WARNING: This fanfiction may contain harsh words and adult things. Readers whom age under the specified story rating are not allowed.
Some typo, OOC type of characters, AU is the part of this fanfiction.
All characters of Naruto are © Masashi Kishimoto
The song in this fanfiction, "Marry Your Daughter" popularized by Brian Mcknight
Can I Marry You Daughter?
A Shikamaru-Ino fanfiction is belong to Flo Deveraux
This fanfiction is dedicated for: Magenta-Alleth
ENJOY!
Nara Shikamaru. Pria berambut hitam dikuncir nanas itu menutupi mulutnya yang terbuka berkali-kali karena menguap. Kelelahan yang teramat sangat menghajar tubuhnya hari ini.
Jari-jemari tangannya masih saja menari-nari di atas keyboard laptop, mengetik sebuah laporan yang harus ia berikan kepada bosnya minggu itu juga. Memiliki profesi sebagai agen marketing sepertinya tidaklah pekerjaan yang mudah memang. Apa lagi jika mempunyai bos yang setengah mati merepotkan. Wanita separuh abad yang mejadi bosnya itu memang cerewet, banyak mengeluh tentang pekerjaannya, padahal semua berkas-berkas yang diserahkan Shikamaru selalu rapi dan hampir tidak ada kesalahan. Well, tidak di mata bos merepotkannya itu.
'Mendokusai…'
Liat saja hari ini, ia terpaksa menemui atasannya itu di hari yang seharusnya merupakan hari kemerdekaannya itu. Sabtu. Jas yang tadi pagi menempel rapi di tubuh tegapnya kini makin kusut semenjak dirinya masuk ke dalam kafe milik perusahaan waralaba kesukaannya, Starbucks.
Kali ini Shikamaru benar-benar menyesal kenapa ia tidak mengikuti saran sahabatnya untuk belajar bisnis saja. Jika iya ia pasti sudah seperti kedua rekan yang kini duduk santai di depannya, menikmati hari libur mereka. Jika iya ia pasti sudah memilih untuk mendirikan perusahaan sendiri dan tidak perlu repot-repot mendapat bos yang sangat kau-tidak-akan-tahan-bekerja-dengannya itu. Jika benar, ia pasti hari ini sedang memencet tombol remot televisi di kamarnya dan mengisi jadwal hariannya itu dengan bermalas-malasan.
Ia melirik sekilas seorang berambut raven di depannya, yang sedang menyesap kopi sambil menghadap ke luar kaca, memandangi titik-titik hujan yang berjatuhan di kaca. Pria beriris batu pualam hitam tersebut sepertinya dapat bernafas lega sesaat setelah lima hari memikirkan kegiatannya di kantor sebagai eksekutif muda. Dapat ia tangkap wajah putih pucatnya tampak lebih rileks dariapada saat ia menemui pria tersebut dua hari lalu.
Shikamaru mengendus. Retina matanya kembali menangkap sosok di sebelah pria raven tersebut. Seorang pria dengan tubuh atletis dan beberapa lembaran kertas yang keluar dari stopmap kuning yang ia bawa ketika dua jam yang lalu memasuki kafe itu. Tangan kanannya memegang dua lembar kertas berisikan laporan-laporan, sementara tangan kirinya tidak tentu. Terkadang membenarkan letak kacamata minusnya yang sedikit melorot, terkadang mengambil gelas kertas yang berisi cappuccino dan memasukkan volumenya ke dalam kerongkongan. Alisnya sedikit bertaut, serius membaca isi lembaran di hadapannya. Shikamaru yakin itu pasti laporan dari sang sekretaris pribadi untuk perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan bisnisnya. Yap, Anda tidak salah baca. Sekretaris pribadi. Bukankah profesi itu dibutuhkan oleh setiap direktur perusahaan?
