Hari yang Ku Nantikan
.
Disclaimer : Masashi Kisimoto
Genre : Hurt,Romance
Rated : T
Warning : AU!, Typo(s), pairing sesuka author. Ehehe.
.
Present~
.
.
Sepatu kets membalut kedua kakinya, ditemani sepasang kaos kaki yang meredakan hawa dingin akhir tahun. Kacamata hitam yang melekat di matanya menjadi bahan tontonan orang-orang. Belum lama ia berdiri di sana, sebuah koper terjatuh penuh debu. Ia kaget, sebab ada hal baru di hadapannya.
Kosong. Tak berpenghuni. Corat-coret dari anak-anak desa iseng yang tak tahu diri itu menghalangi keindahan rumah yang kini menjadi pusat perhatiannya. Orang-orang itu tak tahu hal yang bisa saja berharga bagi orang lain, sudah mereka musnahkan.
'Kenapa mereka tega sekali?'. Batinnya menahan amarah.
Kelap-kelip bintang mainan di langit-langit kamar sahabatnya pasti sudah tak ada. Jemuran yang sering lupa diangkat 3 hari juga sudah tak ada. Ia merasa kedatangannya sore ini hanya sebuah rindu yang tak berujung. Hari yang ia nantikan sudah tak berarti.
Ibu tetangga sebelah bilang sahabatnya itu sudah merantau ke kota sepeninggal orang tuanya. Mengapa? Mengapa tak ada yang memberitahu Hinata kalau ibu sahabatnya itu sudah tiada? Hinata belum sempat mengucapkan salam perpisahan.
Bila saja mengungkit kembali masa lalu, si gadis Hyuuga itu mungkin sudah tidak bisa menghitung sebanyak apa rasa sayang orang tua sahabatnya itu pada dirinya. Hinata sudah dianggap anak perempuan mereka.
Harusnya ia pernah satu kali saja berkirim surat ketika memutuskan untuk belajar jauh. Harusnya ia tidak pernah kecurian ponsel satu-satunya yang sangat berharga. 'Harusnya' kata yang paling ia benci karena tidak ia lakukan, dan hanya sibuk menyesal ketika semua sudah terlambat.
Hinata berjalan menjauh menuju rumahnya sendiri. Bodoh memang, tapi ia masih berharap bisa tanpa sengaja berpapasan dengan sahabatnya itu di jalan, dan mari menganggap semua yang dikatakan ibu tetangga sebelah hanya candaan.
Namun, tidak ada siapa-siapa. Hinata tak menemukan sahabatnya yang dulu kerap bersembunyi di balik pohon dan mengagetkannya. Kini jalan setapak yang ia lewati hanya dipenuhi kantong hitam kecil.
Tunggu, mengapa ada bibit tanaman di sini? Ayahnya tidak pernah bilang sedang menanam sesuatu di tepian jalan setapak yang merupakan lahannya. Dan juga, selama ini tidak ada seorangpun yang berani menyewa tanah milik ayah karena patokan harga yang terlalu tinggi.
Tanpa ada niatan merusak, Hinata memajukan tubuhnya. Ia tengok bibit tanaman yang tak ia tahu apa jenisnya. Tapi semua bibit yang baru tumbuh itu nampak lucu.
"Jangan sentuh kopiku, mahal tahu!"
Pekikan seseorang membuatnya berjingkat.
"Aku hanya lihat-lihat saja kok."
"Mundur."
Hah?
"Mundur, tidak dengar?"
Hinata mundur selangkah, sementara lelaki itu sibuk memasukkan tanah ke kantong.
"Kamu tadi bilang kopi, kan? Jadi kamu sedang menanam kopi di sini?"
Nampaknya Hinata belum jera meski lelaki di depannya itu sudah membentaknya. Sementara yang ditanya hanya menjawab dengan dengungan, membuat rasa penasaran Hinata makin menjadi.
"Aku baru tau kalau tanah di sini cocok untuk menanam kopi."
