AN: Salam kenal. Saya ini adalah lurker lama di FF-net, yang baru saja kembali aktif di fandom NaruHina. Sudah sejak dulu menjadi fans NaruHina sebenarnya, tetapi, baru sempat membaca secara maraton manga Naruto dan menonton beberapa episode animenya, kira-kira 2 bulan yang lalu. Saya tidak menonton Boruto, tetapi sesekali membaca berita tentang perkembangannya. Saya mencoba membuat cerita ini seorisinal mungkin, tetapi mohon maaf kalau dirasa ada yang tidak pas.
Fiksi ini sebisa-bisanya menggunakan Bahasa Indonesia, tetapi suffiks dalam Bahasa Jepang tetap dipakai karena sulit dicari padanan katanya yang pas. Begitu juga dengan beberapa istilah.
Akhir kata, selamat membaca!
Disclaimer: Naruto adalah mahakarya Masashi Kishimoto.
Bab I
Permasalahan
.
.
Mentari tampak rendah di ufuk barat, meninggalkan semburat jingga kemerahan pada langit cerah sore itu. Tampak kereta kuda berjalan perlahan memasuki sebuah desa kecil terakhir di wilayah negara Suna. Pedagang dari Konoha itu sedang dalam perjalanan pulang setelah menyelesaikan transaksi dengan mitranya. Di sisi kiri dan kanan kereta itu, tampak beberapa pelayan sang pedagang berjalan mengiringi kereta, sedangkan satu orang kusir duduk di depan dan mengendalikan kereta. Pada sisi terluar rombongan tersebut, dua orang Jonin Konoha, berjalan sambil memerhatikan kondisi sekitar.
Jun dan Garo (*), adalah dua orang Jonin baru yang mendapatkan misi pertama sebagai pengawal rombongan ini. Setelah bertukar pandang dengan rekannya, Jun mendekati kusir kereta untuk menghentikan kereta itu.
"Kenapa kita berhenti?!" ujar sang pedagang dengan ketus.
"Tuan, hari sudah mulai gelap. Mengingat kondisi keamanan akhir-akhir ini, sebaiknya kita berhenti dulu di desa ini, dan kembali melanjutkan perjalanan esok hari," Jun menjelaskan dengan sopan.
"HAH?! Itulah gunanya aku membayar mahal kalian! Aku tidak bisa menyia-nyiakan waktu! Lanjutkan perjalanan!" perintahnya dengan pongah.
"Tapi, Tuan…"
"Tidak ada tapi! Atau kalian mau kupecat di sini saja, dan aku akan mencari pengawal lain?" ancamnya lagi.
"Baik, Tuan," Jonin itu akhirnya mengalah. Hokage mengatakan bahwa keselamatan klien adalah misi utama yang harus dipenuhi. Meskipun dirinya sedikit kesal dengan ancaman tersebut, setidaknya ia sudah mencoba membujuk kliennya. Apabila klien berani mengambil resiko, maka ia dan rekannya hanya bisa meningkatkan kewaspadaan dan memastikan kliennya tiba di Kohona dengan selamat. Status Jonin mereka berdua dipertaruhkan di sini.
Kereta pun kemudian melanjutkan perjalanan.
.
.
Bulan sabit tampak malu-malu mengintip dari ufuk timur, menambah keindahan langit penuh bintang malam itu. Udara kering dan dingin padang pasir pada malam hari, bukanlah hal yang bisa diremehkan. Untungnya, jubah pelindung yang dikenakan rombongan itu dapat mempertahankan rasa hangat, sehingga kereta tetap dapat bergerak menuju lokasi tujuan. Di kejauhan, mulai tampak adanya pepohonan, yang berarti rombongan sudah mencapai daerah tepian gurun.
Tiba-tiba Garo mengangkat tangannya, memberi isyarat agar kusir menghentikan laju keretanya. Ia memicingkan matanya, dan memandang ke arah bayangan-bayangan pohon di depannya.
Pedagang yang terbangun karena berhentinya kereta, kembali bertanya dengan kasar, "Kenapa kita berhenti lagi, HAH?!"
"Ssh… tunggu sebentar, Tuan," jawab Jonin tersebut, tanpa memindahkan pandangannya. Tangannya secara otomatis bergerak mendekati kantung kunai yang terikat di tungkai kanannya.
