Naruto by Masashi Kishimoto.

Saya hanya meminjam karakter di dalamnya dan sama sekali tidak mengambil keuntungan materi dari cerita ini.

.

Cerita ini spesial untuk ulang tahun Kuromi-chan! :D semoga suka ya! :)

.

.

"Sayang, kalau aku minta kamu bolos kuliah hari ini, terus jenguk aku, aku egois, nggak?"

Pertanyaan itu sederhana. Hanya perlu dijawab ya atau tidak. Tapi Sakura tahu semuanya tidak sesederhana itu. Apalagi kalau sudah ada hati lain yang bersarang di 'sana'.

.

.

Mencintai Kamu, Selamanya

.

.

Sasuke hanya bisa menarik napas perlahan. Lagi-lagi skripsinya tidak disetujui oleh pembimbingnya. Sudah tiga kali dia harus bongkar pasang dan sulam tambal agar skripsinya bisa memenuhi keinginan sang pembimbing. Tapi sayangnya, lagi-lagi pembimbingnya selalu bisa menemukan celah kesalahannya. Dia tidak bisa menyalahkan pembimbingnya. Dia sendiri merasa bersalah karena memang tidak berkonsenterasi penuh saat mengerjakan skripsinya akhir-akhir ini, sehingga memungkinkan kesalahan-kesalahan yang sebetulnya tidak perlu ada.

Awalnya Sasuke mengira dia bisa menghadapi semuanya secara bersamaan. Kuliah dan kerja paruh waktu di kantor ayahnya. Ya, memang kantor tempat dia berkerja adalah milik ayahnya. Tapi justru di sanalah kendalanya. Dia ingin ayahnya melihat bahwa dia mampu. Bukan hanya bisa berdiam diri di balik ketiak ayahnya. Sasuke ingin membuktikan bahwa dia bisa berhasil di kantor tanpa harus mengesampingkan kuliahnya. Sama seperti apa yang dilakukan Itachi, kakaknya.

Sasuke mendesah lagi. Dia sadar motivasinya salah. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dia hanya ingin diakui, dianggap berprestasi dan membanggakan oleh ayahnya. Hati kecilnya tahu dia hanya ingin ayahnya melihatnya seperti dia, Sasuke, hanya Sasuke, bukan lewat bayang-bayang Itachi.

Sasuke memijit-mijit pangkal hidungnya. Secangkir kopi pahit pesanannya masih penuh di atas meja. Tadi sepulang dari kampus dia memutuskan untuk mampir sebentar ke kafe di seberang kampusnya. Hanya sekadar untuk melepas lelah dan kepenatannya akhir-akhir ini. Sasuke tidak menyadari kalau ada yang memerhatikannya sejak tadi. Tahu-tahu orang yang memerhatikannya sudah duduk di hadapannya.

"Kenapa? Ditolak lagi oleh Kakashi-sensei, ya?"

Sasuke sedikit enggan mengakui, apalagi orang yang saat ini sedang duduk di hadapannya sudah sejak seminggu yang lalu skripsinya diterima oleh dosen pembimbingnya. Dia hanya tinggal menunggu sidang.

"Nggak usah malu, Sasukeeee~!" Ada tawa setelahnya, yang membuat Sasuke sedikit jengah.

"Hn."

"Nah, jujur lebih baik." Orang itu tertawa lagi, tapi kemudian tersenyum ringan. "Kakashi-sensei memang begitu, kok! Bukan hanya kamu yang dipersulit. Semuanya juga, anak bimbingannya. Neji dan Shikamaru saja belum juga diterima sampai detik ini."

Alis Sasuke sedikit terangkat. Sejujurnya dia tidak suka menggosipkan kondisi akademik teman-temannya. Dia tidak suka bergaul. Bukannya sombong atau angkuh, Sasuke hanya tidak suka keramaian. Tapi mendengar nama Neji dan Shikamaru disebut-sebut, naluri keingintahuan Sasuke tak bisa dicegah lagi. Seantero kampusnya juga tahu kalau dua nama yang disebut tadi adalah orang yang berprestasi, termasuk dirinya, batin Sasuke yakin, bukan bermaksud menyombong.

"Penasaran, 'kan?"

Sasuke ingin menyangkal, tapi dia benar-benar perasaan. "Hn."

