Senja secepat kilat menyulap kanvas biru menjadi kemerahan. Menemani seorang pria yang berjalan santai dengan tas ransel dipunggungnya. Sedang tangan tan itu asyik memainkan bola orange sembari sesekali dipantulkan, menemani tiap langkah kakinya. Naruto, nama pria tersebut, sibuk menggerutu sepanjang jalan, sebelum kegiatannya terhenti saat mendapati handphonenya bergetar dalam saku celana.

"NARUTO BAKA!" Naruto segera menjauhkan benda pintar itu dari range pendengarannya. Memutuskan untuk bergegas pulang, pria itu berhenti memainkan bola di tangan dan segera mendekap bola di sisi tubuhnya. "Ya Sakura-chan! Aku sedang dijalan, sebentar lagi sampai. Dan jangan salahkan aku, anak-anak itu yang terlalu bersemangat dengan menahanku pulang. Tak usah khawatirkan aku, ok?"

Di seberang telepon seorang wanita mencebikan bibirnya kesal, kenapa Naruto tahu semua yang akan ditanyakannya? "Si-siapa yang menghawatirkanmu, baka? Cepat pulang! Sepuluh menit aku tak melihatmu disini, katakan selamat tinggal pada persediaan ramenmu!"

"Hie...kejamnya!" Naruto memasang tampang takut, meski teman bicaranya tak akan bisa melihatnya. "Tapi kau tak akan berani kan, Sakura-chan? Ancaman itu tak akan mempan lagi padaku," ucapnya angkuh disertai cengiran lebar.

"Narutooo, kau menantangku? Lihat saja! Kali ini aku benar-benar akan membuang makanan tidak sehat itu, hingga habis tak bersisa. Kau dengar?" Diam-diam Naruto menyesal telah menantangnya, Ia bahkan dapat mendegar gemeretuk gigi gadis itu.

Naruto mengedarkan pandangannya tak fokus, berusaha mencari ide untuk dapat membujuk sang wanita merah muda. Sedetik kemudian birunya melebar mendapati sebuah mobil melaju kencang tak terkendali. Sontak ia mengalihkan pandangan ke arah sebrang jalan, dimana seorang wanita paruh baya terlihat terlalu shock untuk sekedar menggerakan tubuh untuk menyelamatkan diri.

"MENGHINDAR!"

BRAAKK

Precious Memories © NaouraIda

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: AU, Typos, Abal, Aneh, OOC, Alur kilat, NaruSaku.

Just for fun

Don't like? Don't read

.

~o0o~

.

Chapter 1 : Forget?

Naruto tidak tahu bagaimana cara tubuhnya bisa bergerak sendiri. Saat kesadarannya pulih, ia merasakan sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Saat mendapati lengan kokohnya mendekap erat wanita paruh baya tadi, tanpa sadar dirinya bernafas lega. Syukurlah dia tepat waktu, ia tak bisa membayangkan dirinya telat sedikit saja. Rasanya dia akan menyesal seumur hidup, jika membiarkan seorang wanita celaka di depan matanya.

Suara di sekitar terdengar seperti dengungan lebah ditelinganya, membuatnya mengernyit pelan. Naruto dapat mendengar suara pria dan wanita yang menanyakan keadaannya, juga suara panik dan bisik-bisik yang cukup mengganggu. Bangun dari posisinya, Naruto dapat melihat keadaan wanita paruh baya itu bebas dari luka. Hanya saja mata violet itu tak fokus, jelas menunjukan keadaannya yang terkena shock.

"Kau baik-baik saja, Ba-san?" Naruto tahu pertanyaannya terdengar retoris, hanya saja otaknya tak dapat memikirkan pertanyaan lain.

Seorang pria bersurai perak membelah kerumunan, tatapan rasa bersalah tergambar dalam bola matanya ketika menyadari keadaan nyonyanya. Pria itu segera menghampiri nyonyanya, memeriksa keadaan wanita itu. Mangalihkan pandangan hingga bersibobrok dengan biru Naruto. Naruto hanya menganguk saat pria itu berterima kasih padanya.

