Knight in The Silver Armor

By Emi Yoshikuni

2010

Naruto©Kishimoto Masashi

1998


Warning : AU, A fantasy fic, GaaSaku and SasuSaku…


Once upon a time...

No. Let erase those words. This is not a fairytale, absolutely not. It's not even started with so much happiness. Like I said, this story will never be related with a queen in gold crown or a king who loves his wife so much. This story is not a little thingy about princess and her so much happiness world, when she slept, she would meet with her prince—a charming prince. And the prince would kiss her so passionately. No. I will laugh when I hear those four words in a kid's book. I will laugh out long…

There will be no any princess nor a charming prince in this story. There will be no any witches nor stupid clown in this soon-to-be-tale. No. It's definitely not a happy story… No. Only one thing that I could make it sure. Only… one… thing…

It's only a knight. Only a knight. A knight in a silver armor. A knight from a Northern Mountain. We will never know whether he/she is a girl or a man. He/she has never shown his/her face to us. That knight always covers its face through a hard iron. A metal. A silver metal. People only know that the silver knight was born in a small village, far from where he/she lived now. Then, they would recognize his/her coming from a dragon tattoo. It is only his/her sign. That sign will be shown on his/her left armor arm. So, all the villagers would call him/her as a D-Knight. Means, Dragon Knight…


~(oOOOo)~

Chapter One

Northern Woods & Its Beginning

~(oOOOo)~


Dua bayi.

Lelaki dan perempuan.

Satu bayi akan menjadi petaka bagi negeri ini. Ia takkan hidup bahagia untuk seumur hidupnya. Entah kutukan apa yang telah mendarah daging dalam tubuhnya dan mengalir melalui pembuluh darahnya. Apa dosa sang bayi? Ia hanyalah seorang bayi, demi Tuhan. Bayi yang bahkan belum mampu membuka mata kecilnya. Ia bahkan belum mampu menggenggam dengan baik tangan besar sang ibunda ataupun sang ayah. Namun, takdir berkata lain, seakan ingin memenjarakan masa depan bayi itu sesegera mungkin. Ya. Ingin segera melepas kutukan itu dengan memisahkannya dari sang ibunda. Atau lebih tepatnya—membuangnya?

Dua bayi merah. Satu lelaki dan satu perempuan. Memiliki mata sehijau zamrud. Takkan ada yang bisa menyamai warna batu pualam dan perhiasan dunia yang selalu dicari-cari oleh para perompak dan bajak laut itu. Hijau adalah warna rerumputan dan kehidupan yang baru. A newborn atau re-born. Sebuah bentuk dari kelahiran yang terbentuk di dalam lingkar kehidupan yang baru. Lingkar kehidupan yang baru adalah bentuk keberuntungan dan kemakmuran. Ia akan menjadi petunjuk dari sebuah zaman. Zaman di mana segalanya telah berubah. Perubahan. Satu kata yang terlintas begitu mengerikan tapi akan menjadi permulaan dari kehidupan lain yang terbentuk di negeri ini…

Dua bayi itu menangis, merengek meminta belai kasih sayang sang ibunda yang keletihan. Tangisnya seakan menggema di ruangan luas bernuansa merah marun itu. Hangat dan penuh kasih sayang. Belai lembut sang ibunda melemah. Palpitasi yang meningkat kian berkurang seakan denyut jantung sang wanita yang menurun. Ia kehabisan darah tentu saja. Siapa yang tidak akan mengalami hal demikian bila seorang wanita bertubuh kecil dan kurus harus melahirkan dua bayi sekaligus? Ditambah lagi, kondisi kedua bayi merah itu yang agak gemuk. Pasti sangat sakit sekali.

Rambutnya berwarna kemerahan. Yang satu semerah darah dan yang lainnya berwarna merah muda. Perhatian para dayang kemudian beralih ke arah sang ratu yang terbaring lemah. Entah sudah berapa liter darah ia korbankan demi dua bayi merah ini. Apakah ini adalah kutukan? Dukun istana pernah berkata, bila di sebuah zaman terlahir bayi kembar, maka dengan secepat mungkin—bahkan hanya dengan memutarbalikkan telapak tangan, zaman itu akan berubah. Berubah dengan cepat, seiring dengan usia sang kembar yang bertambah. Sungguh ironis.

Sang ratu tertidur. Kedua tangannya tak lagi mampu membawa kedua bayi kembarnya ke dalam pelukannya yang hangat. Tangannya menjadi dingin. Dingin. Begitu dingin.

