Disclaimer: Naruto hanya milik Masashi Kishimoto semata

Understanding….

.

.

By Kasumi Misuto

.

.

Ketika banyak orang yang tidak tahan dengan berbagai macam kelakuanmu, aku akan tetap disini untuk memahamimu.

.

.

.

Pukul dua belas malam….

Setelah selesai menonton berita mengenai konflik antara Korea selatan dan Korea utara di televise, aku segera berjalan menaiki tangga dan menuju kamarku. Barangkali kalian bertanya-tanya mengapa aku bisa menonton acara yang seperti itu. Salahkanlah pada tugas diskusi besok yang menyertakan pembahasan mengenai konflik Korea utara dan Korea selatan.

Mungkin bagi mereka yang ingin cara instan, mereka akan langsung membuka browser dan mencari mengenai konflik itu. Namun salahkanlah pada tugas kepanitiaan yang kuemban yang membuatku harus menetap di sekolah sebagai kuli dadakan dalam rangka 'pembangunan dan pembagian stan bazar dies natalis SMA Konoha'.

Kuperhatikan lagi catatanku mengenai berita tadi. Kurasa ini sudah cukup. Aku kembali melangkah menaiki tangga.

Aku mulai membuka pintu kamarku ketika aku merasakan sesuatu yang aneh. Kulihat kamar yang berada di sebelahku. Kurasa penghuninya belum tidur.

Aku mencoba untuk membuka pintunya. Tidak terkunci. Dan aku mendapati sesosok manusia yang hampir seumuran denganku (aku lahir beberapa menit lebih awal darinya) sedang sibuk menggambar pola-pola di atas kertas gambar. Dia duduk di atas lantai. Di belakangnya terdapat tempat tidur yang mungkin jika dia capek dengan mudahnya dia menyandarkan diri di samping tempat tidur. Di depannya terdapat meja kecil seukuran dadanya (jika dia sedang duduk bersila seperti sekarang). Dan di atas mejanya itu terdapat beberapa lembar kertas yang sudah dinodai dengan sketsa yang menurutku cukup indah.

Kurasa saat ini dia tidak sadar kalau aku sedang memperhatikannya. Dalam diam dia berkonsentrasi. Dan akhirnya….

" Hoah…. Capek bener….."

Dia merenggangkan kedua tangannya dan bersandar di samping tempat tidur. Dan saat itulah dia melihatku.

" Kurasa jam tidurmu sudah terlewat beberapa jam yang lalu," ucapku seraya melihat kea rah jam dinding yang tergantung di kamarnya. Dia segera mengikuti arah pandanganku. Dan ujung-ujungnya?

Ah… senyum trade-mark itu lagi. Tak ada yang lain apa?

" Senyum palsu lagi. Ada yang lebih palsu lagi?" ucapku. Dia hanya menggeleng.

" Ini sudah yang paling asli," ucapnya. " Memangnya aku harus bagaimana lagi? Menyerigai sepertimu? Bisa-bisa aku dituduh sebagai remaja mesum tahu!"

Heh? Dengan berkata seperti itu secara tak langsung kau menyebutku mesum!

" Gomen, kau tersinggung ya?" ucapnya dengan khawatir. Aku hanya tersenyum. Kau terlalu mengintrospeksi diri, Sai.

" Kalau orang lain pasti kau akan langsung melayang ke udara dan kembali ke bumi sekitar lima menit kemudian," komentarku.

" Sou ka, hm….. lalu bagaimana caranya untuk memulai sebuah gurauan? Padahal aku lihat banyak orang-orang yang melakukan lebih dari ini dan mendapatkan respon berupa tertawa," ucapnya seraya memegangi dagunya dengan tangan kanannya.

" Memang ada yang serius. Tapi ada juga yang memiliki pikiran yang berlebihan sepertimu. Orang itu berbeda-beda, Sai."

Aku melongok ke arah kertas gambarnya yang berukuran A3. Gambarnya bagus.

" Bagaimana menurutmu? Gambarnya bagus tidak? " tanyanya. Ya Tuhan, kenapa kau tidak percaya diri seperti ini?

" Ini sudah lebih dari kata bagus kok. Memangnya kenapa kau bertanya seperti itu?"

" Ada tugas kelompok. Aku bertugas untuk menggambar desainnya. Nanti dipindah ke atas kayu dan diukir."

" Kenapa tidak besok saja? Ini sudah terlalu malam, Sai."

" Mau bagaimana lagi? Besok sudah persiapan pemindahan ke atas kayu. Dan dari tadi Sumaru nagih-nagih terus lewat sms," ucapnya seraya menunjuk ke arah ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur. Dia menimpa gambarannya yang sebelumnya dibuat dengan pensil HB dengan pensil 2B. kulihat sekali lagi. Kurasa teman yang satu kelompok dengan Sai akan sangat beruntung.

