Just A Story About Love And Friendship
Naruto © Masashi Kishimoto
OC: Akasuna no Akari. Ciri-ciri: berambut merah panjang sepunggung, rambutnya diikat setengah, berponi lurus, rambutnya bergelombang seperti Sasori, warna matanya cokelat gelap. Sifatnya polos, periang, dan suka iseng kepada kakaknya. Walaupun wajahnya manis dan polos, dia bisa berubah menjadi galak jika dia mau. Adik perempuan Sasori.
Warning: OC, OOC, (maybe) typo(s), etc. Don't like? Simple. Don't read.
.
.
.
Pagi yang cerah di Konoha. Beberapa orang sudah mulai melakukan aktivitas seperti berlari pagi, menyapu halaman rumah, atau bersiap-siap untuk pergi ke pasar. Sinar mentari dengan tidak sabar menerobos masuk menembus jendela yang masih ditutupi gorden berwarna cokelat. Seseorang yang merasakan adanya sinar matahari yang mengganggu tidurnya pun menggeliat tidak nyaman. Secara perlahan, dibukanya matanya yang menampilkan sepasang iris berwarna cokelat gelap. Tangan putihnya meraba-raba meja disampingnya dan mengambil handphone berwarna putih keluaran terbaru. Terkejut melihat angka yang terpampang tidak bersalah di handphonenya, ia segera terduduk. Rambut merah panjangnya terlihat awut-awutan. Dengan langkah agak tergesa-gesa, ia segera berjalan menuju kamar mandi di kamarnya.
.
.
"Huah, segarnya!"
Gadis bermarga Akasuna itu keluar dengan pakaian seragam yang rapi. Dia sedang membuka shower cap yang tadi telah membantu agar rambut panjangnya tidak terkena air. Setelah menyisir rambutnya, ia mengambil separuh rambutnya mulai dari atas telinga sampai ke belakang dan menyisirnya kembali. Tangannya mengambil ikat rambut karet berwarna merah gelap dan mengikat rambutnya. Sisir yang tadi menganggur sementara kembali beraksi menyisiri rambutnya yang tidak terikat.
Setelah puas memandangi bayangan dirinya di cermin, ia menyemprotkan sedikit parfum di leher, belakang telinga, pergelangan tangan dan di bajunya. Wangi vanilla yang lembut menguar di udara. Lalu, tangannya mengambil sebuah pita berwarna hitam kotak-kotak yang dikalungkannya ke bagian bawah kerah kemeja putih lengan pendeknya dan membuat simpul pita.
Gadis itu keluar dari kamarnya dengan penampilan yang rapi, segar, cantik dan wangi, membuat siapapun betah berada di dekatnya lama-lama. Dengan langkah riang, kakinya berjalan menuju kamar di sampingnya.
Kamar itu remang-remang. Dengan segera dia membuka gorden yang menutup laju sinar mentari. Seseorang menggeliat tidak nyaman di balik selimut. Dan setelah kamar itu terang, gadis itu menghela nafas berat. Kamar bernuansa merah itu sangat berantakan.
"Sepertinya nii-chan habis begadang menonton bola lagi," gumamnya saat melihat sampah makanan ringan dan minuman bersoda yang sudah kosong bergeletakan dimana-mana. Tadi dia juga sempat melihat kakaknya tidur dengan memakai baju tim sepakbola kesayangannya.
Dengan sabar, dia memunguti sampah itu satu persatu dan membuangnya di tempat sampah. Matanya tertuju kepada seonggok manusia yang meringkuk di kasur seperti anak kucing. Ide licik pun timbul di benaknya untuk mengisengi kakak satu-satunya itu.
"Nii-chan! Ayo bangun!" ujarnya dengan tidak sabar sambil menggoyang-goyangkan badan kakaknya dengan brutal.
"Akari, lima menit lagi…" gumamnya dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"Tidak ada lima menit lima menitan! Ayo bangunlah!"
"Nanti!" ucap pemuda itu gusar dan membalikkan badannya.
"Oh, ya sudah deh. Boleh kok lima menit lagi. Tapi…," gadis bernama Akari itu sengaja memutuskan kalimatnya dan menekankan kata 'tapi'."
"Tapi, nii-chan boleh pilih lima menit lagu mau kubangunkan dengan air apa untuk menyiram muka nii-chan. Air panas atau air dingin? Biar kusiapkan," Akari melanjutkan kalimatnya sambil menyeringai licik. "Lima menit cukup untuk mendidihkan air dan mencairkan es batu kok."
Pemuda itu terduduk dan mengacak-acak rambutnya frustasi. "Akari, bisakah kau membiarkanku bangun dengan tenang dan tanpa paksaan dan ancaman seperti ini?" ucapnya dengan serak.
Akari mencubit gemas pipi lelaki berwajah baby face itu. "Kalau nii-chan bisa bangun tepat waktu, aku akan dengan senang hati membiarkan nii-chan bangun dengan tenang dan tanpa ancaman."
"Baiklah, mau taruhan?"
Akari mengerenyitkan keningnya. "Taruhan apa?"
"Besok, kalau aku yang berhasil membangunkanmu lebih dulu, selama seminggu kau akan mentraktirku dan membangunkanku dengan lembut dan anggun, dan jika kau menang, aku akan melakukan semua yang kau suruh. Bagaimana? Deal?" lelaki yang hanya berbeda satu tahun dengan Akari ini mengulurkan tangan kanannya.