Suara teriakan amarah meluncur keluar dari bibir sang penguasa. Ia memanggil-manggil nama sang istri tapi tak ada jawaban. Desah nafas tak jua terasa, bahkan denyut nadi kian menghilang. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Maka, semuanya seakan berputar semakin cepat. Gelap dan hitam. Semuanya menagis dalam diam. Mereka menundukkan kepalanya dalam-dalam, tak ingin menatap kepedihan yang menggelayuti diri sang penguasa. Ia mendongakkan kepala dan menatap ke arah dua bayi merah itu. Kedua alisnya berkedut. Amarah adalah jawabnya.

"Buang bayi itu! Aku tak butuh penerus yang telah membunuh ibunya sendiri!"

Semuanya terkejut, tak terkecuali bagi para tetua istana. Sungguh pemikiran yang sempit. Jikalau tak ada penerus, maka siapa yang akan berdiri di atas mimbar kerajaan yang berlapiskan emas itu untuk tahun-tahun berikutnya? Para tetua mulai menasehati sang penguasa. Para pengawal istana dan juga jenderal perang berkuda hitam maju sebagai garis pertahanan sang raja. Sang penguasa sedikit terdiam namun amarah masih tersimpan di sudut-sudut bibirnya.

"Hamba punya solusi…"

"Siapa kau? Berani-beraninya masuk ke dalam ruangan ini!"

"Biarkan, Fugaku. Dia adalah Baroness, sang gypsy terkenal dari Northern Woods." ujar sang penguasa—membiarkan si wanita kurus itu untuk semakin menambah derap langkahnya menuju ruangan bernuansa merah marun itu. Maka, sang jenderal kian mengembalikan ujung pedangnya pada sarung pedang yang bermotif dragon.

"Maafkan atas kelancangan hamba, Your Highness. Hamba hanya ingin agar Tuanku tetap memiliki penerus demi kelangsungan kerajaan ini selanjutnya…"

Seorang wanita aneh dengan pakaian serba hitam memasuki ruangan itu. Jubah hitam kian menambah kesan mengerikan di balik tubuh kurusnya. Jemarinya yang panjang dan kuku-kuku menjijikkan pun menghiasi bilah-bilah jemarinya itu. Nenek sihir? Mungkin saja iya. Tapi sayangnya ia bukanlah penyihir. Ia hanya seorang gypsy yang selalu menjadi penasehat spiritual sang penguasa. Konon, gypsy adalah manusia yang paling memahami cara membaca tanda-tanda alam dan kejadian aneh di luar sana. Dan kini, wanita kurus itu berdiri, menunjukkan deretan giginya yang tak pernah disikat—tersenyum sinis ke arah sang penguasa.

"Kau…"

"Ya. Sudah hamba katakan, Your Highness. Sudah hamba katakan."

"Jelaskan padaku!"

Wanita kurus itu tersenyum sinis sembari memperlihatkan dengan jelas kedua matanya yang berbeda warna. Hijau dan merah.

"Dua purnama. Dua kelopak bunga krisan. Dua kebencian. Dan dua—"

Cinta."

"Apa maksudmu?"

"Anda akan tahu ketika satu purnama muncul di antara dedaunan coklat pada akhir Juli, Your Highness. Sekarang… 30 Juli. Akhir dari musim salju. Akhir dari rasa dingin yang mencekat ini. Bila satu purnama lenyap, maka kelopak bunga krisan masih akan tumbuh di musim salju berikutnya. Jika tidak, maka takkan ada lagi bunga krisan…"

Bunga krisan. Ya. Bunga krisan adalah lambang dari sebuah lingkar kehidupan yang baru. Sebuah kehidupan yang akan tetap menjaga kehidupan yang selanjutnya, takkan berubah untuk masa-masa berikutnya. Namun, purnama adalah lambang dari sinar dalam gelap. Sinar itu akan muncul sebagai perubahan dan bentuk akan dimulainya zaman yang baru. A new era. Seorang penguasa tentu tak menginginkan adanya perubahan di zaman yang telah ia bangun selama ini. Benar kan?

"Katakan saja apa yang harus kulakukan, Baroness."

Ia berdehem dan kembali memperlihatkan deretan gigi coklatnya. "Sederhana saja Tuanku, Your Highness."

"Apa itu?"

"Bunuh satu dari dua bayi itu, maka kelopak krisan akan tetap mekar di akhir musim salju ini…"


~Knight in The Silver Armor~


18 years later…

"Sasuke-nii…"

"Ngg…"

"Sasuke-nii… Ayo bangun."