Lelaki itu mengangguk singkat.
Perempuan bersurai sepunggung itu melirik jam yang melingkar di lengan kirinya, ternyata sudah petang. Pukul 17.30.
"Ah, aku harus pergi." Ujar Hinata, tanpa berharap mendapat jawaban.
"Kamu orang mana? Baru kali ini aku lihat orang sepertimu di desa ini."
Ah, akhirnya lelaki itu bersedia bicara. Hinata tersenyum menatap si lelaki.
"Aku orang sini kok, tapi aku sekolah di luar negeri, jadi jarang kelihatan."
Si lelaki justru terbelalak, ia berdiri.
"Kamu anak Tuan Hyuuga?"
Hinata mengangguk.
"Oh, aku tidak tahu. Kalau begitu salam kenal, aku yang menyewa lahan di sini. Namaku Sabaku Gaara."
Lelaki bersurai merah itu mengulurkan lengannya yang kotor, Hinata hanya tersenyum hingga si lelaki menarik tangannya kembali.
"Aku Hinata Hyuuga."
"Kamu pasti mau pulang. Mau aku antar?"
Si manik lavender tertawa. "Tidak usah, rumahku hanya di depan situ." Ia menunjuk rumah yang temboknya bahkan kelihatan dari tempatnya berdiri sekarang.
"Ya sudah, kalau begitu aku lanjut kerja lagi."
Si perempuan 22 tahun itu mengangguk, membiarkan Gaara jongkok lagi dan bermain dengan tanah. Ia sendiri segera beranjak dari sana, mulai menyeret koper lagi.
TIba-tiba saja sesuatu jatuh.
"Barangmu jatuh." Gaara memungut benda kecil di tanah.
"Ah iya, terima kasih."
Gaara menatap Hinata dan foto yang ia pungut secara bergantian. Lelaki itu lantas berdehem sebentar.
"Itu benar punyamu?"
"Iya. Kalau begitu aku duluan ya?"
…
Sepertinya sebagian besar orang tua dimanapun tempatnya memang berlebihan, itulah yang Hinata pikirkan ketika menatap begitu banyak hidangan di meja. Hinata tahu sih dirinya ini suka ayam, tapi kali ini ia justru tidak tega melihatnya.
Ayam goreng, sup ayam, dan ayam teriyaki berjajar mengambil alih sebagian besar tempat di meja makan. Si perempuan yang baru saja sampai di rumah itu meringis. Ibunya seperti sedang kelebihan energi.
Adik perempuannya yang sedari tadi membantu mengangkat makanan dari dapur ke meja justru belum diperbolehkan mengambil satu pun makanan yang tersaji, harus menunggu si kakak katanya.
"Ada acara apa memangnya?"
"Loh kok ada acara apa? Ya karena anak tertua di rumah ini baru lulus dari universitas apa itu namanya di Swiss, makanya ayah dan ibu menyiapkan perayaan untukmu." Ibunya menepuk bahu Hinata pelan.
Ah, Hinata paham. Sepertinya orang-orang di sekitar rumah juga ingin menyambut kelulusannya. Sejak kecil semua orang di desa yang ia tinggali memang benar-benar perhatian pada tetangga lain.
"Kenapa belum ada yang datang?"
"Ayah sengaja tidak mengundang siapa-siapa supaya Hinata puas makan ayamnya."
'Apanya yang perayaan kalau hanya dirayakan sendiri?' Batinnya merana.
"Hinata, tolong geserkan nasinya. Ibu akan siapkan sup sebentar lagi."
Hinata hanya memandangi ibu dan adiknya yang berlalu-lalang dari dapur ke meja makan dengan tatapan lelah. Kapan persiapan makan malamnya segera berakhir?
"Ayah, tadi aku bertemu penyewa lahan baru. Aku dengar dia akan menanam kopi."
Ia mencolek ayahnya yang sedang membaca koran.
"Iya, baru dua minggu lalu."
