Cerita ini untuk megu takuma, VanVin, Tsubasa Xasllita Dioz, Bunga Sakura, ochan malfoy, DarkBlueSong, Kyuuri, Kim Ri Ha, Antares Malfoy, Rise Star, Devia Purwanti, SH Always, WatchFang dan para reviewer.
Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.
Pairing: Hermione Granger & Draco Malfoy.
Warning: Tak ada Lord Voldemort dan tak ada Perang Besar Hogwarts.
Rating: T
Draco Malfoy sangat membenci Valentine.
Bagi pemuda pirang platina itu, perayaan hari kasih sayang yang dirayakan setiap tanggal empat belas Februari merupakan momen paling menjengkelkan sedunia.
Bayangkan saja, di hari itu sejauh mata kelabu peraknya memandang, warna merah jambu tampak mendominasi. Belum lagi dengan lambaian renda dan kumparan balon berbentuk hati. Atribut norak yang semakin membuat kepala ningratnya berkunang-kunang.
Ups, jangan lupakan juga suara sumbang kurcaci dan peri cebol berkostum penuh rimpel yang menyanyikan puisi cinta murahan. Cekikikan kampungan para gadis yang mengembik tersipu-sipu sewaktu mendengarkan syair sok romantis juga membuat pundak bidangnya kian bergidik geli.
Draco sendiri kerap bertanya-tanya mengapa ia tak menyukai Valentine. Seingatnya, dulu ia tak pernah mempermasalahkan pagelaran ritual hari kasih sayang. Ia bahkan menikmati limpahan kartu cinta maupun berkardus-kardus cokelat manis yang datang dari gerombolan pengagumnya.
Hobi menyantap hadiah pemberian fans fanatiknya baru dihentikan ketika tiga tahun lalu Pansy Parkinson ketahuan menaburkan Ramuan Cinta Amortentia ke dalam cokelat Valentine yang dikirimkannya.
Untung saja ia tak melahap cokelat berbentuk anjing pesek itu sebab Gregory Goyle, salah satu sobat gendutnya yang tingkat kerakusannya patut masuk buku rekor dunia keburu menggasak habis kudapan berpita merah muda tersebut.
Meski sempat berniat mengutuk Pansy karena berani-beraninya memelet dirinya dengan Amortentia, Draco akhirnya mengurungkan hasrat mulia tersebut. Pasalnya, seharian itu ia tak bisa berhenti tergelak menertawakan kesialan Pansy yang keteteran melepaskan diri dari belitan Goyle yang setia menggelendoti.
Kendati sejak saat itu ia tak bisa lagi bebas merdeka mencicipi aneka cokelat mengingat banyak sekali indikasi kontaminasi Amortentia, Draco tak terlalu membenci Valentine seperti sekarang ini.
Lalu, apa dong yang menyebabkan Draco Malfoy, seorang Pangeran Slytherin nan tampan memesona membenci hari sakral yang dielu-elukan seluruh insan manusia di dunia?
"Malfoy! Jangan bengong terus seperti ayam mengeram! Ayo, bantu aku memasang rangkaian bunga ini!"
Hermione Jean Granger, salah satu penyihir paling genius sepanjang sejarah Sekolah Sihir Hogwarts menghardik menggelegar. Tangan kecilnya yang biasanya mengepit lusinan buku besar berjilid tebal kini menjepit puluhan mawar merah berukuran raksasa.
Draco mengernyit tipis menatap teman sekamarnya yang menggerung gusar. Yah, teman sekamar memang bukan istilah yang cocok sih. Tapi, julukan apa lagi yang lebih tepat daripada itu?
Sebagai sesama Ketua Murid, Draco dan Hermione memang berbagi bangsal khusus yang terpisah dari murid-murid biasa lainnya. Bilik besar yang turun-temurun dikuasai Ketua Murid Hogwarts itu dilengkapi dengan ruangan yang jamak ada di dalam sebuah rumah sederhana.
Selain dua kamar tidur berbeda, terdapat pula ruang tamu yang dilengkapi puputan perapian, dapur dan sebuah kamar mandi megah beraroma campuran vanila dan mint; kombinasi sabun mandi yang biasa dipakai Draco dan Hermione.
"Malfoy," desis Hermione beringas, tak sabar menunggu respon positif dari pemuda jangkung berkulit pucat yang tengah menghangatkan diri di depan perapian.