Tes

Tes

Tes

" Ugh…."

Tiga titik berwarna merah tiba-tiba saja muncul di atas kertas gambar. Aku terkejut. Bukan karena gambarnya yang menjadi tak bagus lagi. Tapi asal titik berwarna merah itu.

Aku segera berlari ke belakang Sai. mencoba untuk meletakkan lengan kananku ke punggungnya. Berjaga-jaga agar dia tidak terjatuh ke belakang. Sumpah! Ini pertama kalinya dalam lima tahun terakhir aku melihat Sai mimisan seperti ini. darah terus mengalir dan menetes. Aku segera menarik kertas gambarnya hingga jatuh ke lantai. Mencoba mengamankan hasil usahanya.

Tanpa pikir panjang, aku segera menarik selimut yang tak jauh dariku dan menggunakannya untuk mengusap hidungnya. Lama-lama pikiran gila mulai merasukiku. Bagaimana jika darah Sai habis gara-gara mimisan?

" Aku hanya kecapekan. Daijoubu," ucapnya. Dia menoleh ke arah kertasnya yang berada di atas lantai lalu menghela napas.

" Sudah! Sekarang istirahat!"

" Tapi bagaimana dengan….."

" Itu biarkan aku yang urus. Sekarang kau tinggal menebalkan bagian yang terkena darahmu itu dengan sesuatu yang bisa terlihat. Setelah itu sisanya biar aku yang urus," ucapku. Darahnya sudah berhenti mengalir.

Sai menuruti apa yang aku katakan. Banyak yang bilang aku ini adalah 'pawang' bagi Sai. sebenarnya Sai itu sederhana. Dia hanya ingin dimengerti. Namun bagi mereka yang terlalu sering berpikir yang 'rumit', Sai sama dengan benang yang sudah kusut dan susah untuk diuntai lagi.

Aku segera pergi ke kamarku dan mengambil selimut.

Dia segera berbaring di atas tempat tidurnya. Aku menyelimutinya dengan selimutku dan segera duduk di depan meja yang ditempati oleh Sai tadi. Aku segera mengambil spidol hitam dan menebalkan gambar Sai.

" Sasu….."

" Hn?"

" Jangan bilang siapa-siapa…"

" Aku akan bilang siapa-siapa kalau kau masih cerewet dan tidak tidur. Awas saja kalau kau pura-pura! Aku bisa tahu gerak-gerikmu!" ucapku seraya mengacungkan spidol yang aku pegang. Dia hanya tersenyum dan membalikkan badannya membelakangiku.

" Oyasuminasai….."

" Hn."

Setelah selesai menebalkan gambarnya, aku segera berjalan menuju ke dapur dan mencari kertas yang sering dipakai oleh Kaa-san untuk melapisi bagian bawah loyang roti. Setelah menemukannya, aku segera pergi ke kamarku untuk mencari kertas karbon.

Setelah seluruh bahan tersedia, aku segera memulai rencanaku.

Aku menaruh kertas roti itu tepat di atas kertas gambar dan menyalinnya dengan menggunakan spidol. Setelah selesai, aku segera meletakkan kertas karbon di atas kertas A3 yang baru. Dengan hati-hati aku menimpanya dengan kertas roti yang sudah 'kugambari' tadi.

Setelah perjuangan yang tak mudah, akhirnya aku berhasil menyalin gambar Sai. Kurasa tidak ada bedanya dengan yang original.

Aku merapikan alat-alat tulis milik Sai. Aku sering bersama Sai di kamar ini jadi aku tahu letak barang-barang di ruangan ini. kulihat lagi ke arah jam dinding. Sudah pukul setengah dua. Kurasa besok aku akan mengikuti jejak Shikamaru, teman sekelasku yang suka tidur di jam-jam pelajaran. Yah, asalkan tidak tidur dalam diskusi saja aku sudah bersyukur.

Aku menoleh ke arah Sai. kurasa saat ini dia benar-benar tidur. Kuperhatikan lagi dirinya yang terbalut selimut milikku itu. Pikiranku melayang mengenai 'peristiwa' lima tahun lalu.

.

.

.

.

" Sai-kun dinyatakan sembuh."

Aku benar-benar senang mendengar apa yang dikatakan oleh Dokter Tsunade. Kurasa sekaranglah saatnya Sai merasakan kebebasan yang tidak pernah dia rasakan dulu. Kedua orang tua kami pun sangat senang. Terutama Kaa-san.

Sai mulai memasuki berbagai macam kegiatan sekolah. Pulang malam adalah sesuatu yang biasa. Kaa-san dan Tou-san juga tidak mempermasalahkan hal itu. Masa itu adalah masa yang sangat menyenangkan.

