Kyaaa! Saia kembali dengan nuansa baru. Yaitu romance Naruhina. Karena ini fic romance pertama saia, jadi maaf banget kalo jadinya hancur. maaf romancenya gak sweet. soalnya salah satu bakalan mati. Death chara. Don't like, don't read.

Langsung saja, saia persembahkan:

BROKEN

…Selama ini aku mencintai gadis yang salah...

...Selama ini aku telah salah mengertikan sikapnya...

...Aku bodoh….

Angin bertiup kencang, meniup rambut kuningku, membelai lembut wajahku. Bola mata biru langitku menangkap sesosok gadis cantik yang kini tengah berdiri dihadapanku.

Haruno Sakura

Gadis manis yang kusukai sejak dulu, beberapa tahun yang lalu. Walau aku tahu, rasa ini tak terbalas, walau aku tahu ia hanya mencintai Sasuke. Ya, selalu Sasuke, ia menang segalanya dariku.

Segalanya

"Hey, Naruto. Apa yang kau lakukan disini?" sapa gadis cantik secantik namanya.

Aku tersenyum, tak tahu harus bersikap bagaimana saat berhadapan dengannya.

Bisakah aku tetap bersikap bodoh dihadapan seorang kekasih Uchiha Sasuke ini? Kurasa tidak. Itu hanya akan membuatku semakin rendah dihadapannya.

Ya, setelah kami berhasil membawa Sasuke kembali ke Konoha dengan susah payah, ia langsung saja menyatakan perasaannya pada Sakura. Sudah kuduga hal ini akan terjadi, dan benar-benar terjadi.

"Tidak ada." sahutku yang masih duduk disebuah bangku taman berwarna putih pucat.

Sakura duduk disebelahku, kedua tangan putihnya masih memeluk tumpukan buku-buku tipis yang ia tempelkan di dadanya.

"Naruto, aku tahu kau memiliki masalah. Aku sahabatmu, jangan enggan untuk menceritakannya padaku." Mata hijau emeraldnya yang bersinar itu serius menatapku.

"Tidak ada. Maaf Sakura, aku pulang dulu." Ucapku dengan dinginnya seraya beranjak pergi meninggalkan gadis itu. Kenangan akan manisnya cintaku kepada Haruno Sakura, kini telah menjadi kenangan pahit.

Aku berjalan dengan langkah gontai, entah mengapa, setelah perang berakhir dan kembalinya Sasuke, aku merasa tidak bersemangat lagi. Huh, bodoh. Pergi kemana naruto yang selalu bersemangat?

Hilang ditiup lembutnya angin, mungkin.

"Na. . . Naruto." Suara lembut itu mengejutkanku, membuatku mengangkat kepala yang sedari tadi tertunduk.

Gadis ini, gadis cantik berambut indigo dan bermata lavender.

Gadis lemah lembut yang telah menyelamatkanku saat aku bertarung dengan Pain. Gadis yang menyatakan cintanya padaku disaat nyawanya di ujung tanduk. Gadis manis bernama. . .

"Hinata?"

"Ada apa denganmu? Wajahmu terlihat pucat. Kau sudah makan?." Tanyanya dengan cemas.

Aku tersenyum, dan ia langsung memalingkan wajahnya yang memerah.

Memang, ia tak terlalu gugup lagi saat bicara denganku. Tapi rona merah diwajahnya, takkan mudah disembunyikan.

"Aku tidak apa-apa. Berkat kau, aku masih bisa berdiri disini. Hinata, terimakasih." Mataku menatap dengan lekat mata lavender tak berpupil miliknya yang kini mentapku dengan kagum.

"hehee, aku pulang dulu ya." Kataku diiringi dengan cengiran khas Naruto yang akhir-akhir ini sudah jarang kutunjukan dihadapan orang-orang.

Hinata gadis yang manis, sangat manis bahkan.

Tapi sayangnya sampai saat ini aku masih tak bisa untuk mencintainya. Kenapa? Kenapa harus Sakura yang berhasil merebut perasaanku?

Arrghh, tidak adil. Dunia memang tak pernah adil.

Perlahan aku memasuki kamarku, merebahkan diri di tempat tidur.

Melepaskan penat yang tak seperti dulu lagi. Kini aku jarang berlatih untuk menambah kekuatan. Untuk apa? Perang telah berakhir. Kedamaian sudah ditangan.

Misi kelas S pun kini sulit didapatkan. Bukannya sombong, tetapi shinobi sepertiku tak mau lagi menerima sebuah tugas kelas D seperti menangkap kucing yang lepas.

Arrgh, aku tak mau.

Bayangan gadis indigo itu berkelebat dalam otakku. Kini yang kulakukan hanyalah menatap nanar langit-langit kamarku. Apa yang salah? Kenangan itu kembali lagi.

". . . Jadi aku tak kan takut untuk mati demi melindungimu".

Saat itu Hinata mengatakan kalimat tadi,

saat itu aku sedang dalam keadaan tak berdaya dengan besi chakra yang menancap ditubuhku.

Saat itu aku sedang berhadapan dengan pemilik mata Rinnegan, Pain.

Dan Hinata datang untuk menolongku. Meski berkali-kali kucegah, ia tetap teguh pada pendiriannya.

"Karena aku mencintaimu, Naruto."

