LET ME OUT

MAIN CAST:

- Park Chanyeol

- Byun Baekhyun

SUPPORT CAST:

- Oh Sehun (Byun Sehun)

- Xi Luhan (Park Luhan)

- Kim Jongdae

- Wendy of Red Velvet (Jung Se Ra)

OTHER CAST:

- Member of EXO

Rated: M

Summary:

Baekhyun kira melarikan diri, adalah pilihan terbaik disaat perasaannya tumbuh semakin besar untuk sahabatnya sendiri. Tapi ternyata? /"sesuatu yang kita rasakan saat ini adalah kesalahan, bukan?"- / "hyung, aku akan membatalkan dokumen adopsi terhadapku."-

BAGIAN PERTAMA:

Memory

"Ini sudah sangat lama, tidakkah kau merasa perlu kembali?" -

--

Tokyo, Japan - 15 September, 2017.

Suara ketukan membuat seseorang yang kini duduk di balik meja kerja, mengangkat wajah guna beralih atensi pada pintu. Sewaktu kemudian pintu terbuka, dan seraut wajah yang ia kenali ada di sana. Tatapan jengah, pun jua helaan nafas bosan adalah reaksinya pertama kali ketika orang itu tersenyum amat lebar padanya.

"Annyeong, Baek."

Sementara pandangannya terfokus pada lembaran kertas hasil pemeriksaan pasien gangguan depresi, mulutnya tetap bersuara menjawab. "Sudah lama sekali, sejak terakhir kali aku mendengar sapaan itu."

Lelaki tadi berdecih, namun langkahnya tetap mendekat dan langsung mengambil duduk berhadapan dengan Baekhyun. "Aku tidak percaya kau hampir melupakan bahasa tanah kelahiranmu sendiri, Baek."

Baekhyun mengangkat wajah, tatapan bosan pun lelah tergambar jelas pada wajahnya. "Berhentilah membual, Jongdae-ya. Aku hanya mengatakan sudah lama sekali tidak mendengar sapaan itu. Bukan berarti aku melupakannya, oke."

Lelaki tadi bernama Kim Jongdae, rekan satu profesinya; Dokter kejiwaan, yang juga sama-sama berasal dari Negeri Gingseng. "Kau terlihat lelah, Baek."suara Jongdae terdengar khawatir. Tatapannya melembut. "Berhentilah menyiksa dirimu dengan terus bekerja, Baek. Kau juga harus pulang. Ini sudah sangat lama, tidakkah kau perlu merasa kembali?"

"Untuk apa?"

"Hanya kau yang tahu jawabannya."senyum Jongdae terulas. "Pulanglah, dan jika suasana di sana membuatmu merasa tidak cocok, maka kembalilah ke sini."

Kabut kesedihan bergerumul di netra Baekhyun, dan Jongdae dengan jelas bisa melihat itu. Lantas kemudian ia menarik lembar tisu dari tempatnya di samping kalender. "Maaf karena sudah membuatmu bersedih, Baekhyun-ah."

"Tidak, Jongdae. Kau benar. Ini sudah terlalu lama untukku melarikan diri."Baekhyun mencoba tersenyum, meskipun itu terlihat sangat terpaksa.

"Senang mendengar keputusanmu, Baek."senyum Jongdae terulas lagi. "Ah, selepas kau pergi hanya tinggal aku sendirian di sini. "Namun wajahnya berubah memelas seperkian detik. "Baek, jangan pulang ya?"

Baekhyun tertawa kecil, lantas melempar kembali tisu yang tadi diberikan Jongdae.

"Sialan!"

Di sebuah tempat lain, bagian selatan negara Korea, ada sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Entertainment, Park Enterprise. Perusahaan itu menjulang, bersanding dengan gedung pencakar langit yang lain. Sinar sang surya memantul, memberikan kesan kalau gedung itu berdiri dengan kokoh berani. Mari beranjak untuk menilik sosok yang mengisi kursi kebesaran Wakil Direktur, di dalam sebuah ruangan yang ada di lantai teratas gedung. Orang itu bernama Park Chanyeol, adalah lelaki berusia nyaris menyentuh angka puluhan ke tiga. Wajah tegas, pun bergariskan ketampanan yang mampu membuat kaum hawa menjerit histeris. Tatanan rambut yang di up, kemeja putih yang di gulung hingga siku, juga kaca mata baca yang menggantung di hidung si pemilik wajah, satu kata yang mampu mendeskripsikannya; sempurna.

Mata setajam elang lelaki itu berganti atensi saat pintu ruangan diketuk. Ia bergumam, memberikan isyarat agar siapapun yang berada di balik pintu untuk masuk.

"Selamat pagi, Chanyeol Oppa."

Sontak Chanyeol mengangkat wajah, netranya menemukan sosok wanita dengan senyum yang amat manis di ambang pintu. Dress selutut berwarna peach lembut, rambut cokelat bergelombang dengan sentuhan sedikit pirang di ujung, juga high heels hitam yang membalut sepasang kakinya. Kulit wanita itu sungguh bersih, tidak ada sedikitpun noda pada wajah ataupun kulit tubuhnya. Ketika ia melangkah, hanya ada keangguan yang mampu memikat hati siapapun. Sungguh wanita pesolek yang amat menawan.

Senyum terkembang di bibir Chanyeol, lelaki itu melepas kacamata bacanya dan segera bangkit untuk memeluk wanitanya. "Hmm, selamat pagi my love."ia menjawab dengan bisikan suara lembut di telinga wanita tadi. Kekasihnya. Sang pujaan hatinya. Jung Se Ra, namanya.

Se Ra melonggarkan pelukan, masih dengan senyuman yang terulas cantik di wajahnya, ia bertanya. "Oppa, kau tidak melupakan sarapan pagimu, kan?"

Chanyeol mencuri satu kecupan cepat di bibir wanitanya, lalu mengangguk. "Aku tidak melupakannya, sayang."ia lalu terkekeh saat Se Ra merona malu. "Ngomong-ngomong apa yang membuatmu mendatangi ruanganku, hmm?"ia bertanya selagi sebelah tangannya terulur untuk merapikan anak rambut yang menjuntai nakal di kening Se Ra.

"Aku ada jadwal pemotretan jam sepuluh nanti. Dan karena aku bangun terlalu pagi, jadinya aku berniat mengunjungimu, Oppa."

Jung Se Ra, siapa yang tidak mengenalnya? Wanita berumur dua puluh lima itu adalah seorang model papan atas, yang kerap dikontrak sebagai ambassador oleh brand kenamaan. Dengan pesona yang memikat, pun kelihaian bergaya di depan kamera, Se Ra bahkan dinobatkan sebagai Ratunya dalam hal pemotretan. Wanita cantik itu adalah model di Agensi milik Ayah Chanyeol, Park Seojeong. Dan juga kekasih hati Park Chanyeol, si wakil Direktur di Agensi tersebut. Mereka berkenalan pada saat Chanyeol menempuh pendidikan di bangku universitas. Saat itu adalah semester ketiganya Chanyeol di jurusan Ekonomi Bisnis pada jenjang Strata satu, ketika ia bertemu dengan Se Ra. Wanita yang mampu meluluhkan dinding ketertutupan yang ia bangun.