"Apa mak-…."
TRANG!
Sang pedagang tak sempat menyelesaikan kalimatnya, ketika tiba-tiba ada percikan api akibat beradunya dua senjata logam, tepat di depan matanya.
"Hiy….HIIIYY!" teriak pedagang itu ketakutan. Ia pun meringkuk gemetar sambil menutupi tubuhnya dengan jubahnya. Di sekitarnya, para pelayan meringkuk merapatkan diri di sekitar kereta, sementara kusir kereta berusaha menenangkan kuda-kudanya.
Garo kemudian melemparkan beberapa shuriken ke arah bayangan 'pohon' di depannya. Dan sesuai dugaan, salah satu bayangan 'pohon' itu bergerak menghindar ke samping, dan kemudian melesat maju menuju rombongan. Dengan menggenggam kunai di tangan kanannya, Jonin itu pun melesat maju untuk menghadang penyerang.
"Awas, di bawah!"
Mendengar teriakan rekannya, secara cepat Garo melompat ke atas, menghindari gundukan pasir yang tiba-tiba muncul di jalurnya. Dari gundukan tersebut tiba-tiba terlontar beberapa shuriken, yang dengan sigap ditangkis olehnya.
Jun melesat maju menghantam gundukan pasir di depannya. Akan tetapi, gundukan itu hilang. Merasakan adanya bahaya di depan, secara refleks Jun menghindar berputar ke sisi kanan, tetapi ia kemudian merasakan nyeri pada pipinya akibat goresan kunai lawan. Mengabaikan rasa nyeri, Jonin itu menggunakan momentum pergerakannya dan kaki kanan sebagai poros untuk melancarkan tendangan berputar ke arah penyerang. Kakinya kemudian menghantam lengan lawan yang dipakai untuk menangkis. Lawannya terlontar, dan kemudian melakukan salto ke belakang untuk menghindari lemparan senjata Garo.
Kedua Jonin Konoha itu berdiri bersebelahan sambil mengatur adrenalin yang terpompa di tubuh mereka, berhadap-hadapan dengan satu musuh. Bukan. Gundukan pasir perlahan terbentuk di sebelah musuh itu, yang kemudian berubah bentuk menjadi manusia.
Dua orang.
Setelah dapat melihat musuhnya dengan jelas, tampak bahwa perawakan keduanya tidak terlalu tinggi, dan relatif kurus. Kemungkinan besar, musuh yang berdiri di depan mereka ini masih usia belasan tahun saja. Jun dan Garo sepakat, bahwa mereka harus menyelesaikan gangguan ini secepatnya.
Garo melirik sebentar ke arah rombongan yang dikawalnya. Mereka berdua tahu, bahwa prioritas mereka adalah keselamatan klien. Keduanya mengkalkulasikan tiap-tiap rencana perlawanan dengan memasukkan perhitungan bahwa mereka tidak boleh bertarung terlalu dekat dengan rombongan, tetapi tidak boleh juga terlalu jauh.
"UWOOOOHHH!" tiba-tiba kedua musuh itu berteriak. Tubuh mereka seketika tampak sangat berotot dan berselimutkan cakra yang sungguh-sungguh kasat mata. Tidak main-main, kedua Jonin itu bahkan dapat merasakan luapan tekanan hawa membunuh yang luar biasa, yang secara tiba-tiba muncul dari lawan-lawan mereka.
"Gawat…. kalau begini…"
Kedua lawan itu tiba-tiba melesat dengan kecepatan tinggi, ke arah rombongan.
"LARII!" teriak Garo kepada kusir kereta dan rombongan pelayan, sambil kedua Jonin melesat maju untuk menghadang serangan.
Suara jeritan dan cipratan darah yang beradu dengan dentingan senjata logam adalah hal-hal yang kemudian memecah keheningan padang pasir malam itu.
.
.
Dua manusia berdiri sambil tertawa terbahak-bahak di sekitar jenazah rombongan yang sudah tercerai berai. Salah satu dari mereka bahkan masih memegang kunai yang meneteskan darah segar.
"Lihat, Kakak! Kekuatan ini memang luar biasa. Bahkan level Jonin Konoha pun bukan tandingan kita! HAHAHAHA!" salah satu bayangan itu tertawa sambil menginjak kepala Jun yang sudah tak bernyawa.