'Hah, enak sekali hidup mereka' pikir Shikamaru saat membandingkan pekerjaan kedua sahabatnya itu dengan pekerjaannya. Sepertinya apa yang ia lakukan lebih sulit. Pekerjaan ini yang membuat Shikamaru jadi jarang tidur, menimbulkan kantung mata yang terlihat makin jelas menghiasi indera pengelihatan itu. Shikamaru sampai-sampai mengorbankan hari yang seharusnya ia gunakan untuk beristirahat agar tidak kehilangan pekerjaan dengan gaji besar tersebut.
Ya, gaji besar, asuransi kerja yang jelas didapatkan, pekerjaan yang bagi Shikamaru mudah –karena sesuai dengan gelar yang ia dapatkan. Siapa yang tidak tergiur?
Ia akan melakukan apa saja demi tidak kehilangan pekerjaan, sekalipun harus meladeni keputusan bosnya yang terkadang sangat mendokusai itu. Namun pekerjaan itu juga yang membuat Shikamaru tidak seperti dua pria di depannya itu.
Bukan. Bukan soal materi yang mereka punya, Shikamaru tidak pernah ambil pusing masalah kaya atau miskin dirinya disbanding dua pria di hadapannya. Toh, gajinya sekarang juga berlebih, mampu untuk membiayai hidup tiga orang dan dirinya sekaligus. Bertaruhlah!
Tetapi persoalan yang lebih dari itu. Kisah asmara.
Tentu dirinya bukan seorang yang lajang, tidak semiris itu. Dia punya kekasih kok! Hubungannya yang sudah berulang tahun ke enam itu lalu itu malah semakin baik dan semakin baik tiap hari. Hanya saja wanita yang memiliki hatinya tersebut lebih memilih karier.
Ingatan Shikamaru mengenai memori saat wanita itu berkata,"Kurasa aku masih perlu banyak konsentrasi pada pekerjaanku ini, ya Shika?" membuat rencana melamar kekasihnya itu pupus sudah. Bagaimana jika ia tetap melakukan, melamar sang kekasih? Pasti jawabannya akan tertunda akibat keduanya yang memang kini disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, Yamanaka Ino –kekasihnya– sebagai dokter dan dirinya yang berkecimung di dunia marketing. Ya, ia terlalu takut untuk mendengar penolakan kekasihnya. Mau dikemanakan harga dirinya?
Shikamaru menghentikan acara mengetiknya sesaat. Menyandarkan punggungnya yang terasa sangat pegal, kemudian seperti biasa, meguap sambil mendecih. Gelagat Shikamaru sukses membuat dua pria yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing kini memandang Shikamaru seolah ia seorang kriminal yang sedang diinterogasi.
Sang pria raven menaruh gelas kopinya di atas meja, sementara yang di sebelahnya membereskan lembaran-lembaran dokumennya kemudian melepas kacamata. Pada waktu bersamaan dua sahabat Shikamaru itu bertopang dagu. Terlihat keduanya yang memiliki cincin berkilauan yang tersemat di jari manis sebelah kiri mereka. Cincin pertunangan.
Jangan salah sangka dulu!
Uchiha Sasuke –si raven, tidak bertunangan dengan pria berambut pirang, Namikaze Naruto, yang ada di sebelahnya. Itu adalah cincin pertunangan mereka dengan pasangan masing-masing. Tentunya dengan bentuk yang berbeda.
Memang nasib Shikamaru tidak pernah sebaik keduanya. Jadi orang sukses di usia muda, dikagumi banyak klien dan saingan bisnisnya, punya kekasih yang cantik. Kau tahu? Dua gadis yang mungkin kurang dari satu tahun akan dinikahi oleh dua pria tersebut memang merupakan bidadari paling beruntung untuk dapat memiliki Sasuke dan Naruto.
"Kau kenapa, Shika?" Naruto membuka pembicaraan. Karena tidak mungkin pria raven pendiam di sebelahnya yang memulai.
Shikamaru hanya menggeleng. "Aku hanya kesal saja dengan pekerjaan yang tidak selesai-selesai ini."
Sasuke tertawa pelan.
"Memangnya seberat itu yah?" lanjut Naruto ke pertanyaan berikutnya.