"Aku sudah menghubungi polisi, apa perlu kuhubungi rumah sakit juga?" Naruto mengernyit, polisi? batinnya bertanya. Lalu ia mengangguk ketika terdapat pemandangan mobil yang ringsek menabrak pohon tertangkap netranya. "Baiklah, aku akan menelepon dulu," tanggap pria perak itu.

"Ah, bukan." Pria perak menatapnya binggung. "Maksudku, tidak usah. Aku baik-baik saja," sambung Naruto menjelaskan.

"Kau yakin? Pelipismu berdarah."

"Hontou?" Terburu Naruto memegang pelipisnya, mendapati noda merah menempel di jarinya. Sepertinya tadi ia sempat terbentur trotoar. Beberapa detik kemudian barulah rasa sakit menghantam syarafnya, membuatnya meringis nyeri.

"Narutoooo!"

BRUKk

"Ugh!" Naruto merasa beban seberat gajah menimpanya, membuatnya hampir terjengkang. Protesan sampai di ujung mulut harus ia telan balik, kala warna pink memenuhi penglihatannya. "Sakura-chan?" Ahaha, lupakan soal gajah! Kau tahu wanita selalu senstitif tentang 'berat'. Dan Naruto masih sayang nyawa. Ia balas memeluk. "Hehe, kau menghawatirkan ku," godanya setelah melepas pelukan. Alis pirangnya naik-turun saat mendapati rona merah merambati pipi yang sering dikecupnya.

Naruto tak menyadari, bahwa merah itu bukan tanda tersipu malu. Tapi—

Gyuutt

"Aww, sakit Sakura-chan. Huwaa, lepaskan cubitanmu!"

—tanda marahnya seorang Haruno Sakura.

Naruto mengusap sayang pinggangnya yang menjadi korban siksaan Sakura. Gila! Cubitannya memang yang paling panas, ia yakin pinggangnya telah berubah warna saat ini. "Apa-apaan kau Sakura-chan. Kau menyakitiku," ucapnya dengan tampang memelas.

"Kau yang apa-apaan baka! Kau mau membuatku mati jantungan, huh? Kau tahu aku, aku―, hiks."

Deg.

Naruto tertegun saat memergoki netra emerland itu basah dan balas memandangnya khawatir. Penampilan wanita itu jelas berantakan, ia bahkan dapat melihat sandal rumahan masih melekat di kaki sakura. Bangkit berdiri, segera Naruto membawa tubuh bergetar itu dalam rengkuhannya, mengabaikan Sakura yang memberontak. "Sakura-chan, aku baik-baik saja."

"Kau bodoh, Naruto? Siapa yang mengijinkanmu terluka?"

"Tenanglah! Aku tidak akan meninggalkanmu," ujar Naruto tegas, membuat tubuh Sakura rileks. Naruto mengeratkan pelukan, berjanji tak akan membuat tubuh dalam dekapannya menangis lagi. Sakura adalah wanita paling tegar yang pernah dikenalnya. Sepengetahuannya wanita musim semi itu hanya pernah menangis saat ibunya meninggal. Naruto tahu, saat itu adalah waktu terberat yang dialaminya. Walaupun Sakura menutupinya dengan tawa cerianya Naruto tahu hal itu meninggalkan trauma mendalam. Dan Naruto tahu, Sakura tak akan sanggup untuk ditinggalkan lagi.

"Ehem." Kakashi meringis mendengar dehemannya sendiri yang terdengar mainstream. Namun matanya sudah jengah disuguhi adegan pertengkaran ala suami-istri yang diakhiri peluk-pelukan. Seperti dunia milik berdua saja. Kakashi kan jadi iri. Eh?