"Lima menit lagi, Sakura."

"Sasuke-nii~ Ayo bangun!"

"Hn."

"Grr! Dasar."

Iseng. Seorang gadis berambut merah muda dengan gaun bercorak kekuningan yang sedikit lusuh itu mengambil peluit khas seorang petugas jaga istana. Dengan satu kali ambilan nafas yang banyak, ia mulai meniupkan peluit itu tepat di telinga seorang pemuda yang usianya tepat empat tahun di atas usia gadis itu.

PPRUUUUTTT…

"AARRGHHH!"

Gadis itu tertawa terpingkal-pingkal saat mendapati sang kakak yang terkejut bukan main dengan keisengannya. Sambil memegangi perutnya yang terasa sakit akibat tawa yang begitu kerasnya, ia berusaha berlari dari kejaran sang kakak. Mereka menelusuri kebun sunflower yang menjadi satu-satunya penghias di tanah-tanah milik keluarga Uchiha yang luas itu. Meskipun tak seluas tanah-tanah milik para penguasa negeri—alias raja, ratu, selir, dan menteri-menteri kerajaan, tetap saja keluarga Uchiha adalah salah satu keluarga paling terkenal di daerah Northern Woods.

Uchiha adalah sebuah klan. Secara turun-temurun, anggota klan ini bekerja sebagai prajurit istana ataupun jenderal garis depan dalam perang di ibukota. Namun, entah karena masalah apa, sejak dua puluh tahun yang lalu, klan ini tak lagi bertugas sebagai tangan kanan sang penguasa negeri. Mereka menyingkir dari ibukota dan memilih untuk menetap di Northern Woods. Sungguh perubahan zaman yang drastis, pikir mereka. Mungkin saja hal itu terjadi karena disebabkan oleh kejadian dua puluh tahun yang lalu, saat sang penguasa menikahi seorang wanita yang dicurigai adalah seorang penyihir. Penyihir? Sungguh sebuah mitos yang mustahil terjadi di negeri ini. Namun, hanya satu Uchiha yang saat itu sempat bertahan. Ia tetap bertahan hingga pada akhirnya ia melepas kehormatannya sebagai seorang jenderal tepat saat sang ratu melahirkan dua bayi itu… Ya. Dua bayi…

"Weee~ Sasuke-nii jadi lambat nih! Ahahaha~"

"Awas ya kau, Sakura."

"Hahaha…"

Gadis berambut merah muda yang panjangnya telah mencapai pinggangnya itu tertawa-tawa ceria tepat di bawah sinar mentari yang begitu menyengat. Namun, peluh dan keringat tampak tak menjadi masalah baginya. Ia tetap saja tertawa senang sembari memetik setangkai sunflower dan membawanya menari-nari di setiap langkahnya. Gaunnya kian berubah lusuh dan sekali lagi, ia tak peduli. Ia semakin mempercepat larinya dengan kedua mata yang tertutup—berusaha menikmati harum musim panas yang dibawa oleh sang mentari. Langkahnya memendek dan melambat. Para sunflower pun ikut menari-nari bersama dengan langkahnya hingga…

"Mau lari ke mana lagi kau, anak nakal?"

Gadis itu melebarkan mata hijau zambrudnya. Ia sudah mendapati sang kakak yang tepat berada di depannya, tinggal beberapa centi lagi dan hidung mereka sudah saling bertemu. Onyx dan green olive. Perpaduan warna di musim panas yang bagus.

Ia mengerucutkan bibirnya sambil bertolak pinggang. "Sasuke-nii curang! Pasti lewat jalur yang lebih pendek kan?"

"Hn."

"Akh! Pokoknya Sasuke-nii curang! Curang, curang, curang! Curanggg!" teriak gadis itu, dengan kedua tinju yang telah tertunjuk ke angkasa.

"Ini bukan lomba lari, baka. Hah, kau ini. Aku baru tidur siang sudah kau bangunkan. Adik macam apa itu? Tidak lihat ya kalau sedari pagi onii-san-mu ini berada di hutan dan mencari kayu bakar hingga siang? Hahh…" keluh pemuda berambut biru dongker itu sembari memutar-mutar sendi pada pertemuan antara clavicula dan lengannya. "Setelah ini, aku juga harus latihan lagi."

"Latihan? Ah! Aku ingin latihan juga, nii-san! Aku ingin mencoba bagaimana rasanya berada di atas Taka sambil bermain pedang. Pasti seru! Iya kan, iya kan?" seru Sakura dengan mata yang berbinar-binar.