Shikamaru hanya menjawab dengan helaan nafas. Ia kemudian beranjak dari tempatnya duduk lalu menuju bar, memesan sesuatu dan meminta agar pesanannya diantar ke meja. Saat berbicara dengan seorang yang berada di belakang kasir ia sempat menunjuk meja yang dihuni Naruto dan Sasuke, menyerahkan sejumlah uang, kemudian kembali duduk.
Ia menatap Naruto kemudian berkata,"Jangan mentang-mentang kau ini bos jadi bertanya seperti itu, Nar."
"Kau ini. Pekerjaan bos itu juga tidak enak tahu! Memikirkan cara supaya perusahaan tetap berjalan agar karyawannya masih bisa mendapat gaji," cerita Naruto.
Ucapan Naruto tadi memang ada benarnya. "Terserah kau saja lah."
Hening sesaat sebelum pria raven angkat bicara. "Bagaimana dengan hubunganmu dan Ino?"
Shikamaru hanya mengangkat bahu. Wajahnya yang sudah kusut semakin kusut ketika sahabatnya mulai membahas tentang kisah asmara Shikamaru –yang memang sudah jarang menjadi topik pembicaraan antar sahabat itu.
"Kapan kau mau melamarnya? Katanya tidak ingin jadi pecundang?" sahut Naruto kemudian. "Padahal kau sendiri yang mengataiku pecundang saat kubilang tidak berani bertemu paman Kizashi."
"Entahlah, Naruto," jawabnya sayu. "Kau sendiri bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Kapan mau menikahi Sakura?"
"Sampai dia siap untuk menikahiku," jawab pria jabrik tersebut tegas.
Pandangan Shikamaru kemudian beralih kepada Sasuke. Bola matanya memberikan pandangan yang sangat sulit dimengerti oleh Naruto namun dapat dengan mudah diketahui maksudnya oleh pemilik iris onyx. Sasuke menyesap kopinya,"Aku menunggu sampai paman Hiashi memperbolehkanku untuk bertunangan dengan Hinata."
"Kau ini aneh ya? Belum bertunangan namun sudah pakai cincin segala," sahut Naruto meledek.
Shikamaru menautkan alisnya. "Jadi, sebulan lalu itu tidak berhasil?"
Sasuke menggeleng.
"Kenapa kau tidak cerita?"
"Paman Hiashi mengira aku ini playboy-"
"Memang," sela Naruto berbisik.
"–hanya saja Hinata yakin bahwa aku tidak sebrengsek itu."
"Kata siapa?" sela Shikamaru cepat.
Sasuke menaikkan alis. "Maksudmu?"
"Kata siapa kau tidak brengsek? Kau merayu semua gadis di sekolah dulu, bergonta-ganti pacar dan saat kuliah kau memiliki banyak teman perempuan yang menemanimu tidur. Kau ini brengsek, Sasuke."
"Sangat brengsek," tambah Naruto.
Sasuke mengendus. Mengingat peristiwa semasa di dan kedua sahabatnya itu duduk di bangku sekolah menengah atas. Peristiwa yang terulang untuk kesekian kalinya sampai mereka memasuki perguruan tinggi, bahkan jika Naruto tidak salah ingat, tunangannya sekarang sebenarnya adalah salah satu korban dari pacar jadi-jadian Sasuke. Namun semenjak hubungan Sasuke dengan sang kekasih kini yang semakin jelas, Sasuke semakin jadi seseorang yang jauh lebih baik dari Sasuke yang dulu. Hanya saja, sepertinya perubahan pada dirinya itu tidak berdampak sama sekali pada sudut pandang ayah sang kekasih yang mengetahui telur busuk di dalam bingkisan parcel rapi bernama Uchiha Sasuke.
Naruto menepuk pundak Sasuke ketika melihat ada perubahan di wajah pucat Sasuke. Sebagai sahabat yang baik, Naruto mengerti benar bahwa Sasuke sedang mengingat peristiwa buruk yang dialaminya ketika ayah sang kekasih tidak merestui hubungannya.
