Main Cast : |EXO|
|Suho|Kris|Luhan|Baekhyun|Jongdae|Kyungsoo|
Other Cast : Infinite Myungsoo, B.A.P Daehyun
Genre : Crime, Friendship, Drama, Angst
Rate : T+
Disclaimer : Semua cast disini bukan milik saya. Saya disini hanya meminjam nama mereka. Fict ini hasil murni peresan otak saya.
Summary : Berawal dari sebuah pengkhianatan yang membuahkan kebencian. Darah dan peluh yang bertumpah merupakan saksi dimana sebuah pengorbanan dilakukan untuk setiap hati yang tersakiti dalam meraih sebuah kata maaf pada akhir perjuangannya.
Warning : OOC, Typo(s) bertebaran, penggunaan EYD gak tepat, cerita abal dan pasaran, imajinasi terbatas dan seadanya, membuat anda merasa pusing dan mual.
Don't Like Don't Read!
Happy Reading…..
~O.O~
Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menikmati sebuah kebebasan yang tak berbatas dinding empat segi. Mengukir ribuan langkah tanpa batasan luas. Menikmati matahari pagi sepanjang musim panas atau menggulung diri di antara tumpukan selimut saat musim dingin tiba.
"Mungkin tiga puluh menit lagi aku sampai disana."
Pemuda itu sedikit mengurangi laju kendaraannya, seiring dengan kendaraan yang beriringan bersamanya. Beberapa meter di depannya lampu di persimpangan jalan berubah merah.
Ia membenahi letak spionnya. "Itu cerita lama. Akan lebih baik menjauhi urusan dengan pihak kepolisian." Ia menyunggingkan sebuah senyum mendengar jawaban dari ujung ponselnya.
"Pastikan kau tidak meninggalkan rumah saat aku datang."
Dengan itu Kris melemparkan ponsel ke kursi di sampingnya. Kedua matanya fokus ke depan namun sesekali melirik untuk memastikan tangannya yang lain bekerja dengan benar.
Kris meletakkan sikunya pada jendela mobil yang terbuka lebar, menyangga kepalanya. Sepoi-sepoi angin yang menerobos lewat jendela menyibakkan surai pirangnya yang berkilau ditempa cahaya matahari yang mengintip disela awan.
Ditemani alunan melodi yang tercipta dari audio dalam mobilnya, ia melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Hal yang dulu sangat jarang dilakukannya.
Jalan yang dipilihnya cukup lengang siang itu. Cukup sulit ia mengekang keinginannya untuk tidak menginjak pedal gas dengan kecepatan tinggi. Lintasan yang tersaji di depannya seolah mengirim sebuah tantangan yang angkuh pada dirinya.
Entah berapa lama Kris bergelut dengan gejolak dalam dirinya. ia sudah membuat keyakinan untuk menjauhi kerusuhan dan keterlibatan dalam suatu tindak pelanggaran hukum.
Ada hal dalam masa lalunya yang tak pernah gagal membangkitkan perasaan bencinya pada seseorang. Ia terus mengucapkan kata bahwa semua akan ia lenyapkan dan dimaafkan. Namun, Kris juga seorang manusia biasa yang mudah tersulut emosi.
Tak ayal kebencian yang coba ia pendam akan kembali berkuasa dan menghapus sebuah kata maaf dalam hatinya. Dan mengingat itu kembali rasa dendam pun mengubur untaian maaf yang perlahan ia rangkai.
Kris mencuri pandang ke langit cerah, sesuai seperti yang ia dengar di pemberitaan pagi ini. Sebuah helikopter berlukis lambang kepolisian terbang pelan sedikit jauh di sisi belakang mobilnya. Ia mengerutkan dahinya saat beberapa pertanyaan dengan mudahnya termuntahkan dari otaknya.
"Ini mengingatkanku pada cerita lama." Tapi Kris tak ingin peduli lebih jauh. Ia tidak merasa terancam seperti dulu karena memang mereka tidak punya alasan untuk menangkapnya. Kris mengendikkan bahunya acuh. Kembali terfokus pada jalanan.
Suara sirine datang berlomba untuk mencapai ruang dengarnya. Ia bisa memperkirakan jumlahnya tidak sedikit. Kris melirik spion mobilnya dan mendapati sejumlah mobil kepolisian berkejaran mendekat.
Kris masih sempat tersenyum sebelum suatu kebodohan yang tidak ia rencanakan hinggap pada dirinya. ia menginjak pedal gas, menambah kecepatan mobilnya setelah pengeras suara menyebutkan namanya dan memintanya menepi.