"Ya, Cinta?" sahut Draco manis, menaikkan sebelah alis pirang pucat dengan gaya mengundang. Mendecih pelan, Hermione membelalakkan manik cokelat lebar-lebar, menghunuskan pandangan tajam bermakna jangan-sok-romantis-deh-Malfoy.
Draco menyeringai senang melihat bola mata Hermione yang nyaris melompat keluar dari pelupuk. Diam-diam, Draco harus mengakui kalau Hermione sangat manis dan menggairahkan jika sedang terbakar emosi. Lihat saja, kedua pipi Hermione yang halus berubah merona dan matanya membulat atraktif. Dada rata Hermione yang terbilang menyedihkan untuk anak gadis usia tujuh belas tahun pun naik turun berirama seiring dengan hembusan napas yang bergejolak.
Yep. Benar-benar seksi...
Mungkin, keinginan menyaksikan pesona Hermione yang tak biasa itulah yang membuat Draco gemar sekali menjahili si gadis berambut subur berotak makmur itu. Di awal tahun-tahun mereka bersekolah, Draco memang murni mengganggu Hermione karena penyihir sederhana keturunan Muggle itu berani-beraninya mempecundangi bangsawan berdarah murni seperti dirinya.
Lambat laun, selaras dengan berlalunya waktu, keisengan mengusili Hermione bukan ditujukan untuk balas dendam karena kalah dalam nilai akademik semata, melainkan demi kepuasan menonton ekspresi memikat yang dipersembahkan salah satu anggota Trio Emas Gryffindor itu.
"Oh sudahlah kalau kau tak mau membantu," sungut Hermione panjang pendek, mengentak-entakkan sebelah kaki keras-keras ke lantai keramik berbalut karpet lembut.
Seringaian Draco makin lebar menyaksikan pergerakan tungkai tersebut. Jika sedang senewen, Hermione memang selalu mengetuk-ngetukkan sebelah kaki. Persis seperti hummingbird, burung kecil mungil yang selalu mengepak-ngepakkan sayap hingga dua ratus kali per detik.
Setiap kali Hermione menepukkan kaki, Draco selalu dilanda keinginan memeluk erat pinggang ramping gadis bergigi ekstra itu. Setiap kali melihat gerakan maju mundur tersebut, Draco selalu diserang hasrat menahan goyangan kaki menggemaskan itu dengan tekanan tangannya di kedua paha Hermione.
Tapi, impian segar itu hanya tinggal impian sebab tindakan mesra tersebut pasti membuat Hermione mengamuk murka layaknya burung paling galak sedunia, kasuari. Unggas pemarah asli Australia yang mampu melayangkan pukulan kencang nan dahsyat. Draco yakin, sedetik setelah tangannya mampir di tubuh Hermione, dirinya pasti dipermak dengan benda padat apapun yang berada di dekatnya.
PLAAK!
"Aduh, Granger! Apa-apaan sih? Kenapa kau memukul kepalaku dengan mawar raksasa?" omel Draco histeris. Bagaimana bisa dirinya ditabok sedangkan ia tak jadi merealisasikan mimpi menghentikan pergerakan kaki Hermione dengan rabaan tangan?
Berkacak pinggang, Hermione memelototi Draco yang sibuk mengelus-elus rambut pirang halusnya, mengecek apakah kepala indahnya mengalami benjol permanen.
"Jangan lebay, Malfoy! Aku tidak memukulmu sekeras itu! Lagipula, ini hanya bunga kertas," sembur Hermione sinis, menunduk untuk mencomot kembali untaian mawar kertas yang tadi dilesakkan ke pucuk kepala koleganya.
"Ini namanya KDRT, Granger! Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kalau ada masalah seharusnya bisa kita bicarakan baik-baik, Cinta. Tak perlu memakai kekerasan seperti ini," Draco tersenyum-senyum geli sendiri, kembali menyandarkan punggung atletisnya di bantalan sofa.
Mencibir sebal, Hermione tanpa banyak kata memeluk rangkaian mawar jumbo yang tersisa. Menghempaskan sepakan kaki terakhir, gadis bergigi kelinci itu beranjak menuju pintu keluar asrama.
"Hei Granger," seru Draco, bangkit tiba-tiba dari posisi duduknya yang serius tapi santai. "Kau mau kemana?"