"Pecuma saja aku membeli cincin ini. Ya tidak?" tanyanya meminta pendapat Shikamaru dan Naruto.
Shikamaru menghela nafas. "Aku tidak tahu. Masih kesal."
"Kesal kenapa?"
"Kenapa kau tidak cerita? Kan aku bisa membantumu."
Sasuke tersenyum. "Aku tahu kau sedang banyak pekerjaan, Shika."
Shikamaru balas tersenyum. Di samping gaji besarnya, hal yang paling ia syukuri adalah memiliki sahabat seperti kedua orang di hadapannya sekarang. Ujung matanya kemudian menangkap bayangan seorang gadis yang barusaja membuka pintu kafe. Gadis itu tersenyum saat menyadari Shikamaru memandanginya. Sambil berjalan menuju meja yang ia dan teman-temannya duduki, gadis itu melambaikan tangannya sekilas. Ia kemudian merangkul pria pirang di depan Shikamaru, mencium pipi tan pria tersebut.
"Halo sayang," sapa gadis itu pada Naruto.
"Hey, sweetheart," Naruto mendongak sementara kekasihnya menundukkan badannya sedikit untuk dapat mempertemukan bibir mereka. Sebuah kecupan hangat nan mesra tersampaikan oleh dua pasang kekasih itu.
Shikamaru beranjak dari tempat duduknya, menyuruh Naruto dan tunangannya bertukar posisi duduk dengannya. Ia memutar laptop yang masih menyala agar kembali menghadap dirinya.
Hah, kini Sasuke dan dirinya bagai obat nyamuk saja. Mesra sekali pasangan di depannya itu. Bahkan mereka yang dahulu beda jurusan kuliah dulu –unofficialy- dinobatkan sebagai pasangan teromantis di seantero kampus. Banyak pemuda yang lebih tampan dari seorang Namikaze Naruto, lebih kaya dan lebih sempurna darinya yang berlomba meluluhkan hati seorang Haruno Sakura. Tidak terkecuali Shikamaru. Persahabatan di antara mereka bertiga sampai pecah ketika ketiganya jatuh cinta pada orang yang sama, wanita berambut merah muda yang kini duduk dan mengenakan pasangan dari cincin emas putih yang dikenakan Naruto. Ia ingat benar betapa teman bodohnya itu mampu membuat hati gadis mantan pujaan hatinya itu luluh, menerima Naruto apa adanya.
Bodoh? Ayolah, Shika! Jangan sebut Naruto seperti itu! IQmu yang mendekati angka 200 itu saja tidak mampu membuat dirimu lebih dari sekedar pecundang. Setidaknya Naruto yang bodoh lebih bisa membuat seorang bidadari berhasil dijadikan tunangan. Sementara IQnya? Sama sekali tidak menolong. What a jerk you, Shikamaru! Innernya berteriak, memberikan ejekan terdalam yang pernah ada.
Ia kemudian menoleh ke ponsel putih Sasuke yang tiba-tiba bergetar, nada dering telepon klasik itu bermain dua kali. Sasuke mengambil ponsel pintarnya itu, hampir menekan tombol hijau ketika nada deringnya berhenti, digantikan dengan nada singkat khas ketika benda tersebut menerima sebuah messanger. Tangan kanan putih pucatnya menggeser casing depan ponsel tersebut ke atas, membuka casing bawah yang terdiri dari tombol-tombol. Ia menyentuh sebuah ikon dan mulai membaca isi pesan yang tertera. Tidak lama Sasuke tersenyum pada ponselnya yang diberi nama 'Torch' itu. Sedetik kemudian ia tampak sibuk membalas pesan beruntun di ponselnya.