Bertemu dengan Se Ra adalah suatu anugerah bagi Chanyeol. Wanita itulah yag menyelamatkan dan membantunya bangkit dari keterpurukan. Masa-masa Chanyeol berada di titik terendah dalam hidupnya, Se Ra juga ada di sana, ada selalu untuk menemaninya.

"Oppa, hari ini kau jangan lupa untuk menjemput Luhan di sekolah, oke."

-

Senyum Baekhyun terkembang sempurna saat ia sudah menapak langkahnya di tanah Negeri Gingseng, Korea Selatan. Ia menghirup nafasnya dalam, seolah tengah membaui hidungnya dengan udara khas kota Seoul. Seraya memperhatikan sekitarannya, Baekhyun menarik kopernya untuk bisa sampai ke depan Bandara. Berhubung ia pulang tanpa memberitahukan siapapun, bahkan keluarganya sendiri, maka dari itu tidak ada siapapun yang menjemputnya.

Begitu taksi yang ia pesan sampai, Baekhyun menyimpan kopernya di bagasi, lantas segera menyebutkan alamat rumahnya agar supir taksi bisa mengantarkannya ke sana.

Waktu berlalu, tidak terasa ini adalah tahun ke delapan untuknya membutuhkan waktu untuk bisa pulang ke tanah kelahirannya. Banyak yang berubah dari Seoul, tapi sebanyak apapun perubahan itu terjadi, Seoul masih tempat ternyaman untuknya tinggal. Selain karena kota dengan julukan Negeri Gingseng itu adalah tanah kelahirannya, pun juga di sanalah ia tumbuh hingga mengenal cinta yang pada akhirnya membuatnya merasakan apa itu rasa sakit. Sangat bohong besar jika Baekhyun bilang kalau ia tidak terpengaruh dan ragu untuk kembali pulang, tapi sebesar apapun ia merasa takut, pada akhirnya ia tetap memilih pulang. Mungkin ketika dulu, ketika ia memutusakan untuk melarikan diri, Baekhyun menyesal tidak memikirkan lebih jauh alasannya untuk bisa tetap tinggal. Dan ketika sekarang ia sudah jauh lebih dewasa, Baekhyun harap keputusannya untuk kembali adalah benar.

Taksi berhenti, Baekhyun membayarkan sejumlah uang atas tumpangannya untuk bisa sampai ke rumah. Ya rumah, yang dulunya adalah tempat untuknya melepaskan penat akan segala hal. Ada sosok Ibu yang hendak menuruni anak tangga, ketika ia membuka pintu utama pertama kali. Wajah beliau masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah selain keriput yang mulai menghias wajah menua Ibu. Sosok wanita yang melahirkannya itu masih cantik, hati Baekhyun sungguh menghangat saat Ibu melebarkan bola matanya, terlalu terkejut dengan kehadirannya yang mendadak. Lalu, sewaktu berikutnya Baekhyun merasakan pelukan hangat yang melingkupi tubuhnya, pun air mata yang membasahi bajunya. Ibunya menangis, isakan lolos begitu saja dari mulutnya. Dan Baekhyun benar-benar merasa bersalah akan hal itu. Perlahan tangannya membalas pelukan Ibu, juga sebelah tangannya yang mengelus punggung bergetar itu. Lantas, mulutnya tanpa diminta bersuara;

"Ibu, aku kembali."

Baekhyun sungguh tidak tahu kalau pulang rasanya semelegakan ini buatnya. Hatinya terasa ringan, hingga tanpa sadar ia ikut menangis. Tersedu bersama Ibu dengan pelukan yang semakin bertambah erat. Baekhyun meluruhkan semuanya dalam tangisan itu; beban hatinya, beban pikiarannya, hingga sampai beban perasaannya yang tidak henti membuatnya merasa kacau. Melarikan diri bukannya solusi terbaik, tidak seharipun semenjak ia memutuskan untuk pergi, ia merasa hidup dengan tenang. Rasa bersalah, pun rasa rindu selalu membayang, menghantui pikirannya setiap hari.

Pelukan mereka terlepas, Baekhyun membawa jemarinya untuk mengapus jejak lelehan kesedihan di pipi Ibu. Senyumnya terulas, lalu bibirnya bersuara. "Aku sungguh merindukan rasanya pulang, Bu."

"Hmm, kau pulang, sayang."Ibu turut melebarkan senyumnya, kemudian membawa Baekhyun kembali dalam hangat dekapannya. "Kau pulang sayang. Kau pulang.."ia terus bergumam demikian, membuat sebentuk rasa lega meleleh hingga ke jantung Baekhyun.

Keduanya melepas pelukan lagi, Nyonya Byun melirik sekilas koper bawaan Baekhyun. Lantas ia menuntun Baekhyun untuk memasuki kamar, menyimpan koper berwarna biru tua itu di sudut ruangan. "Beristirahatlah terlebih dahulu, sayang. Ibu akan membuatkanmu makanan kesukaanmu."wajah Ibu benar-benar nampak bahagia, membuat Baekhyun juga turut melebakan senyum dan mengangguk mengiyakan.

"Ah, kapan Sehunnie pulang, Bu?"Baekhyun bertanya pada Ibu yang sudah berada di amang pintu.

Nyonya Byun berbalik, lantas netranya melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. "Mungkin sebentar lagi, satu jam lagi Ibu rasa."

Baekhyun mengambil jaket yang sebelumnya sudah ia lepas dari tubuhnya, memakainya cepat dan segera mengambil ponsel juga dompetnya. Ia mendekat pada Ibu, mengadah tangan seolah meminta sesuatu dengan cengiran lebar di wajahnya. "Aku akan menjemputnya, Bu. Berikan kunci mobil padaku."

Kerutan ragu nampak di wajah Ibu. "Terakhir kali yang Ibu ingat, kau sama sekali tidak bisa mengendarai mobil, sayang."

Baekhyun memanyunkan bibirnya, tidak terima karena Ibu meragukannya. "Bu, itu sudah sangat lama. Sekarang sudah delapan tahun berlalu sejak itu, dan sekarang aku sudah bisa mengendarai mobil. Jongdae yang mengajariku ketika jadwal kami sama-sama luang."suaranya terdengar merengek seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu.

Meskipun masih meragukan ucapan anak sulungnya itu, Nyonya Byun akhirnya memberikan jua kunci mobil miliknya. Terkekeh kegelian saat melihat Baekhyun berseru girang dan cepat-cepat berlalu untuk menjemput Sehun, adiknya yang kini bersekolah di jenjang Senior untuk tahun ketiganya.