Menengok judes dari balik pundak, Hermione mengerutkan hidung mungil mancung yang ditaburi puluhan bintik-bintik cokelat. Bercak yang tak jua menghilang meski dirinya sudah melewati masa kanak-kanak.
"Aku akan memasang mawar ini di Aula Besar dan Aula Depan, Malfoy. Sendirian! Sebab kau dengan jantannya tak mau membantuku!"
Membenahi kemeja putih yang sedikit kusut, Draco mengambil jas dan jubah hitam Hogwarts yang tersampir di lengan kursi. Beringsut mendekati Hermione yang merengut jengkel, Draco merapikan simpul dasi sekolah yang kedodoran.
"Jangan ngambek begitu, Granger. Siapa bilang aku tak bersedia menolongmu?"
Kedutan di cuping hidung Hermione makin terlihat nyata. Sudut mata cokelatnya yang bersinar cerdas memicing galak, mengingatkan Draco akan berang-berang kelaparan yang pernah dilihatnya di kandang kebun binatang.
"Kalau begitu, tunggu apalagi. Ayo segera bantu aku!"
Membungkukkan badan maskulin yang terpahat sempurna, Draco merendahkan tangan, bersikap seperti seorang ksatria baik hati yang siap sedia melaksanakan semua titah sang permaisuri.
"Dengan senang hati, Tuan Putri."
Memberengut sebentar, Hermione menghela napas sepanjang mungkin sebelum berderap keluar ruangan, diikuti oleh Draco yang bersiul-siul genit. Sepanjang jalan menuju Aula Besar, Draco tak berhenti melirik Hermione yang masih mengernyitkan cuping hidung.
Aha! Satu lagi kebiasaan unik Hermione yang dihafalnya di luar kepala. Pasti saat ini si Nona-Sok-Tahu-Segala tengah menebak-nebak alasan di balik sikap mesra yang tadi disodorkannya.
Jika sedang berpikir keras dan memeras otak, Hermione pasti mengerutkan hidung. Hidung menawan yang disesaki bintik-bintik memesona. Hidung manis mancung yang selama bertahun-tahun ini selalu dipuja Draco di alam mimpi.
Membalas sapaan serombongan siswi Hufflepuff tahun keenam yang berpapasan dengan mereka di koridor, Draco tersenyum simpul mengamati rengutan masam Hermione. Iris kelabu pucat keperakannya dengan cepat dan cermat menghitung jumlah tompel kecil yang bertengger di area hidung Hermione.
Ha! Tambah satu bintik mungil lagi rupanya, Draco mendesah senang di dalam hati.
Jika biasanya anak perempuan tak lagi dihiasi bintik-bintik ketika beranjak remaja, hal berbeda dialami Hermione. Setiap tahun, bintik cokelat di hidung gadis galak berotak super-duper itu pasti bertambah. Membuat Draco tak bisa mengerem hasrat untuk menciumi dan menikmati seluruh bintik-bintik memikat yang melekat.
Dengan kata lain, jika tak mengingat kondisi, waktu dan tempat; saat ini Draco pasti sudah memeluk dan menekankan tubuh Hermione ke pilar besar yang ada di sekitar mereka.
Jika tak mengingat ancaman kutukan mengerikan beruntun, Draco pasti sudah memerangkap Hermione di dalam dekapan. Mengecup serta melumat setiap bintik-bintik yang bertengger di hidung, termasuk bintik lain yang mungkin tersebar di sekujur tubuh Hermione.
Tanpa menyadari lamunan ngeres Draco, Hermione membuka pintu Aula Besar dengan sekali sentakan. Melangkah mantap dan penuh percaya diri, Hermione melenggang memasuki ruangan beratap tinggi yang dipenuhi beberapa pasang siswa tahun terakhir.
Melihat ekspresi tegas Hermione, Draco tak bisa menyamarkan kebanggaan yang mengepak-ngepak di rongga dada. Mungkin untuk ukuran wajah, Hermione tak seelok Daphne dan Astoria Greengrass; kakak beradik dinasti Greengrass yang disebut-sebut sebagai titisan wanita tercantik sejagat, Helen of Troy.
Tapi, meski tak memiliki kecantikan tiada tanding, aura khas dan sensasi kharismatik yang memancar dari setiap gerakan-lah yang membuat Hermione selalu menjadi pusat perhatian kemanapun dirinya melangkah.