"Kau benar. Aku benar-benar tak menyangka. Kekuatan ini begitu nyaman. Dengan begini, tidak akan ada yang menganggap kita orang gagal. Tidak bisa. Tidak boleh!" jawab sang kakak. Sorot matanya tampak mengerikan dan penuh dengan dendam.
"Kita akan memastikan, mereka yang pernah meremehkan kita, akan merasakan balasannya," tambahnya lagi sambil tersenyum licik.
"TENTU SAJA! KITA AK-… uugghh….."
"Hmm? Bilang apa, dik?" sang kakak menoleh ke arah adiknya, sebelum matanya terbelalak.
Di hadapannya, tubuh adiknya membungkuk, dan akhirnya jatuh berlutut.
"Hei… hei… kau kenapa?" tanyanya panik, sambil memegang pundak adiknya itu.
"Uuuggghh… Aarrgghh….!" Tangan adiknya menggenggam dadanya, dan tampak sangat kesakitan. Tak lama kemudian, tubuhnya mulai membesar secara tidak beraturan. Terus membesar bergelembung-gelembung. Dada. Lengan. Wajah. Tungkai. Pembuluh darah tampak menonjol di seluruh tubuhnya. Gelembung-gelembung itu tampak berdenyut-denyut dan berwarna kemerahan.
"Kak… to… long…"
"Hei?! Apa yang terjadi?!" sang kakak jatuh terduduk. Wajahnya kini menunjukkan raut amat ketakutan. Tubuhnya gemetar. Akan tetapi, ia pun tiba-tiba merasakan rasa sakit dan panas terbakar, dimulai dari daerah sekitar perutnya, kemudian menyebar ke seluruh tubuhnya. Rasa sakit yang luar biasa itu membuatnya membungkuk dan mencengkeram perutnya.
"Ap-…. Apa ini?"
Tak lama kemudian, tubuhnya pun mulai membengkak, bergelembung tak beraturan. Sampai kemudian….
JRASSHH!
Darah mereka terciprat ke segala arah. Tubuh keduanya hancur berkeping-keping. Tidak berapa lama, kepingan-kepingan tubuh mereka hancur menjadi abu. Yang tersisa dari mereka hanyalah potongan-potongan pakaian, dan pelindung kepala bergambar menyerupai jam pasir.
.
.
Kira-kira 500 meter dari lokasi kejadian, tampak sesosok bayangan duduk di salah satu dahan pohon yang tinggi. Sosok ini menghela nafas panjang dan menggelengkan kepalanya.
"Sekali sampah…. Tetaplah sampah," ujarnya pelan, "Yah, setidaknya mereka sempat berguna untuk eksperimen O-sama," tambahnya lagi, sambil menuliskan sesuatu pada lembaran buku kecil yang dipegangnya. Tak lama, ia pun melompat dari dahan ke dahan, lalu menghilang di tengah gelapnya hutan.
.
.
Suasana di gedung kantor Hokage desa Konoha malam itu tampak sepi. Cahaya lampu hanya tampak menyala dari ruangan kantor tempat Hokage mengerjakan tugas-tugasnya. Naruto Uzumaki, Hokage ketujuh desa Konoha, masih tampak menyusun kertas-kertas di meja kerjanya yang tampak menggunung di setiap sudut meja itu.
"Ok, perjanjian kerjasama dengan desa Kumo sudah selesai. Persiapan akomodasi untuk ujian Chunin bersama sudah selesai. MOU pengadaan bahan pangan pokok untuk satu tahun ke depan sudah selesai. Susunan anggaran belanja untuk divisi ANBU sudah selesai. Usulan-usulan pengadaan senjata baru sudah selesai direvisi. …"
Pria berambut pirang itu terus bergumam sambil meyusun tumpukan-tumpukan kertas di tempat-tempat yang sesuai urutannya.
"Naruto?"
Hokage itu mendongak ke arah pintu, dan mendapati pria yang saat ini menjabat sebagai penasihat Hokage, sekaligus sahabatnya, Shikamaru Nara, sedang berdiri di ambang pintu sambil memegang selembar kertas.
"Kau belum pulang juga, Naruto?" tanya pria berambut hitam itu sambil menaikkan alisnya.