Sekarang sepasang manusia itu tersipu malu di depannya. "Sekali lagi, terima kasih," ucap Kakashi lalu membungkuk dalam. "Ahaha, tidak masalah." Pria pirang balas membungkuk, ia menggaruk pipi yang tak gatal. "Syukurlah semua baik-baik saja," katanya saat mendapati wanita paruh baya yang ditolongnya kini dalam keadaan baik. Kakashi dapat melihat senyum lega yang tulus ditujukan untuk nyonyanya. Lalu mata Kakashi membentuk huruf U terbalik, saat nyonyanya juga membungkuk dan mengucap terima kasih sambil mengulas senyum. Senyum itu, Kakashi sudah tidak ingat kapan terakhir kali melihatnya. "Ah, sepertinya ini waktu untuk memberikan keterangan, ne?" sambungnya sambil melirik beberapa polisi yang menghampiri mereka.

"Ah, ya tentu." Pria pirang membalas ajakan sang polisi dan berjalan lebih dulu sembari menggandeng wanita merah muda.

"Sakura-chan kau mau mengobatiku kan?" puppy eyes dipasang.

"Tidak."

"Tapikan, ini sakit sekali."

"Rasakan! Itu akibatnya karena membuatku berlari seperti orang gila dari rumahmu."

"Ahaha, itukan tanda kalau Sakura-chan sangat peduli padaku. Kau tak bisa hidup tanpaku, kan?" cengiran menggoda membuat pipi bersemu malu.

BLETAK

"Arghh"

"Kau tak apa-apa kan Naruto?" Cemas mendominasi membuatnya mengusap pirang.

Jarak keduanya terpotong. "Ahahaha." Tawa berusaha menutup semu merah.

"Narutoo..."

"Sakura-chan sakitnya beneran kok."

Kakashi yang merasa dikacangin lagi berusaha tertawa, yang kemudian disesalinya karena terdengar aneh.

"Kakashi, cari informasi pria pirang itu!"

"Tentu, Nyonya," jawabnya sambil tersenyum.

"Sudah kubilang, jangan panggil aku nyonya!" gerutunya sambil berjalan menyusul dua orang yang masih meneruskan pertengkaran 'kecil'nya.

Ah, sepertinya nyonyanya baik-baik saja.

.

.

.

Naruto tidak menyukai segala macam sayur mayur, apalagi yang bewarna hijau. Menurutnya semua itu akan terasa pahit di indera pengecapnya. Naruto juga tidak suka jika harus sakit. Karena orang sakit harus minum obat. Rasa obat yang pahit akan mengingatkannya pada pahit sayur yang dibencinya. Dan Naruto sangat yakin bahwa ini hari tersialnya, karena mendapati dua benda itu disajikan dengan 'manis' dengan jumlah yang 'sedikit' hingga memenuhi meja panjang di depannya. Sepanjang mata memandang adalah hijau, membuat matanya sakit saja.

"Kau harus menghabiskannya, Gaki! Bersyukurlah karena aku mengundangmu makan malam di rumahku." Tsunade, tetangga sebelah rumahnya itu tersenyum iblis. Bak mengirimkan telepati berisi 'habiskan atau kau yang akan kau habisi' membuat Naruto dengan terpaksa memasukan benda itu sedikit demi sedikit ke dalam mulutnya dengan paksa.

"Setelah itu minum obatmu." Tsunade menyodorkan obat dengan berbagai macam bentuk dan warna. Dari mulai tablet, kapsul sampai...sirup? Melihat benda pelangi itu saja Naruto sudah merasakan pahit di ujung tenggorokannya. "Aku akan menyuruh Sakura untuk mengawasimu, jadi jangan coba-coba untuk membuangnya." Naruto menganga, di-dia tahu rencanaku? "Jangan lupa ganti perban dikepalamu. Sementara ini jangan membuatnya basah, dan―" Dan Naruto hanya mengangguk-ngangguk menanggapinya, membiarkannya masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Kadang Naruto tak habis pikir, entah keberuntungan atau petaka dirinya bisa bertetangga dengan dokter wanita tua yang membuka klinik di rumahnya. Kan kalau sakit bisa periksa gratis gitu, tinggal melangkah pula. Ingat, tetangga itu harus saling membantu. Tapi jika harus menghadapi ocehan tentang gaya hidup sehat setiap hari sih, Naruto kan jadi merana.

"Sudahlah Tsunade, biarkan si Gaki ini menghabiskan makanannya." Gah, dasar kakek tua! Bilang saja jika sudah tak sanggup memakan sayur hijau itu.