Detik ini saja Hermione sudah membetot atensi Theodore Nott, pentolan Slytherin yang menduduki rangking lima besar pemuda terganteng se-Hogwarts.
Begitu melihat Hermione, Nott yang sedang menyeruput sekaleng anggur gandum sambil membaca buku Sihir Sinting untuk Penyihir Gila langsung menghentikan ritual minum teh sore hari. Sepasang mata hijau Nott yang mirip ganggang laut berlendir tak berkedip mengamati Hermione yang tengah memandangi seluruh penjuru Aula Besar.
Menggerung berang, Draco mendelik mengawasi Nott yang tengah menyusuri sekujur tubuh Hermione dengan tatapan selapar serigala kurang makan. Tatapan mesum yang membuat Draco mengumpat-umpat kasar di dalam hati.
Busyet, deh! Apa bekas teman sekamarnya itu tak kapok menerima kesialan beruntun karena nekat menaruh hati pada Hermione? Apa semua tragedi spektakuler yang diciptakan kurang mengerikan sehingga keparat kutuan berambut cokelat kehitaman itu masih ngotot melahap lekuk tubuh Hermione dengan pandangan panas membara?
"Malfoy, katanya kau mau membantuku?"
Teguran Hermione menyadarkan Draco dari angan-angan merancang skema pembantaian baru yang dijamin lebih bombastis dan fantastis.
"Kalau kau tak sekadar asal cuap, kau bisa memakai tongkat sihir untuk menggantungkan mawar ini di sudut paling atas!" perintah Hermione ligas, menunjuk pojok tertinggi Aula Besar yang miskin dekorasi.
"Jika Malfoy tak mau turun tangan, aku bersedia membantu, Granger."
Draco melotot garang, menatap sengit sosok Nott yang bertengger nyaman di samping Hermione. Jemari tangannya yang berada di saku celana mengepal kencang, sudah gatal total untuk melempar rekan seangkatannya itu ke Gurun Sahara.
Oh salah, coret itu! Ke dimensi neraka paling dalam saja!
"Ini tugas Ketua Murid, Nott. Jadi, demi kebaikanmu sendiri, lekas bawa bokong teposmu jauh-jauh dari sini," semprot Draco brutal, emosinya kian mendidih tatkala saingan busuknya hanya tergelak meremehkan.
"Pantat tepos? Ya Tuhan, Malfoy. Apa kau tak tahu kalau baru-baru ini bokong kencangku terpilih sebagai pinggul terseksi versi koran sekolah kita, Hogwarts Daily?" Nott terkekeh geli, tampak terhibur menonton letupan emosi bekas teman sekamarnya.
Kalau begitu, cepat angkat kaki dari sini atau pantat kebanggaanmu bakal benar-benar kempes dihajar Mantra Penciut, Draco merutuk dalam hati, menyesali keterbatasan hak untuk mengutuk rivalnya secara verbal.
"Jika kau dan Nott sudah selesai membahas ukuran pantat, kau bisa langsung menunaikan kewajibanmu, Malfoy," sembur Hermione ketus, memuntir tongkat sihir di udara, membuat tiga rumpun mawar raksasa melayang dan melekat anggun di tepian langit-langit.
"Tchah! Sana pergi Nott! Pantat cekingmu tak lagi diperlukan di sini," usir Draco blak-blakan. Mencabut tongkat sihir dari kantung celana, Draco bersiap-siap menciptakan sapu lidi bertanduk untuk mengusir Nott jauh-jauh.
Semula, Nott hanya menyeringai enteng menanggapi sindiran bekas teman sepermainan yang entah kenapa berubah memusuhinya. Namun, sejurus kemudian, remaja tinggi tegap itu melesat lenyap seperti diculik segerombolan Dementor.
Draco yang sempat bingung dengan cepatnya Nott menghilang akhirnya memahami apa yang terjadi setelah Millicent Bulstrode, cewek dengan bentuk tubuh termakmur sepanjang sejarah Hogwarts menjulang sangar di sampingnya.
"Kemana perginya Theo My Baby? Barusan ia masih berdiri di sini," desah Millicent pasrah. Rahang angkernya mencuat ke depan, bersaing dengan bibir tebalnya yang terkatup serapat kerang.