"Ah! Sial! Apa lagi kali ini?"
Mobil Kris melaju cepat membelah jalanan. Menghindar cepat pada setiap kendaraan yang ia lewati. Setir mobil terbanting ke detiap arah guna mengecoh pengikut yang melaju di belakangnya.
"Kris Wu! Segera menepi!" Dengungan pengeras suara samar terdengar olehnya. Kris berdecak sembari menambah kecepatan kendaraannya.
Ia melupakan prinsip yang ia buat sebelumnya.
Kris berkelit dari mobil pengejarnya. Melewati jalanan sempit dan sulit untuk mengecoh. Seharusnya ada seseorang untuk menghentikan kebodohannya.
Kemampuannya tidak berkurang. Perlahan ia bisa mengikis jumlah mobil polisi yang coba mengepungnya. Sungguh, ia pasti tidak tahu seberapa besar kekacauan yang dibuatnya. Mobil-mobil bersinggungan di persimpangan.
Senyum Kris lenyap secepat laju kendaraannya setelah keluar dari terowongan. Disinilah seorang Kris berakhir. Setiap sudut merupakan hal yang mustahil untuk ditembusnya. Sirine bersahutan dan berkelip di depan matanya. Puluhan pistol mengarah padanya.
Perlahan ia keluar dari mobilnya, mengangkat tinggi dua tangannya. Pengeras suara mengumandangkan untaian kata-kata yang mengirimkan efek buruk bagi dirinya.
Kris mendelik akan setiap kata yang menusuk ruang dengarnya. Wajahnya mengeras seketika. Puluhan kata umpatan menggunung dalam hatinya. Ia di dorong ke salah satu mobil polisi.
Kedua mata tajamnya menyempatkan menoleh sejenak melihat kembali mobil miliknya sebelum melangkah masuk ke dalam mobil polisi. Matanya menyipit. Detail-detail yang sempat terlewatkan membuatnya tersadar detik itu. mengisyaratkan bahwa ia mengendara mobil yang berbeda.
Dua orang duduk di tiap sisinya, sekedar memastikan bahwa ia tidak punya ruang untuk melarikan diri. Sebuah borgol mengekang tangannya. Sorot matanya tajam menghujam ke depan.
Kris takkan pernah menggumamkan kekaguman atas skenario brilian yang di dibuat khusus untuknya.
"Satu pihak terakhir berhasil lolos. Ia benar-benar sangat pandai berkelit." Ujar seorang pria dalam setelan jas resminya setelah masuk ke mobil yang sama dengan Kris. Ia mengambil alih kemudi.
"Sayang sekali…..tapi itu tidak akan jadi masalah." Balas sosok di kursi depan, sempat melirik Kris melalui kaca spionnya. Kris tidak ada sedikit pun niatan untuk terlibat, memandang malas keluar jendela mobil yang tertutup rapat.
Sepertinya Kris memilih hari yang tidak tepat untuk berkunjung. Tetapi, jangan terlalu cepat membuat keputusan.
Ada sebuah perkataan bahwa kau tidak akan selalu menemukan sebuah kebaikan setiap harinya. Itu berarti Kris bukan satu-satunya orang yang luput dari hal itu. Dan Kris tak akan peduli jika seseorang akan menertawakan kesialannya hari ini.
"Menurutku, kau masih saja ceroboh dan salah perhitungan."
Joonmyeon tertawa setelah melempar ponselnya ke sofa ruang tengah rumah kecilnya yang nyaman dan bersih dalam definisinya sendiri. "Kau perlu mengoreksi perkataanmu Kris." Ia menggeleng pelan.
Melihat bagaimana cerahnya hari ini, Joonmyeon berfikir ini merupakan saat yang tepat untuk menikmati hangatnya matahari di tepi pantai. Tapi ia teringat untuk tidak mengecewakan seseorang yang mengharapkan sebuah pertemuan dengannya.
Dengan sebuah senyum yang mengembang, kedua tangannya sungguh terampil meracik secangkir kopi untuk menemaninya. Suara televisi dibiarkan memenuhi atmosfer rumah untuk mengusir kesunyian.
Alunan senandung membumbung lirih, cukup untuk membuktikan suasana hatinya yang baik. Joonmyeon melirik sejenak jam dinding yang membeku di sudut ruang tengah rumah kecilnya sebelum terduduk di sofa.
"Sebentar lagi."
Ia menyesap kopi buatannya perlahan. Paduan rasa meledak di lidahnya. Kali ini saluran televisi menayangkan acara komedi favoritnya. Joonmyeon bergerak gelisah karena tawanya sendiri.