"Memangnya kau pikir latihan macam begitu tidak berat? Mana bisa gadis mungil nan kecil sepertimu ini berada di atas Taka dan memainkan pedang? Kau itu bukan Joan of the Arcadia, Sakura. Tidak, tidak sama sekali." ejek sang kakak, yang dibalas Sakura dengan juluran lidah.

"Wee~ akan kubuktikan kalau gadis mungil nan kecil sepertiku bisa melakukan hal itu! Asalkan Sasuke-nii mau mengajariku tentunya."

Pemuda bernama Sasuke itu menaikkan sebelah alisnya dan melipat tangan. Sungguh ia sangat heran dengan kelakuan sang adik yang berbeda dari gadis seusianya. Ia malah berpikir bukannya para gadis yang seumuran Sakura sedang heboh-hebohnya memikirkan bagaimana menjadi seorang lady yang baik dan bisa menarik perhatian seorang prince charming eh? Detik berikutnya, pemuda itu tertawa kecil saat mendapati sang adik yang sebegitu semangatnya menirukan gaya bertarung pedang dengan menggunakan sunflower yang telah dipetiknya.

"Hn. Baiklah, kalau kau bersikeras." ujarnya tiba-tiba—membuat Sakura menoleh dan semakin memperlebar senyumnya.

"Sungguh? Sasuke-nii benar-benar akan melatih Sakura?"

Sasuke mengangguk kecil sembari menarik paksa pergelangan tangan kecil sang adik di tengah-tengah kebun sunflower terluas di Northern Woods. Northern Woods terkenal akan wilayahnya yang tak pernah mendapatkan musim dingin. Musim dingin itu tergantikan hanya dengan musim hujan yang terus-menerus bila musim semi dan panas telah hilang. Sungguh fenomena alam yang ajaib.

Desau angin musim panas memberikan senyuman bagi kedua insan yang terikat oleh sebuah benang merah yang bernama keluarga. Namun, mereka tampaknya belum menyadari akan kebenaran lain yang tersembunyi di balik ikatan itu. Sebuah rahasia yang terkubur dalam lapisan paling dalam akan es musim salju yang tak pernah berhenti mendinginkan tanah-tanah coklat di Paravel Count—ibukota negeri ini.

Fenomena mengerikan itu terjadi secara tiba-tiba tepat di saat sang ratu melahirkan sang calon penerus kerajaan. Entah itu disebabkan oleh karena kutukan atau sebuah takdir gelap yang tersembunyi, tak ada yang tahu. Bahkan sang gypsy pun hanya bisa menduga dengan kalimat-kalimat puitis yang tak dapat dimengerti oleh siapapun di wilayah itu. Mungkin saja penyebabnya adalah sebuah kesalahan di masa lalu. Kesalahan masa lalu yang masih saja menjadi rahasia di kalangan para penguasa negeri. Bagai abu dalam sekam. Ya. Tak ada yang tahu dan tak ada yang dapat memahaminya. Namun, bersama dengan butiran salju yang selalu saja menghiasi Paravel Count, kelopak-kelopak bunga krisan tetap melayang di langit-langitnya. Lagi-lagi, fenomena alam yang aneh.

Meski begitu, Northern Woods akan selalu hidup dalam kemilau mentari yang hangat di bulan Juli ini. 29 Juli. Sebelas jam lagi dan usia gadis berambut merah muda itu akan bertambah. Bertambah dan semakin bertambah. Dan entah mengapa, intensitas bola-bola kecil salju di Paravel Count juga ikut bertambah dan semakin banyak saja. Apakah hubungan antara keduanya disebabkan oleh sesuatu yang disebut sebagai takdir? Hm, mungkin saja.

"Kau dengar tidak?"

"Apa?"

"Sang Raja tengah sakit keras sekarang. Tak ada satupun tabib istana yang mampu menyembuhkan penyakitnya itu. Dan kata gypsy aneh itu, Sang Raja tidak bisa bertahan lebih lama lagi hingga musim salju di tahun berikutnya."

"Apa? Kau yakin dengan kabar itu?"

"Tentu saja aku yakin! Soalnya, kakakku yang seorang prajurit bekerja di dalam istana tak sengaja mendengarkan pembicaraan rahasia antara Perdana Menteri dan seseirang entah siapa itu di ruang kerja Raja. Dan ia yakin bahwa kabar itu benar adanya. Katanya juga, intensitas salju di sana semakin banyak saja. Brr, pasti dingin sekali."