Akari berpikir sebentar. Tunggu, berarti bukannya dia pihak yang diuntungkan di taruhan ini? Kebetulan ia mempunyai uang tambahan untuk mentraktir kakaknya. Membangunkan dengan lembut dan anggun? Itu bisa diatur! Dan hebatnya lagi, dia bisa menyuruh kakaknya untuk melakukan tindakan aneh jika dia menang! Hohoho, benar-benar kakak yang baik.
Akari menyembunyikan wajah bangganya dan bersikap normal. Dia menyalami kakaknya dengan tegas. "Deal."
Keduanya saling tersenyum angkuh dan menatap mata satu sama lain dengan pandangan menantang sehingga timbul percikan listrik jika di komik-komik.
"Hah, baiklah. Ayo mandi dulu! Lihat sudah jam berapa sekarang. Jam 07.10 kita masuk, lho." tangan mungil itu menunjuk jam yang menunjukkan pukul 06.45.
"Iya, iya. Oh, tolong bawa blazerku turun ya. Taruh di kursi di meja makan!" suruh pemuda pemilik iris berwarna hazel itu kepada adiknya.
"Iya!" Akari menyambar blazer berwarna hitam dengan lambang sekolahnya di bagian dada sebelah kiri dan dengan lambang Konoha berwarna putih di bagian lengan kirinya. Ia menenteng blazer kakaknya dan kembali ke kamarnya untuk mengambil tas dan blazer punyanya. Agar tidak tertukar, ia segera memakai blazer miliknya. Dengan langkah layaknya anak kecil yang baru pertama kalinya masuk sekolah, ia menuju ke ruang makan dan menemui Kaa-san dan Tou-sannya disana. "Ohayou, Kaa-san! Ohayou, Tou-san!"
Tou-sannya menurunkan koran yang sedang dibacanya dan tersenyum hangat kepada putrinya. "Ohayou, Akari."
Kaa-sannya yang sedang menaruh kopi di meja untuk suaminya pun tersenyum ramah kepada anak bungsunya itu. "Ohayou, Akari. Mana Sasori?"
"Sasori-niichan sedang mandi. Mungkin sebentar lagi turun."
"Sepertinya ada yang membicarakanku," ujar Sasori yang tiba-tiba muncul di belakang Akari. Akari mendengus. "Apakah nii-chan benar-benar mandi? Cepat sekali."
"Tentu saja aku benar-benar mandi. Mau kupraktekkan cara aku mandi tadi disini agar kau percaya?" tanyanya sambil mengalungkan dasi hitamnya dan membuat simpul dasi.
"Hih, nii-chan mesum!"
Akasuna no Akira, sang kepala keluarga Akasuna terkekeh pelan mendengarnya. Sang istri, Akasuna no Saori, tersenyum dan duduk di bangku bagian kanan dekat suaminya. "Akari, Sasori, kalian masih berangkat dengan teman-teman kalian?"
Akari menggangguk. "Uhm."
Perempuan separuh baya itu mengangguk tanda mengerti. Rambut cokelatnya mengayun-ayun pelan mengikuti gerak kepalanya.
Akira mulai tertarik dengan topik ini. "Dari dulu Tou-san heran. Kalian hanya berangkat ke sekolah saja, kok sambil konvoi begitu?"
Sasori mendengus kesal. "Ini gara-gara rentenir Akatsuki itu! Dia terlalu pelit mengeluarkan uangnya untuk membeli bensin atau naik bus."
Akari menghela nafas. "Entahlah, aku juga tidak tahu bagaimana cerita lengkapnya. Yang jelas, aktivitas aneh itu mulai berlangsung saat aku mulai masuk Konoha International High School."
TIIN TIIN!
"Ah, panjang umur, itu mereka! Tou-san, Kaa-san, kita berangkat dulu ya!" ujar Akari sambil menepuk-nepuk rok hitam kotak-kotak 10cm diatas lututnya. Sasori memakai blazer dan mengambil tasnya. Di luar, tampak tiga mobil yang berderet di luar. Dan di mobil yang paling depan, terlihat seseorang yang menjulurkan kepala dan tangannya. Orang itu memakai masker oranye bermotif lollipop melingkar dan sedang melambai-lambaikan tangannya penuh semangat.
"Ohayou, minna!" ujar Akari seraya tersenyum.
"KYAA! AKARI-CHAN! OHAYOU!"
"JANGAN BERTERIAK DI DEKAT TELINGAKU, LOLLIPOP BODOH!" umpat Hidan. Akari yang sudah terbiasa melihat adegan ini mengekori kakaknya menuju mobil pertama. Tobi semakin bersemangat dan menepuk-nepuk kursi di sampingnya dengan keras. "Akari-chan disini saja! Disini! Ini sudah Tobi siapkan untuk Akari-chan! Tobi anak baik kan, Akari-chan?!"
Senyum Tobi memudar saat pintu di sampingnya terbuka dan Sasori mengambil tempat duduk spesial yang disediakan Tobi untuk adiknya. Dengan cuek, ia memasang earphone dan berkata kepada adiknya, "Akari, seperti biasa. Mobil belakang. Pein, cepat jalankan mobilnya menuju rumah Yamanaka dan bilang kepada Zetsu agar lebih dulu saja."
Perlahan, kaca jendelanya tertutup dan mobil melaju meninggalkan dua mobil lainnya di belakang. Akari masih bisa mendengar suara teriakan Tobi dan jeritan kasar Hidan. Dengan perlahan ia menuju ke mobil kedua dan membuka pintunya. "Ohayou, minna!" sapanya.
Tampak Itachi yang sedang tersenyum ramah kepada Akari dari kaca spion. "Ohayou, Akari. Seperti biasa, heh? Tobi yang merengek-rengek agar kau duduk di sampingnya?"