Baiklah, kini Shikamaru memang seperti angin lalu. Naruto bermesraan dengan Sakura yang tidak lama kemudian sibuk dengan ponsel layar sentuh empat inci mereka, sementara Sasuke masih bermesraan dengan ponselnya. Ia melirik tanggal yang tertera pada desktop layar laptopnya. 2013. Tahun di mana Shikamaru hidup di era ponsel yang pintar tetapi dengan manusianya yang bodoh. Mereka ini kumpul karena ingin berbicara kan? Bukan 'berbicara' dengan ponsel masing-masing?
"Guys, Hinata-chan sudah sampai di bandara dan aku ingin menjemputnya. Jadi aku pamit duluan ya?" suara Sasuke memecah keheningan.
Naruto meletakkan ponselnya di atas meja kemudian menatap Sasuke lurus. "Secepat ini Sasuke?"
Sasuke hanya mengangguk sesaat. "Aku minta maaf, tapi Hinata-chan, aku sudah berjan-"
"Sudah, pergilah!" potong Shikamaru cepat. Ia tahu benar alasan yang akan digunakan Sasuke.
Pria yang mengenakan jaket biru dongker itu pun kemudian melesat keluar kafe setelah menggumamkan "Sayonara" kepada ketiga orang yang ditinggalkannya.
Shikamaru semakin melorot di kursinya. Kini tinggal dia, obat nyamuk, dan dua manusia yang kini menatapnya.
"Kau tidak bertemu Ino, Shika?"
Shikamaru menggeleng. "Dia masih sibuk di rumah sakit."
Sakura, sahabat kekasihnya itu kini menatapnya lekat-lekat. "Jadi kau benar tidak mau melamarnya?"
"Aku menunggu saat yang tepat."
"Bagaimana kalau ia segera berpaling darimu?" tanya Naruto asal. Sakura menyenggol tangan tunangannya kasar. "Apaan sih? Benar kan kataku?"
Sakura memelototi Naruto sebelum gadis itu berkata pada Shikamaru,"Perempuan itu seorang yang menunggu, Shika. Meskipun Ino pernah bilang dia akan serius ke pekerjaannya, tapi dia mencintaimu. Dia pasti menunggumu untuk melamarnya."
Shikamaru tampak berpikir. Ia kemudian teringat alasan lain dirinya tidak segera meminta sang kekasih untuk menjadi pendamping hidupnya sampai maut memisahkan. Yamanaka Inoichi. Ayah sang kekasih yang Shikamaru pikir-
"Tidak akan setuju."
Naruto menautkan alis sambil mendekatkan sebelah telinganya ke arah Shikamaru. "Come again?"
"Paman Inoichi. Tidak akan setuju kalau Ino masih bilang dia butuh konsentrasi pada pekerjaannya."
"Bilang saja kau takut menghadapinya!" Sakura tertawa renyah.
"Tentu tidak!"
"Hei, kalau kau menjadikan Ino yang masih ingin fokus ke pekerjaannya sebagai alasanmu tidak segera melamarnya itu tidak masuk akal!" Naruto memutar bola matanya ketika melihat Shikamaru hanya memberi pandangan tidak mengerti ke mana arah bicaranya. "Hampir semua wanita saat ini adalah wanita karier. Contoh saja, Hinata adalah seorang artis dan lihat Sakura, pengacara. Mereka berdua sibuk, Shika, sangat sibuk bahkan. Sakura juga sering memintaku untuk mengerti bahwa aku tidak bisa selalu memilikinya selama dua puluh empat jam," jelas Naruto memberikan penekanan pada kata 'memilikinya'.
Naruto mengambil nafas sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya. "Ia juga selalu mengatakan bahwa bertunangan denganku pun tidak akan mengurungkan niatnya untuk tetap fokus pada pekerjaan."
Sejak kapan IQ Naruto dan Shimaru bertukar?
"Tapi, Nar…"
"Aku tahu kau takut dengan paman Inoichi yang super duper protektif terhadap Ino. Itu karena Ino adalah putri semata wayangnya."
"Tapi bagaimana kalau…?"