"Hmm. Hei, menurutmu, apakah salju yang tak kunjung usai berakhir di Paravel Count ada hubungannya dengan kejadian delapan belas tahun yang lalu?"

"Delapan belas tahun yang lalu? Memangnya ada apa dengan Paravel Count delapan belas tahun yang lalu, eh?"

"Kau tak tahu ya?"

Pria itu menggeleng sembari mencomot dango yang dipegangnya.

"Sini mendekat."

Pria itu mendekat dan berusaha mendengarkan bisikan lawan bicaranya.

"Delapan belas tahun yang lalu, Queen melahirkan sang penerus. Pihak istana mengabarkan bahwa Queen hanya melahirkan satu anak saja, yakni anak lelaki. Tapi, kau takkan pernah tahu rahasia yang terselubung di dalam istana saat itu."

"Apa itu?"

Si lawan bicara menoleh kiri dan kanan, mengawasi alih-alih adanya orang yang bisa mendengar bisikannya. "Sang Queen ternyata melahirkan dua orang bayi! Dan bayi itu kembar. Tak tahukah kau bila Queen negeri ini melahirkan bayi kembar maka sesuatu yang buruk akan terjadi? Dan kurasa, inilah yang terjadi. Musim dingin yang terus saja menghantui Paravel Count."

"Lalu, di mana si anak yang lainnya? Setahuku, Gaara-sama adalah satu-satunya penerus Cair Paravel kan?"

"Nah, itulah yang menjadi misteri saat ini. Tak ada yang tahu di mana saudara kembar dari Gaara-sama. Jangan-jangan… pihak istana…"

"Apa, apa?"

"… membuangnya?"

DEGG!

Sebuah sosok terlihat baru saja mendapatkan sebungkus dango terlezat di pusat kota Northern Woods. Beberapa menit yang lalu, ia baru saja mendapatkan pelajaran yang menurutnya melelahkan sekaligus mengasyikkan dari sang kakak. Ia baru memahami satu hal bahwa menjadi ksatria adalah impiannya. Keinginan sang ibu untuk menjadikannya seorang Lady sungguh bukan impiannya saat ini. Namun, ia berpikir sejenak. Ksatria wanita? Memangnya ada? Dan akhirnya ia hanya bisa berangan-angan sembari menyerahkan beberapa keping koin pada sang penjual dango.

"Arigatou Gozaimashita."

"Ah, doumo!" balasnya dengan nada riang. Ia pun berbalik dan keluar dari pintu yang memberikan efek gemerincing itu.

Bisikan. Ada sebuah bisikan yang membuat gadis itu tertarik untuk mendengarnya. Ia terdiam sebentar dan berpura-pura sedang melihat-lihat sudut etalase toko dango itu. Ia menjaga jarak dari arah bisikan itu dan berusaha memperkuat daya tangkap suara pada telinganya. Beberapa saat, ia tidak tertarik dengan bisikan-bisikan awal yang bisa tertangkap oleh daun telinganya. Namun, saat berikutnya, ia mendapati sebuah kabar yang mencengangkan.

"…jangan-jangan… pihak istana membuangnya?"

Degup jantungnya meningkat dan semakin cepat. Meskipun sedikit, ia bisa mendapati kedua bola matanya telah membulat lebar. Mana mungkin sang Queen yang kata orang-orang di luar sana adalah wanita paling bijak dan baik itu melakukan hal keji macam begitu, terlebih lagi pada anak—bukan, anak-anaknya? Apakah rumor itu benar? Mana mungkin pihak istana seakan melakukan sebuah konspirasi tertutup dan rencana pembunuhan atau juga pembuangan salah satu penerus kerajaan Cair Paravel? Tidak mungkin!

Kedua bahunya bergetar. Ia masih berdiri di sana meski dua orang yang berbisik-bisik itu telah pergi entah ke mana. Angin musim panas sedikit menerbangkan anak-anak rambut gadis itu. Kini, ia bisa menatap jelas wajahnya dari balik kaca etalase toko dango itu.

PUKK

Sebuah tepukan pelan membuatnya tersadar. Untuk beberapa saat ia terlihat sangat terkejut. Namun, ia bisa mendapati seseorang yang sudah sangat dikenalnya tengah memandangnya dengan tatapan lembut seperti biasa. Ya. Siapa lagi kalau bukan sang Onii-san? Sasuke Uchiha?

"Kenapa bengong? Kau ini aneh sekali, Sakura." tanyanya, kedua matanya kemudian beralih kea rah bungkusan dango yang telah digenggam erat oleh sang adik. "Makanan manis lagi? Kalau kau suka membeli makanan macam begitu, nanti kau tambah gendut, Sakura." ejek sang kakak sembari mencubit pipi Sakura yang agak kemerahan oleh sengatan sinar matahari itu.