Akari membalas senyuman Itachi yang ada di tempat pengemudi dan mengambil tempat duduk diantara Sakura dan Hinata. "Ohayou, Itachi-nii. Yah, seperti biasa. Tobi-senpai yang berteriak, Hidan-senpai yang menjerit, tepuk-tepuk bangku, direbut Sasori-niichan, Sasori-niichan menyuruhku naik mobil ini, Tobi-senpai berteriak dan Hidan-senpai yang menjerit lagi."
Itachi menjalankan mobilnya. "Sudah kubilang pada Hidan agar pindah ke tempat duduk yang dibelakang, tapi dia menolaknya dengan alasan ia muak mencium bau uang dari Kakuzu dan melihat tampang Kisame," kata Itachi seraya menghela nafas panjang.
"Padahal walaupun mukanya begitu, Kisame-senpai benar-benar baik loh. Iya kan, Akari? Hinata? Tenten? Dia suka mengajak kami memancing di rumahnya dan mengadakan piknik kecil-kecilan disana," komentar Sakura.
"Kau cerewet sekali, Jelek."
Kepala Sakura menghadap ke serong kanan belakangnya. Perempatan siku-siku muncul di dahinya. "Apa katamu, Sai?!"
"Selain jelek, ternyata kau punya gangguan telinga juga, ya."
"Apa?! Katakan itu sekali lagi dan kau akan kulempar keluar!"
"Sudahlah," Tenten yang berada di belakang Sakura mencoba menenangkannya.
"Kalian berisik," komentar Sasuke yang berada di samping Itachi dengan nada dingin. Wajah Sakura memerah saking malunya. "Maaf, Sasuke-kun."
"Nah, kita sudah sampai. Itu dia Ino-chan," tunjuk Akari. Sakura membuka kacanya dan menjulurkan kepalanya. "PIG! Cepatlah!"
Ino berlari tergopoh-gopoh sambil menenteng tasnya. "Hosh hosh. Deidara-niichan baru selesai mandi! Dia memang sangat susah dibangunkan!" adunya. Itachi tersentak kaget. Ia menolehkan kepalanya kearah Ino yang duduk di antara Tenten dan Sai. "Apa katamu? Jangan bercanda!"
"Aku serius, Itachi-nii!"
"Ohayou, Nona Cantik," sapa Sai tidak nyambung. Ino menoleh kearah Sai dan mukanya sudah semerah rambut Akari.
Kening Sakura kembali berdenyut kesal. "Kau! Kau bilang dia Nona Cantik sedangkan aku kau panggil Jelek? Dasar Senyum Palsu!" Sakura menunjuk-nunjuk Sai dengan geram.
Hinata berusaha melerai mereka dan tanpa sengaja melihat satu sosok kuning Yamanaka keluar dari rumah. "A-ano, itu Dei-Deidara-senpai, kan?"
Semua mengarahkan kepala kearah yang ditunjuk Hinata. Terlihat Deidara yang tergesa-gesa menyampirkan blazernya ke pundaknya dan menenteng tas. Mulutnya terlihat sedang mengunyah sesuatu. Bajunya sedikit kusut dan tidak dimasukkan. Tangannya sibuk mengutak-atik dasinya. Dan badannya nyaris terjatuh karena tersandung pot bunga. Saat membuka pintu mobil yang dikendarai Zetsu, ia terbatuk keras karena tersedak makanan yang dikunyahnya. Semua yang melihat adegan itu sweatdrop.
"I-Itachi-nii, sebaiknya Itachi-nii segera berangkat dari sini. I-ini sudah ja-jam 07.08," ujar Hinata takut-takut. Itachi kembali tersentak kaget dan melihat jam tangannya. "Kuharap jamku dan jammu salah, Hinata. Kalian, pegangan yang kencang. Jangan gigit lidah kalian."
Itachi segera menginjak gas dalam-dalam dan membuat mobil itu sedikit terlonjak. Hal yang sama juga dilakukan oleh dua mobil di depannya.
"Kyaa!"
"Baka aniki! Apa kau sudah gila!"
"Maaf Sasuke, tapi ini demi kebaikan bersama."
Mobil itu memutar dan kembali melewati rumah keluarga Akasuna dan melaju kearah sekolah. Untuk informasi, rumah keluarga Yamanaka berada tepat di serong kiri depan rumah keluarga Akasuna jika dilihat dari atas. Jadi, terdapat dua baris horizontal rumah yang diapit oleh dua jalan. Alasan kenapa mereka menjemput Akasuna bersaudara lebih dahulu adalah karena setelah menjemput mereka, mobil-mobil tersebut tinggal berbelok kearah kiri, kiri lagi, dan lurus menuju rumah klan Yamanaka. Setelah itu, mereka tinggal belok kiri, belok kiri lagi, dan lurus untuk menuju ke sekolah mereka yang terletak beberapa blok diluar komplek ini, sehingga mereka akan melewati rumah klan Akasuna lagi.
Sesampainya disana, jam sudah menunjukkan pukul 07.14. Mereka segera memarkir mobil mereka di lahan parkir yang luas dan terletak di samping gerbang sekolah. Setelah membanting pintu mobil, 20 orang itu berlari dengan langkah berderap seperti tentara menuju gerbang. Ternyata, disitu sudah ada Tsunade-sensei dan Guy-sensei yang terkejut melihat banyaknya murid mereka yang terlambat. Izumo dan Kotetsu yang menjaga gerbang di sekolah itupun juga terkejut.