"Hahahaha...," suara tawa mendominasi keheningan Sasuke. "Serius, Sas. Neji dan Shikamaru juga masih ditolak skripsinya oleh Kakashi-sensei. Kakashi-sensei 'kan terkenal banget sama ke-perfect-annya. Jadi ya bukan cuma kamu yang masih ditolak. So, dunia belum berakhir."

Sasuke mendengus. Tapi dibalik dengusannya ada setitik kelegaan. Dia merasa sedikit jahat merasa lega di saat orang lain kesulitan. Tapi entahlah, munafik jika menampik kalau dia lega karena bukan dia satu-satunya mahasiswa yang dilabeli kata pintar yang masih belum diterima skripsinya.

"Omong-omong, aku bagi minumnya, ya!" Tanpa memedulikan tatapan tajam Sasuke, orang itu langsung menyambar cangkir di meja dan meminum isinya. Tapi baru seteguk, dia terbatuk-batuk, dan buru-buru mencari tisu dari atas meja.

"Sialan! Kenapa nggak bilang, sih, kalau isinya kopi pahit!"

Sasuke menarik sedikit sudut bibirnya. Dia lalu membantu mengambilkan tisu dan menyerahkannya ke depan wajah si pencuri kopinya.

"Hn. Matsuri, Matsuri," kata Sasuke sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

.

.

Sakura tersenyum-senyum senang. Dia sangat senang hari ini. Harus dicatat bahwa dia sangat-sangat senang hari ini!

Sudah hampir tiga bulan Sasuke seperti mengabaikan keberadaannya. Dihubungi lewat telepon, jawabannya hanya, 'hn' atau 'ya' atau 'tidak bisa'. Sebenarnya Sakura mencoba mengerti. Dia tahu sudah tiga bulan ini Sasuke kerja paruh waktu di kantor ayahnya. Sakura paham Sasuke ingin membuktikan pada ayahnya kalau dia mampu. Mungkin karena Sasuke anak bungsu, dia selalu ingin bisa sejajar atau bahkan melampaui sang kakak. Sakura mencoba mengerti, meski dia anak sulung. Sakura akan terus mencoba mengerti. Dia menyayangi Sasuke.

Sakura mengerti jika Sasuke belakangan ini begitu sulit untuk dijangkau. Selain kerja paruh waktu yang menguras tenaga dan pikiran Sasuke, Sakura juga tahu Sasuke sedang sibuk menyusun skripsinya. Maka dia harus sabar dan mencoba mengerti kalau lagi-lagi malam minggu mereka terpaksa dibatalkan di detik-detik terakhir. Meski saat itu Sakura sudah siap dijemput di rumahnya, dia tetap mencoba memahami setiap kali Sasuke menghubunginya dan mengatakan, 'Maaf, Sakura.' Hanya dua kata itu, tanpa perlu penjelasan apa-apa lagi. Tapi Sakura mengerti. Sasuke pasti lelah sehabis bekerja, Sasuke pasti sedang sibuk menyusun skripsinya. Maka dia hanya bisa membalas dengan tenang, tanpa merasa sedih atau terganggu, 'Nggak apa-apa, Sasuke-kun. Istirahat ya, jangan lupa jaga kesehatan! Okee!'

Padahal Sakura ingin menangis, tapi dia tidak mau terlihat egois dan menyusahkan bagi Sasuke. Dia bilang 'nggak apa-apa', meski tanpa semangat dia kembali melepas high heels-nya, mengganti gaun selutut yang dipakainya dengan piama strawberry-nya, lalu tersenyum pura-pura menjawab pertanyaan ibunya dengan jawaban, 'Sakura tiba-tiba nggak enak badan, Ma.'

Sakura selalu bertahan walau hampir tiga bulan ini dia hanya bertemu Sasuke sebanyak tiga kali. Itu pun tidak disengaja. Pertama, waktu Sakura harus menemani atasannya meeting di Uchiha Corp., tempat kerja paruh waktu Sasuke. Kedua, kali ini Sasuke meeting dengan atasannya di kantor tempat Sakura bekerja. Yang terakhir, waktu taksi yang ditumpangi Sakura mogok, Sasuke yang kebetulan lewat di depannya, mengantarkannya pulang. Hanya sebatas itu. Tapi tadi pagi Sasuke menghubunginya, mengatakan kalau hari ini dia tidak bekerja karena izin untuk membereskan skripsinya di kampus. Sasuke memintanya datang ke stasiun kereta, tak jauh dari kampus Sasuke. Sasuke bilang, anggap saja kencan pertama dulu.