"Ho! Nott pasti pergi ke ruang ganti Quidditch," ujar Draco jahil, seulas senyum usil tersampir di wajah menawannya. "Coba ubek-ubek saja dia di sana. Itu lokasi ngumpet terbarunya."
Mendengar bocoran kelas kakap tersebut, tubuh tegap berotot Millicent berpendar penuh harap. Menyeringai lebar memamerkan gingsul runcing yang berkilat setajam mata pisau, Millicent menepuk-nepuk lengan Draco hingga menimbulkan bunyi derak patah yang mendirikan bulu roma.
"Terima kasih, Draco. Kau memang mak comblang dan perantara cinta yang terbaik."
Mencibir mengamati Millicent yang berlari sekuat badak menuju ruang ganti Quidditch Slytherin, Draco meringis mengelus-elus lengan malang yang terkena serangan gegar tulang.
"Sial. Hampir saja dia membuatku harus meminum sepanci ramuan penumbuh tulang Skele-Gro," umpat Draco kasar.
Tapi, setidaknya hasilnya sepadan, Draco tersenyum licik. Saat ini, Millicent pasti sudah membuat Nott tunggang-langgang menyelamatkan diri. Yah, mungkin bukan Nott saja yang kabur ketakutan tapi juga seluruh anggota tim Quidditch Slytherin yang di jam-jam seperti ini tengah mandi dan membersihkan diri pasca latihan sore.
Seringaian Draco makin bertambah culas tatkala dirinya mengenang kembali skenario perjodohan antara Millicent dengan Nott yang dirancangnya. Skema rencana yang berjalan sukses tak terkira berkat bantuan ayahnya, kepala klan keluarga Malfoy, Lucius Malfoy.
Lucius Malfoy yang termakan anjuran Draco berbaik hati mempengaruhi ayah Nott untuk menikahkan putranya dengan Millicent yang meski jeleknya kebangetan memiliki kekayaan yang tak akan habis dimakan tujuh turunan.
Penasaran kenapa Draco mau repot-repot menjodohkan Nott yang ganteng tiada tara dengan Millicent yang seremnya ampun-ampunan?
Yah, sejak Nott tertangkap basah mengigau dan mendesahkan nama Hermione pada suatu malam musim semi di tahun keempat mereka, Draco sudah memendam kesumat pada pemuda yang pernah jadi teman dekatnya itu.
Dendam Draco makin menyala sebab di malam-malam berikutnya, Nott terus-terusan memanggil-manggil nama Hermione di sela-sela lenguhan dan erangan mesum yang menjijikkan.
Astaga! Berani betul Nott mimpi basah membayangkan Hermione!
Apa Nott tak tahu bahwa hanya Draco Malfoy satu-satunya pria yang berhak mengimajinasikan aktivitas super-erotis yang bisa diperbuatnya bersama Hermione? Fantasi paling liar dan hal-hal menggairahkan yang bisa dilakoni bersama Hermione baik di alam nyata maupun dunia mimpi?
Apa Nott tak mengerti bahwa hanya Draco Malfoy seorang yang...
NGEK!
Hermione yang sewot karena semua ultimatumnya diabaikan mencubit Draco tepat di lengan yang barusan diseruduk Millicent.
"Ya Tuhan, Granger. Aku baru tahu kalau kau suka main kasar. Jika kau mau bermain kasar, kau bisa minta langsung padaku dengan baik-baik," seru Draco tanpa tedeng aling-aling, mengedipkan sebelah mata dengan gerakan mengundang.
Pipi Hermione merona mendengar respon balasan yang tak disangka-sangka. Mengangkat dagu tinggi-tinggi, Hermione bersusah-payah meredam debur jantung yang berkelotakan di katup.
"Malfoy, aku bukan pengidap kelainan seksual sadomistik, tahu! Aku lebih suka bercinta lembut daripada bermain kasar!"
Gelak tawa renyah Draco menggema di Aula Besar yang mulai agak sepi dari keributan sore hari. Derai geli yang membuat Hermione makin membelalakkan bola mata karena merasa sedikit terlecehkan.
"Yee, Granger. Kenapa jadi menjurus ke arah begituan? Maksudku, kalau kau mau bermain kasar, kita bisa pergi ke ruang praktik Telaah Muggle dan menjajal karung tinju yang ada di sana."
Mendengar kekeh geli Draco, rona semu yang merambati pipi Hermione makin mengental. Menggigit bibir bawah, Hermione mengerang lelah.