"Ah, kau juga akan menghabiskan makanmu kan, Jiraiya?" Tsunade menyendok sup brokoli banyak-banyak dan menyodorkan pada suaminya sambil tersenyum manis. Sedangkan Jiraiya dengan kaku menerima suapan istrinya, mengunyahnya dengan kaku pula. Naruto seperti mendengar suara batu yang dikunyah. Yah setidaknya Naruto tak sendirian.

Setelah melewati semua penderitaan hijau yang menyiksa, Naruto secepat kilat pamit untuk pulang. Tidak mau mengambil resiko yang dapat membuatnya mual untuk berada di rumah sepasang suami-istri tua tapi enerjik itu lebih lama.

"Oy Gaki, kau tak usah masuk besok, aku sudah mengizinkanmu tiga hari. Tapi jangan lupa, lusa kau harus tetap hadir di rapat persiapan olimpiade. Aku serahkan padamu." Jiraiya berkata sebelum Naruto mencapai gagang pintu, lalu menghampiri si blonde dan menepuk-nepuk pundaknya. "Kau harus berterima kasih pada bosmu yang baik hati ini Gaki. Pergunakanlah waktu liburmu dengan menikmati gadis-gadis cantik dan seksi, hehe." Kini Jiraiya memasang tampang mesum hingga hampir meneteskan liur, membuat Naruto mengernyit. Kakek tua itu pasti sedang memikirkan sesuatu yang berbau ero.

"Ha'i ha'i, kalau begitu aku pamit, Ero sennin"

BLAM

.

.

.

"Kau sudah mendapatkannya Kakashi?"

Kakashi tersenyum dibalik maskernya, "Ada beberapa data yang kurang, sepertinya mata-mata kita memerlukan lebih banyak waktu."

"Begitukah?" katanya setelah menyesap teh hijau dalam cangkir di genggamannya.

"Ya, tapi kita sudah dapatkan beberapa. Ia bekerja di Konoha School," kata Kakashi sembari membuka map berisi berkas targetnya. Lalu tersenyum senang saat mendapati senyum ceria nyonyanya.

"Ah, Konoha School? Seperti nostalgia kan Kakashi?" Cangkir teh disimpan. Tatapan menerawang terpantul dalam violetnya.

Kakashi mengangguk, "Lalu apa tindakan kita sekarang?"

"Kirimkan orang kita kesana, kita butuh lebih banyak informasi." Sederet orang sudah terfikir dalam otak Kakashi, ia tersenyum tanda menyanggupi.

"Kakashi."

Kakashi terdiam, ia tahu nyonyanya masih belum menuntaskan kalimatnya.

"Apa yang kulakukan benar kan?"

"..."

"Katakan Kakashi, apa aku terlalu berharap?"

Bahkan setelah secangkir teh nyonyanya habis pun, Kakashi tak kuasa menjawab.

.

.

.

Naruto menutup pintu rumahnya. Hari ini ia berencana pergi berbelanja setelah kemarin mendekam seharian dalam kamarnya. Persediaan ramennya habis, sepertinya ia terlalu banyak menyeduhnya kemarin.

Mengeluarkan motor besarnya dari garasi, bersiap melaju meninggalkan pekarangan rumahnya. Sebelum suara seseorang yang dikenalnya menginterupsi. "Naruto!" Sakura melambaikan tangan, membuat Naruto menghampirinya.

Sakura masih menggunakan jas dokternya, wajahnya terlihat cukup lelah. Terlihat sekali wanita Haruno itu baru menyelesaikan sift malamnya. Klinik Tsunade baa-chan memang selalu ramai pikir Naruto. Ingatkan dirinya untuk mengajukan protesan tentang hak-hak pegawai pada nenek awet muda itu. "Kau mau pulang, Sakura-chan," katanya basa-basi.