Sakura senang bukan main. Dia jadi ingat masa-masa awal pacaran dulu. Sasuke dulu pernah mengalami kecelakaan saat berusia empat belas tahun karena kebut-kebutan di jalan. Sejak saat itu ayahnya mengeluarkan ultimatum bahwa Sasuke tidak boleh membawa kendaraan sendiri. Sasuke nyaris lumpuh. Selama dua tahun, Sasuke berjuang agar bisa berjalan kembali. Tapi sejak itu ayahnya melarang keras Sasuke untuk berkendara. Sasuke harus diantar supir ke mana-mana, yang membuat Sasuke malu. Sasuke lebih memilih naik kereta daripada disupiri terus-menerus. Sakura jadi mengingat kencan pertama mereka dulu.

"Ra, besok ada waktu?"

Sakura tertawa dalam hati. Beginikah rasanya pacaran sama lelaki tampan tapi dingin? Sakura tahu dari gelagat Sasuke, lelaki itu ingin mengajaknya kencan.

"Ada, kenapa?"

Sasuke diam. Mulutnya terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi lalu tertutup lagi. "Aku... Aku..."

"Ya?"

"Hn, lupakan."

Sakura menggerutu sendiri. Dia menunggu Sasuke berkata lagi, tapi Sasuke hanya diam, tidak mengatakan apa-apa. Sakura pasrah. Tadinya dia ingin mengerjai Sasuke sedikit, tapi akhirnya dia jadi bingung sendiri. Apa Sasuke benar-benar ingin mengajaknya kencan tadi? Atau dirinya saja yang terlalu percaya diri.

"Ya, sudah. Kita pulang, yuk! Sudah gelap. Perut aku sudah kenyang." Sakura lalu tertawa, sederet gigi putinya terlihat saat dia tertawa. Saat ini mereka sedang makan di kedai ramen. Sasuke menjemput Sakura pulang kerja dari kantornya, lalu mereka mampir untuk mengisi perut di sini.

"Ra?"

"Iya, Sasuke-kun," balas Sakura, lagi-lagi tertawa kecil, membuat Sasuke mendengus pelan.

"Kamu suka sekali tertawa, ya?"

"Iya, biar awet muda. Umur kita 'kan seumuran, aku nggak mau kalau nanti aku tambah tua, terus keriputan, sedangkan kamu masih kelihatan gagah. Curang!" desis Sakura, memicingkan kedua matanya ke arah Sasuke.

"Nggak ada hubungannya tertawa sama tua."

"Ada."

"Kata siapa?"

"Ya, pokoknya ada." Sakura bersikukuh. Lalu tertawa lagi. "Serius deh, aku kadang suka minder jalan sama kamu."

Sasuke berhenti melangkah. Dia menatap Sakura dalam-dalam. Sekelumit perasaan rendah diri menerpanya diam-diam. "Kamu malu jalan sama aku?"

"Eh? Apa?" Kali ini Sakura gelagapan. Dia lalu tersenyum mengejek. "Terbalik. Yang ada kamu yang minder jalan sama aku."

"Hn?"

"Kamu sadar, nggak?"

"Sadar."

"Ishhh! Bukan itu!" Sakura memotong perkataan Sasuke dengan cepat. "Dengarkan sampai selesai dulu aku ngomong apa. Maksud aku itu, kamu sadar, nggak, kalau kamu itu ganteng, gagah, baik banget, eh, baiknya sedikit." Sakura tertawa lagi. "Pokoknya intinya kamu sempurna buat aku. Tapi aku? Coba kamu sebut, apa kelebihan aku?"

Hati Sasuke menghangat. Sakura memang bawel, cerewet, berisik. Sasuke kadang heran pada dirinya sendiri. Mengapa dia bisa-bisanya meminta Sakura menjadi kekasihnya sebulan yang lalu? Apa yang dilihatnya dari Sakura? Tapi dia tahu, tidak Sasuke tidak tahu, tapi hati Sasuke tahu dia memilih Sakura karena Sakura-lah hatinya.

Sasuke mengusap lembut kepala Sakura. "Jangan banyak tanya, nanti cepat tua."