"Auw! Sakit!" teriak gadis berambut merah muda itu. "Apa-apaan sih, nii-san? Kan sakit! Uhh…" keluhnya dengan nada kesal.

Pemuda itu tersenyum jahil ke arah sang adik yang entah mengapa terlihat sangat-sangat jauh berbeda dari penampilan fisik keluarga Uchiha pada umumnya. "Itu supaya pipimu yang gendut itu bisa sedikit kempes, Sa-ku-ra."

"Kempes apanya? Jangan salahkan bentuk pipi imouto-mu ini yang memang sudah tembem, nii-san…"

"Oh ya? Bukannya memang itu karena kau yang tambah gendut, hm?" senyum jahil mulai terhias di bibir tipis milik Uchiha tampan ini. Dan detik berikutnya, adegan pukul-memukul mulai terjadi di antara dua kakak-adik ini.

Kedua bersaudara ini seakan tak peduli dengan orang-orang di sekitar mereka. Mereka berlari dan tertawa-tawa di tengah kerumunan seperti itu. Sungguh bukan gaya seorang Uchiha Sasuke. Namun, ia rela membuang identitas dan topeng Uchiha-nya demi sang adik. Adik yang tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah keluarga kecil Uchiha ini. Di malam yang dingin itu tepat di akhir musim salju dan akhir bulan Juli, saat kelopak bunga krisan terakhir terbebas dari belenggu ranting kecilnya, di waktu itulah gadis berambut merah muda ini datang dan memberikan warna baru bagi keluarga Uchiha.

Lelah dengan aksi kejar-kejaran, Sakura pun memaksa sang kakak untuk memberikannya piggy hug. Hal itu sudah tak menjadi masalah bagi Sasuke, mengingat berat tubuh Sakura yang terbilang ringan untuk usianya. Sinar mentari pun tampak ingin kembali ke peraduannya. Garis-garis imaginer di langit tergambar jelas di ufuk barat, menandakan petang telah kembali mewarnai langit yang semula berwarna biru itu.

"Taka di mana, nii-san?"

"Hn?"

"Tadi bukannya nii-san membawa Taka ke hutan juga kan? Lalu, di mana ia sekarang?" tanya sang adik sembari mempererat lingkaran tangannya di sekitar leher sang kakak.

"Kutitip di rumah Mr. Hatake. Dia memiliki tempat persinggahan untuk kuda, makanya kutaruh saja Taka di sana. Lagipula, kalau kubawa ke rumah, rumput hijau kesenangannya pasti sudah layu." jawabnya, yang diikuti dengen deheman dari sang adik.

"Oh ya, Sasuke-nii—"

"Kau senang dengan latihan kita hari ini, Sakura?" tanya Sasuke—memotong kata-kata adiknya.

Meski lemah, Sasuke bisa merasakan anggukan dari sang adik. "Ah, yokatta. Taka terlihat sangat senang saat kau menaikinya sembari mengacung-acungkan tongkat kayu itu. Kau terlihat begitu konyol tadi."

"Uhft! Itu kan baru pertama kali aku latihan mengacungkan pedang sambil menaiki Taka. Susah sekali tau'! Apalagi Taka itu termasuk kuda liar kan, nii?"

"Hn. Dulu sih iya, tapi saat Itachi-nii berhasil menjinakkannya, dengan mudah aku bisa mendekatinya dan menjadi partner-nya." komen Sasuke. "Kau tahu tidak kalau kuda itu sama seperti bagian dari kaki seseorang?"

"Ngg, kaki? Apa maksudnya, nii-san?" tanya Sakura sembari meletakkan wajahnya tepat di pertemuan antara leher dan telinga Sasuke—mencium bau khas dari sang kakak.

"Saat berhasil menjinakkan seekor kuda liar, maka kuda itu selamanya akan menjadi kaki bagi sang partner. Terlebih lagi bagi seorang ksatria. Hn. Dahulu, ayah adalah seorang ksatria tapi saat ia dibutuhkan oleh negeri ini, dengan mudah pendiriannya berubah dan akhirnya menjadi jenderal. Begitu kata ibu." tambah Sasuke, "oh ya Sakura. Kenapa tadi kau tiba-tiba terbengong begitu saat berdiri di depat etalase toko dango, hm?"

"Ngg? Itu… Itu… A-aku tidak sengaja mendengarkan pembicaraan seseorang di sana."