"Izumo, buka gerbangnya!"
"Hai', Tsunade-sama!"
Begitu gerbang dibuka, Tsunade berkacak pinggang didepan mereka. "Apa-apaan ini! Kalian bersekongkol untuk telat, ya?" Mata Tsunade melotot melihat adanya dua pasang iris pearl dan dua pasang iris onyx yang ikut bergabung disana. "Astaga, bahkan Hyuuga dan Uchiha juga terlambat! Siapa dalang dibalik semua ini?"
Dengan kompak, semua menunjuk Deidara yang salah tingkah. "Yamanaka! Sepertinya kau memang biang dari semua keonaran di sekolah ini, ya."
Deidara berusaha berkilah. "A-ano… Tsunade-sensei, aku bisa menjelas—"
"Aku tidak peduli dengan alasan kalian, sekarang cepat pergi ke lapangan, buat lingkaran dan tunggu hukuman dariku dan Guy!"
Para murid itu segera berlari menuju lapangan dan melakukan apa yang disuruh Tsunade.
.
.
"Huaa, kulitku bisa gosong!" teriak Ino.
"Pig, kau kan memakai blazer panjang begitu. Mana mungkin kulitmu bisa gosong," komentar Sakura.
"Forehead, bagaimana dengan punggung tanganku? Leherku? Kakiku? Dan yang paling penting, bagaimana kalau mukaku gosong seperti kulit Naruto?! Kyaa! Aku tidak bisa membayangkannya!"
"Hoi, Ino! Bisakah kau diam sebentar, ttebayo? Dan aku juga dengar itu!" teriak Naruto.
"Berisik."
"Mendokusei."
"Kalian para lelaki tidak mengerti penderitaan wanita!" jerit Ino lebay. Deidara hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan adiknya.
"Penderitaan wanita apanya!" Sakura menjitak kepala kuning Ino dengan gemas.
"Ada apa lagi ini!" suara itu bagaikan petir yang menggelegar dengan keras. Nyali Ino dan Sakura langsung ciut. Semua diam.
Tsunade melihat kearah kepala murid didikannya yang tertunduk semua. "Pegang telinga kiri teman kalian," perintahnya. Remaja-remaja itu menurut. "Dalam hitungan ketiga, jewer teman kalian sekeras mungkin! Satu, dua, tiga!"
"Gyaaa!"
Teriakan seperti paduan suara itu menggema di lapangan. "Aduduh! Teme, kau keras sekali menjewernya, ttebayo! Sakiit!"
"Telingaku juga sakit, Baka Dobe!" teriak Sasuke.
"SAKIT! Hidan, kau terlalu nafsu menjewernya, un!" protes Deidara.
"Diam kau, banci pirang! Semua yang berambut pirang pasti berisik!"
"Siapa yang kau bilang berisik?!" sahut Naruto, Deidara dan Ino kompak.
"Ayo, terus! Lebih kencang atau kalian akan semakin lama terjemur dibawah matahari ini!" ujar Tsunade memberi semangat. Teriakan anak-anak itu semakin kencang. Izumo dan Kotetsu sweatdrop melihat guru Fisika itu.
"Sudah selesai atau mau tambah kencang lagi jewerannya?" tanya Tsunade. "SUDAH!" jerit para murid.
"Oke, lepaskan tangan kalian. Guy, giliranmu."
Setelah dilepas, semua langsung memegang dan mengipasi telinga masing-masing yang sangat merah. Naruto memegang telinganya dengan hati-hati, seakan telinga itu akan lepas jika dia memegang seenaknya.
"Penderitaan kita belum berakhir, teman-teman," ujar Zetsu yang menunjuk kearah Guy yang berbinar-binar menghampiri mereka.
"Ah, para muridku yang mempunyai semangat masa muda yang berkobar, aku sudah membuat keputusan bijak untuk kalian!" ujarnya dengan berapi-api.
"Apa itu, sensei?" ujar Hinata polos.
"Pertanyaan bagus, Hyuuga-chan! Jadi, aku akan menyuruh kalian mengelilingi lapangan ini 50 kali! Hah, mudah sekali," ujar Guy dengan nada agak menyesal.
"50 KALI, SENSEI?!"
"Iya, 50 kali! Terlalu sedikit, ya?"
"Itu banyak sekali, sensei!" ujar Ino untuk mewakili suara hati teman-temannya. Dia bergidik ngeri melihat betapa luas lapangan itu.
"Ya ampun. Dasar anak muda. Coba contoh Lee, dia bisa mengelilingi lapangan ini sebanyak 200 kali selama istirahat," ujar guru olahraga itu membanggakan murid kesayangannya, Rock Lee.
"Itu karena kau dan Lee sama-sama aneh!" jerit mereka semua dalam hati.
"Ya sudahlah. Sekarang, ambil posisi!"
Dengan terpaksa, semua mengambil posisi. "Satu, dua, tiga! Lari!"
Semua berlari sekencang mungkin. Guy terus memberi semangat kepada mereka.
3 menit kemudian.
"Yak, satu putaran!"
Hidan terus berlari sambil bersumpah serapah. "Awas kau, banci pirang! Dasar pisang! Kukuliti kau nanti! Kucincang dan kuberi kau ke anjing-anjing peliharaan Inuzuka pacar Itachi! * *^**! *$%#*$#!"