-

Waktu tidak terasa sudah menyentuh pukul empat, ketika mobil milik Ibu yang Baekhyun kendaraai, sampai dengan selamat di tempat tak jauh dari gerbang sekolah Myunghee--dulunya ia juga bersekolah di sana. Baekhyun melepas safety belt, dan segera keluar dari mobil. Netranya tak lepas memandangi sekolah Myunghee yang kini banyak mengalami perubahan semenjak ia lulus. Perlahan, meskipun Baekhyun sama sekali tidak menginginkannya, tau-tau sekelebat kenangan kembali membawanya larut dalam kubangan masa lalu.

Bentangan layar putih di depan sana, menampilkan tayangan sejarah hidupnya Korea Selatan. Perubahan demi perubahan terjadi, hingga menghasilkan budaya baru yang menjadikan Korea Selatan tumbuh dengan hingar bingar globalisasi. Persaudaraan dengan Korea utara yang dulu lekat, merenggang hingga berakhir mengubah status menjadi musuh abadi. Tren berpakaian, berprilaku, hingga kebudayaan mulai terupgrade sesuai dengan tuntutan jaman.

Sementara film dokumenter itu terputar, Jung songsaengnim, selaku guru sejarah SMA Myunghee menguap lebar, lantas menumpukan dagunya pada tangan. Seperkian detik selanjutnya, mata guru-- dengan rambut cepak klimis itu, memberat. Chanyeol yang duduk di barisan paling belakang, pojok kanan, menundukkan kepalanya. Namun matanya tidak lepas memandangi Jung Saem. Mengabaikan film dokumenter sejarah di depan sana, Chanyeol mengulas seringainya, sebelum mulai berhitung.

Tepat di hitungan ketiga, dengkuran Jung Songsaengnim yang cukup nyaring itu mengalihkan seluruh perhatian siswa dari tayangan film. Chanyeol si ketua biang onar, perlahan melirik ke segala penjuru, memperhatikan semua teman-temannya yang mengangguk setuju, sebelum melangkah dengan pasti ke depan.

"Berikan remote-nya padaku!"

Daesung yang duduk paling depan ikut melebarkan senyumnya, sebelum bergerak mengambil remote di meja guru. Chanyeol memandangi teman-temannya sekali lagi, meyakinkan dirinya kalau mereka semua satu pikiran. Merasa cukup, Chanyeol menekan tombol pause untuk menjeda film. Lelaki itu menyeringai, lantas dengan amat pelan ia menggiring teman-temannya untuk meninggalkan kelas, menyisakan Jung Songsaengnim dan satu lagi murid yang duduk di barisan belakang, pojok kiri, bernama Byun Baekhyun yang juga tengah tertidur.

Murid kurang ajar memang, tapi itulah Chanyeol. Murid nakal yang sering sekali berulah, melakukan segala tindakan di luar batas pikir, hanya untuk mencari kesenangan.

Lelaki itu merengut, kesal. Selama hampir dua jam lamanya, ia terus berdiri di depan kelas dengan satu kaki, serta kedua tangan yang memegangi telinganya menyilang. Bibirnya tidak berhenti menggerutu, mendelik sinis pada Jung Songsaengnim yang masih mengawasinya dengan mata setajam elang. Ini semua karena kejadian tadi, belum sempat langkah Chanyeol mencapai pintu, sementara teman-teman sekomplotannya langsung kembali duduk, saat Jung Songsaengnim membuka tiba-tiba matanya. Beliau tanpa menoleh, melemparkan penggaris kayu miliknya dan berakhir tepat mengenai kepala belakang Chanyeol. Setengah mengumpat, Chanyeol berbalik hanya kemudian untuk menyengir kaku pada pelaku pelemparan penggaris yang mengenai kepalanya.

"Berdiri di depan kelas dengan satu kaki, Chanyeol. Ah, ya.. telingamu juga. Gunakan tanganmu menyilang, kita harus melebarkan telingamu itu agar bisa berfungsi dengan baik."

Chanyeol menyentak kepalanya, tidak percaya. "Saem!!"protesnya.

Jung Songsaengnim menoleh, melayangkan tatapan membunuhnya pada Chanyeol yang langsung tergagap mengambil posisi berdiri satu kaki.

Jung Songsaengnim kembali memutar film dokumenter yang membosankan itu. Mengabaikan erangan lirih murid-muridnya yang protes, karena disuruh memperhatikan layar hitam putih di depan sana.

Satu setengah jam berlalu, Chanyeol beberapa kali menukar kakinya untuk bergantian berdiri dengan satu kaki, tak jarang jua ia bersandar di pintu, namun posisinya menegak kembali saat Jung Songsaengnim menoleh padanya.

"Berdiri dengan benar, Park Chanyeol!"

Yang ditegur mendengus, membuang pandangannya dan tidak sengaja malah bertatapan dengan salah satu temannya, Byun Baekhyun. Chanyeol menggulirkan pandangannya pada tulisan di pertengahan buku milik Baekhyun.

Ijin ke toilet, kita bolos bersama..

Chanyeol menyeringai, lantas mengangguk setuju. Ia menapak kaki kiri--yang sebelumnya ia lipat ke belakang, ke lantai. Sementara kedua tangannya beralih memegangi sesuatu yang berada di tengah-tengah selangkangannya. Wajahnya meringis, berakting sedemikian rupa agar terlihat seperti ia menahan sesuatu.

"S-saem, aku ingin ke toilet."Chanyeol membungkukkan badannya. Diikuti ringisan demi ringisan yang ia desiskan sebagai pelengkap sandiwaranya.

"Terakhir kali kau minta ijin ke toilet saat kelasku sedang berlangsung, kau membolos, Chanyeol."Jung Saem memiringkan wajahnya, memandangi anak muridnya dengan intens.

Chanyeol berdecak samar, sebelum kembali mengaduh. "Saem, aku sungguh ingin ke kamar mandi. Aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi!"keluhnya menahan gemas.

Jung Songsaengnim terlihat menghela nafas, sebelum mengalihkan atensinya pada salah satu murid teladannya. "Dongwoo-ya, bisakah kau temani Chanyeol ke toilet?"

Baru saja Dongwoo membuka mulut hendak menjawab, namun Chanyeol sudah lebih dulu menyela. "Aku tidak mau ditemani Dongwoo, Saem."

Jung Songsaengnim menghela nafasnya lagi, sebelum mengedarkan pandangannya sesaat lalu berhenti pada sosok Baekhyun yang mengangkat tangan. "Aku saja yang menemani Chanyeol ke toilet, Saem. Kebetulan aku juga ingin ke sana."ucapnya, lantas berdiri dan bergegas keluar bersama Chanyeol.

Belum genap tiga langkah mereka berjalan, suara Jung Songsaengnim membuat mereka terpaksa berhenti.

"Aku mengawasi kalian, Chanyeol, Baekhyun!"

