga terharu, melihat kucing buangan ini tidak menolak dirinya seperti yang lain.
"Apakah kau mau jadi temanku, da?" tanya Rusia pelan. Ia tidak memperdulikan pandangan dan cibiran dari orang-orang yang lewat. Bila mereka mendengar bahwa dirinya sedang mengajak berteman seekor kucing buangan, mungkin mereka akan lebih keheranan lagi.
Kucing itu tampaknya mengangguk senang, seakan mengeri perkataan Rusia, membuat hati Rusia terasa hangat karena senang.
"Hore, kalau begitu mulai sekarang kau temanku, da!" sahut Rusia senang, tidak memperdulikan pandangan orang yang menganggapnya gila. Dengan girang, Rusia memeluk kucing itu seperti bayi dan merangkulnya.
"Aku akan membawamu pulang dan kita akan tinggal bersama," tambah Rusia merasa senang, sejenak melupakan masalahnya. Kucing itu pun membalas, mengeong senang dalam tangan Rusia.
Rusia pun segera bergegas pergi ke hotel dengan hati berbunga-bunga. Akhirnya…sekarang ia mendapatkan satu teman, yang rela menerima dirinya apa adanya, tidak takut padanya dan sekarang ia tidak akan sendirian di rumah. Meski itu hanya seekor kucing, Rusia sangat bahagia.
Rusia berharap dalam hati, kebahagiaannya kali ini tak akan direbut lagi darinya, seperti yang sudah sering kali ia alami.
Karena, selama ini yang Rusia inginkan hanya...seorang teman untuk menemaninya, berbagi dengannya, bicara dengannya, tidak pernah lebih..
Tidak pernah lebih...
Sedih ya? Hehehe, maaf ya Rusia kelihatan agak OOC di sini...habis dia emang kelihatan kesepian banget sih...
Sebenarnya, aku pengen banget nulis fic pairing untuk Rusia, tapi sama siapa? Sama Amerika? Sama China? Sama...err...Prussia? Aduh...bingung, lagian Rusia emang selalu sendirian jadi susah mau dipairingin sama siapa, dasar Rusia! *ditembak Rusia...
Maaf ya, di sini pake nama-nama Negara, terus untuk dialog, aku lebih suka pake versi jepangnya, jadi Jepang tetap akan dipanggil "Nihon" dan sebagainya, maaf ya kalau membingungkan, hehehehe...