Hinata hampir menangis. Antara mendengar kalau dia baru berhasil mengelilingi lapangan ini sebanyak SATU putaran dan mendengar cacian Hidan ke Deidara. Naruto yang melihat matanya berkaca-kaca segera memperlambat larinya agar bisa sejajar dengan Hinata. "Hinata-chan, jangan menangis! Ayo kita lari bersama-sama! Aku akan ada disampingmu, kok!" ujarnya dengan senyum lima jari. Wajah Hinata langsung memerah melihat senyum Naruto, ia merasa hampir pingsan. Tapi dia sekuat tenaga berusaha untuk tidak pingsan.
"Tadi aku lihat Neji melihatmu terus, ketika aku lihat, ternyata kau hampir menangis! Sebagai lelaki, tentu saja aku akan menghiburmu, ttebayo!" ujarnya. Naruto tidak sadar kalau efek kata-katanya membuat Hinata sesak nafas dan…
"Gyaa! Hinata-chan, jangan pingsan!"
Telat. Hinata pun sukses pingsan dengan pergelangan kaki menekuk keluar.
Neji yang melihat itu segera menambah kecepatan larinya. Niatnya untuk menolong adiknya, tapi ternyata dia telat 20 langkah. Naruto sudah menggendong Hinata dengan gaya bridal style dan segera berlari membawa Hinata ke UKS.
"Yang lain tetap lari!" ujar Guy.
Menit demi menit berlalu. Dan akhirnya…
KRIIIIIING! / "Yak, 50 putaran!"
Guru yang berjasa membuat banyak laki-laki di Konoha International High School bertubuh atletis berkat latihan gila-gilaannya itu mengangkat tangannya.
Semua terduduk. Dengan gaya lebay, mereka terduduk dan melihat bel dengan pandangan berterimakasih. "TERIMA KASIH, KAMI-SAMA! TERIMA KASIH BEL PENYELAMAT! (UN!)" Semua siswa yang beristirahat melihat mereka dengan pandangan aneh.
"Ah, Lee!"
"Guy-sensei! Tadi aku melihat kalian lari keliling lapangan, aku juga mau!"
"Baiklah, Lee! Ah, tapi, lari keliling lapangan sudah kita lakukan dua hari yang lalu. Terlalu mainstream. Bagaimana kalau kita sit up sebanyak 1000 kali!"
"Yosh! Ayo!"
Sekarang, semua yang melihat adegan itu sweatdrop. Tiba-tiba, Hidan memanggil. "Hei, sini! Aku punya ide bagus untuk kalian!"
Semua mendekat. "Apa idemu?" tanya Pein acuh.
"Bagaimana kalau kita bolos saja?" ujar Hidan semangat.
"Apa?!"
"Bolos. Kau mau belajar dalam keadaan telinga berdenging dan kaki yang terasa seperti mau putus begitu? Haah… Dasar anak kelas 10."
Sasori menarik tangan Akari. "Ayo. Akari, ikuti aku. Aku tidak menerima bantahan. Markas Akatsuki, kan?"
"Iya!" Hidan mengangguk semangat.
"Ano, Sasori-niichan, bagaimana dengan Naruto-kun dan Hinata-chan?" tanya Akari khawatir. "Aku menyusul saja, ya."
"Tidak bisa," bantah Hidan. "Semua yang terlibat disini harus ikut membolos karena mereka sudah menjadi anggota Akatsuki," ucapnya pede.
Akari tersentak mendengarnya, begitu pula Sakura, Ino dan Tenten. "Benar kan, Pein?" tanya Hidan.
"Benar. Kami punya aturan tidak tertulis tentang itu," ujar Pein kalem.
"YEY AKARI-CHAN ANGGOTA AKATSUKI!" teriak Tobi.
"Lagipula, kau tidak akan tahu markas kita, Akari," kata Sasori seraya menunjukkan senyum lembut yang jarang dilihat oleh para teman-temannya, berusaha membujuk adiknya.
"Tunggu, kenapa kalian mengajak kami, para adik kelas kalian, untuk mengikuti organisasi sesat ini?" tuding Tenten.
"Kan sudah kubilang, kalian sudah menjadi anggota Akatsuki. Dan aku ingin kau meralat kalau kita bukan organisasi, tapi geng," ucap Hidan. "Dan geng kita itu tidak sesat," tambahnya dengan kesal.
"Kalau tidak sesat, kenapa kalian mengajak kami membolos," cibir Tenten dengan sangat pelan.
"Bagaimana kalau kami menolak?" tanya Sakura.
"Kau tidak bisa menolak. Kau sudah menjadi anggota kami. Secara resmi," kini Pein angkat bicara.
"Mendokusei. Ya sudahlah, lagipula aku ingin beristirahat," kata Shikamaru dengan nada malas.
"Bagus. Kalau begitu, kita jemput Naruto dan Hinata dulu. Tempat masuk markas kita sulit dan tersembunyi," ujar Konan.
.
.
Sesampainya di UKS, terlihat Naruto yang sedang berbicara dengan Hinata. Sepertinya Hinata baru saja sadar. Pein menerobos masuk dan menyuruh Naruto dan Hinata mengikutinya.
"Tapi Hinata-chan baru saja bangun! Dan kau lihat, kakinya terkilir!"
"Kau tinggal gendong dia seperti tadi. Gampang kan."
Muka Hinata memerah mendengarnya. "Kenapa? Memangnya dia berat?" tanya Pein kepada Naruto.
"Tidak, sih. Dia ringan."
"Ya sudah. Kita tidak punya banyak waktu. Cepat gendong dia atau kau akan kulemparkan ke kandang ular peliharaan Orochimaru-sensei."
Naruto berdecak kesal. Dengan langkah gontai, dia mendekati Hinata dan mengambil ancang-ancang untuk menggendongnya.