"Kalau memarahimu? Shikamaru! Enam tahun lalu, satu-satunya kesalahanmu yang membuat paman Inoichi marah besar adalah baik kau maupun Ino tidak memberitahunya terlebih dahulu tentang status hubungan kalian," lengkaplah sudah ketika dua pasangan paling berbahagia di muka bumi itu menceramahi Shikamaru. "Kau ini laki-laki! Mana harga dirimu? Masa Ino terus yang melakukan gebrakan hubungan kalian? Kau ini payah kalau kau mau tahu."
Shikamaru menopang dagunya sekarang. Sebelah tangannya memainkan isi gelas kertasnya. "Ino bilang bahwa karier yang utama bukan berarti jika kau lamar dia akan menolakmu. Aku ini tahu dia, Shika, aku sahabatnya. Percayalah padaku!"
Naruto memperlihatkan cengirannya. "Kau harus merayu paman Inoichi agar menyetujui hubungan kalian lebih lanjut."
Shikamaru mendengus. Pasti ini akan menjadi sangat merepotkan sekali. "Apa rencana kalian?"
Sakura dan Naruto sepertinya memang sudah mempersiapkan hal ini untuk disampaikan ke Shikamaru. Wanita yang kini memakai hem lengan panjang bermotif kotak-kotak tersebut memang sudah lama gerah dengan hubungan Shikamaru dan sahabatnya, Ino, yang seperti buku mewarnai anak-anak yang belum gambar-gambarnya tidak diwarnai.
Semua hal, dari yang sederhana sampai yang luar biasa romantis, selalu ditunjukkan si wanita untuk si pria. Tapi entah karena IQ pria berwajah yang memang seperti nanas tersebut terlalu tinggi atau memang karena yang dilakukan sang kekasih meniru drama-drama Korea untuk membuatnya senang kurang romantis baginya sehingga sampai ia tidak peduli dengan hal-hal tersebut. Semua selalu Ino yang mengalah, selalu wanita pirang sepupu Naruto itu yang mewarnai hubungan mereka yang terbilang cukup membosankan. Sakura tidak mengerti mengapa sahabatnya itu bisa betah tanpa mengeluh sedikitpun enam tahun menjadi kekasih pria ini. Kali ini, rencana yang telah ia susun harus berhasil.
"Kau, nyanyikan lagu ini untuk paman Inoichi!"
Apa kata yang pantas untuk diungkapkan ketika seorang yang tidak mau kerepotan seperti Shikamaru harus menyanyikan sebuah lagu di depan calon mertuanya? Merepotkan? Mendokusai? Troublesome? Salah semua.
'Damn, Sakura, Naruto!'
Begitulah Shikamaru dalam hati berbicara. Mengutuk dua orang dewa dan dewi cinta yang sekarang memandanginya bak anak mereka.
Memang, ini memang kamar Shikamaru. Bisa dilihat catnya yang hanya putih tulang dilengkapi perabot yang tidak bisa dibilang banyak –karena ia akan cukup kerepotan membersihkan kamar jika perabotnya terlalu banyak- menggambarkan ciri khas seorang Nara Shikamaru. Simple. Tapi kini yang menguasai kamar itu adalah Naruto dan Sakura. Lagu yang sama dari tadi berputar terus menerus dari MacBook Naruto yang ia letakkan di atas kasur Shikamaru.
"Aku tidak akan menyanyi!"
Naruto dan Sakura mendengus berbarengan. "Lalu maumu apa?"
"Ini demi merayu paman Inoichi, demi Ino sendiri, demi hubungan kalian yang enam tahun belum apa-apa," Sakura mulai menceramahinya.
"Kita sudah melakukan banyak hal, kok."
"Baka! Yang melakukan banyak hal itu Ino, bukan kau!" seru Sakura jengkel.
"Apa bedanya kalau Ino yang melakukan dan jika aku yang melakukan? Toh hubungan kami tetap baik-baik saja. Mendokusai."
"Kau ini! Tahu tidak? Kau itu yang merepotkan kami. Kami harus memikirkan hubungan kalian sampai tidak memikirkan rencana pernikahan kami lagi."