Ia memegangi perutnya yang terasa sakit saat tawanya mereda. Kembali menyesap sisa kopi yang masih mengisi cangkirnya.
Joonmyeon punya tingkat waspada yang sangat baik. Ia tidak cukup bodoh untuk menyadari derit kendaraan yang mendekati kediamannya yang berjauhan dengan rumah lain. "Tamuku datang lebih cepat dari perkiraanku."
Ia hanya menyunggingkan sebuah senyuman penyambutan tanpa beranjak dari duduknya. Melanjutkan untuk menikmati cairan dalam gelasnya. Satu tangannya meraih ponsel di samping tubuhnya.
Setelah mengirimkan sebuah pesan, Joonmyeon menghapus setiap data dan menghancurkan kartunya. Ia memandang sebuah layar di salah satu sudut ruang tengahnya. Setiap detail pergerakan dalam radius yang telah ditentukannya pasti akan mudah terbaca olehnya.
Joonmyeon bersandar nyaman pada sofa menyilangkan kakinya. Ia mengurangi volume televisi. Suara derap langkah dan gemeletuk benda logam terdengar hingga telinganya.
Pintu ruang depan dan sisi belakang rumahnya dibuka paksa. Debuman kencang saat pintu membentur dinding hilang dengan teriakan yang bersahutan dari beberapa sumber yang merangsek masuk kediaman Joonmyeon.
"Kim Joonmyeon, kau dikepung!"
"Angkat tangan dan diam di tempat!"
Ia tetap tenang dan santai di atas sofa. Harusnya ia meminta untuk tidak berteriak dan merusak harinya yang sempurna hari ini. Bahkan saat dua orang memasang borgol di tangannya ia tetap melemparkan senyumnya.
Ada persamaan mengenai keengganan kedua sosok dalam berurusan dengan pihak kepolisian. Mereka tentu punya alasan. Joonmyeon merasa kali ini ia diperlakukan lebih baik. Tidak ada cekalan yang kuat pada lengannya atau pun luka di wajahnya.
Dalam ingatan Joonmyeon, semua hal masih terlihat sama saat pertama ia digiring keluar kendaraan. Hanya saja jalan dan lorong yang dilaluinya sangat berbeda. Setiap pintu memiliki sebuah papan menggantung di depannya.
"Kau tunggu disini."
Joonmyeon ditinggalkan sendirian di sebuah ruangan yang cukup luas. Sebuah meja oval dan beberapa kursi yang mengitarinya. Layar televisi besar dan proyektor mengisi sudut yang lain. Jendela besar mengumbar keelokan hiruk pikuk kota.
Ruangan yang dahulu lebih sempit dan gelap dimana sebuah lampu menggantung di atas kepalanya. Joonmyeon duduk di kursi kayu dengan sebuah meja kecil di depannya.
"Kalian berhasil merenggut hariku yang tenang."
Joonmyeon berdecak kesal. Mendudukan dirinya pada salah satu kursi yang terdekat. Suara pintu yang terbuka menghentikan senandungnya.
Wajah muram yang terlipat seribu menunduk sebelum mereka saling melemparkan pandangan. Sosok itu terlihat terkejut mendapati siapa yang dijumpainya. Joonmyeon ingin tertawa keras mendapati wajah pemuda itu.
"Bagaimana kau….."
"Tak perlu kujelaskan pasti kau tahu apa yang terjadi bukan?" Joonmyeon lebih cepat menyela. Kris merangsek mengambil sebuah kursi yang lain, berseberangan dengan pemuda yang lain. "Kupikir kali ini aku tidak membuat masalah." Ucap Kris memasang raut masamnya.
Joonmyeon sedikit menggoyang kursinya. "Disana letak intinya. Mereka ingin kita membuat masalah." Kris menautkan alisnya. Melirik Joonmyeon di depannya yang terhalang meja oval.
"Seingatku kita tidak punya catatan apapun." Kris mengucapkannya sedikit pelan. Memutar arah pandangnya hanya untuk mendapati beberapa kamera pengawas yang terpasang di sudut atas.
Tak ada yang memulai lagi perbincangan hingga Kris merasa ada yang mengganjal pikirannya. "Hanya kita berdua?" Joonmyeon mengangguk.
Joonmyeon menoleh setelah puas memandang gedung-gedung tinggi yang berjajar rapi. "Siapa lagi yang kau harapkan ada disini? Luhan?" ia menaikkan kedua alisnya seirama dengan senyum kecilnya.
Kris meliriknya tajam sementara Joonmyeon tertawa geli memandang wajah pemuda itu.