"Tuh! Nggak jawab, 'kan?! Hmm... Jadi bener dong, kamu malu jalan sama aku?" Sakura memukul-mukul lengan Sasuke dengan tas tangannya. Terserah orang di jalan mau menganggap apa. Yang jelas dia kesal!

"Besok kencan, mau?" Seolah tak mendengar dan merasakan kekesalan Sakura, Sasuke bertanya tanpa beban, tanpa emosi. Datar.

"Hah? Apa?"

"Kencan ke Taman Bermain Konoha, mau?"

Sakura masih diam. Dia masih tidak bisa memercayai pendengarannya. Sasuke mengajaknya kencan? Harusnya ini hal biasa dalam sebuah hubungan. Tapi bagi Sakura, ini sangat luar biasa.

"Tapi seperti biasa, naik kereta."

Sakura masih tak bersuara.

"Kalau kamu mau. Aku masih belum bisa beli kendaraan sendiri, aku juga nggak mau minta ayah untuk..."

Perkataan Sasuke tidak pernah selesai, karena sekarang Sakura sudah memeluknya dengan erat. Lalu tawa itu muncul lagi. Tawa yang sudah membuat Sasuke jatuh cinta.

"Mau bangettt!"

"Naek kereta?"

"Iya! Jalan kaki juga mau! Eh, nggak, kalau jalan kaki 'kan cape." Sakura mengamit lengan Sasuke dengan manja. "Pokoknya aku senang kamu ajak kencan. Aku kira aku pacaran sama batu. Tapi mana ada batu ngajak kencan, iya, nggak?" Sakura mengedipkan matanya.

Sasuke hanya mendelik saat menyadari Sakura menggodanya. Sepanjang perjalanan menuju stasiun kereta, tak hentinya-hentinya Sakura berceloteh, meski Sasuke hanya diam dan menyahuti seadanya. Karena bagi Sasuke silent is golden dan bagi Sakura your silence is my golden.

.

.

Sakura melirik jam tangannya berulang kali. Sudah lewat setengah jam dari waktu yang sudah Sasuke janjikan untuk menemuinya di stasiun kereta, tapi Sasuke belum juga muncul batang hidungnya. Sakura mencoba menghubungi ponsel Sasuke, tapi tidak tersambung.

Sakura melirik jam besar yang ada di stasiun. Berharap kalau jam tangannya rusak, sehingga menunjukkan waktu terlalu cepat. Tapi nyatanya jam di stasiun pun seirama dengan jam tangan miliknya. Atau mungkin jam di stasiun juga rusak? Sakura lalu tertawa miris, dia bahkan merasa konyol. Jelas-jelas jam tangannya dan jam di stasiun tidak rusak. Satu-satunya yang rusak di sini adalah otaknya yang tidak bisa menerima kalau Sasuke sudah terlambat tiga puluh menit. Dia melirik ponselnya, memeriksa catatan panggilan masuk di ponselnya, meyakinkan dirinya kalau tadi pagi Sasuke benar-benar menghubunginya, mengajaknya bertemu di stasiun ini. Dia takut kalau ternyata tadi pagi dia hanya berhalusinasi ketika menerima telepon dari Sasuke. Nyatanya dia tidak berhalusinasi. Catatan panggilan masuk di ponselnya tidak bisa berbohong. Sakura mendesah khawatir. Apa perlu dia menyusul ke kampus Sasuke?

Kampus Sasuke tidak jauh dari stasiun. Hanya berjalan kaki sekitar sepuluh menit, Sakura sudah bisa sampai di sana. Masalahnya Sasuke tidak pernah mengajaknya ke sana. Sakura juga tidak tahu letak persis gedung fakultas jurusan Sasuke di mana? Sasuke tidak pernah melibatkan Sakura dalam pergaulannya selama kuliah. Sakura hanya tahu Sasuke berkuliah di sana, jurusan apa, sudah. Hanya itu. Sakura juga tidak tahu-menahu teman-teman kuliah Sasuke seperti apa? Bagaimana rupa dan pribadinya, Sakura sama sekali tidak tahu. Sasuke tidak pernah mengenalkan Sakura kepada teman-teman kampusnya.

Sakura gelisah. Kadang dia cemburu dan berpikir jangan-jangan Sasuke punya selingkuhan di kampusnya? Tapi setelah dia menyuarakan kecemburuannya pada Sasuke, Sasuke hanya menyentil dahinya sambil berkata, 'Jangan terlalu banyak membaca novel!'