"Maaf ya, Hinata-chan."
Naruto mengangkat Hinata dengan gaya bridal style. Neji yang melihat adiknya disentuh Naruto nyaris memberi bogem mentah jika Tenten tidak menahannya.
Mereka berjalan menuju lantai 4, dan membuka pintu gudang yang terletak nun jauh di pojok lorong. Suasana disana pengap dan gelap karena langit-langitnya sangat rendah dan tidak ada penerangan sama sekali. Akari dan Ino semakin mendempetkan tumbuh mereka kepada Sasori dan Deidara.
"Sasori-niichan, apa benar ini markas kalian?" tanya Akari ragu. Sasori tersenyum geli melihat muka adiknya yang ketakutan. "Tentu saja tidak. Mana mungkin tempat seperti ini adalah markas kami. Kisame, apa ada yang melihat?"
Kisame mengacungkan jempolnya. "Tidak!"
"Cepat masuk," ujar Konan.
Kisame segera menutup pintu gudang. Ia menghampiri dinding di dekat keranjang bola sepak dan meraba-raba.
Klik.
Dinding di dekat ruangan itu terbuka dan menampilkan sebuah ruangan kecil bercat abu-abu hangat yang berisi tangga. Naruto terbelalak. "Bagaimana bisa…"
"Ceritanya nanti. Sekarang naik," perintah Pein.
"Kalian para wanita belakangan. Tunggu di dekat tangga itu," ucap Konan.
"Aku bagaimana?" cicit Hinata. Konan mengamati Hinata yang masih digendong Naruto. "Kau kan digendong Naruto. Tidak apa-apa. Aman."
Para laki-laki dan Hinata yang sudah sampai diatas melihat apa yang dilakukan Konan kepada Sakura, Ino, Akari dan Tenten. Konan membuka blazer miliknya dan mengikat kedua lengan blazer kedepan dan mengancingkan kancing blazernya. Sakura, Ino dan Tenten menatap blazer itu dengan pandangan aneh. "Apa gunanya itu, Konan-nee?" tanya Tenten.
"Kalian tidak akan menyesal sudah menggunakannya. Cepat buat," ujar Konan tidak sabaran.
"Oh, sh*t! Jangan ajarkan itu kepada anak-anak perempuan baru!" sahut Hidan yang mengacak-acak rambutnya frustasi. Konan menatap tajam Hidan. "Hinata, ingatkan aku untuk segera mengeluarkan otak DIA," Konan menunjuk Hidan dengan tatapan dendam, "dan mencucinya sampai bersih agar pikiran mesumnya hilang."
Hinata yang mendengarnya ketakutan dan merapatkan badannya ke dada bidang Naruto. Dia memang tidak pernah terbiasa mendengar ancaman atau kata-kata kasar.
"Sudah? Kalau sudah akan kubuka pintunya," ujar Pein. Gadis pecinta origami ini menganggukkan kepalanya. "Sudah."
Pein menjulurkan tangannya untuk membuka 'pintu' yang berada tidak jauh dari atas kepalanya. Ia menaiki anak tangga terakhir dan melangkahkan kakinya keatas. Semua mengikuti jejaknya. Para anggota baru Akatsuki terkagum-kagum melihatnya.
"Tempat yang bagus, tapi terlalu berangin," ujar Shikamaru. Blazer dan rambut nanasnya yang terkibar ditiup angin.
"Sudah kubilang kan, kalian tidak akan menyesal menutupi rok kalian dengan blazer seperti itu. Jadi rok kalian tidak akan tersingkap angin dan dilihat oleh orang mesum disini," ujar Konan yang melirik Hidan dengan nada menyindir.
"Jadi, ini markas kalian?" tanya Sai.
"Tentu saja tidak. Tapi, ini wilayah markas kami," ujar Kakuzu.
Pein berjongkok didekat situ dan menekan salah satu dinding bagian bawah. Terdengar suara mesin yang halus dan tiba-tiba muncullah sebuah ruangan yang muncul dari arah lantai. Naruto dkk jawdrop melihatnya.
Pein mengajak mereka masuk. Di ruangan yang bisa dibilang lumayan luas itu ada ruang utama yang besar dan berisi sofa empuk, televisi, satu kasur queen size di sudut kanan yang lain dan karpet yang di tengahnya terdapat meja kecil di sudut lainnya untuk bermain. Di sebelah kiri ruangan itu ada pintu yang terhubung dengan dapur kecil. Di belakangnya ada pintu untuk ke kamar mandi. Dan di sebelah kanan ada pintu yang terhubung dengan sebuah perpustakaan mini. Para anggota baru Akatsuki semakin sweatdrop sekaligus terkagum melihatnya.
"Tunggu, apa ini sudah diketahui pihak sekolah?" tanya Ino.
"Tentu saja tidak," ucap Kisame tanpa beban.
"Lalu, bagaimana cara kalian membuatnya tanpa ketahuan?" tanya Tenten penasaran.
"Aku tidak tahu. Yang jelas, Uchiha itu dan Deidara yang membangun semuanya," Kisame menunjuk Itachi yang sedang duduk santai.
"Aku hanya ambil bagian dalam hal memberi obat tidur pada Izumo dan Kotetsu, un," kata Deidara.
"Aku menyuruh para pekerja agar bekerja hanya dimalam hari sampai subuh dan segera pergi jika matahari sudah mulai terlihat," ujar Itachi.
"Oh iya, kalian boleh membuka blazer kalian jika sudah berada didalam ruangan. Jika mau keluar, pasang lagi, ya," ujar Konan.