Kedua atensi teralihkan oleh empat orang yang turut memenuhi ruangan itu. Satu yang paling depan memiliki pangkat yang tertinggi diikuti dua orang berseragam lain dan satu sosok dengan setelan kemeja menenteng sebuah tas hitam.
Joonmyeon mengernyit mendapati wajah itu. Tubuh tegap dengan wajah angkuh terpasang. Sangat tidak bersahabat di matanya dan diluar prediksi yang sempat melintas di kepalanya.
Kris tak sedikit pun sempat untuk terkesima atau memberikan penilaiannya pada mereka. Ia memalingkan wajahnya. Cukup beralasan karena merusak hidup tenang yang mulai ditatanya kembali.
"Kalian terlihat akrab." Ujar sosok itu tanpa kesan baik dalam kalimatnya. Kris tidak tertarik dengan lelucon buatannya. "Hal itu tidak perlu ditanyakan." Balas Joonmyeon memberi kesan baik.
Laptop terbuka. Jemari menari terampil menyibak kertas yang tersusun rapi. Lembar-lembar beterbangan riang ke hadapan kedua sosok di sisi lain meja. "Sebelumnya mungkin kami perlu meminta maaf." Sosok lain dengan seragam kepolisian membuka suara.
Joonmyeon melirik sejenak dan menangkap sebuah papan nama bertuliskan Kim Myungsoo tersemat di dadanya. "Kejutan kalian berhasil. Kurasa." Tutur Joonmyeon yang mana membuat Kris mendengus. Myungsoo tersenyum canggung mengikuti arah pandang Joonmyeon.
Joonmyeon membuat gestur mempersilahkan. Myungsoo menetralkan suaranya. Berdehem sekali untuk mengusir keraguan. "Baiklah, di depan kalian ada catatan…."
"Bisakah kita langsung saja pada intinya? Kami bisa mempelajarinya di luar pertemuan ini. Kalian cukup paham definisi menghemat waktu."
Myungsoo mematung mendengar ujaran Kris. Ia bertukar pandang dengan dua temannya yang lain seolah meminta solusi. Menengokkan kepalanya sedikit ragu pada pemimpinnya dan kembali menyentuh kursi setelah mendapat isyarat.
"Semangat yang bagus. Tidak salah kami menjemput kalian." Kali ini Kris merasa harus menanamkan nama pemuda itu dalam memorinya. Jung Daehyun, keangkuhannya sungguh membunuh suasana hati Kris seketika.
"Terima kasih." Kris harus mengakui kelebihan Joonmyeon menyembunyikan kekesalannya. "Kau tidak perlu mengucapkan itu." Tutur Kris sarkastik. Joonmyeon mengangkat kedua bahunya.
Daehyun menautkan jemari tangannya di atas meja. Memandang lurus pada jendela besar yang menembus pemandangan kota Seoul yang memanjakan mata.
"Kalian harus….."
Puluhan pasang kaki berlalu lalang saling berpapasan seiring dengan suara tirai yang tersibak. Hembusan angin menerbangkan kepulan asap kecil dan aroma khas yang menusuk penciuman. Mengirimkan impuls ke otak untuk memerintah sepasang kaki berubah arah.
Mangkuk-mangkuk berjajar di atas meja kecil yang disusun rapi di bawah tenda. Denting sumpit beradu bersahutan. Riuh rendah gemuruh suara melengkapi atmosfir sore.
"Yaa…yaa…jangan lupa datang kembali." Baekhyun melambaikan tangannya riang pada sepasang pengunjung yang baru saja keluar kedai kecil itu.
Ia duduk di satu sudut dengan meja terdepan tenda itu. "Terima kasih atas kunjungannya." Pemilik kedai tidak sedikit pun merasa dirugikan karena bising suara Baekhyun yang bersaing dengan bisikan pengunjung. Hal itu justru menambah nilai tersendiri dalam kedainya.
Seorang gadis berseragam sekolah berhenti di hadapan Baekhyun. Rambut hitam sebahu dengan poni menutupi seluruh dahinya lengkap dengan sebuah pita merah di sisi kanan kepalanya.
Baekhyun menarik kedua sudut bibirnya. Tersenyum manis bersamaan dengan kedua matanya. "Suaramu sangat indah. Besok aku ingin datang lagi untuk mendengar nyanyianmu." Tentu saja ia akan tersanjung oleh pujian itu.
"Terima kasih." Gadis itu berlalu meninggalkan kedai. Berlari girang menyembunyikan rona merah di kedua pipinya.