Respon Chanyeol adalah mendengus, sedangkan Baekhyun memutar bola matanya malas. "Kau terlalu berlebihan, Saem!"

Jung Songsaengnim memicing tajam. "Jawab saja, atau aku tidak akan mengijinkan kalian ke toilet bersama."ancamnya yang lantas membuat Chanyeol dan Baekhyun menganggukan kepalanya kompak.

"Kami mengerti,"

-

Chanyeol itu tampan, begitulah jawaban Baekhyun jika ditanya apa yang membuatnya menyukai Chanyeol. Katakanlah kalau dirinya tidak normal, Baekhyun sepertinya tidak akan menyangkal hal itu. Baekhyun menyukai Chanyeol. Itu adalah faktanya. Jika ditanya apa yang membuat jantung Baekhyun berdentum hangat, Baekhyun pasti akan menjawab Chanyeol lah yang menjadi penyebabnya. Berdekatan dengan lelaki jangkung itu, Baekhyun selalu merasa aneh dengan degub jantungnya yang menggila. Awalnya Baekhyun menepis rasa itu, mungkin saja detakan kencang itu hanyalah sebuah gejolak kekaguman semata. Namun, ketika berada di tingkat akhir JHS, Baekhyun akhirnya menyadari kalau dirinya jatuh dalam pesona Chanyeol. Meskipun sempat uring-uringan karena Baekhyun masih menganggap dirinya normal, pada akhirnya ia mengakui ketidak normalannya itu. Baekhyun menyukai Chanyeol. Ah tidak, mungkin lebih tepatnya ia mencintai Chanyeol lebih dari seorang teman.

Baekhyun tersentak pelan saat mendengar langkah kaki yang mendekat. Saat ini ia berada di halte dekat sekolah, menunggu Chanyeol yang sedang membeli minuman dingin di mini market seberang jalan. Baekhyun sontak tersenyum kecil saat Chanyeol menyodorkan isotonik botol padanya.

"Kau memanjat tebing dengan mudah, tidak kusangka sama sekali."Chanyeol berkata demikian sebelum mengambil duduk di sebelahnya. Membuka botol minum miliknya dan menghabiskan isinya hingga setengah.

"Eoh, aku bisa hapkido jika kau lupa."Baekhyun merengut sebal saat kesusahan membuka penutup botol. Chanyeol yang melihat itu segera mengambil alih botol di tangan Baekhyun dan membukanya dalam dua detik.

"Aku masih ingat, siapa yang bisa lupa dengan si sabuk hitam hapkido, Byun Baekhyun? Kau bahkan meloncati barisan tujuh orang saat perlombaan kemarin."

Baekhyun menyempatkan diri meneguk sedikit airnya, sebelum menjawab. "Lalu kenapa ucapanmu terdengar meragukanku?"

Chanyeol tertawa sebentar. "Aku tidak meragukanmu, Byun."

"Tetapi hanya tidak percaya, benar begitu?"Bakhyun menyela jengkel.

Chanyeol nampak bereaksi berlebihan dengan melotot, serupa tidak percaya. "Whoa, bagaimana kau bisa tahu kalau aku akan mengatakan itu?"

Baekhyun memutar bolamatanya malas, seraya melempar pandangannya kembali ke depan. "Tertulis di wajahmu, Chanyeol-ah."

Chanyeol meringis, lantas tertawa setelahnya. "Tapi memang benar, aku hanya sedikit tidak mempercayainya."

"Kenapa begitu?"

"Tubuhmu sangat kecil, Baekhyun. Kau bahkan mirip dengan si baby smurf."

Baekhyun berdecak. "Ingin merasakan tendangan menyamping milikku, ya?"

"Aigoo, kau pemarah sekali, Byun."Chanyeol mendekatkan wajahnya pada Baekhyun, menyisakan sedikit jarak yang digunakan Baekhyun untuk mengerjap-ngerjap matanya bingung.

Chanyeol mengalihkan atensinya ke depan. "Kau itu kecil, membuatku jadi ingin melindungimu."Ujarnya dengan sebuah senyum.

Baekhyun diam, sibuk mengendalikan debar jantungnya yang sudah tidak beraturan. Kedua tangannya saling tertaut erat, menyembunyikan gugup yang berusaha keras disembunyikannya.

"Aku sama sekali tidak mempunyai tujuan untuk saat ini."Chanyeol menoleh lagi dengan wajah polosnya. "Kau bagaimana?"

Baekhyun berdehem kaku, sebelum melempar pandangannya ke depan. Hanya sebentar, sebab Baekhyun kembali menoleh pada Chanyeol. "Bagaimana kalau kita ke warnet?"

Chanyeol nampak berpikir, seringainya tiba-tiba terulas. "Mau bertanding game online?"

Baekhyun tersenyum lebar, lantas mengangguk semangat. "Call."

"Call,"Chanyeol berdiri, diikuti Baekhyun. Mereka memasuki Bus yang kebetulan singgah di sana. Setelah membayar dengan kartu transportasi, Baekhyun segera menyusul Chanyeol yang mengambil duduk paling belakang.

"Yang kalah harus menuruti permintaan yang menang, ya."ujar Baekhyun seraya menyalakan komputer di hadapannya.

Chanyeol yang baru saja datang dari kasir, membeli beberapa kaleng soda dan camilan untuk mereka berdua, mengambil duduk di box samping Baekhyun. "Tentu saja!"balasnya bersemangat. "Tidak boleh menolak meskipun permintaannya sulit, setuju?"Chanyeol menghidupkan komputernya.

"Okay, aku benar-benar tidak sabar mengalahkanmu, Chanyeol!"Baekhyun menyeringai. "Siap-siap kalah, yaa."Baekhyun tersenyum tengil.

Chanyeol mulai membuka situs permainan online di browser. Setelah me-login akun miliknya, ia menoleh pada Baekhyun. "Aku tidak akan kalah, Baekhyun. Kau tidak tahu saja seberapa hebatnya aku."

Baekhyun tidak menjawab langsung, barulah saat karakter game miliknya sudah siap untuk bertempur, ia menyodorkan kaleng soda pada Chanyeol sambil berujar. "Kita lihat saja nanti, Yeol."

Chanyeol mem-pause sebentar permainan miliknya, kemudian meraih kaleng soda milik Baekhyun dan membukanya dengan satu gerakan ringan. Ia juga membuka bungkus kemasan kacang kulit dan menaruhnya diantara sekat pembatas yang tingginya mampu menutupi sosok mereka, ah sebenarnya hanya Baekhyun. Sebab Chanyeol masih bisa memperhatikan aktivitas yang terjadi di luar warnet.

"Baek, apa kau memakai baju kaos?"

Baekhyun ikut mem-pause permainannya, menoleh pada Chanyeol sambil menggeleng. "Kenapa?"