Sakura, Ino, Tenten dan Akari segera membuka blazer dan memakainya. Kemudian para gadis itu merapikan rok lipit-lipit hitam kotak-kotak mereka.
Naruto mendudukkan Hinata di sofa dengan hati-hati. Niatnya ingin membaringkan Hinata di kasur, tetapi kasur itu sudah lebih dulu ditiduri Shikamaru dan sedari tadi Neji melihatnya dengan garang.
"A-ano… terima kasih Na-Naruto-kun," ucapnya malu-malu.
Naruto kembali menunjukkan cengiran rubahnya. "Yosh! Sama-sama, Hinata-chan!"
"Hei, bagaimana kalau kita nanti ke Markas Merah, un?" usul Deidara. "Kalian mau ikut, un?" tawarnya.
Ino memiringkan kepalanya bingung. "Markas Merah?"
Deidara mengangguk senang. "Iya! Markas Merah itu berarti rumah klan Akasuna, Markas Kuning berarti rumah kita dan Markas Hitam artinya kediaman Uchiha, un!"
"Kenapa ribet sekali? Kenapa tidak langsung mengucapkan "Hei! Nanti kita pergi ke rumah Sasori no Danna, yuk! Un un un!" begitu?" ujar Naruto seraya mempraktekkannya dengan suara wanita yang centil. Semua yang mendengarnya tertawa.
"Darimana kau tahu aku memanggil Danna dengan sebutan Sasori no Danna, un?" tanya Deidara heran. Dia mengabaikan cara Naruto mengejeknya tadi.
"Dari Ino," ucap Naruto polos. Deidara hanya ber-oh-un-ria.
"Kalian mau ke rumahku? Wah senangnya! Biasanya hanya Dei-nii, Itachi-nii dan Kisame-senpai yang ke rumah! Itupun mereka juga selalu mengurung diri di kamar Sasori-niichan." Kata Akari senang dan sedikit menyindir.
Mempunyai kakak yang menderita sister complex akut seperti Sasori memang susah. Hanya teman-temannya yang diperbolehkan main ke rumah, sedangkan jika teman-teman Akari ingin main ke rumah, izinnya susah sekali. Maksudnya, izin kepada Sasori pasti susah. Teman-teman Akari harus diseleksi terlebih dahulu oleh Sasori, seperti akan mengikuti lomba. Dan sepertinya Akari bersyukur masuk ke Akatsuki. Aturan mereka, sekali mengajak main, semua harus diajak. Mau atau tidaknya itu tergantung mereka. Yang penting diajak. Itu yang dipelajari Akari saat melihat kertas besar yang ditempel dekat pintu berjudul 'Aturan Tertulis di Akatsuki'.
"AYO! TOBI ANAK BAIK MAU MAIN KE RUMAH SASORI-SENPAI!" jerit Tobi.
"Tidak boleh."
"TIDAK! Tobi anak baik mau bermain ke rumah Akari-chan! Huwee…" Tobi mulai merengek.
Akari menatap iba Tobi. Ia menghampiri Tobi yang sedang berguling-guling di lantai. Dengan perlahan, kepala Tobi dielusnya. "Tentu saja Tobi boleh main ke rumahku. Nah, sekarang jangan menangis lagi, ya," ujarnya seraya tersenyum lembut.
Tobi berhenti menangis dan menatap Akari seperti Akari adalah sosok bidadari dari khayangan. Dia memeluk Akari dan menangis terharu. "Terima kasih, Akari-chan!"
Sasori memasang tampang yang mengerikan. Aura mematikan terpancar dari dirinya. Sayang, Tobi tidak memperhatikannya. Dan Sasori nyaris membuat muka Tobi hancur jika Itachi tidak menepuk pundaknya dan mengajaknya bermain uno.
.
.
Saat ini, kelompok Akatsuki yang berisi 20 orang itu terbagi menjadi dua. Para gadis sedang mengobrak-abrik dapur dan para laki-laki sibuk bermain uno.
"Apa-apaan kau itu? Masa kau mau cookies dan pancake kita berisi kulit telur?" tegur Konan kepada Ino yang gemetaran memegang telur yang sudah tumpah isinya ke mangkuk. Konan mengambil sendok dan mengambil sedikit kulit telur yang tergeletak di atas tepung yang sudah bercampur telur.
"Maaf, Konan-nee. Aku memang dari dulu sangat jarang masuk dapur, hampir tidak pernah malah," aku Ino. Konan menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menghela napas.
"Ya sudah, lebih baik kau mencairkan mentega. Tidak bisa menghidupkan kompor? Hah. Ya sudah sini kuajarkan. Tenten, tolong aduk adonan pancakenya. Aku mau mengajari Ino dulu. Hinata, aduk adonan cookiesnya. Akari, cairkan saus cokelat untuk pancakenya. Sakura, kau bantu Hinata menaruh bahan-bahannya. Resepnya ada disitu."
Konan mulai mengajari Ino cara menghidupkan kompor dan mencairkan mentega sesuai takaran. Semua sibuk.
Beberapa menit kemudian, bau harum menyeruak dan membuat perut para lelaki berbunyi. Begitu mereka melihat Konan yang keluar dengan membawa pancake dengan saus cokelat yang melumurinya, sontak mereka berhamburan dan menghampiri Konan. Para lelaki itu meneguk ludah melihat pancake yang terlihat lezat itu. Tangan Naruto memberanikan diri untuk mencolek saus cokelat, tapi niatnya gagal saat Konan menepis tangannya.