"Sedikit lagi selesai, Shikamaru. Kau mencariku?"
"Tidak sebetulnya. Aku hanya ingin melihat beberapa laporan kejadian lama," jawabnya sambil menuju ke salah satu lemari di kantor Hokage itu.
"Oh…. Hmm…. Laporan apa itu yang kau bawa?" tanya Naruto, ketika melihat bahwa temannya memegang selembar kertas.
"Ini? Ah… ini…. Bukan apa-apa," ujarnya sambil terus mencari-cari berkas di rak demi rak.
"Kalau dibilang seperti itu 'kan jadi membuat penasaran," pikir Naruto sambil tersenyum jahil, lalu dengan cepat menghampiri Shikamaru dari arah belakang dan merebut kertas yang dipegangnya.
"HEI! Sudah kubilang ini bukan…."
Naruto membaca dengan cepat baris demi baris kalimat pada kertas itu dengan mata terbelalak, "Apa ini? Serangan terhadap rombongan pedagang, yang menewaskan semuanya termasuk dua orang Jonin kita? Bagaimana bisa kau bilang ini bukan masalah apa-apa, Shikamaru?!" tanyanya dengan kesal.
Temannya itu menghela nafasnya, "Naruto…. Sudah berapa hari kau tidak pulang?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Shikamaru. Kapan berita ini sampai di tangan kita? Kapan kejadian ini terjadi?"
Shikamaru menggelengkan kepalanya perlahan, sebelum akhirnya mulai bercerita, "Berita ini baru saja diterima. Tim dari Suna yang menemukan mereka, dan mengirimkan pesan kepada kita. Melihat dari kondisi ketika ditemukan, kelihatannya mereka tewas sekitar 2 hari yang lalu. Hanya saja, selain jenazah korban, mereka juga menemukan sisa-sisa pakaian, yang diduga sebagai pelaku penyerangan, yang sepertinya menggunakan pelindung kepala dengan lambang desa mereka…."
"Shinobi Suna menyerang rombongan dari desa kita? Tidak mungkin! Atas dasar apa?" Dahi Hokage ketujuh itu berkerut, dan ia membuka mulutnya berniat menyela penjelasan temannya, tetapi segera berhenti begitu melihat temannya itu mengangkat sebelah tangannya.
"Dan sebelum kau mengatakan apa-apa untuk membela mereka, Kazekage sudah menyatakan akan menyelidiki kejadian ini secepatnya. Kelihatannya hal ini murni kriminal. Sebagai bentuk kepercayaan kita kepada desa Suna, aku juga akan segera menyiapkan tim penyelidik dari kita, untuk segera berangkat ke sana, membantu penyelidikan agar tidak sampai terjadi kesalahpahaman."
"Tetapi," lanjut pria berambut hitam itu lagi, "Dengan ditemukannya pelindung kepala itu, entah mengapa, aku merasa kejadian-kejadian penyerangan ini, dan beberapa kejadian hilangnya genin kita selama 2 tahun terakhir, saling berhubungan."
"Maksudmu kejadian penyerangan rombongan peneliti puing-puing di utara desa kita, penyerangan tim yang sedang berlatih, dan hilangnya Genin kira-kira 4 bulan, serta 1,5 tahun yang lalu itu?"
"Ya. Karena kejadian serupa juga sepertinya terjadi di desa-desa lain. Kalau dilihat secara terpisah, waktu antar kejadian memang terpaut jauh, sehingga selama ini kita menganggapnya sebagai kejadian-kejadian yang berbeda. Akan tetapi, kemungkinan, kalau kita kumpulkan dan urutkan sebagai satu rangkaian kejadian besar, mungkin saja akan terbentuk pola-pola tertentu yang bisa kita….." Shikamaru berhenti bicara ketika melihat wajah berpikir keras pria berambut pirang di depannya. Bila diperhatikan lebih lanjut, bahkan bisa tampak kepulan asap mulai menguap dari kepala pirangnya, menunjukkan putaran gerigi otaknya mulai kelebihan beban.
"Yah…. Karenanya aku mau mengumpulkan berkas-berkas kejadian itu, untuk kupelajari lebih lanjut," tambah pria rambut hitam itu dengan nada iba, "Nanti kesimpulannya akan kusampaikan dengan sesederhana mungkin."