Chanyeol menegakkan posisi duduknya demi bisa melihat dengan jelas keadaan di luar sana. "Kurasa akan ada pemeriksaan sebentar lagi. Kau tahu program kedislipinan yang baru? Mereka melakukan pemeriksaan untuk murid yang membolos di luar sekolah."jelas Chanyeol ringan. "Auh, kurasa ada Hye Ra sunbae juga di gerombolan itu."ia berdecak, lantas mengalihkan atensinya pada Baekhyun yang mulai berwajah kesal.

"Mwo? Apa-apaan tatapanmu itu?"Chanyeol mendelik tidak suka saat dilihatnya Baekhyun menggerutu kesal--mengumpat padanya.

"Kenapa kau memilih warnet di sini?!"

Chanyeol menyentak kepalanya, terlihat malas menghadapi kelakuan Baekhyun yang satu ini. "Sudahlah, aku juga baru ingat kalau Ketua Kedislipinan yang baru begitu gigih."ia menggumam malas. Melirik ke luar sekilas, Chanyeol melepas sweater berwarna abu miliknya dan menyerahkannya pada Baekhyun. "Pakailah, Baek. Kau harus menutupi baju seragam milikmu."

Baekhyun mentap Chanyeol tidak percaya. "Bagaimana denganmu?"

Chanyeol melengos, kemudian memundurkan kursinya hanya untuk bisa bersembunyi di bawah sekat meja box. Kebetulan sekali posisi mereka ada di bagian paling pojok, belakang. "Aku akan bersembunyi, kau tetaplah seperti itu. Berjagalah."

Baekhyun bersungut-sungut, kesal. "Baiklah, bersembunyilah sepuasmu. Kau mengumpankanku agar tidak tertangkap. Jahat sekali."

Chanyeol menyembulkan kepalanya, lantas tertawa halus melihat Baekhyun mengerucutkan bibirnya. "Kemarilah,"perintahnya.

Baekhyun menurut, ia merundukkan tubuhnya agar Chanyeol bisa berbisik padanya. "Aku tidak mengumpankanmu, Baekhyun."mulainya, sementara tangannya meraih tudung kepala sweater miliknya-- yang saat ini dipakai Baekhyun, lalu memasangkannya di kepala Baekhyun. "Kau jarang membolos, maka dari itu kemungkinan kau tertangkap itu kecil. Sedangkan aku, mereka akan langsung mengenaliku, Baek. Maka dari itu aku butuh bantuamu untuk mengamankan situasi. Aku akan menyelamatkanmu, jika kau tertangkap. Tenang saja."

Baekhyun terpana sejenak, wajah Chanyeol berada begitu dekat dengannya, Baekhyun bahkan bisa merasakan hembusan nafas lelaki itu yang beraroma mint. Jantungnya kembali berdentum cepat, kembali mengalirkan sensasi serupa gelanyar geli di perutnya. Ia bahkan tidak begitu menangkap penjelasan Chanyeol, seolah suara lelaki itu teredam oleh detak jantungnya yang menggila.

Baekhyun tersadar begitu Chanyeol menyentil halus keningnya. "Aish, sakit, Chanyeol!"Baekhyun merengek serupa anak kecil.

Chanyeol terkekeh lagi, jemarinya mengusap-usap dahi Baekhyun. "Aigoo, imut sekali. Apa kau benar-benar laki-laki, Baek?"

"Brengsek, kau ingin benar-benar merasakan tendangan menyamping milikku, ya?!"ia mendelik, lalu menghela nafas panjang setelahnya. "Baiklah, aku mengerti. Tapi bagaimana jika mereka mengenaliku?"

Chanyeol meraih kaleng soda miliknya, lalu menenguknya sedikit. "Auh, kenapa soda ini begitu menyengat?"ia bergumam, mengomentari soda dingin miliknya. Kemudian ia mengangkat kepalanya, memperhatikan Baekhyun. "Tenang saja, bila salah satu anak kedisiplinan melihatmu dan beranjak mendekat, kau tinggal merunduk di sampingku."

"Mudah sekali mengatakannya." Baekhyun berdecih sebal selagi menengakkan tubuhnya, ia mulai sibuk mencocokkan berbagai macam senjata pada karakter permainannya. Begitu ia mendengar suara-suara beberapa orang anggota divisi Kedisiplinan semakin mendekat, Baekhyun memajukan tubuhnya guna bisa menilik keadaan di sekitar. Matanya refleks membelalak saat mendapati Hye Ra sunbae sedang berjalan mendekati bilik miliknya. Baekhyun mengumpat seraya merundukkan tubuhnya, ikut bergabung bersama Chanyeol.

"Astaga, kau harus melihat bagaimana sangarnya wajah Hye Ra sunbae, Yeol!!"Baekhyun berseru heboh. Choi Hye Ra, senior dua tingkat di atas Baekhyun dan Chanyeol yang merangkap sebagai Ketua Kedisiplinan, terkenal karena keganasan serta ketegasannya yang tidak memandang bulu. Chanyeol saja pernah sekali kena tamparan super milik perempuan itu, menghasilkan memar yang membuat pipi kanannya bengkak dengan rona kebiruan. Penyebanya hanya gara-gara Chanyeol iseng mengedip genit pada Hye Ra. Karena itulah Chanyeol enggan mencari masalah dengan Ketua Kedisiplinan sekolahnya itu.

"Apa Hye Ra Sunbae melihatku?"Baekhyun bertanya panik, yang langsung di bungkam Chanyeol dengan cara menutupi mulutnya menggunakan tangan.

"Hsst, diamlah. Ada langkah kaki yang mendekat."Chanyeol memangkas habis jarak yang terpaut diantara mereka, belum lagi kenyataan wajah Chanyeol yang begitu dekat dengannya, membuat Baekhyun mau tak mau seketika mematikan seluruh gerakannya, takut karena bisa saja detak jantungnya mampu di dengar Chanyeol bila ia membuat satu saja gerakan kecil. Nafasnya tertahan, matanya melotot namun segera berganti menjadi kedipan-kedipan--mencerna situasi, saat Chanyeol memindah pandangannya menjadi satu dengan Baekhyun. Sial, situasi macam apa ini?! Baekhyun mengumpat dalam hati.

"Baek, kau tidak apa-apa? Kenapa pipimu terasa panas?"mulut Baekhyun masih dibekap Chanyeol, pantas saja lelaki itu bisa merasakan pipinya yang menghangat. Enggan memicu kebakaran di pipinya, Baekhyun melepas bekapan Chanyeol. Kembali mengisi paru-parunya dengan meraup oksigen sebanyak-banyaknya. "Aku hanya gugup!"balasnya berbisik pelan.

"Ah, kurasa aku tadi salah lihat."suara Hye Ra terdengar menjauh, disusul langkah kakinya yang menderap. Baekhyun dan Chanyeol kompak menghela nafasnya, lega.