Kalau dipikir-pikir, hubungannya dengan Sasuke memang sedikit unik. Di saat teman-temannya yang lain punya pacar yang sudah bekerja dan mapan, Sakura malah punya pacar yang masih kuliah. Sasuke sendiri pernah membahas masalah ini dulu di awal masa pacaran mereka. Sebenarnya usia mereka sebaya. Hanya saja karena kecelakaan yang pernah dialami Sasuke, dia terpaksa dua tahun berhenti sekolah. Hal itu yang membuat Sasuke masih kuliah, sedangkan Sakura sudah lulus dan bekerja seperti sekarang.

Lalu di saat teman-temannya pergi kencan dengan naik mobil pacarnya, Sakura harus puas dengan naik kereta bersama Sasuke. Sakura tidak mengeluh. Karena bagaimanapun kondisinya, Sasuke tetaplah yang terbaik baginya. Sakura malah bangga kepada Sasuke. Sakura tahu Sasuke anak orang kaya. Meski Sasuke tidak pernah memakai kendaraan, tidak pernah mengeluarkan uang secara boros, tapi dilihat dari gaya berpakaiannya, Sasuke tetap tidak bisa menutupi kalau dia anak orang kaya. Meski begitu, Sasuke tidak pernah menyombongkan kekayaannya. Dia selalu bilang, yang kaya itu orang tuaku. Sakura tertawa kecil mengenang kalau dia suka mengatai Sasuke itu pelit.

Sakura melirik jam tangannya lagi, kemudian jam di stasiun. Sudah satu jam berlalu, Sasuke belum muncul juga.

"Susul ke kampusnya, nggak, ya?" Sakura menggumam sendiri. Sakura lalu melihat cerminan dirinya dari kaca toko makanan di samping stasiun. "Penampilan aku saat ini nggak akan buat malu, 'kan?" Sakura tertawa kecil. Di saat seperti ini dia masih sempat-sempatnya khawatir kalau dia akan mempermalukan Sasuke di hadapan teman-teman Sasuke jika penampilannya acak-acakan. Sakura saat ini memakai terusan selutut berwarna peach, dengan ikat pinggang melilit tubuh rampingnya. Rambut sebahunya digerai, dengan sebuah jepitan berbentuk kelopak bunga sakura tersemat mengamankan poni yang menutupi keningnya. Sakura masih mencoba menghubungi Sasuke, tapi masih tidak bisa juga. Akhirnya dia memutuskan untuk menyusul Sasuke ke kampusnya.

Sakura sudah sampai di depan kampus Sasuke. Tapi dia tidak tahu harus ke mana. Sakura menatap ke sekelilingnya, siapa tahu Sasuke ada di sekitar sini. Jantungnya pun berdegup kencang karena senang. Dia melihat Sasuke. Sasuke sedang duduk di sebuah kafe yang dindingnya adalah kaca tembus pandang. Dari tempatnya berdiri, Sakura bisa melihat Sasuke dengan jelas. Lalu dia melihatnya.

Sasuke tidak sendiri. Ada orang lain yang sedang bersamanya. Seorang gadis berambut coklat panjang. Wajah gadis itu manis. Gadis itu tampak marah-marah kepada Sasuke, tapi Sasuke hanya diam. Sedetik kemudian Sakura berharap dia tidak ada di sana. Tidak ada untuk melihat Sasuke yang tersenyum lembut ke arah gadis itu, sambil mengusap wajah sang gadis. Jantung Sakura berdegup kencang, kali ini bercampur rasa sakit yang tak tahu datang dari mana.

.

.

Sasuke masuk ke dalam kamarnya. Hari ini dia tidak ke kantor. Dia merebahkan tubuhnya ke atas kasurnya. Sasuke merasakan bagaimana lelahnya kuliah sambil bekerja. Sangat melelahkan. Padahal dia hanya bekerja paruh waktu, di kantor ayahnya pula. Sasuke menggelengkan kepalanya. Ternyata dia memang manja. Begini saja sudah mengeluh. Sasuke mendengus. Dia tidak boleh menyerah.