Naruto menunjukkan wajah lega, lalu tersenyum lebar, "Ah! Apa jadinya aku tanpa dirimu, Shikamaru!"
Pria berambut hitam itu menghela nafas dan memutar matanya, "Sungguh merepotkan," lalu ia kembali menatap wajah pahlawan perang dunia shinobi keempat itu, "Jadi…. Kenapa kau masih belum pulang juga, Naruto?"
"Hahahaha…. Yah, aku 'kan tidak sepintar dirimu, Shika, dan kertas-kertas ini terus berdatangan….. kalau aku tidak terus mengerjakannya, kertas-kertas ini tidak akan pernah selesai dikerjakan, dan kehidupan desa bisa terhambat," cengirnya lagi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Karena itulah aku mengatakan agar kita mencari pekerja administrasi untuk membantumu."
"Jangan! Menjadi Hokage adalah impianku, karenanya aku harus menyelesaikan semua ini dengan bertanggung jawab," jawabnya sambil mengepalkan tangan.
"Tapi, keluargamu juga membutuhkanmu 'kan?"
"Dengan menjadi Hokage, seluruh desa ini sudah menjadi keluargaku," jawabnya lagi dengan wajah bangga.
"Bukan itu maksudku, memangnya kau tidak kangen dengan istri dan anak-anakmu?" tanya Shikamaru sambil menaikkan sebelah alisnya.
Tiba-tiba bahu Naruto membungkuk, lalu dengan mata bulat dan berkaca-kaca secara komikal menatap rekannya, dan dengan suara memelas ia menjawab, "Tentu saja aku kangeeeennn…."
"Jadi kenapa…."
"Mereka selalu mendukungku!" ujar Hokage itu dengan mata berbinar-binar, kemudian ia melompat ke belakang meja kerjanya, mengambil bungkusan kotak bekal, dan mengusap-usapkan wajahnya pada kotak tersebut, "Lihat…. Bekal luar biasa buatan Hinata selalu menyemangati hari-hariku…," ia lalu menunjuk beberapa berkas di sudut mejanya, "Boruto juga berhasil menyelesaikan misi-misinya dengan baik, meski….." ekspresi wajahnya berubah kesal, "Ongkos ganti rugi akibat kejahilan-kejahilannya juga cukup banyak," lalu wajahnya kembali cerah, "Himawari sudah mulai masuk sekolah…. Aku yakin dia pasti-…." Tiba-tiba pria berambut pirang itu berhenti bicara.
"Ayah, jangan lupa ya!" kata-kata anak perempuannya itu terngiang-ngiang di benaknya.
"Shikamaru…. Hari ini….. hari apa?"
"Hmm….. hari Kamis," kemudian setelah melihat ke arah jam dinding, ia menambahkan,"Yang sebentar lagi akan berubah menjadi hari Jumat."
"Ayah, janji ya!" kata-kata Himawari kembali terngiang-ngiang.
Mulut Naruto terbuka lebar, matanya membulat, dan dengan ekspresi seperti habis melihat hantu ia menatap Shikamaru, dan berbisik perlahan, "Celaka… aku….. melupakan sesuatu….."
Shikamaru menatapnya dengan bingung, "Melupakan apa?"
Tiba-tiba pria berambut pirang itu segera melompat ke ambang jendela kantornya, sambil berkata,"Sampai besok, Shikamaru!" Dan ia pun segera melompat keluar, kemudian berlari dengan cepat dari atap ke atap menuju rumahnya. Sayup-sayup ia mendengar Shikamaru meneriakkan sesuatu, tetapi sudah tidak diambil pusing olehnya. Ia harus secepatnya tiba di rumah.
"Gawat….. Hinata akan membunuhku karena ini….," pikirnya lagi. Tanpa sadar tubuhnya merinding membayangkan amukan istri cantiknya itu. "Oh tidaaakkkkk…!" dan ia pun semakin mempercepat langkahnya.
.
.