"Memangnya kau tadi melihat apa, sunbae"itu suara Taekwang, Baekhyun mengenalnya karena mereka tergabung dalam paduan suara.

"Aku melihat ada orang yang memakai sweater abu, kukira itu Chanyeol."

"Orang yang memakai sweater abu, bukan hanya Chanyeol, sunbaenim."Taekwang membalas lagi.

"Ah, kau benar, Tae. Ayo pergi."

-

Waktu mulai beranjak menyentuh angka tujuh saat Chanyeol dan Baekhyun kembali ke kelas, mengambil tas mereka. Pertandingan game mereka tadi berakhir seri, yang mana skor perolehan mereka menyentuh angka yang sama. Belum lagi bintang yang mereka dapat sama-sama yang tertinggi. Sepanjang jalan kembali ke sekolah, mereka sibuk membicarakan mengenai pertandingan ulang lain kali. Juga seberapa lihai mereka memainkan game tembak-menembak, seperti pointblank. Begitu sampai di kelas, Chanyeol dan Baekhyun berpisah sebentar untuk membereskan tas mereka. Baekhyun selesai lebih dulu, dan segera mendekati Chanyeol.

"Ada yang ingin kukatakan padamu, Yoda."

Chanyeol masih fokus pada tasnya, namun ia tetap menjawab. "Katakan saja,"

Baekhyun terlihat ragu, tapi ini adalah kesempatan terakhirnya untuk bisa menyatakan perasaanya. Persetan dengan kenyataan mereka adalah laki-laki, memangnya cinta memandang gender?

"Yeol, lihat aku."

Merasa nada suara Baekhyun berubah, Chanyeol menghentikan kegiatannya untuk kemudian menatap Baekhyun bingung. "Ada apa, Byun Baekhyun?"

Baekhyun menarik nafasnya, panjang. Sebelum akhirnya berujar. "Aku menyukaimu, Yeol."

Chanyeol diam, sibuk mencerna arti perkataan temannya itu. "Aku juga menyukaimu, Baek."senyum Baekhyun terkembang mendengar hal itu.

"Kau teman yang baik."

Senyum Baekhyun sontak pudar, tergantikan wajah sendunya yang memelas. "Bukan seperti itu, Chanyeol."

Ada kerutan samar di dahi lelaki jangkung itu, kepalanya bahkan memiring bingung. "Bukan seperti itu, apanya? Kau memang teman yang baik, Byun."

Mata Baekhyun mulai terasa panas, kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuh. "Aku mencintaimu, Chanyeol.."

Chanyeol mengangguk-anggukan kepalanya mengerti, lantas detik berikutnya setelah ia sadar apa makna dari ucapan Baekhyun, ia langsung melotot tajam. "Kau gila, Baekhyun!!"nada suara Chanyeol meninggi, cukup membuat Baekhyun terkesiap karenannya.

"C-chanyeol.."

"Kau aneh Baekhyun!"Chanyeol mengeraskan wajahnya. "Kau juga gila, bagaimana mungkin kau menyukaiku sebagai lelaki, sialan?!"

Baekhyun tersenyum pahit, wajahnya kian menyendu. "Silakan kau benci aku, Yeol. Aku pantas mendapatkannnya."ada jeda di sana, Baekhyun sendiri mendongkak dan menghapus kasar air matanya yang sempat turun, ia tidak mau terlihat lemah, lebih dari ini. "Selamat tinggal."setelah mengatakan itu, ia berbalik bersiap pergi dari sana.

"Buang jauh-jauh perasaan bodohmu itu, Baek!"

Baekhyun tersenyum tipis, tanpa menjawab ia tetap berjalan menjauh hingga sosoknya hilang dari pandangan Chanyeol.

Entah apa yang salah, yang jelas Chanyeol merasa ada bagian hatinya yang terasa tercubit pedih.

Begitu pula Baekhyun yang lebih dulu beranjak dari sana, sebentuk rasa yang ia simpan untuk Chanyeol di sudut hatinya, terasa begitu pedih hingga meretakkan rasa itu. Bayangan wajah Chanyeol yang mengeras tadi terbayang lagi, menghancurkan Baekhyun hingga titik terendah.

-

Baekhyun tersadar dari lamunannya ketika ponsel di saku celananya berdering. Nama Jongdae tertera di layar, Baekhyun berdecak kecil sebelum mengambil handsfree yang ada di saku jaket. Memasang di telinga kanannya lebih dulu, sebelum menyalakan on. Baekhyun menyimpan ponselnya kembali di saku jaket, dan selanjutnya terdengar pekikan suara Jongdae dari seberang sambungan sana.

"Baekhyuniee, apa kabarmu di sana? Aku sungguh sangat merindukanmu,"disusul dengan isak palsu yang mana berhasil membuat Baekhyun kegelian.

"Kau berlebihan, Jongdae-ya."Baekhyun mendayukan suaranya, ia juga tidak mau menutupi kalau ia juga merasa rindu pada rekan sekaligus sahabatnya itu. Hanya Jongdae lah yang selalu ada di sampingnya ketika ia terpuruk dulu. Mendukungnya untuk bisa bangkit, dan juga berperan banyak sebagai moodboosternya.

"Kembali, Baek,"Jongdae merengek. "Aku sungguh akan ikut menjadi gila, jika mengurusi semua pasien gangguan kejiwaan yang ada dalam daftar, Baek."Di Jepang, seusai Baekhyun dan Jongdae lulus jenjang Strata 2, jurusan Psikolog, mereka berdua sepakat untuk mengelola sebuah klinik konsultan kejiwaan di Negeri Sakura itu. Terhitung semenjak klinik itu dibangun hingga sekarang memasuki tahun ke-dua, hanya ada mereka berdua sebagai ahli psikiaternya, juga empat orang adik tingkat mereka yang berkerja paruh waktu di sana. Mengingat selama kurun waktu dua tahun klinik mereka semakin banyak menerima daftar konsultan, adalah hal yang wajar jika Jongdae kelimpungan mengurus daftar-daftar pasien klinik seorang diri.

"Belum genap lima jam aku sampai di Korea, Dae. Kau yakin ingin memintaku pulang?"

"Hhh, sudahlah. Bersenang-senang--"

Netra Baekhyun memicing memperhatikan seorang pemuda yang memakai seragam sekolah SMA Myunghee, tengah berdiri terpaku dengan tatapan yang lurus pada sebuah kejadiaan yang ada di seberang gerbang sekolah. Sosoknya tak jua beranjak sedikitpun ketika siswa-siswi lain yang keluar dari sekolah menabraknya. Perlahan tubuhnya mulai bergetar, sementara kabut kepanikan bergerumul di netranya. Sosok itu berdiri tak jauh dari posisi Baekhyun saat ini berada, maka dari itu setiap pergerakan aneh yang pemuda itu buat, Baekhyun langsung bisa membacanya.

"HELLO, BAEKHYUN.. KAU MASIH DI SANA?!!"