Sai juga meningkatkan prestasinya di bidang akademik. Sudah banyak piagam yang dia dapatkan. Entah itu karena partisipasinya *dia tidak selalu masuk dalam tiga besar jika mengikuti olimpiade di luar sekolah* ataupun karena dia memang masuk ke tiga besar.

Dan sekarang saja dia berhasil masuk ke SMA Konoha dengan jalur PMDK. Entah kenapa aku sering mempertanyakan otaknya yang bisa sangat pintar seperti itu. Padahal, dia sama sekali tidak mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah.

Dia benar-benar mirip dengan Kak Itachi. Andaikan saja Kak Itachi masih hidup, mungkin dia akan menantang Sai dengan berbagai macam 'kompetisi'. Sayangnya, Kak Itachi sudah tidak ada disini lagi.

Kalimat yang telah dikatakan oleh Dokter Tsunade merupakan bukti kalau aku tidak akan sendiri. Sudah cukup Kak Itachi saja yang meninggalkan kami. Namun bukan berarti aku lebih memilih Sai daripada Kak Itachi. Aku hanya tidak ingin sendirian disini. Di rumah ini.

.

.

.

.

.

'ddrrrtttttt…. Ddddrrttttt…'

.

.

.

.

Getaran yang berasal dari ponsel milik Sai mengalihkan perhatianku. Aku melihat sebuah pesan singkat diterima.

Baiklah, sekali-kali melihat ponsel orang tidak masalah kan? Lagian, siapa yang mengirim pesan singkat jam-jam segini?

'bagaimana tugasnya? Besok sudah harus dipindah. Pokoknya besok harus jadi.'

Aku melihat ke arah Sai yang masih tertidur. Apa mereka tidak tahu apa yang terjadi barusan? Oh, tentu saja tidak tahu. Sai kelelahan hingga mimisan seperti itu. Aku kembali memandang 'lukisan' yang baru saja aku jiplak tadi. Apa mereka pikir menggambar seperti itu mudah?

Tapi aku tidak bisa menyalahkan mereka. Toh mungkin saja Sai yang memang agak malas. Tugas begini seharusnya dikerjakan jauh-jauh hari. Bukannya malah ngelembur dan ujung-ujungnya aku yang membereskan.

Aku mengetikkan huruf 'Y' dan segera mengirimkan kata (huruf) itu kepada sang pengirim pesan singkat. Beberapa detik kemudian tak ada pesan singkat lagi. Kurasa si pengirim sudah selesai dengan acara menanyakan-apa-sudah-selesai-gambarnya.

Aku menutup pintu kamarnya perlahan dan berjalan menuju ke kamarku. Dengan mata yang kurasa tinggal lima watt, aku segera tidur dan berharap agar suara jam wekerku sampai ke telingaku esok pagi…

.

.

.

.

.

.

" Sial! Aku kesiangan!"

Aku segera bergegas menuju ke kamar mandi. Tinggal empat puluh lima menit lagi menuju jam pelajaran pertama dan aku masih sibuk di dalam kamar mandi. Kurasa Sai akan meninggalkanku dan ujung-ujungnya aku akan berangkat sendiri (lagi).

Aku segera berlari menuju ke ruang makan. aku mendapati Kaa-san yang sedang sibuk menggoreng sesuatu *aku hanya dengar suara sesuatu yang basah dimasukkan ke dalam minyak panas dari arah dapur*.

Aku beranjak menuju ke arah dapur yang dekat dengan ruang makan. kudapati Kaa-san yang sedang sibuk menggoreng ikan.

" Kaa-san, apa Sai sudah berangkat?" tanyaku. Kaa-san membalikkan badannya dan menggeleng.

" Sai tidak bisa masuk hari ini," ucapnya. " Suratnya ada di atas meja," ucapnya seraya menunjuk kea rah meja dengan sutil yang digunakannya untuk menggoreng. Aku berjalan menghampiri dan mengambil surat itu. Apa karena kejadian tadi malam? Bagaimana aku tidak merasakannya?

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku berjingkat kaget.

" Titip gambarnya ya. Onegai," pintanya. Aku memandangnya sekali lagi. Wajahnya lebih pucat dari biasanya. Rambutnya acak-acakan. Kurasa dia baru bangun tidur. Aku segera mengambil gambar yang ada di tangannya. Kaa-san terkejut dan menghampiri kami.

" Sai? sudah enakan? Hm?"

Sai hanya menggeleng. Kaa-san membantu Sai untuk berjalan menuju ke ruang makan. Karena 'gorengan' Kaa-san yang tidak bisa ditinggal, akhirnya aku yang membantu Sai untuk berjalan menuju ke ruang makan. tubuhnya lemas seperti tidak ada tulangnya. Padahal,dia itu kurus bagaikan kulit pembalut tulang*?*.