Sasuke bangkit, berniat mandi, tapi langkahnya terhenti ketika matanya menangkap figura di atas meja belajarnya. Ada foto Sakura sedang cemberut, kesal karena Sasuke diam-diam mengambil fotonya, yang kemudian diabadikan lagi oleh Sasuke. Sasuke mendesah. Sudah hampir tiga bulan ini dia nyaris tidak memiliki waktu untuk Sakura. Pagi-pagi dia harus kuliah, siangnya bekerja paruh waktu, sore dia sudah harus segera pulang, menyusun skripsinya sampai tengah malam. Sasuke rindu pada Sakura. Rindu pada cerewetnya Sakura, rindu pada tawa gadis itu. Tanpa sadar diusapnya foto Sakura dengan tatapan lembut. "Sakura," bisik Sasuke.

Kemudian ingatan itu menghantamnya. Sasuke ingat, tadi pagi dia mengajak Sakura bertemu di stasiun siang ini. "Sial!"

Alih-alih masuk ke kamar mandi, Sasuke langsung mengacak-acak isi ranselnya. Dia mencari ponselnya. Ponselnya mati total. Lowbatt. Sasuke mengisi daya ponselnya, menunggu sampai ponselnya mampu menyala. Satu menit, dua menit, tiga menit. Ponselnya menyala. Sepuluh panggilan tak terjawab, lima pesan yang belum dibaca. Semuanya dari Sakura.

From: Sakura

Sasuke-kun, kamu di mana? Aku sudah sampai. :)

From: Sakura

Sasuke-kun, di mana? Aku nunggu lama lho dari tadi. :(

From: Sakura

Aku sudah nunggu setengah jam! Di mana?

From: Sakura

Aku telepon kamu, nggak bisa-bisa. Kamu di mana?

From: Sakura

Bete!

Tanpa menunggu lagi, Sasuke langsung menyambar telepon di samping tempat tidurnya. Nada sambung masih terdengar di telinganya. Sakura belum mengangkat panggilannya. Sasuke mencoba berkali-kali, tapi berkali-kali juga dia harus kecewa karena Sakura tak mengangkat teleponnya. Setelah mencoba untuk yang kesepuluh kalinya, akhirnya Sakura mengangkat teleponnya.

"Sakura, aku-"

"Maaf," suara Sakura terdengar sengau. "Aku, aku nggak enak badan. Tadi aku nggak ke stasiun."

Terjadi jeda cukup lama. Sasuke tidak berkata apa-apa. Dia tahu Sakura berbohong. Pesan-pesan dari Sakura jelas mengatakan bahwa Sakura menunggunya di stasiun. Tapi kenapa Sakura berbohong?

"Kenapa kamu bohong?"

"Aku nggak bohong."

"Kenapa kamu bohong?" Sasuke mengulangi pertanyaannya.

"Aku nggak bohong."

"Sakura, aku tanya, kenapa kamu bohong?!" Kali ini nada suara Sasuke meninggi.

"Terus mau kamu apa? Aku marah-marah sama kamu karena kamu lupa sama janji kita, begitu?!" Isakan kecil lolos dari bibir Sakura. Sakura berusaha menahan tangisnya. Dia tidak mau menangis. Sakura tidak mau dianggap lemah.

"Sakura, aku-"

"Apa? Sibuk? Ya sudah, aku ngerti! Aku cape, mau istirahat."

Tanpa mendengar jawaban dari Sasuke, Sakura memutuskan sambungan teleponnya.

Sasuke tahu dia keterlaluan. Setelah mengabaikan Sakura hampir selama tiga bulan, membatalkan malam-malam Minggu mereka, sekarang dia juga melupakan janji kencan mereka. Sasuke memijit-mijit pangkal hidungnya. Kebiasaannya ketika sedang dirundung lelah. Mengapa semua ini harus datang secara bersamaan?

.

.

.

Bersambung

.

An: Terima kasih sudah membaca sampai di sini. :)

Fic ini spesial buat ultah Kuromi-chan tanggal 11 nanti! Maaf ya aku publish duluan, aku cuma mau jadi yang pertama buat kamu. *gombal* #ditoyor xD

Selamat ulang tahunnya, nanti aja ya tanggal 11. :p *disumpel*

Sedikit bocoran, kalimat pembuka di summary itu beneran pernah aku tanyain ke pacar aku loh. Wkwkwkwkwk *ketahuan deh gue egois* xD

Nggak apa-apa. Cewek egois itu wajar, kok! *bersikap bijak, padahal lagi ngebela diri sendiri* xDD

Salam hangat,

ahalya