Two Side
Disclaimer belongs to Aldnoah Zero Project A/Z
Olympus Knight, A-1 Pictures
Gen Urobochi, Katsuhiko Takayama
Warning : BL (Boys Love), Sho-ai, OOC, Typo(s), dan khayalan yang kelewatan
.
.
Chapter 1
Child
.
.
.
.
.
.
.
Impianku adalah hidup bersamamu selamanya
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sang fajar mulai terbangun dari peraduannya. Mulai menelisik setiap sudut dunia dengan sinarnya yang hangat. Tak terkecuali dengan bangunan apartemen yang terletak di lantai 4 di sebuah kota. Gorden yang terbuka sedikit, tak membiarkan cahaya matahari menerangi kamar yang gelap itu. Seorang pemuda dengan paras menawan masih tertidur lelap di pagi itu. Seorangnya lagi tengah membuat sarapan di dapur.
Setelah selesai membuat sarapan, pemuda bersurai coklat itu masuk ke dalam kamar sang putri tidur yang masih berkelana dalam alam mimpi. Ia duduk di pinggiran kasur berukuran sedang, lalu mengelus lembut pucuk rambut sang putri tidur.
"Ngh.." erang sang putri tidur merasakan sentuhan lembut di kepalanya. Ia tidak ingin membuka matanya. Ia masih ingin di alam mimpinya.
"Slaine, kalau kau tidak bangun sekarang, kau terlambat nanti." peringat surai coklat. Sang putri tidur mengerang kembali, enggan untuk beranjak bahkan untuk membuka mata saja sangat berat baginya.
Setelah menunggu beberapa saat dan tak ada tanggapan lain dari sang putri tidur, sang surai coklat mendekatkan wajahnya ke telinga sang putri tidur.
"Slaine. Kalau kau tidak bangun, aku akan melakukannya lagi padamu."
Seketika, manik tosca itu terbuka, matanya mengecil tanda ia takut. Inaho yang melihat reaksi dari Slaine mengulum senyum kemenangan. Ia kemudian mengecup dahi sang putri tidur yang masih membatu, takut akan perlakuannya kalau ia benar-benar tidak bangun saat itu juga.
"Selamat pagi. Sarapan sudah siap." sapanya masih dengan senyum di bibirnya. Slaine mengangguk lemas. Tanpa menunggu gerakan dari sang putri yang masih enggan untuk bangun dari kasurnya, Inaho mengangkat Slaine menuju ke ruang makan ala bridal style.
"Inaho! Turunkan aku!" protes Slaine. Jujur, pagi-pagi begini sudah digendong seperti tuan putri membuatnya malu saking senangnya. Tapi, Inaho menghiraukannya. Ia terus menggendongnya sampai ia duduk di kursi makan.
Slaine duduk di kursi makan, disebrangnya Inaho dengan tenangnya menyantap sarapan yang dibuatnya pagi itu. Telur dadar, sup daging, dan semangkuk nasi terhampar di meja makan. Tak lupa dua gelas air bening tersedia di sana. Inaho makan dalam diam, begitu pula Slaine yang masih dendam dengan Inaho dan belum menyentuh makanannya sedikit pun. Ia tau kalau Inaho memperhatikannya walaupun tidak langsung. Tapi, tetap saja ia dendam karena dibangunkan seperti itu. Slaine yang sudah merasa dongkol dengan perasaannya, memulai sarapannya saat sarapan Inaho tersisa ¼ lagi.
Inaho sudah bersiap dengan setelan jas serta sepatu kerja hitamnya yang mengkilap di serambi, menunggu kedatangan Slaine. Slaine datang sesudah ia mencuci mukanya beberapa menit yang lalu setelah sarapan tadi. Inaho tersenyum saat melihat Slaine datang ke arahnya. Wajah Inaho yang sedang senang itu memang agak menakutkan kalau Slaine ingat-ingat. Mungkin, mood Inaho sedang bagus hari ini.