Sakura menggendikkan bahu, mengisyaratkan 'sudah jelas bukan.' Lalu emerlandnya menjelajahi tubuh pria di depannya. Pria itu memakai pakaian rapi dilapisi jaket dan topi hitam menutupi kepala yang diperban "Kau mau pergi?" Naruto mengikuti gestur Sakura, itu pertanyaan retoris. Sakura memutar bola matanya, "Maksudku, kau masih harus banyak istirahat, baka! Kau mau keluyuran di hari panas terik begini?"

"Ehehe, Aku hanya akan pergi ke swalayan kok. Bukannya keluyuran," jelas Naruto.

"Kalau begitu, Aku ikut." Tanpa menunggu persetujuan, Sakura dengan gesit segera menaiki kendaraan roda dua itu. Tangannya merambat memeluk pinggang lelaki itu, bergerak menyamankan posisi.

"Eh?" Naruto masih loading.

Sakura mendengus, melonggarkan sedikit pelukannya, "Tunggu apa lagi, ayo jalan!"

Naruto menggaruk tenggkuknya, "Kau tidak usah mengantarku, Sakura-chan. Aku bisa sendiri kok."

"Siapa yang mau mengantarmu." Sakura gelagapan, ia berusaha menjaga nada suaranya agar terdengar ketus, "Jangan kege-eran ya! Aku juga mau membeli sesuatu."

"Souka!" Suara Naruto terdengar girang. "Kalau begitu, pegangan Sakura-chan." Tanpa tedeng aling-aling Naruto melajukan motornya bak dikejar polisi karena ketahuan mencuri.

"Kyyaaaaaaaaaaaa."

Sepertinya Sakura melupakan kebiasaan Naruto dan motor besarnya.

.

.

.

"Ok, aku minta maaf, Sakura-chan. Ayolah, aku kan sudah memperingatkanmu tadi."

Sakura makin mengerucutkan bibirnya kesal. Naruto pikir dia itu pembalap apa? Sudah tahu jalanan ramai karena jam makan siang, tapi dengan santainya Naruto menyalib pengendara lain bak kesetanan dengan kecepatan setara ibu-ibu brutal yang mengincar barang diskonan. Hey! Ibu-ibu yang mengatur pengeluaran bulanan sehemat mungkin (dengan diskon) bahkan memiliki kecepatan mengalahkan pembalap manapun.

Bodoh! Bahkan setelah memeluk seerat yang Sakura bisa pun terasa jantungnya hampir tertinggal di perjalanan. Dan si bodoh itu menanyakan keadaannya dengan cengiran polos tanpa dosanya. Dasar bodoh!

"Ne, Sakura-chan. Kau menerima permintaan maafku kan?"

"Tidak."

"Hee, kenapa?"

"Kau, masih bertanya, huh?" sakura mencebik.

CEKREK

"..."

"Kau memotretku?"

Naruto mengeleng. Sakura melotot. Naruto mengangguk.

"Kau tetap cantik kok, walau sedang marah."

"Kemarikan!" tangan menengadah.

"Tidak." Naruto memasukan ponsel dalam saku celana. Posisi bertahan.

Sakura menyerah. Ya sudahlah! Lain kali ia akan mencuri handphone Naruto, menyembunyikannya, dan menghapus semua data di ponselnya. Ia yakin Naruto menaruh video mesum dan data tidak penting bersama ratusan fotonya yang Naruto ambil diam-diam. Sakura tertawa dalam hati membayangkan betapa nelangsanya Naruto saat ponselnya hilang. Memikirkannya membuat Sakura tambah bersemangat dengan kegiatan belanjanya.

Naruto setia menjadi ekor Sakura yang dengan tenaga monsternya memasukan segala macam barang pada keranjang yang didorong Naruto. Sepertinya Sakura sedang membuktikan teori bahwa belanja dapat memperbaiki mood seorang wanita. Namun cara berjalan Sakura yang tergesa ditambah Naruto yang terus mengoceh dibelakangnya, tentu menarik perhatian pengunjung lain. Sakura tahu ibu-ibu itu terkikik di belakangnya, samar telinganya menangkap kata pertengkaran, pasangan muda dan suami istri.

The hell! Aku masih single! teriaknya dalam hati.