"Kalau begitu tidak usah memikirkan hubunganku dengan Ino saja. Urusi urusanmu sendiri, mudah kan?"
Naruto mendesah, ia mengacak rambutnya risau. "Kau itu sahabat kami, Ino itu sahabat Sakura dan dia jelas-jelas adikku. Aku tidak akan membiarkan hubungan kalian memprihatinkan seperti ini."
Shikamaru merebahkan dirinya di kasur dan menutup matanya. "Kenapa kau malah tidur, baka?!" seru Naruto jengkel.
"Aku ngantuk."
BUGH!
Jitakan Naruto di kepala Shikamaru barusan membuat pria itu terbangun sambil memegangi kepalanya.
"Kenapa sih?"
"Kau itu yang kenapa? Kau mau membiarkan Ino jadi perawan tua hah?" sabarlah dengan orang itu Naruto.
"Siapa bilang? Salah dia sendiri yang ngomong memilih kariernya daripada aku."
"Jadi kau menyalahkan adikku? Kau ini terlalu pintar atau emang tidak punya otak sih? Aku menyesal mendukung Ino mati-matian untuk menerima mu enam tahun yang lalu. Aku meyakinkan bahwa kau orang yang setia dan romantis. Tapi apa yang Ino dapat? Tidak lebih dari sekedar keyakinan bahwa kau adalah orang yang dulu kubicarakan."
Shikamaru memberi pandangan aneh pada Naruto. "Hei! Kalau adikmu itu memang serius denganku, aku yakin suatu hari nanti kami akan membahas ini!" seru Shikamaru melakukan pembelaan.
"Jangan mengatakan 'adikmu' seolah Ino itu adalah tanggung jawabku sepenuhnya! Kau ini kekasihnya, bodoh!"
"Aku menuggu Ino yang membahas ini, aku tidak mau mengganggu kariernya. Aku tidak mau disalahkan oleh paman Inoichi lagi. Dan jangan sebut aku bodoh!"
"Karena kau memang bodoh! Mana ada laki-laki yang tidak segera melamar wanita yang mencintai dirinya setelah berhubungan lama hanya karena ayah si wanita yang galak? Sepertinya kau tidak mendengarkan kata-kata Sakura di kafe tadi. Kuberi tahu, selama ini Ino yang melakukan first move, mulai dari kejutan ulang tahunmu, perayaan hari jadi kalian sampai jadi orang yang pertama kali memelukmu ketika kau baru pulang dari 40 hari work trip di Bali!Berhentilah menjadi pecundang hanya karena takut dengan paman Inoichi, Shika! Kami di sini, aku di sini ingin membantumu. Aku juga ingin menolong Ino supaya tidak jadi perawan tua hanya karena orang sepertimu," iris biru laut Naruto menatap kedua mata di hadapannya dalam dan intens.
Naruto kemudian melanjutkan kata-kata seraya merendahkan desibel suaranya,"Tapi sepertinya aku memang salah Shika, seharusnya aku memang tidak membiarkan Ino menjadi pacarmu dulu. Aku salah menilai orang yang selama ini paling aku percaya. Kau," Naruto menunjuk Shikamaru sembari bangkit sambil membawa notebooknya. "Kau sama saja dengan pria brengsek lain. Asshole!"
Naruto menarik tangan Sakura ketika melewatinya. Langkah Naruto kemudian berdebam di lantai kayu kamar Shikamaru sebelum akhirnya teredam oleh karpet yang melapisi lantai luar kamar. Ia mempersilakan Sakura untuk keluar dulu ketika membukakan pintu.
BLAM!
Ia menutup pintu kamar Shikamaru keras dan tidak mempedulikan tatapan seorang yang merupakan penghuni satu-satunya di kamar itu kini.