"Duh, aku pasti melantur karena terlalu banyak pikiran."
Draco tak terlampau menghiraukan sanggahan kurang logis itu. Maklum saja, saat ini pikiran fantastisnya sudah disesaki beraneka ragam fantasi nakal. Bayangan panas menggoda yang kebelet dikerjakan detik ini juga.
Saat ini, ia ingin sekali menggantikan peran gigi depan Hermione yang mirip taring bajing itu. Saat ini, ia berhasrat menggigit lembut bibir Hermione dengan giginya. Mengecup dan mengecap sensasi memabukkan di bibir gadis yang sudah menghantui otaknya sejak bertahun-tahun lalu.
"Malfooy! Jangan menatapku seperti itu!" hardik Hermione gusar. Jika memungkinkan, muka Hermione yang sudah memerah semakin bertambah pekat seperti matahari tenggelam.
Menautkan alis, Draco bertanya dengan nada sok lugu. Selugu bayi yang baru belajar memakai popok sendiri.
"Melihat seperti apa, Granger?"
Memicing segaris, mata Hermione menyipit tajam. Mulut lembutnya merengut ke depan membentuk cibiran runcing. Cibiran menggemaskan yang ingin sekali dihapus Draco dengan lusinan ciuman panas.
"Seperti kau akan melahapku bulat-bulat. Ya, seperti itu, deh!" semprot Hermione, melambaikan tangan seperti sedang bergoyang dangdut.
Mengangkat bahu, Draco memasang tampang cuek, berjuang meredam gairah muda yang makin menggelegak di dalam jiwa.
Melahap bulat-bulat...
Yah, tak sekadar cuma itu, Hermione, bisik Draco dalam hati. Jika mau jujur, ia ingin sekali mencicipi setiap jengkal tubuh Hermione. Ia ingin menjilati dan menciumi setiap senti kulit tubuh Hermione sampai gadis keras kepala itu bergetar nikmat dan menjerit puas di pelukannya.
Ia ingin...
"Aku ingin makan kue ini. Ya, aku pasti lapar berat sampai bisa-bisanya memandangmu yang kurus ceking seperti makanan lezat nan sehat," seru Draco tiba-tiba, mencomot dan melahap sebonggol macaroon warna-warni yang terserak di atas meja Ravenclaw.
Selama mengunyah kue mungil super-manis yang membuatnya ingin muntah, Draco mengeluh dalam diam. Untung saja ia bisa mengendalikan dorongan nafsu. Kalau tidak, bisa-bisa ia sudah menelanjangi Hermione dan bercinta semalam suntuk di atas meja makan.
Di saat Draco sibuk mengatur dan mengubur libido, Hermione yang berkacak pinggang terpana keheranan. Sejak kapan seorang Draco Malfoy menyukai kuliner serba manis? Bukannya selama tiga tahun terakhir ini si musang albino sangat membenci gula dan makanan berglukosa lainnya?
Berdecak-decak halus menonton keganjilan sikap teman seasramanya, Hermione melirik meja samping, tempat di mana aneka minuman bercokol. Mengambil secangkir kopi pahit tanpa gula yang masih mengeluarkan uap panas, Hermione mengangsurkan cairan kental berbau harum itu ke tangan Draco yang berlumuran remah kue.
"Minum kopi hitam ini, Malfoy. Kopi ini pasti bisa meredam mual di perut gara-gara serbuan macaroon," ujar Hermione ramah, tersenyum ringan sembari mengangguk tipis.
Mendengar ucapan tersebut, mulut seksi Draco yang diciptakan Tuhan untuk dicium sepuas-puasnya menganga selebar gua purbakala. Draco benar-benar tak menyangka kalau gadis di hadapannya ini; gadis manis menggemaskan yang sering dijahilinya sejak dulu, menyadari alergi yang diidapnya pada makanan serba manis.
Menerima cawan kopi hangat dengan senang hati, Draco berlama-lama menyentuh jemari Hermione yang masih melekat di gagang cangkir. Dengan sengaja, jari Draco membelai intim, membuat rona semu kembali merajai pipi Hermione.
"Trims, Sayang. Aku benar-benar mujur punya pasangan perhatian seperti dirimu."
Sekarang gantian Hermione yang terbengong-bengong, memandangi Draco seakan-akan kepala bangsawan keren itu tumbuh jadi empat gara-gara kebanyakan minum ramuan penumbuh tulang Skele-Gro.