Tadinya sih ia mau teriak di depan ibu-ibu tadi, tapi setelah berfikir singkat, malu juga kan karena dia belum punya pendamping. Arrgghh! Sebelum itu, ia harus menghentikan ocehan Naruto.

"Baiklah, Naruto. Aku memaafkanmu."

"Benarkah?" Naruto berbinar.

"Sekarang, kau yang bayar! Aku tunggu di parkiran." Secepat kilat Sakura berjalan meninggalkan Naruto bersama keranjang belanjaannya. Merah muda itu menunduk menutupi rona malunya. Tuhan, aku malu sekali... batinnya menangis.

"Tunggu aku ya, Sakura-chan. Aku tidak akan lama."

Huuwaaaa! Si baka itu malah menambah malunya ke level tertinggi. Dasar tidak peka! Sakura tak sanggup berbalik, ia yakin sekarang Naruto berteriak sambil melambaikan tangan ke arahnya. Mau ditaruh dimana mukanya?

Beberapa menit kemudian akhirnya Sakura dapat menghela nafas, setidaknya tempat ini aman. Bergerak cepat mencari motor orange-hitam lalu mendudukan diri. Diraihnya kaca spion motor, lalu menunduk. "Mukaku..." bisik Sakura pelan. Sakura yakin mukanya tidak akan lebih merah dari ini. Rasanya ia ingin menutup mukanya dengan jas dokter yang disampirkan di lengannya.

Melirik kanan kiri bagai pencuri, memastikan keadaan aman lalu mengangguk. Tangannya bergerak mencari benda dalam tasnya.

Dimana benda itu? Sakura meneruskan penjelajahannya mencari benda dalam tas.

'Dapat.' Berteriak girang dalam hati.

Sakura membukanya, mengeluarkan spons kemudian menepukan ke pipinya. Mengulanginya lagi, berusaha menghilangkan 'noda membandel' yang nakal mampir di pipinya. Sebuah tangan menempel di pundaknya, Sakura menahan nafas. Tangan itu meremas bahunya. 'Si-siapa?'

"Sakura-chan."

Putri Haruno bernafas lega. Memasukan 'benda itu' ke dalam tasnya, lalu membalikan badan, "Kau mengejutkanku."

Naruto meringis "Maafkan aku. Sekarang kita mau kemana? Atau kau mau langsung pulang?"

Sakura mengerutkan dahi, jika langsung pulang ia akan berakhir tidur sepanjang sore di rumah. "Es-krim?" Siang ini pasti akan enak memakannya, tapi perutnya menghianati saat berbunyi keras dan membuatnya bersemu (lagi).

"Ahaha. Kita akan makan siang dan membeli es-krimmu."

Sakura mengangguk, tapi kemudian mengernyit, "Kenapa berhenti?"

"Aku melupakan sesuatu, Sakura-chan."

"..."

"... Ramen-chan, aku melupakannya."

"Huh?"

Naruto uring-uringan seperti tengah memikirkan permasalahan negara. "Bagaimana ini, Sakura-chan? Apa aku kembali lagi ke dalam? Padahalkan tujuanku pergi adalah untuk beli ramen... Huwaaa, ramen-chan maafkan aku karena melupakanmu..."

Urat persimpangan muncul di jidat lebar Sakura, ia mengeratkan kepalan tangan. Tak habis pikir dengan ulah kekanakan Naruto. Sakura tidak akan pernah percaya usia naruto sudah menginjak kepala tiga, sebab itu juga ia tak akan pernah ikhlas memanggilnya 'nii-san.' Sakura menggeleng, panggilan itu sama sekali tidak cocok.

BUGH

"Naruto bakaa."

"Argh!"

.

.

.

Naruto terpaku di depan rumahnya. Dahinya mengerut serius, sedangkan tangan tannya sibuk menjelajah saku celananya. Ia bahkan telah mengecek bagasi motor, karpet depan rumahnya dan pot bunga satu-satunya.

Dimana benda itu?

"Naruto."

Dimana—

"NARUTO!"

―kunci rumahnya?

"NARUUTOOO."