Sasuke menaikkan alisnya seketika, "kau menguping pembicaraan orang? Berani sekali kau ini."

"Ti-tidak kok! Aku baru saja keluar dari toko itu dan tiba-tiba telingaku menangkap ada bisikan-bisikan aneh! Dan berikutnya, aku sudah berdiri diam di sana dan secara tak sengaja ikut mendengarkan pembicaraan dua orang itu. Hanya saja…"

"Hanya saja kenapa?"

Suara dalam tenggorokan Sakura tercekat. Ia ingin segera mengeluarkan suara itu dari balik bibirnya tapi entah mengapa seakan ada sebuah batu besar yang mengganjal di dalam lehernya itu. Ia pun hanya bisa mendesah pelan dan kembali mengistirahatkan kepalanya di tengkuk sang kakak.

"Hoi, hoi, kenapa kau tiba-tiba jadi aneh begitu, hn?"

"A-aku tidak aneh kok. Hanya saja… Aku tak yakin dengan apa yang kudengar dari dua orang itu tadi." keluhnya.

"Ceritakan saja bila kau mau menceritakannya. Kalau tidak juga tidak apa-apa. Tapi, sebuah rahasia meski ditutup dengan erat bagaimanapun caranya, pasti akan terbuka juga. Itu sudah sering terjadi dan hukum itu akan terus berlanjut hingga roda kehidupan yang selanjutnya terbentuk kembali."

DEGG!

Perasaan tak enak seakan menjalar dengan cepat dari ujung iktus kordis Sakura hingga ke seluruh bagian pembuluh darahnya. Degup jantungnya pun menjadi semakin cepat. Demi menghilangkan rasa kalut itu, ia semakin mengeratkan lingkaran tangannya pada leher Sasuke. Hal itu tentu saja membuat sang kakak menjadi sesak dan tak bisa bernafas lega.

"Sa-Sakura… sesak…"

"Eh? Er—aha, ahaha, ma-maaf nii-san." ujar Sakura sambil memperlebar lingkar tangannya pada leher sang kakak.

"Hn. Kau betul-betul jadi aneh hari ini." ejek Sasuke yang hanya dibalas dengan lingkaran super erat dari sang adik. "Ngg… Sa-kura…"

"Ini balasannya kalau mengataiku aneh. Hihi."

"Wo-i, woi… lepas!" hardik Sasuke.

"Iya, iya." jawab Sakura dengan nada jahil, ditambah dengan sebuah cubitan di pipi sang kakak sebagai pembalasan terakhir. "Ne, ne, Sasuke-nii beruntung sekali ya? Soalnya, pedang yang secara turun temurun diberikan pada anak lelaki keluarga Uchiha kini telah bertengger di samping nii-san. Aku juga mau pedang perak seperti itu. Kelihatan keren! Dengan begitu, takkan ada lagi laki-laki nakal yang berani menggangguku di sekolah. Hihi."

"Memangnya ada laki-laki yang suka mengganggumu, Sakura?" tanya Sasuke dengan nada sedikit posesif—terlihat sebagai seorang kakak yang selalu ingin melindungi adiknya.

"Ngg, bukan mengganggu seperti menjahiliku atau bagaimana. Tapi, menggangguku dengan cara mengikutiku ke mana saja aku pergi. Setiap aku ke bukit di belakang sekolah, laki-laki itu pasti akan mengikutiku. Lalu, saat latihan berkuda, memanah, bela diri dan pelajaran aljabar maupun ilmu ukur lainnya, dia pasti akan ada. Menyebalkan sekali. Memangnya aku ini magnet apa?" keluh Sakura.

"Siapa namanya?" tanya Sasuke to-do-point. "Aku jadi penasaran."

"Err—siapa ya? Yang jelas laki-laki itu berambut pirang jabrik dan bermata sebiru langit. Kata temanku sih, dia sangat suka membuat keributan di sekolah. Keributan tidak jelas sih. Aku memang belum pernah bicara dengannya soalnya kami berbeda tingkat. Dia tiga tahun di atasku. Tapi… ada gosip yang mengatakan kalau dia sangat pandai dalam bermain pedang one-to-one, pokoknya mirip dengan keahlian nii-san. Tapi aku yakin, nii-san pasti lebih hebat dibanding laki-laki itu!" seru Sakura dengan semangat.

"Hn."