"Aku bukan pasanganmu, Malfoy! Dan jangan panggil aku dengan julukan sok mesra seperti itu lagi," tuntut Hermione, berbalik arah dan terbirit-birit berlari menuju ke pojok ruangan di sisi barat.
Memandangi punggung mungil Hermione yang membelakanginya, Draco menyesap kopi tubruk dengan perlahan-lahan. Telaga kelabu peraknya bersinar nakal tatkala menelusuri postur Hermione dari atas sampai bawah.
Mengangkat cawan kopi seperti akan bersulang, Draco bergumam lugas. Selugas tekad yang sejak bertahun-tahun lalu terpancang di sisi ruang benak.
"Segera, Hermione Jean Granger. Kau pasti segera menjadi istriku tercinta..."
Hermione Jean Granger sangat menyukai Valentine.
Bagi gadis genius berambut megar itu, momen kasih sayang yang dirayakan setiap tanggal empat belas Februari merupakan saat paling menyenangkan sedunia.
Lihat saja balon-balon berbentuk hati berwarna merah jambu, benda manis yang menawarkan kesegaran tersendiri bagi setiap pasang mata yang memandang. Tengok saja lambaian rimpel berenda yang cerah ceria, atribut memesona yang mengingatkan Hermione akan kepak kupu-kupu sutra yang mengelilingi kelopak bunga.
Oh ya, belum lagi dengan kerumunan peri dan kurcaci cebol yang membacakan surat serta kartu cinta. Setiap tahun, tepat di hari kasih sayang, peri dan kurcaci berkostum serba renda dan bersayap keemasan pasti rutin berkeliling sekolah, menyenandungkan lagu dan puisi cinta yang mendayu-dayu.
Hermione sendiri kurang mengerti mengapa dirinya yang tergolong tak begitu menyukai warna merah muda sangat menggemari Valentine yang notabene identik dengan ornamen feminin. Dulu, sebelum masuk ke Sekolah Sihir Hogwarts, Hermione biasa-biasa saja menyambut perayaan yang dielu-elukan anak perempuan di seluruh jagat raya.
Lalu, apa dong yang membuat seorang Nona-Keren-yang-Sudah-Pasti-Harus-Serba-Sok-Tahu-Segala seperti Hermione Jean Granger menyukai hari Valentine?
Mungkin jawabannya berkisar pada rutinitas prosesi pernyataan cinta yang dibacakan gerombolan peri dan kurcaci bersenjatakan harpa. Bagi Hermione, ritual yang hanya diselenggarakan di Hogwarts itu sangat mengagumkan dan butuh keberanian tingkat tinggi.
Bayangkan saja, si peri dengan blak-blakan mendendangkan surat cinta tepat di depan sang pria pujaan. Di momen itulah, si target bisa dengan mudah menyatakan setuju atau menolak mentah-mentah. Di momen itulah, si pembuat surat bisa dengan mudah berjumpalitan gembira karena cintanya diterima atau merana tiga belas turunan karena cintanya ditolak di depan masyarakat.
Setiap tahun, setiap menyaksikan atraksi pembacaan surat cinta via liliput kecil itu, Hermione selalu didera rasa iri.
Iri hati?
Ya, Hermione merasa iri karena sampai sekarang ia belum berani menulis dan menyampaikan isi hati secara terang-terangan. Kendati kuping mangsa yang diincarnya sudah kebal karena ribuan kali mendengar pernyataan asmara, Hermione masih belum memiliki nyali. Hermione masih ngeri jika ungkapan perasaannya dijadikan bahan lawakan sampai tua oleh pemuda idamannya.
Pemuda tampan menawan yang saat ini sedang mangkal di kursi depan perapian...
Menarik napas singkat, Hermione memandangi fitur tegap Draco Malfoy yang bersandar nyaman di bantalan sofa empuk. Sedari berjam-jam lalu, Draco asyik bergelung dan tak berpindah-pindah posisi satu senti pun.
Entah lamunan apa yang dipikirkannya sehingga kuping ningratnya berubah jadi sepasang cantelan tak berguna. Entah khayalan apa yang direnungkan teman seasramanya itu sampai-sampai tak mengindahkan permintaan mendekorasi Aula Depan dan Aula Besar secara bersama-sama.
Teman seasrama...