Baekhyun dengan cepat menutup pintu mobil, berjalan tergesa mendatangi sosok pemuda yang ia duga sedang terserang sebuah trauma. Barulah ketika ia sampai di depan pemuda itu, Baekhyun menjawab Jongdae dengan kepanikan yang sama.

"Jongdae, sekarang ada siswa yang kuduga tengah terserang Panic Disorder! Ada sebuah kejadian yang ia lihat sehingga memicu Panic attack nya."

"Kau yakin, Baek?"

"Dari gejala yang dialaminya saat ini, ya."

"Bawa ia menjauh lebih dulu, Baek! Setelah itu tenangkan ia. Kau harus menyadarkannya untuk bernafas."

Baekhyun segera membawa siswa tadi untuk menjauh, dipeluknya sosok bergetar itu dengan erat. Selagi sebelah tangannya memberikan elusan menenangkan pada punggung, mulutnya terus bergumamkan sesuatu, seperti menyuruh siswa itu untuk tenang dan menarik napasnya dengan benar.

"Jongdae, ini tidak berhasil! Aku harus bagaimana lagi?"Baekhyun semakin cemas, biar bagaimanapun serangan Panic Attack akan sangat membuat penderitanya tersiksa. Menghadapi langsung kejadian seperti ini, Baekhyun sendiri sebagai psikiater tidak mudah untuk bisa bersikap tenang. Karena biar bagaimanapun, Baekhyun dulu pernah merasakannya.

"Dia mulai mengalami Palpitasi jantung* juga Cold flashes*"Baekhyun tanpa sadar berteriak ketika memeriksa denyut jantung dan suhu tubuh siswa tadi. Wajah siswa itu berubah pucat, juga terasa mendingin.

"Baekhyun, tenangkan dirimu!"Jongdae memperingati. Lantas dirasanya Baekhyun sudah mulai bernafas tidak seberantakan sebelumnya, ia melanjutkan ucapannya.

"Tatap matanya dan beri ia ketenangan dengan kata-kata, Baek. Sadarkan dia."

Baekhyun mengangguk mengerti, netranya melirik name tag, dan matanya membelalak kaget saat membaca nama siswa itu. "Lu-luhan.."

"Baek, apa yang kau lakukan. Cepat tangani dia!"suara Jongdae meninggi.

Yang dilakukan Baekhyun adalah tersentak, tersadar dari lamunanannya. Pelukan ia longgarkan, dengan niatan ia ingin memberikan kontak mata langsung, namun yang terjadi selanjutnya malah tubuh Luhan yang terlalu lemas, terjatuh bersimpuh. Baekhyun ikut berjongkok, sementara tangannya memegang bahu Luhan dengan sedikit kencang. Lurus tatapannya bersitatap dengan netra Luhan yang berlarian ke sana-kemari. "Luhan, dengarkan aku,"ia memulai dengan suara bulat, namun selembut sutera. "Semua akan baik-baik saja, ini bukanlah apa-apa. Kau bisa melewatinya, Luhan. Bernafaslah, hyung mohon."tanpa sempat ia sadari, air yang tadinya menggenang di sudut matanya, menetes satu-persatu. Baekhyun juga tidak mau menyangkalnya, bahwa sekarang ia sedang benar-benar kalut. Terlebih, yang sedang coba ia tenangkan sekarang adalah orang yang ia kenali betul.

Perlahan, bulat netra Luhan yang tadinya bergerumul cemas, memaku lurus balas menatap Baekhyun. Kemudian terpejam ketika yang lebih tua membawa sebelah tangannya untuk membelai lembut pipinya. Berangsur-angsur nafas Luhan mulai benar, meskipun getar tubuhnya masih ada. "K-kau.."ia coba berbicara, meskipun terbata.

"Hmm, kau sudah melakukan yang terbaik, Luhan. Ini bukanlah apa-apa.."Baekhyun tersenyum, masih dengan air mata yang berjatuhan. Isakannya lolos, merasa begitu lega saat Luhan sudah lebih baik. Ketegangan juga kalut yang memenuhinya sejak awal, mulai luntur hingga membuat sendi-sendi kakinya lemas. Baekhyun terduduk, sementara hatinya mulai berdenyut dengan perasaan lain. Serupa perasaan rindu juga takut. Mengapa harus secepat ini?

"Baekhyun, kau baik-baik saja?"Baekhyun bahkan sampai lupa dengan sambungannya dengan Jongdae.

Lantas katanya, masih dengan diiringi isak tangis. "A-aku tidak baik-baik saja, Dae.."

"Baek hyung.."

Panggilan pun suara yang sudah sangat lama tidak ia dengar itu, menarik atensi Baekhyun untuk saling bertatapan. Senyumnya terulas, meskipun nampak aneh dengan ia yang masih menangis. "Kau sudah melakukan yang terbaik, Luhan."

"Kau kembali, hyung."

Baekhyun menghapus air matanya, juga masih dengan mempertahankan senyum ia menjawab. "Hmm, Baek hyung kembali, Luhan."

Belum sempat Luhan menjawab, sebuah suara datang dari arah lain, memanggil yang lebih tua. Sontak keduanya menoleh bersamaan dan menemukan sosok dengan balutan seragam yang sama dengan yang lebih muda berlarian mendekat. "K-kau pulang, hyung?"

"Baek, apa kau ingat aku?"Jongdae menyela, oh ayolah.. Sementara ia di Jepang sana khawatir setengah mati karena tiba-tiba sahabatnya menangis. Tapi sekarang, ia malah diabaikan eksistensinya. Apa lagi yang bisa lebih menyebalkan dari ini?

"Jongdae, maafkan aku.. Ada dua orang yang mengajakku bicara--oh tiga, dengan kau."

Di seberang sana, Jongdae hanya bisa mendengus.

Sosok yang berlarian tadi kini ikut berjongkok diantara mereka, sementara netranya menyorot tajam pun tersirat tidak suka pada Luhan yang juga balas menatap demikian. Baekhyun menyerengit, kemudian terkekeh saat menyadari aura permusuhan yang saling mereka berdua bagi. "Dae, tahu tidak apa yang lucu?"

"Apa?"Jongdae menyahut ketus.

"Adikku dan juga adiknya mantan sahabatku saling melempar tatapan benci sekarang, di hadapanku."serunya geli.

"Adikmu, Sehun?"Baekhyun mengiyakan.

"Lalu adik mantan sahabat, yang kau maksud it--"

"Hmm, adiknya Chanyeol."Baekhyun menjawab langsung. Sementara netranya tak lepas memandangi Sehun dan juga Luhan yang mulai bertukar adu mulut. Ketika ia dengar adiknya melontarkan makian, refleks tangannya terulur untuk menyentil keras dahi Sehun.

Luhan tertawa mengejek, sedang Sehun beralih menatap hyungnya dengan protes tertahan juga kerucutan bibir. "Ini sakit, hyung.."Sehun berseru manja.