Naruto menoleh, "apa-apaan kau, Ero-sennin! Tidak usah berteriak, kau pikir aku tuli?" jawabnya frustasi. Tidak tahu apa, Naruto sedang mengalami permasalahan sulit.

"Kau masih bertanya? Kau pikir berapa kali aku memanggilmu, hah?" Jiraiya balas berteriak, masih kesal karena diabaikan. Sadar dengan tujuannya mendatangi sang tetangga, ia berusaha menenangkan diri. "Lupakakan hal tadi! Yang terpenting, kenapa kau tak datang di rapat tadi, hah?" tanyanya menggebu-gebu.

Kening Naruto makin mengerut, "Rapat... apa?"

Jiraiya menghentakan kaki, "Kau tak usah pura-pura bodoh Naruto. Ah, aku lupa kalau kau memang bodoh." Melihat Naruto masih belum merespon, Jiraiya melanjutkan, "rapat persiapan olimpiade. Kau sebagai penanggung jawab yang akan menghadirinya. Kau masih mau mengelak?"

Naruto tersentak. Bagaimana dia bisa―

Jiraiya mendengus, "jangan bilang kau melupakannya?"

―melupakan hal sepenting itu.

Naruto gelagapan, rasa bersalah menjalari hatinya. Jiraiya telah mempercayainya dan ia dengan mudahnya menodai kepercayaan itu. Kepercayaan yang ia nantikan selama bertahun-tahun. "Gomenne, aku...lupa."

Jiraiya menghela nafas kala mendapati tatapan rasa bersalah itu, merusaha meredam amarahnya. "Aku tahu kau masih belum pulih." Ia menatap perban di balik topi hitam Naruto. "Tapi kalau kau tidak bisa, setidaknya kabari aku. Untung saja pihak panitia mengabari kalau perwakilan kita belum juga datang."

"Lalu bagaimana dengan—"

"Shikamaru sudah menggantikanmu," potongnya. "Kali ini kau kumaafkan. Jangan ulangi lagi! Kau tahu kalau aku mempercayaimu." Tatapan jiraiya menusuk biru saphire Naruto.

"Ya, aku tak akan mengulangnya lagi. Sekali lagi, maafkan aku." Naruto membungkuk dalam.

"Ya, ya. Ah, satu lagi."

"Ya?"

"Lusa nanti aku tak sudi melihat perban sialan ini masih menempel di kepalamu." Jiraiya menoyor kening tan, membuat kekeh Naruto kembali. Ia lalu berbalik, "beristirahatlah!" ucapnya sambil mengacungkan tangan, pamit.

Naruto nyengir lebar, "osh, Ero-sannin!"

Ia memandangi punggung lebar itu perlahan menjauhi pekarangan rumahnya. Mendesah pelan, ia mengacak rambutnya kasar. "Sial, bagaimana bisa aku melupakannya."

Menghadap pintu rumahnya, lalu memelototinya seakan bisa membuka pintu dengan tatapan tajamnya. Sekarang ia terjebak di luar rumahnya sendiri, begitu? Naruto menggeram, emosi di puncak ubun-ubunnya.

"Arrgghh!"

BRAKK

"Eh?"

Setelah menendang pintu dengan ujung sepatunya, kini pintu itu terbuka dengan santainya, seakan mengejeknya 'kau bodoh' sebanyak tiga kali. Naruto mencak-mencak, jadi sedari tadi pintu bodoh ini tidak terkunci? batinnya bermonolog. Naruto menggeleng, jadi perjuangan-mencari-kunci yang dilakukannya bermenit-menit lamanya adalah sia-sia? Naruto rasa ia ingin menangis.

"Arrggh, sebenarnya kenapa denganku?"

.

.

.

To Be Continued

.

.

.

Yosh! NS pertamaku. Ada yang bisa nebak siapa nyonyanya Kakashi? Atau ada yang bisa jawab pertanyaan Naruto di akhir? Hehe, tulis komentarnya ya. Satu lagi! Apa alurnya terlalu cepat? Kurasa fic ini ga akan panjang, cuma 5-6 chap aja.

Jangan lupa reviewnya, minna...