Mendengar pujian dari sang adik, rupanya senyum kecil terlihat jelas tengah terpatri di bibir tipis Uchiha yang satu ini. Ia masih saja dengan sabar mendengarkan ocehan-ocehan dari sang adik di petang itu. Tak terasa, burung-burung gagak berkaok-kaok dan akan segera kembali ke sarangnya masing-masing. Mereka akan bersiap-siap untuk menghabiskan malam tenang ini dengan tertidur pulas di atas sarang rerumputan kering dalam pohon-pohon, tak peduli dengan peristiwa yang sebentar lagi akan terjadi di Northern Woods.

"Sakura."

"Ngg?"

"Kita ini bersaudara kan?"

"Tentu saja, nii-san! Memangnya kenapa nii-san?"

"Tidak. Hanya saja…"

"Apa?"

"Hn. Nandemonai. Tidurlah. Besok, kita latihan lagi. Kali ini, kalau kau berhasil menangkap kunai-kunai yang ada di pohon latihan itu sambil menaiki Taka, akan kuperbolehkan kau untuk berlatih menggunakan pedang perak ini."

"Aa! Sungguh?"

"Hn."

"Sakura sayang nii-san! Sangat sayang! Arigatou ne~ Sasuke-niisan!"

…pelukan itu rasanya aneh sekali. Mereka bersaudara kan? Tapi, kenapa rasanya memang berbeda? Apakah takdir kejam yang bernama kutukan sang kembar itu benar-benar ada? Kenapa saat takdir telah mengikat kedua insan ini dengan benang merah, benang merah lainnya muncul secara tiba-tiba dan memutus benang yang sudah saling terikat satu sama lain itu? Bukankah hal itu sangat jahat?

Sungguh sangat jahat bukan?


~Knight in The Silver Armor~


"Gaara-sama?"

"Hn. Ada apa Yashamaru-san?"

"Sudah larut dan Anda masih terus saja berada di kapel ini. Anda sebaiknya beristirahat, Gaara-sama. Esok, the gypsy akan datang dan membicarakan masalah fenomena alam yang terjadi di Paravel Count saat ini."

Pemuda berambut merah darah itu berbalik. Posisi tak nyaman yang terbentuk oleh kedua lutut kakinya kini kembali menjadi normal. Ia terus saja berlutut tepat di hadapan lambang salib besar di sebuah kapel kecil di Cair Paravel. Entah apa yang dilakukannya namun terlihat dengan jelas bahwa sang penerus kini sangat lelah dengan semua hal yang terjadi pada dirinya. Mungkin, dengan terus berdoa maka ia akan mendapatkan jawaban dari sebuah kehilangan akan bagian dari dirinya. Tapi, ia tidak tahu kehilangan apa yang tengah dirasakannya.

"Saya mohon Gaara-sama, Anda tak perlu memaksa diri Anda seperti ini. Lagipula—"

"Hanya dengan ini aku bisa tahu kesalahan apa yang sudah kuperbuat, Yashamaru-san. Ya. Sebuah kesalahan yang entah apa itu. Namun, terasa begitu sakit di dalam sini. Aku juga merasakan sebuah kehilangan dan perasaan itu memperburuk rasa sakit di sini, tepat di sini."

Dada kiri. Tepat di jantung. Ia meletakkan telapak tangannya tepat di bagian itu. A heart.

"Gaara-sama…"

"Sebentar lagi, Yashamaru-san. Sebentar lagi…"

"Baiklah, jika itu yang Anda inginkan Gaara-sama."

Maka, sang pelayan yang sangat setia itu berjalan mundur dan keluar dari kapel pribadi milik sang penerus Cair Paravel. Sang Calon Raja dari Paravel Count—ibukota negeri fantasi ini. Sebuah negeri di mana kutukan akan kelahiran dua anak kembar benar terjadi…

"Di mana bagian yang hilang itu berada? Kami-sama, tunjukkan padaku…"


TSUZUKU


~(oOOOo)~

OK. Ini memang fic yang timbul dari obsesi saya terhadap kisah ksatria dalam baju besi perak. Dan tak lupa juga, fic ini adalah sebuah pelampiasan. Tolong, jangan marah. Ah! Ada juga orifict yang harus saya selesaikan. Dan saya belum mampu melepaskan pelampiasan itu melalui orifict itu! Gyaaa~

Uehem! Cair Paravel itu sebenarnya adalah istana milik The Pevensies di The Chronicles of Narnia. Daripada saya bingung, mending saya ambil saja dari situ. *plakk*

Maaf bila ada miss-typo dan hal aneh-aneh lainnya. Fic ini saya persembahkan untuk Shirayuki Amane dan Furu. Hope you like it, sis. ^^