Baekhyun bangkit dari kursi yang entah sejak berapa menit lalu menjadi peraduannya yang nyaman. Ia mendekati bibi pemilik kedai ramen yang menyambutnya dengan senyuman ramah.
"Bibi maaf aku mengusik kedaimu." Wanita itu menggeleng menepuk pundak Baekhyun. "Justru kami sangat senang. Terima kasih nak." Balasnya sangat tulus.
Jangan berfikir jika Baekhyun bekerja disana. Tentu saja itu bukan jawabannya.
Baekhyun membungkuk dan pergi. Sebelumnya ia sempat menolak halus ketika pemilik kedai ingin membawakannya beberapa bungkus.
Begitulah Baekhyun yang mencari cara untuk menyenangkan dirinya tanpa ingin merugikan orang lain. Matahari yang bersemu jingga perlahan mengucap perpisahan dimana gerbang malam hampir terbuka.
Pemuda itu menyusuri jalanan yang selalu ramai. Ia menghentikan langkah di depan sebuah toko. Menimbang-nimbang suatu hal yang akan jadi kesenangannya selanjutnya.
"Pemikiran yang bagus Byun Baekhyun. Mereka pasti senang dengan kedatanganmu."
Tubuhnya berbelok. Baekhyun mendongak sejenak untuk mengintip nama toko yang dimasukinya sebelum mendorong pintu kaca yang berhias kartun. Perutnya tiba-tiba menjadi lapar karena aroma kue yang harum menguar.
Seorang pegawai pria dengan tekun mendengar setiap pesanan Baekhyun. Satu per satu berpindah dalam sebuah kantung karton yang kini digenggam Baekhyun dengan riang.
Ia membuka kembali bungkusan yang ada di tangannya saat berada di depan pintu. Sorakan riang bergemuruh dalam hatinya. Tidak ada satu hari pun tanpa ia mengumbar sebuah senyum maupun tawa.
Namun, senyumnya lenyap seketika. Tubuhnya menegang dengan mata kecilnya yang membola. Bagaimana ia tidak menyadari kehadiran seseorang dibelakangnya.
Ada sebuah benda keras yang menempel erat di sisi punggungnya. Jantungnya berdetak cepat memompa darah ke setiap bagian tubuhnya. Jika ia berlari maka hidupnya pasti akan berakhir seketika.
"Byun Baekhyun, urusan kita selama ini belum selesai." Ucap sosok itu lirih. Cukup untuk Baekhyun mengerti ucapannya. Ujung yang tumpul semakin menekan punggung tegapnya.
"Jangan pikir bahwa kau bisa menghindar dariku." Tuturnya dengan suara beratnya yang dalam.
Baekhyun tersenyum kecil, menahan untuk tidak melakukan kesalahan saat itu juga. Niatnya untuk berbalik tertahan karena sosok itu memberi penekanan untuknya tetap menatap ke depan. Hal yang percuma mengingat ia begitu jelas mengingat suara itu dalam kepalanya.
Saat gerbang malam baru saja terbuka, Baekhyun pikir tidak ada salahnya mengikuti aturan permainan orang tersebut. Pada dasarnya, ia selalu memiliki sangkut paut masalah dengan pemuda di belakang tubuhnya.
Baekhyun mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. Sisi yang lain terasa lebih sulit karena sebuah kantung yang dipertahankannya. "Apapun yang kau inginkan. Jangan buang-buang waktu." Balas Baekhyun terdengar santai.
Kali ini Baekhyun membalikan badannya, bertatapan langsung dengan kedua manik mata setajam elang sosok itu. Seorang pemuda berpakaian resmi tak akan luput dalam pandangan matanya walaupun tertutup jaket kulit berwarna hitam itu.
"Berikan satu alasan mengapa aku tidak harus membunuhmu."
.
.
.
.
.
T.B.C
**…..**
Lagi-lagi saya iseng buat nulis fict EXO dengan genre yang berbeda. Fict yang lainnya masih dalam proses penyelesaian sementara otak saya gatel sama ide yang ini.*sok banget*
Tentunya masih banyak kekurangan disana sini dan saya minta maaf untuk itu. Seperti apapun respon nyh saya akan berusaha meneruskan fict ini. Review itu merupakan bonus tersendiri dari kepuasan yg di dapet dari penuangan ide.*bahasa ketinggian*abaikan*
Saya akan berterima kasih jika ada yang berkenan meninggalkan jejak nyh karena saya butuh saran sebagai pendukung proses belajar saya dalam menulis cerita fiksi.
Sampai jumpa chapter depan yang saya belum yakin kapan.*nyengir*