"Jangan mengumpat, oke."Baekhyun memperingati, kemudian atensinya beralih kembali pada Jongdae.

"Kau baik-baik saja, Baekhyun?"suara Jongdae terdengar mengkhawatirkannya.

"Sejauh ini, iya. Hanya tinggal berharap semoga tidak bertemu dengannya saja."Baekhyun baru tersadar, kalau dari tadi itu posisi mereka bertiga adalah terduduk di trotoar. Bodohnya lagi, Sehun juga melakukan demikian saat ia datang tadi. Lantas Baekhyun bangkit, mengulurkan masing-masing tangannya untuk membantu Sehun dan Luhan berdiri. Mereka berdua masih bersiteru, malah kini saling bertukar ejekan yang tidak dimengerti oleh Baekhyun sama sekali.

"Dan berubah jadi mimpi buruk, tentu saja. Kuharap dia tidak tiba-tiba datang untuk menjemput adiknya, Baek."

"Semoga saja tidak. Dae, ku tutup du--"baru saja Baekhyun berniat berpamitan sebelum menutup sambungan, taunya ada sebuah suara berat memanggil Luhan--yang sialnya sangat ia kenali, datang dari arah belakang. Baekhyun sontak menegang, ucapannya terhenti, seperti tertelan begitu saja. Netranya menyorot was-was, bimbang memenuhi hatinya saat langkah orang itu tergesa menghampiri mereka. Haruskah ia berbalik lalu menyapanya dengan berhiaskan senyum di wajahnya, atau langsung menarik tangan Sehun untuk segera menjauh dari sana?

Sementara Baekhyun masih kebingungan akan bimbangnya, taunya Luhan melambai dengan ceria dan balas memanggil untuk segera mendekat. Persetan dengan sambutan, nyatanya Baekhyun belum siap dengan pertemuan tiba-tiba mereka yang bahkan belum sampai waktu enam jam sejak ia tiba di Seoul. Tangan Sehun ia gapai, lantas buru-buru menariknya untuk menjauh.

Satu langkah, dua langkah.. Hingga tangan lain meraih pergelangan tangan Baekhyun untuk menahan langkahnya. Suara berat itu kembali terdengar, dan nafas Baekhyun tertahan saat ia sadar kalau ucapan orang itu tertuju padanya.

"Baekhyun, kau kah itu?"

Luhan memekik mengiyakan, sedang Sehun melirik tak suka pada tangan yang menahan pergelangan hyungnya. Pegangan tangan Baekhyun pada Sehun belum terlepas, dan satu tangannya yang lain saat ini tengah ditahan oleh orang yang paling ia hindari untuk bertemu.

Diantara ketegangan dari kekalutan Baekhyun, keterkejutan Chanyeol, dan ketidaksukaan Sehun, yang lebih mungil taunya berbisik pada orang yang masih tersambung dalam panggilan. "Jongdae, ini berubah menjadi mimpi buruk."ujarnya dengan lirih.

"Baek, persetan dengan itu. AKU TIDAK SADAR KALAU MENELEPONMU MENGGUNAKAN PANGGILAN INTERNASIONAL. ARGH, KENAPA AKU BISA MELUPAKAN ITU!!"Jondae berteriak nyaring, sampai-sampai membuat Baekhyun tersentak juga tatapan Sehun yang merambat naik memperhatikan sesuatu yang mengeluarkan suara serupa keluhan di telinga Baekhyun.

"YAK, BAJINGAN.. KUBILANG MIMPI BURUK SUNGGUH SEDANG TERJADI SAAT INI.."Baekhyun balas memekik nyaring, juga mengumpat.

Drama macam apa yang terjadi sekarang ini?

Baekhyun bergantian menatap pada Luhan yang mengerjap-ngerjap polos, Sehun yang menatap padanya dengan ekspresi tak terbaca, juga melirik Chanyeol yang masih menampilkan wajah kaget dan ada siratan rindu bercampur kecewa di wajahnya.

"Kau sialan, itu kalah penting dengan tagihan panggilanku yang membengkakdan Jongdae masih membahas tentang tagihan panggilan Internasional yang ia gunakan.

Drama sialan!

Sentilan pelan di dahi membuat Baekhyun tersadar dan segera tatapannya pada Sehun. "Yak, Byun Sehun, ini sakit.."ia mengeluh dengan suara merengek.

"Hyung, jangan mengumpat, oke."Sehun mengembalikan ucapan Baekhyun sebelumnya tentang tidak boleh melontarkan kata-kata kotor.

Oh ayolah, ini bahkan belum genap seperempat hari terlewati, tapi lihat apa yang sudah terjadi? Bertemu dengan Luhan yang sedang dalam keadaan terserang Panic Disorder. Juga bertemu dengan Chanyeol--orang yang paling ia hindari, setelahnya. Jangan lupakan Jongdae yang berteriak mengeluh padanya, tentang tagihan panggilan Internasional yang ia lakukan membengkak, dan yang terakhir adalah sentilan keras--yang sebenarnya adalah pelan, diberikan oleh Sehun padanya.

"Jongdae, aku ingin pulang saja.."

"Persetan dengan kau yang ingin pulang, kumatikan."adalah kata terakhir Jongdae sebelum sambungan terputus.

TBC

Ps:

- Panic Attack: Adalah sebuah gelombang kecemasan dan ketakutan yang luar biasa. Serangan ini umumnya dipicu oleh suatu situasi spesifik (yang membuatnya mengalami trauma), atau jikaorang tersebut memiliki fobia atas situasi pemicu serangan paniknya. Biasanya, situasi pemicu panik adalah salah satu kondisi di mana anda merasa terancam bahaya dan tidak dapat melarikan diri

- Panic Disorder: Panic attack yang berlangsung berkali-kali disebut panic disorder. Penderitanya akan merasa ketakutan terhadap serangan kepanikan berikutnya. (Ada dalam sebuah dialog antara Baek dan Jongdae, aku bilang kalau Baek sedang menduga kalau Luhan sedang terkena Panic Disorder. Maksudku begini, Panic Attack mungkin hanya terjadi satu kali dalam seumur hidup, namun banyak orang yang harus menjalani kehidupannya dengan ketakutan bahwa serangan panik akan tiba-tiba datang lagi. Dan dari penjelasan yang aku tangkap, Panic Disorder adalah serangan Panic Attack yang berulang kali yang umumnya dipicu oleh suatu situasi spesifik; dan semoga kalian mengerti kalau aku mencantumkan juga spesifikasi gejala yang dialami Luhan.

- Palpitasi jantung: detak jantung berdebar keras.

- Cold flashes: peningkatan/penurunan suhu tubuh mendadak, di daerah dada dan sekitar wajah.

A/n:

Kalo ada kesalahan dalam penulisan, atau ada penjelasan yang salah, aku harap kalian bisa kasih tau aku.. thank u

Review juseyo~