"Kau mau pergi sekarang?" tanya si surai pirang keperakan kearah Inaho. Ia sudah lupa kalau dirinya ngambek pagi itu.
"Ya. Kalau tidak sekarang, jalanan macet," jawabnya masih dengan senyum di wajahnya. Ia kemudian mencium kening Slaine yang hanya beberapa centi di depannya. "Aku pergi dulu, sayang."
"Um. Hati-hati."
.
.
Kulitnya yang pucat beradu dengan sinar matahari. Jam tangannya baru menunjukkan pukul setengah delapan, namun keadaan jalan sudah seperti saat jam makan siang. Macet dimana-mana. Motor yang dikendarainya tidak bisa bergerak. Disampingnya, bus kota dan mobil sedan biru. Didepannya sebuah mobil putih yang sedari tadi tidak bergerak barang seinci pun. Dibelakangnya sebuah motor vespa dengan asap hitam yang mengepul pekat di udara.
Begitu sialnya ia pagi ini. Ia harusnya berangkat bersama Inaho saja kalau akan macet sampai 1 jam lebih begini. Belum lagi, ia dimarahi atasannya karena datang terlambat ke kantor. Ia menghembuskan nafas berat atas kesialan yang menimpanya.
Dengan wajah kusut, ia berjalan pelan ke arah tempat duduknya. Sebuah meja putih dengan seperangkat komputer dan beberapa berkas lainnya menumpuk di mejanya. Dinding skatnya penuh dengan kertas kecil berwarna-warni tanda pengingatnya akan pekerjaan yang tidak henti-hentinya mendatanginya. Sebuah kursi dengan bantalan empuk pun ikut serta dalam menyamankan pekerjaannya. Ia duduk disana, menggantung jaket coklatnya dan meregangkan tangannya sebelum membuka berkas-berkas yang akan dikerjakannya.
"Terlambat lagi, nyonya Kaizuka?" tanya seorang wanita disamping meja kerja Slaine. Suaranya yang khas membuat Slaine tersadar bahwa penderitaanya tidak selesai sampai disana.
"Ya, begitulah. Kali ini aku terjebak dalam kemacetan 1 jam 15 menit. Dan aku dimarahi Cruhteo... lagi." keluhnya akan kesialannya pagi ini.
"Kenapa tidak berangkat dengan Inaho?"
"Ugh.. Aku tidak ingin membicarakannya, nona Rayet."
"Kau digendong ala bridal style lagi ya, nyoya Kaizuka?"
"Hentikan. Itu tidak lucu. Dan berhenti memanggilku nyonya Kaizuka."
"Kenapa? Kau kan sudah menikah dengannya. Apa aku salah?"
Slaine terdiam. Ia kemudian menatap cincin emas yang terpasang di jari manisnya. Ia ingat, baru-baru ini ia menggunakan cincin seperti itu. Dikecupnya cincin itu berharap orang yang disana pun merasakan hal yang sama dengannya hari ini.
Ia memang sudah menikah dengan Inaho, tepatnya 2 minggu yang lalu. Dan ia sekarang menyandang nama 'Kaizuka' dibelakang namanya. Marga 'Troyard'-nya kini hanya diketahui oleh orang-orang yang dulu kenal dengannya. Yah, bisa dibilang pernikahannya unik saat itu. Pernikahannya dilangsungkan di sebuah gereja kecil dan sederhana. Tidak perlu dengan tamu yang banyak, beberapa teman yang dekat pun cukup. Dan Rayet Areash adalah salah satu tamu yang datang dalam acara janji suci itu. Sebuah pernikahan yang dilakukan oleh 2 orang pria, disaksikan oleh pastor dan para tamu.
"Tidak. Kau benar."
.
.
"Mama Slaine!" seru anak bersurai hitam dengan iris kehijauan berlari ke arah Slaine.