Tiba di halaman rumahnya, Naruto mendapati keadaannya sudah relatif gelap, menandakan sudah tidak ada lagi kegiatan di dalam rumahnya itu. Setelah ia masuk dan melepaskan alas kakinya, ia bergegas menuju ruang makan. Di atas meja makan, ia melihat tiga buah nasi kepal tersaji di atas piring dan selembar kertas berisi tulisan warna warni di sebelahnya. Pria itu mendekati meja makan, mengambil satu buah nasi kepal dan memakannya, lalu membaca tulisan pada lembaran kertas tersebut. Sambil mengunyah perlahan, matanya mulai berkaca-kaca ketika baris demi baris tulisan hasil karangan anak bungsunya itu merasuk dalam pikirannya. Karangan Himawari yang berjudul "Ayahku Hebat!" itu seharusnya dibacakan di depan kelas pada pagi hari ini, dan ia sudah berjanji akan hadir di kelasnya untuk mendengarnya secara langsung. Akan tetapi, ia ingkar. Rasa bersalah menyelimuti hatinya.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Naruto mendatangi kamar anak bungsunya, membuka pintunya secara perlahan, dan masuk tanpa bersuara. Ia berlutut di sebelah tubuh Himawari yang sedang tidur berselimut, mengusap kepalanya, mengecup pipinya perlahan sambil berbisik, "Maafkan Ayah, ya…. Karanganmu bagus sekali." Tentu saja anak perempuannya itu tidak akan mendengarnya, pada pagi hari, ia pasti akan mengulangi ucapannya. Ia hanya merasa harus mengucapkan sekarang, untuk sedikit mengurangi kesalahannya. Tidak. Sesungguhnya itu hanya alasan egois saja, untuk sedikit mengurangi rasa bersalahnya.
Kemudian ia pun keluar, menutup pintunya, dan menuju kamar anak yang satunya lagi. Membuka perlahan kamar Boruto, ia mendapati anak sulungnya itu tidur secara berantakan. Naruto terkekeh pelan, mengamati betapa mirip anak lelakinya ini dengan dirinya. Termasuk kenakalannya. Pria itu menghela nafas perlahan. Mungkin kenakalan anak muda di depannya ini adalah bagian dari pubertas anak-anak jaman sekarang. Naruto sejujurnya agak kurang mengerti. Sebagai seseorang yang tumbuh tanpa orang tua, seringkali ia bingung dengan apa yang harus dilakukan ketika menghadapi masalah yang seperti ini. Ia pun menutup kembali pintu kamar anak laki-lakinya itu secara perlahan.
Akhirnya, Naruto menuju kamarnya sendiri. Setelah menutup pintu kamarnya, ia pun berbaring di sebelah istrinya yang sudah tertidur memunggunginya.
"Waduh…. Marah nih….," pikirnya dalam hati.
Memberanikan diri, ia pun melingkarkan tangan di pinggang ramping wanita berambut hitam itu, mengecup perlahan pipinya, "Aku pulang."
"Hnn….." jawab Hinata ala kadarnya.
"Uh oh…" Naruto menelan ludahnya, "Mati aku….."
"Umm….. aku…. salah….. maaf…." ujarnya lagi dengan hati-hati. Jantungnya berdegub kencang. Orang-orang di sekitar mereka melihat Hinata sebagai wanita yang baik dan sopan. Terkadang bahkan terlalu baik. Selain tentu saja cantik, pandai memasak, sangat perhatian, dan beribu karakteristik baik lainnya. Dan hal itu memang benar tentu saja. Tetapi Naruto tahu sisi lain dari istrinya ini, yaitu bahwa kalau sedang marah, bahkan kekuatan Kurama pun tak kan sanggup membendungnya.
Bicara tentang Kurama…
"Kuramaa! Tolong aku, Sobat!" jerit Naruto ke dalam batinnya, sambil menggoyang-goyang tubuh siluman Rubah ekor sembilan yang tersegel di dalam tubuhnya.
"Urus sendiri! Hmph!" siluman itu dengan cueknya mengebaskan genggaman inangnya, dan kembali tidur bergelung.
"HEI!"
Merasakan tubuh istrinya berbalik arah, Naruto kembali memfokuskan dirinya, dan ia menatap mata putih keunguan istrinya itu. Ekspresi wajahnya datar, yang berarti ia sedang marah besar.