IQ Shikamaru mulai mencari sesuatu yang dapat memecahkan masalahnya kini. Tetapi hasilnya nihil. Tidak sedikitpun pemecahan masalah ia temukan. Sahabat bodohnya benar-benar marah padanya. Orang itu memang bodoh, tetapi sepertinya apa yang ia katakan memang benar karena pria jabrik itu lebih berpengalaman darinya. Ia jadi teringat ketika hubungannya berjalan baik-baik saja. Tetapi setelah mendengar pernyataan Naruto tadi, Shikamaru jadi merasa bagaikan orang teregois di dunia. Ia selalu memikirkan posisi dirinya, bukan kekasihnya. What a jerk.
Kepalanya memberat, membuat dirinya kembali ingin tiduran di kasur king sizenya. Tetapi baru saja memejamkan mata, sebuah suara-suara dari otaknya kembali bergema.
"Masa Ino terus yang melakukan gebrakan hubungan kalian? Kau ini payah kalau kau mau tahu."
"Ino bilang bahwa karier yang utama bukan berarti jika kau lamar dia akan menolakmu."
"Ini demi merayu paman Inoichi, demi Ino sendiri, demi hubungan kalian yang enam tahun belum apa-apa."
"Kuberi tahu, selama ini Ino yang melakukan first move…"
"Berhentilah menjadi pecundang hanya karena takut dengan paman Inoichi, Shika!"
'Cukup!'
Inner Shikamaru berteriak. menyuruhnya otaknya tidak mengulang perkataan dua orang yang menceramahinya habis-habisan tadi. Oke, kali ini ia sadar. Paman Inoichi lah alasan yang mebuat dirinya tidak segera melamar Ino.
Ia mengumpulkan segala keberaniannya dan berjalan keluar kamar. Saat mendengar suara mesin mobil yang diinjak pedal gasnya, Shikamaru mempercepat langkahnya dengan berlari. Ia menabrak kepala pelayan rumah yang baru saja akan menutup pintu besar rumah tersebut, membuka lebar pintunya dan berlari keluar.
"Naruto tunggu!"
Beberapa detika kemudian, mobil yang tadi berjalan pelan itu berhenti saat menyadari Shikamaru mengejar di belakang. Si empunya mobil keluar, menatap Shikamaru yang kini berhenti sabil terengah-engah, menumpukan berat tubuhnya di tangan yang memegang dengkul.
"Apa?" tanya Naruto datar.
"Bantu aku! Aku mencintai Ino!" Shikamaru masih berusaha memasok oksigen agar masuk ke dalam paru-parunya. "Aku punya ide lain selain bernyanyi!"
Naruto terdiam. Ia memundurkan mobilnya dan memarkirkan BMW hitam itu di tempat parkirnya tadi. Pria tersebut keluar bersama dengan Sakura. Mereka berdua berjalan menuju Shikamaru yang masih terengah-engah.
"Apa idemu?"
"Aku akan tetap menggunakan lagu itu, tapi tidak untuk dinyanyikan."
Sakura mengernyit. "Lalu untuk apa?"
"Don't ask too much! Let's start my first move!" Shikamaru menyeringai.
To be continued...
A/N: Yaya Flo tahu RED belum selesai *plak* *dugh!* *bugh!* *duar* Emangnya gampang mbuat RED? Apalagi Naruto kudu pake acara sok cool segala lagi! *dirasen shuriken Naru*
Hanya saja tangan saya sudah terlalu gatel buat nulis Shika-Ino. Well, I miss this pairing! Setelah ngeliat di archieve Naruto yang paling banyak adalah pairingnya SasuSaku (gamaksud nge-bash kok SasuSaku lovers, heheh) tiba-tiba Flo bilang gini: "WOI! KEMANA NIH AUTHOR AUTHOR BERTANGAN AJAIB NARUSAKU LOVERS SAMA SHIKAINO LOVERS!" Gitu #curhat
Oke. Ini adalah two-shot fanfiction. So? Next chapter is the ending.
Sekedar promosi: Jangan lupa baca RED, fanfic NaruSaku saya! Leave your review and make it your favorite! Chapter 7 akan publish lusa.
Ayo ketikan review Anda! Saya terima kritik dan sebagainya. Arigatou!