Slaine yang sedang mengalihkan pandangannya, terfokuskan akan suara anak kecil yang berlari ke arahnya. Ia kemudian berjongkok dan mengulurkan tangannya kepada anak tersebut. Pelukan hangatnya disambut oleh anak bersurai hitam itu.
"Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Slaine dengan senyum hangat. Ia kemudian berdiri dan menggandeng tangan kecil itu menuju kursi kayu di pinggiran taman.
"Aku baik hari ini!" serunya senang sembari memakan roti lapis buatan Slaine yang disodorkannya saat mereka duduk di kursi kayu itu.
"Kau tidak nakal, kan?" tanyanya lagi sambil mengelus pucuk rambut anak itu dengan lembut. Anak itu menggeleng. "Menginap di rumah mama lagi yuk! Mama sendirian hari ini."
"Asyikk!" teriaknya senang. Anak itu segera berdiri dan menarik tangan Slaine menjauh dari taman menuju apartemennya.
.
.
Dengan cepat, ia langkahkan kakinya menuju apartemen minimalis di tengah kota itu. Lift yang ada di apartemen itu selalu penuh, karena itulah ia menggunakan tangga darurat saat ini. Saat ia memutar kenop pintu, ia mendengar suara lain yang asing di telinganya.
Dibukanya pintu itu dengan pelan, nyaris tak ada suara berderit yang timbul. Ia masuk ke serambi dan melihat dua orang insan yang sedang makan bersama di ruang makan dengan wajah ceria. Satu dari mereka bertubuh ramping dan tinggi, bersurai pirang keperakan, sedang berceloteh sembari memegang sendok. Seorang lagi badannya kecil, bertubuh pendek, bersurai hitam sedang tertawa lebar mendengar ucapan si surai pirang keperakan.
Inaho melangkahkan kakinya untuk melihat lebih dekat pemandangan di depannya. Saat ia sampai di ruang makan, anak kecil dengan surai hitam itu tak sengaja melihatnya. Ia lalu turun dari kursi dan berlari kecil ke belakang punggung Slaine.
"Ada apa, Kuu?" tanyanya melihat tingkah aneh anak kecil itu di belakang punggungnya. Slaine mengalihkan perhatiannya ke arah pintu ruang makan. Inaho berdiri di depan sana dengan wajah masam. "Ah, Orenji. Selamat datang. Eng.. Bukannya kau besok kerja?"
Inaho mengangguk. "Berkasku tertinggal. Aku datang untuk mengambilnya," jawab Inaho to the point. Lirikan matanya belum terlepas dari makhluk kecil yang kini berlindung di balik kaki Slaine.
"Orenji?"
"Maaf, Bat. Aku akan pulang sekarang." Inaho pamit dan hendak memutar kenop, tetapi niatnya terhenti saat jasnya ditarik dari belakang.
"Um.. Orenji," tuturnya pelan, "Bisakah kau tinggal disini...sebentar lagi?"
Inaho berbalik dan mendapati Slaine menunduk dan meremas kaos biru tua yang dikenakannya. Surai pirang keperakannya menutupi wajahnya. Ia kemudian memikirkan pertimbangan apa yang dimilikinya untuk tetap tinggal disini. Pekerjaannya memang banyak, dan kebetulan ia membawa semua berkas yang dibutuhkan. Kalaupun ia pulang sekarang, pekerjaannya tidak akan selesai sampai esok pagi.
"Bat," ujar Inaho pelan. Ia kemudian menarik tangan kanan Slaine. "Maaf, tapi aku akan pulang sekarang."
Slaine mengangkat wajahnya. Irisnya memancarkan kekecewaan. Sebenarnya Inaho tidak ingin pulang karena Slaine memintanya untuk tinggal, tapi kalau dia disini yang ada malah pekerjaannya tidak akan selesai.