"Kau tahu? Hingga sore hari Himawari tidak mau pulang dari sekolah, meski sudah kubujuk dengan berbagai cara. Ia terus menunggumu. Akhirnya, Boruto datang dan berhasil membujuknya pulang. Kemudian ia menunggumu di ruang makan, sampai akhirnya tertidur kelelahan. Boruto sungguh-sungguh marah, dan dalam kasus ini, aku harus setuju dengannya," Hinata bercerita dengan suara tegas.
Hati Naruto benar-benar sakit. Ia pun hanya sanggup menunduk menatap selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. "Maaf….." ujarnya pelan. Ia sungguh-sungguh tidak punya alasan lain. Ya betul, ia memang sibuk sekali belakangan ini, tetapi ia sudah berjanji. Dan Hokage tidak pernah mengingkari kata-katanya. Itu adalah jalan ninjanya. Sejak dulu, sampai sekarang. Akan tetapi, sesungguhnya, belakangan ini mungkin ia sudah mulai menyimpang dari jalan ninjanya. Ia berusaha mengigat kembali berapa kali ia sudah melanggar janji, terutama kepada keluarganya ini. Kalau menepati janji kepada keluarganya saja tidak bisa, apakah ia bisa memenuhi janji kepada seluruh desa? Mungkinkah sebenarnya ia belum pantas menjadi Hokage? Wajah Naruto berkerut dengan segala macam pikiran yang berkecamuk di kepalanya.
Rentetan pikiran itu berhenti, ketika ia merasakan sentuhan halus tangan istrinya di pipinya, mengangkat wajahnya untuk kembali memandang mata istrinya itu.
"Sayang, aku tahu kau sangat sibuk dengan urusan desa. Tetapi bolehkah aku meminta sedikit waktumu untuk memperhatikan anak-anak?" ujar Hinata dengan lembut, "Aku amat mengerti betapa sulitnya bekerja untuk memenuhi tuntutan begitu banyak orang di seluruh desa ini, dan aku selalu mendukungmu. Akan tetapi, tolong jangan lupakan bahwa kau ini juga seorang Ayah. Anak-anak kita memerlukan ayahnya dalam pertumbuhan mereka. Aku benci mengatakan ini, tetapi, bukankah seharusnya kau adalah orang yang paling mengerti bagaimana rasanya tumbuh tanpa seorang ayah?" tambahnya lagi.
Naruto mencerna kata-kata istrinya itu dengan seksama, dan apa yang dikatakan istrinya itu adalah benar. Sebagai seorang yatim piatu, ia tentu saja tidak ingin anak-anaknya mengalami hal-hal buruk, serta kebingungan, dan kesepian yang pernah dialaminya. Hal ini berarti ia masih harus banyak 'berlatih' untuk bisa menjadi Hokage sekaligus bisa menjadi Ayah, dan tentu saja suami yang baik juga.
'Berlatih' adalah istilah yang ia paham betul. Bukankah seumur hidupnya ia terus berlatih untuk bisa diakui, menjadi kuat, dan akhrinya bisa menggapai mimpinya? Hal yang serupa pasti bisa diterapkan juga dalam kasus ini, agar ia semakin lihai dalam memerankan semua peranannya dengan baik. Dan dalam prosesnya, ia yakin bahwa wanita cantik di depannya ini akan terus mendampinginya, dan menyemangatinya. Seperti yang sejak dulu telah dilakukannya, saat ini, dan seterusnya.
Naruto mengangkat tangannya, untuk menggenggam tangan Hinata yang ada di pipinya. Ia tersenyum sambil berkata, "Kau benar sekali. Aku salah. Aku minta maaf. Tetapi aku berjanji akan berusaha untuk terus memperbaiki diri. Dan untuk menebus kesalahan ini, minggu depan, pada festival musim semi, aku akan meminta cuti. Kita akan bersenang-senang sampai puas di festival itu sebagai sebuah keluarga yang utuh," ucapnya mantap.
Ia melihat wajah Hinata melunak dan kemudian tersenyum dengan manis, menandakan bahwa amarahnya mulai reda. Naruto merasa lega. Ia sungguh amat sangat beruntung memiliki istri yang amat mendukung dan begitu mengerti dirinya. Pria itu memantapkan dirinya agar rencana minggu depan dapat berjalan dengan baik, apapun yang terjadi.
.
.
(*) Jun dan Garo adalah nama karakter yang diambil dari game ponsel Android online: Summoners War (by Com2Us)