Yaa, ia ucapkan kalimat itu. Aku sama sekali tak menyangka kalimat itu akan meluncur dari bibirnya yang merah ranum. Dan apa yang kulakukan? Aku hanya diam. Hanya bisa diam.

Hinata berjuang keras untuk melepaskan besi chakra yang menghentikan pergerakan tubuhku, meski berkali-kali Pain menyerangnya.

Meski berkali-kali ia jatuh bebas dari ketinggian belasan meter. Meski darah telah mengalir deras dari kepalanya, ia tetap berjuang. Ia tetap menyelamatkanku.

Ia merangkak mendekatiku, setelah tak memiliki kekuatan lagi untuk berjalan. Hinata menangis, disela darah yang terus mengalir membanjiri wajah cantiknya, ia menangis. Dan hal itu membuat hatiku teriris dalam.

"Lucu sekali. Kau masih saja berusaha menyelamatkan orang lain disaat kematian sebentar lagi akan menjemputmu."ucap Pain saat itu.

"Aku bertahan dengan apa yang kukatakan." ucapan Hinata itu membuatku tertegun. Sepertinya aku pernah mengatakan hal yang sama. "Karena itu adalah. . .jalan ninjaku."

Benar, kalimat itu adalah kalimat yang sering kukatakan, sangat sering.

Hinata tahu kebiasaanku, Hinata selalu ada untukku. Hinata ada disaat aku sama sekali tak memikirkannya, sedikitpun. Kami-sama, izinkan aku membalas cintanya yang begitu besar untukku. Yang selama ini tak kusadari. Yang selama ini. . .

"Hey, Naruto!" aku menoleh ke arah jendela disamping tempatku berbaring saat ini.

Seorang pria gagah, berambut perak yang setengah wajahnya tertutup kain hitam, guna menutupi bibirnya, yang konon katanya, bisa membuat pingsan gadis manapun yang melihatnya. Ia bertengger di jendela ku, dengan tangan kiri yang membawa sebuah Novel karangan Sannin Mesum.

"Kakashi-sensei, ada apa? Kau mengganggu acara tidur siangku." aku berusaha menunjukan rasa protes.

"Tidur siang katamu? Yang kulihat, daritadi kau sedang menghayal."

aku mengerucutkan bibirku. "Habisnya, tidak ada hal yang bisa kulakukan. Tidak ada misi kelas S lagi, bahkan misi kelas A saja jarang. Membosankan sekali." aku membalikan posisi tidurku, berbalik arah, memunggungi Guru Kakasi.

"Ya aku tahu. Itupula asalanmu untuk jarang berlatih kan?" aku memutar bola mataku.

Harus berlatih seperti apa lagi? Kekuatanku kini sudah melebihi kekuatan Sasuke, buktinya aku bisa membawanya pulang ke Konoha. Tapi lihatlah, Sakura tetap saja lebih memilih Sasuke, dan masih menganggapku sebagai Naruto yang bodoh. Guru Kakashi menghela napas panjang.

"Naruto, ikut aku." aku menoleh kebelakang.

"kemana?. . . Huh?" Guru kakashi tak lagi berada ditempatnya. Tiba-tiba kepalanya menyembul dari balik jendela.

"Sudah, ikut saja." lalu ia menghilang lagi.

Aku mengikuti langkah Guru kakashi dengan penasaran.

Langkah kami terhenti disebuah sisi lapangan yang luas. Guru kakashi bersembunyi dibalik pohon dan aku mengikutinya.

"Lihat!" ujarnya seraya menunjuk kearah depan, tepat ditengah lapangan tak berumput ini.

"Hyaa. . Hup" mata biru langitku terbuka lebar. Itu kan Hinata? Apa yang ia lakukan disini?

Peluh membanjiri seluruh tubuhnya. Jaket yang ia kenakan pun telah dikotori oleh debu.

"Kau lihat itu?" Guru kakashi mengejutkanku, membuatku spontan menoleh kearahnya.

"Hinata berlatih?" terkaku. Guru Kakashi mengangguk.

"Ia berlatih seperti ini setiap hari, dari pagi hingga sore hari."

"Untuk apa?"

"Demi kau, Naruto." aku kembali tertegun, kepalaku tertunduk sepenuhnya.

Kupejamkan mataku perlahan dan menghela nafas panjang. Aku berhutang budi pada Hinata. Tidak. Bukan budi, tapi nyawa. Aku berhutang nyawa pada Gadis itu. Kubuka mataku perlahan, dan kembali menatap Hinata dari jauh.

"Aku juga tidak boleh kalah. Aku akan terus berlatih agar menjadi semakin kuat. Dan aku. . . Aku bisa, membalas semua kebaikan Hinata." ucapku lantang dengan semangat yang berapa-api, semangat yang telah lama hilang.

"Eh? Siapa disana?" kini aku mendengar suara lembut Hinata. Dan segera saja Guru kakashi mendorongku hingga aku terjatuh disemak-semak agar Hinata tak melihatku.

"A. . .Aduh, sakit Guru." rintihku pelan seraya megelus punggungku yang sakit akibat pendaratan mendadak itu. Pria berambut perak itu hanya tertawa.

TBC

Nantikan chapter 2. Di chapter 2 mulai terlihat alurnya. Sekarang kan belum. Ini masih opening. Review please ;)