"Itu untukku kan, Konan?" tanya mereka kompak. Konan mengerenyitkan keningnya. "Tentu saja tidak. Ini punyaku."
Dengan santai Konan melewati mereka dan memakan pancake itu dengan nikmat. Naruto menghapus liurnya yang hampir mengalir. Semua kepala itu menoleh saat Hinata datang membawa pancake yang lain dengan langkah yang agak terpincang.
"A-ada apa, ya?" tanya Hinata. Ia sedikit takut saat melihat para mata lelaki itu menatapnya — dan juga pancake miliknya— dengan tatapan yang agak mengerikan.
"Pancakenya masih ada ngga? Bagi dong," ujar Naruto yang memasang puppy eyes terbaiknya. Muka Hinata memerah. "E-etto… Ma-masih kok. A-ada di dapur. I-Ino-chan sedang menyusunnya."
"Ah, lebih baik aku membantunya. Tidak baik seorang wanita bersusah payah seperti itu," ucap Sai yang diiringi dengan anggukan setuju dari teman-temannya. Baru saja dia akan melangkahkan kakinya, Konan menghadang pintu dapur.
"Tidak! Biar Ino, Akari, Tenten dan Sakura yang mengurusnya! Aku bisa membayangkan apa yang kalian lakukan di dapurku jika kalian masuk. Hus hus!" Konan mengibas-ngibaskan tangannya seperti sedang mengusir kucing. Dengan langkah muram, para lelaki itu berbalik dan kembali bermain uno dengan muka sedih yang dibuat-buat. Konan tidak akan tertipu ekspresi itu, tapi Hinata iya. Dia menghampiri Naruto dan menawarkan pancakenya. "A-ano, Na-Naruto-kun mau coba pancakenya?"
Naruto menatap wajah Hinata dengan berbinar-binar. "Bolehkah?!"
Hinata mengangguk kecil seraya tersenyum. "Tentu saja boleh!"
Naruto mengambil sendok dan memotongnya dalam jumlah yang lumayan besar.
"Enyaak! Nyam nyam nyam, akwu ambwiw lwagih ywa Hwinata-cwan!"
Sasuke bergidik melihat Naruto. "Bodoh, telan dulu baru bicara."
Dalam sekejap, pancake Hinata dihabiskan Naruto. "Ah, enak sekali, Hinata-chan! Aku mau lagiii!"
"Seenak itukah?" tanya Hinata lugu. "Nanti akan aku ambilkan, Na-Naruto-kun."
Konan menepuk kencang keningnya melihat tingkah Hinata. Oh, begini tingkah orang yang sedang jatuh cinta? Seingatnya, dulu ketika dia jatuh cinta kepada Pein, sikapnya tidak seperti ini.
Akari dan Sakura datang membawa nampan berisi pancake yang masih hangat. Tapi, Konan menghadang mereka dan mengambil satu piring pancake.
"Konan-nee masih mau lagi? Ini punya mereka loh," kata Akari bingung. Konan tidak menggubrisnya dan memberi piring itu kepada Hinata. "Ini sebenarnya punya Naruto, tapi untukmu saja. Naruto kan sudah memakan punyamu."
Naruto memasang wajah kecewa. Hinata iba dibuatnya. Konan yang melihat itu tidak akan membiarkan gadis lugu yang sudah dianggapnya adik sendiri itu jatuh di lubang yang sama untuk yang kedua kalinya. Ia membawa Hinata menjauh dari situ.
Yang lain menahan tawa saat melihat Naruto, kecuali Akari dan Sakura yang masih bingung. "Kenapa, sih?" tanya Sakura penasaran.
"Tidak apa-apa," ujar Itachi. Sakura mengangkat bahunya dan kembali menuju dapur. "Oh iya, kalau mau tambah, bilang ya. Di dapur pancakenya masih banyak kok. Ada cookies pula. Cookiesnya kutaruh di toples dekat kulkas."
Dan mata Naruto pun kembali berbinar-binar.
.
.
.
.
TBC
Haloo, Acan disini!
Jadi, bagaimana? Gaje? Abal? Emang! *digetok*
Sebenernya chap ini dan chap 2 udah lama banget disimpen di folder ff Acan, daripada gosong (?) lebih baik Acan publish saja :D
Mungkin ada reader yang nanya, "Acan kok demennya bikin ff yang ada siscon-nya sih? Abangnya punya penyakit siscon ya?"
Jawabannya adalah: TIDAK! *capslock jebol* Acan tidak punya abang, dan pengen banget punya abang. Jadi, semua itu hanya tercurah lewat ff :') *elap air mata* beruntunglah wahai kalian yang punya abang atau kakak... *ngomong dengan suara berat ala bapak-bapak*
Oke. Cukup sekian curhatan Acan.
FYI, Acan emang udah lama pengen bikin fic tentang humor dan friendship, akhirnya kesampaian juga :'D
Beberapa part dari fic ini udah tergambar sejak lama di kepala Acan, sampe-sampe Acan pernah ngakak sendiri membayangkannya -_-v *ketauan gilanya suka kambuh* tapi alhamdulillah, Acan hanya kambuh pas di kamar dan sendiri aja :p
Oke, karena semakin lama semakin ngelantur dan takutnya makin banyak aib Acan yang kebuka (Readers: kan author sendiri yang ngebuka aibnya!) (Acan: diam kau, nak! *getok kepalanyanya satu-satu pake duit recehan* *recehan sekilo*) maukah para readers meninggalkan jejak reviewnya di sini? :) *tunjuk-tunjuk kotak review*
OGEH! Sekian dari Acan, daaan... papay minna! Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
Arigatou :D