"Aku akan datang lagi minggu depan," ucapnya dengan nada agak menyesal, tapi kalau didengar lagi itu bukan nada menyesal, itu nada datar. "Good night, my sweet heart." Lanjutnya mengecup punggung tangan Slaine.
Semburat merah muncul di permukaan pipi istri tercintanya. Sangat manis.
"A-Um.. Baiklah. Aku.. " Slaine menghentikan perkataannya. "... akan menunggumu kembali."
Inaho tersenyum kecil. Ia kemudian membuka pintu dan keluar dari kamar apartemen. Kembali menuruni tangga darurat yang tadi dilaluinya. Menapaki jalan aspal yang berdebu ke arah mobil sport Orange yang dipakainya. Diantara itu, ia bertanya-tanya pada sang rembulan. Siapa anak yang bersama Slaine itu?
.
To be Continue
.
Note
Hai minna! Ili bawa ff lagi kali ini!
Makasih buat yang sempetin baca ff yang ngehayal banget ini #nangisharu. Entah kenapa pengen banget buat mereka jadi pasangan yang udah nikah. Ngomong-ngomong kalau ada yang penasaran sama kata-kata Inaho yang ngancem pagi hari, baca aja omake yang dibawah.
Then, Mind to Review?
.
Salam wibu,
Illicia Eitherwise (21 Oktober 2017 )
Reviews for Jerawat
Yuyu arxlnn : Ehehe.. makasih reviewnya. Ini Ili udah bikin lagi. Moga nggak bikin kakak kecewa yaa.. :3
Panda dayo yang susah login tapi bukan yang kw : Ehehe.. makasih review dan masukannya. Maaf kalau udah bikin ketawa ketiwi terus XD Oh, Inahonya peka ya? Ili nggak nyadar XD Nih, Ili bikin yang chapteran biar bisa nambah. Ah, hal yang privasi itu maksudnya pas mereka lagi berduaan di kamar dan nggak ada orang lain di rumah itu kecuali Slaine sama Inaho. (Bayangkan saja apa yang terjadi disana kalau cuma duaan :v) Event ya? Ili cari idenya dulu ya kak..
Omake
.
.
Seminggu yang lalu di apartemen Slaine.
"Slaine, bangun. Nanti kau terlambat," peringat Inaho di pagi hari. Mengingat ini adalah hari Senin, hari kerja.
"Ngh.. 5 menit lagi.." elak Slaine yang masih mengantuk dan terbawa gravitasi kasur.
Ini sudah ke 5 kalinya Slaine mengelak dan mengatakan 5 menit lagi. Inaho yang sudah agak sebal karena istrinya, mengangkat Slaine yang masih tertidur ke kamar mandi. Masalahnya, ia harus berangkat kerja juga hari itu karena ada rapat penting yang harus dihadirinya.
Ia meletakkan Slaine ke dalam bath tub. Lalu, mengambil shower yang tak jauh dari sana. Dinyalakannya shower itu dengan sasarannya adalah orang yang ada di dalam bath tub.
Slaine membuka matanya ketika ia merasakan air dingin yang menerjangnya seperti ia sedang dalam kerumunan hujan gerimis. Saat ia benar-benar sadar, ia melihat Inaho dengan wajah datar menyiraminya dengan shower layaknya tanaman.
"O-Orenji! Hentikan!" pekik Slaine. Badannya basah kuyup sekarang. "...Aku mengerti!"
Mendengar perkataan terakhir Slaine, Inaho mematikan shower yang digenggamnya. Kemudian, ia mendekat ke arah bath tub setelah menyimpan shower kembali ke tempatnya.
"Baiklah kalau begitu," ujarnya mengulurkan tangan ke arah Slaine. Slaine menyambut tangan itu dengan kesal. Salahnya sendiri yang tidak bangun setelah dibangunkan beberapa kali. "Oh iya, nanti kalau kau tidak mau bangun lagi, kumandikan sekalian ya."
Seketika, bulu kuduk Slaine merinding.