" Sai, kamu mau makan ya? Kaa-san sudah masakkan masakan yang enak dan kesukaanmu," ucap Kaa-san dari arah dapur. Sai menghela napas.

" Kaa-san mau masak enak kalau sedang sakit saja," komentarnya. Aku hanya mendengus geli. Kaa-san hanya tertawa kecil. Tapi memang itu kenyataannya kan?

Hm…. Mengingatkanku pada saat itu saja. Saat Sai yang sedang sakit dan tidak selera makan. Hm, saat itu aku 'membantu'-nya dengan menghabiskan separuh makanan yang seharusnya menjadi milik Sai seutuhnya.

Alright, back to the topic.

Aku baru sadar sudah saatnya aku berangkat (ngebut) ke sekolah. Aku hanya mengambil beberapa lembar roti dan menjejalkannya sedikit demi sidikit ke dalam mulutku. Kertas yang tadi kupegang segera kugulung dan kumasukkan ke dalam tas.

Dan sekarang aku sedang makan lembar terakhir dari rotiku di dalam bus yang penuh sesak.

.

.

.

'jam pertama akan dimulai lima menit lagi'

Aku segera berlari dan menerobos ke pintu pagar yang akan segera ditutup oleh Asuma-sensei. Di belakangku ada Chouji yang menghela napas frustasi karena pintu pagar yang telah di tutup. Aku segera berlari menuju ke kelasku dan mendudukkan diri di atas kursi. Napasku masih terengah-engah namun masih ada satu tugas lagi yang harus kukerjakan.

Aku segera mengeluarkan gulungan yang berada di dalam tasku dan segera (lagi) melesat menuju kelas sepuluh lima, kelas tempat Sai menuntut ilmu. Namun takdir berkata lain, saat itu sedang dimulai pelajaran dari Danzo-sensei. Guru pelajaran seni yang terkenal dengan ketepatan waktu-nya.

Saat itu pintu kelas sedang di tutup. Dan dari luar aku bisa mendengarkan percakapan anggota dari kelompok Sai yang mengeluh mengenai gambar mereka yang belum 'datang'. Mereka bahkan menyalahkan Sai yang datang terlambat.

Sai tidak terlambat!

Sai sedang sakit.

" Hoy Teme, ngapain kamu celingak-celinguk di depan kelasku?"

Aku menoleh dan mendapati Naruto, teman sekelas Sai yang terengah-engah. Aku menyerahkan surat ijin Sai beserta kertas gambarnya.

" Dobe, aku titip ini. kasihkan sama kelompoknya Sai," ucapku.

" Kenapa enggak masuk aja?" ucapnya watados. Kurasa dia masih belum tahu.

" Masalahnya adalah kelasmu yang sudah ada gurunya," ucapku seraya menunjuk pintu kelasnya yang tertutup dengan jempol kananku. Dia langsung bergegas untuk masuk ke kelas setelah merampas surat ijin dan gambar milik Sai.

Aku pun berjalan santai menuju ke kelasku. Pelajaran pertama adalah pelajaran sastra Jepang dengan gurunya adalah Kakashi-sensei yang sering bertemu dengan nenek-nenek di jalan dan membantunya.

.

.

.

.

.

.

.

Seperti dugaanku, sejak jam kedua hingga jam kelima aku mengikuti jejak Shikamaru. Untunglah pelajaran yang melibatkan diskusi 'terjadi' di jam ketujuh dan kedelapan. Jadi aku dapat berpikir dengan jernih.

Aku pulang bersama anggota rookie 9. Yah, sebutan kami untuk siswa-siswa yang dulunya pernah satu SMP. Sai juga termasuk di dalamnya. Kami bahkan membuat grup di situs jejaring social dengan anggota para alumni se angkatan kami. Kami menamai diri kami sebagai anggota dari rookie 9 karena hanya kami bersembilan yang berhasil masuk dalam SMA Konoha yang merupakan SMA favorit.

Sesampainya di rumah, aku menemukan kejanggalan. Kaa-san dan Tou-san sedang dalam keadaan diam. Kurasa ini bukan saatnya 'rapat keluarga' karena aku tidak melihat Sai di ruang tamu ini. kaa-san menatapku dan memegangi pundakku.

" Sasuke, bolehkah Kaa-san minta sesuatu?"

.

.

.

.

Tbc

.

.

.

.author's note:

Setelah beberapa minggu vakum akhirnya Kasumi bisa balik lagi. terima kasih sudah mau menyempatkan diri untuk membaca fanfic Kasumi yang jauh dari sempurna ini.

Terakhir, Kasumi minta review-nya ya….

Sampai jumpa di chapter mendatang…