Sementara itu ibu dan adik satu-satunya sudah ada di depan meja makan. Pembicaraan Hinata dan sang ayah terpotong begitu acara makan malam sudah dimulai.
"Dia kelihatannya masih muda ya?" Hinata melanjutkan.
Seketika wajah 3 orang di ruang makan menoleh ke arah Hinata. Kunyahan mereka terhenti. Hinata yang tidak paham hanya lanjut mengambil sayap ayam goreng, bagian favoritnya.
"Kakak suka paman itu ya?" Adiknya, Hanabi menceletuk di sela makan. Butiran nasi sampai menyembur keluar dari mulutnya.
"Hush, siapa yang kamu sebut paman? Dia itu seumuran kak Hinata." Ibunya membersihkan nasi di pipi Hanabi.
"Lalu kenapa kalau dia seumuran denganku?"
Hening lagi. Hinata kembali memasukkan makanan ke mulutnya. Namun celetukan lain justru membuatnya yang gantian menyemburkan nasi.
"Ya siapa tahu kamu tertarik." Itu ayahnya.
"Ap-apa maksudnya? Kami kan baru satu kali bertemu."
"Ayah bilang siapa tahu, jadi jangan menyerah dulu."
Hinata memutar bola matanya, malas dengan sikap ayahnya yang tidak berubah sejak dulu. Suka bicara aneh-aneh. Lagipula bagaimana caranya ia suka dengan Gaara? Hatinya saja sudah dimiliki orang lain.
Makan malam sudah lewat beberapa menit lalu, Hinata langsung saja menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Dulu selama masih di rumah, ia akan membantu ibunya mencuci piring, namun kali ini sang ibu justru melarang.
"Kalau lelah langsung tidur aja," Katanya.
Kebetulan sekali, karena Hinata memang lelah sejak di bandara. Orang tuanya tidak menjemput tadi karena memang ia yang meminta. Jarak dari tempat tinggalnya ke bandara lumayan jauh, ia tidak mau orang tuanya kelelahan hanya untuk menjemput satu orang. Selain itu, ia memang punya urusan lain tadi.
Hinata sudah hampir memejamkan mata ketika bayang-bayang ingatannya terbang ke kejadian tadi sore di pinggir jalan setapak. Bukan, bukan Gaara. Memangnya dirinya ini sedang terpikir perkataan ayahnya? Jelas bukan. Karena yang ia ingat saat ini adalah fotonya yang tadi sempat jatuh dari saku jaket.
Sekarang ia sudah memegang benda itu lagi. Tak lama ia tersenyum.
2008. Januari. 01.
Temanku tersayang
Inuzuka Kiba
Tersemat dibalik foto yang ia pegang.
…
Air dingin mengenai wajah Hinata, tak lama kemudian perempuan itu memandangi pantulan wajahnya di cermin. Wajahnya sudah cukup bersih untuk ukuran orang yang baru bangun tidur. Ia lantas melangkahkan kaki keluar rumah, jalan-jalan pagi. Sudah lama ia rindu jalan-jalan pagi di lingkungan rumahnya sendiri.
Sebenarnya ia ingin mengajak Hanabi, tapi anak itu pasti masih nyaman berbalutkan dua selimut sekaligus sepanjang malam. Kebiasaan sejak kecil yang dibiarkan saja oleh ibunya. Padahal Hanabi itu sudah 15 tahun, harusnya anak itu sudah diajari bangun pagi. Hinata mendengus, ia jadi merasakan perbedaan pola asuh ibunya terhadap dirinya dan si adik.
Namun apa yang dilihatnya di depan sana membuat pikiran tentang Hanabi yang begini dan begitu sudah tidak istimewa lagi. Ada Gaara di lahannya. Ia lantas berpikir apakah semua petani kopi selalu serajin itu, bangun pagi buta untuk menyemai bibit?
Hinata berjalan mendekati si lelaki yang nyatanya tidak sedang melakukan apa-apa. Ember penuh tanah yang kemarin sore di letakkan persis di sebelahnya juga tak ada. Jadi, lelaki itu sedang apa?
"Selamat pagi," Sapa Gaara ramah.
"Oh, selamat pagi. Kamu sedang apa sendirian?"
Gaara mengendikkan bahu. "Mau jalan-jalan pagi, mungkin?"
"Ah begitukah? Kebetulan aku juga mau jalan-jalan pagi. Ayo," Hinata tersenyum tipis.
Astaga, Audy bahkan tidak sadar ia baru saja mengucapkan kalimat seperti itu. Kalau ayahnya tahu ia pasti sudah digoda habis-habisan karena dekat dengan Gaara, padahal mereka belum sedekat itu.
"Oke,"
Mereka membicarakan tentang diri masing-masing seperti perkenalan singkat, dan dilanjutkan dengan membahas kuliah di luar negeri. Gaara dengar Hinata baru saja lulus dari universitas di Swiss, dan ya lelaki itu bertanya tak jauh dari seputar bagaimana cara bertahan hidup di sana.
"Ayahku juga sempat minta supaya aku sekolah di luar negeri, tapi aku tolak."
Hinata membelalakkan mata. "Kenapa?"
"Aku punya kerjaan di sini, jadi tidak mungkin aku tinggal begitu saja."
"Menanam kopi?"
Gaara menggaruk pipi. "Hmm, sebenarnya menanam kopi hanya pekerjaan sambilanku."
Hinata menatap Gaara tak mengerti.
"Sejujurnya aku punya kedai kopi sendiri. Soal bibit yang aku tanam, aku baru pertama kali ini mencobanya. Hitung-hitung kalau kopinya berhasil dipanen jadi bisa menghemat pengeluaran." Gaara masih dengan muka seriusnya.
"Oh, begitu." Hinata mengangguk paham.
"Kalau kamu tidak keberatan, aku mau mengajakmu ke kedaiku. Kebetulan sedang ada promo."
"Boleh," Jawabnya Hinata tanpa ragu.
Aneh sih, padahal sebelum ke luar negeri Hinata sangat pemalu meski hanya pada orang yang lewat. Waktu berlalu begitu cepat ya~
"Nanti malam bisa? Suasananya lebih bagus dan ramai."
Hinata mengangguk untuk kesekian kali.
"Kalau begitu bisa beri tahu aku nama kedaimu? Supaya aku tidak tersesat nanti."
"Kamu mau datang sendiri? Aku bisa menjemputmu, lagipula kan aku yang minta."
Hinata menggeleng singkat. "Aku berangkat sendiri saja, lagipula kamu pasti sibuk dikerubungi pelanggan."
Tak lama setelahnya Gaara merogoh saku celana, membuka dompet dan menyerahkan kartu nama pada perempuan yang berjalan di sampingnya sedari tadi.
"Penghujung Tahun?" Hinata membaca kertas di tangannya.
"Iya, itu nama kedaiku."
TBC
A/N:
Halo, masih ada yang kenal saya? :(
Maapin atuh saya ninggalin ffn kurang lebih satu tahun. Lama nggak tuh? Cukup lama kayaknya buat dilupain. :(
Aku balik nih bawa ff Gaahina. Hmm, emang masih ada yang suka Gaahina ya? Kok aku gak yakin. Takutnya udah banyak yang ninggalin fandom ini dan aku nggak tau. Lagipula, selama masa hiatus dari ffn, aku sama sekali nggak pernah baca ff Gaahina lagi, ehe.
Btw, aku sekarang keasyikan main di wp :D, tapi bukan nulis fanfic.
Yaudah deh segitu dulu aja. Kalau misal ada yang mau nanya-nanya, kasih saran, silahkan tulis di kolom review, biar bisa aku jawab di next chap.
Btw, kalau ff ini nggak banyak yang baca dan respon mungkin bakal aku unpublish. Soalnya aku tau seberapa sakitnya ketika udah dilupain. Alay ya :)
Jangan lupa review ya gaiss~
Salam manis,
Waan Mew