Sampai sekarang, Hermione masih berdecak tak percaya kalau mengingat dirinya, yang notabene penyihir keturunan Muggle bisa berada satu ruangan dengan Draco Malfoy, si elit darah murni penganut paham rasis nomor satu.
Saat pertama kali ditunjuk menjadi Ketua Murid, banyak penghuni Hogwarts yang bertaruh berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai kedua musuh bebuyutan tersebut tawuran dan saling membunuh.
Maklum saja, sepanjang sejarah Hogwarts, baru kali ini jabatan Ketua Murid diisi dua siswa yang dikenal selalu berkelahi seperti anjing dan kucing setiap kali bertatap muka.
Tapi, bursa judi terpaksa bubar jalan dan membuat banyak petaruh tekor bandar setelah sampai detik ini, Hermione masih selamat tanpa goresan sekecil apapun di tubuh kerempengnya. Begitu juga dengan Draco yang sampai detik ini bernapas sehat walafiat tanpa memar setipis apapun di tubuh jantannya.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di bilik Ketua Murid, Hermione yang memasang posisi siap tempur sama sekali tak menyangka kalau Draco mengajaknya untuk berdamai dan melupakan perselisihan di masa lalu. Hermione yang dari awal tak menyukai keributan menyanggupi permintaan itu dengan senang hati.
Sejak jabat tangan perdamaian ditorehkan, sikap Draco langsung berubah drastis. Hal tersebut terlihat ketika pemuda atletis yang terobsesi pada olahraga terbang Quidditch itu tiba-tiba mundur dari posisinya sebagai Kapten Quidditch Slytherin. Jabatan mentereng yang selama bertahun-tahun ini selalu dibangga-banggakannya.
Saat ditanya orang-orang kenapa ia pensiun dini, dengan tegas Draco menjawab bahwa ia ingin berkonsentrasi mengurus rumah tangganya dengan Hermione.
Rumah tangga!
Ya, bukan sekali dua kali ini Draco mengeluarkan pernyataan seenak jidatnya yang mulus. Setelah bikin geger dengan istilah rumah tangga, Draco kembali membuat Hermione pening dengan julukan yang disebarkannya ke sepenjuru sekolah. Julukan bahwa dirinya adalah teman sekamar Hermione.
Teman sekamar!
Demi bulu kaki Voldemort yang paling keriting! Apanya yang teman sekamar? Panggilan itu secara otomatis membuat Hermione dan Draco dianggap tidur dalam satu ranjang yang sama.
Padahal, meski berada dalam satu ruangan khusus, Draco dan Hermione memiliki kamar tidur terpisah. Kamar tidur yang didekorasi dengan warna khas asrama mereka, merah marun dan hijau perak.
Lamunan Hermione tentang keanehan perilaku teman seasramanya memudar ketika gelak renyah terlontar dari bibir Draco yang mengundang. Tawa halus yang diiringi dengan sebaris seringaian polos.
Hermione menggigit bibir menyaksikan perubahan ekspresi tersebut. Sepertinya saat ini bujangan lajang berdada bidang itu tengah tenggelam memikirkan hal lucu. Kenangan menggelikan yang membuat mimik mukanya jadi menggemaskan seperti anak ingusan tak berdosa.
Jika tak ingat prinsip kuat untuk selalu menjunjung privasi, Hermione berharap bisa menembus pikiran Draco dengan Mantra Legillimency. Seandainya saja Mantra Pembuka Pikiran bisa diterapkan serampangan, Hermione pasti sudah membedah memori yang membuat wajah runcing Draco berubah sekocak badut pinggir jalan.
Menghela napas sepanjang jembatan gantung, Hermione memandangi tumpukan mawar kertas yang berserakan di dekat meja antik berukiran halus. Untuk menyambut Valentine yang tinggal dua hari lagi, bunga merah marun itu harus dilekatkan di setiap sudut Aula Besar dan Aula Depan hari ini juga.
Menebah tongkat sihir, Hermione mengatur mawar kertas yang dibuat susah payah. Batinnya berkelana tak tentu arah, memikirkan pesta perayaan kasih sayang yang diorganisirnya.
Yah, seandainya saja Valentine tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Seandainya saja di Valentine kali ini ia memiliki secolek nyali untuk jujur dan berani mengakui perasaan. Seandainya saja ia bisa mengungkapkan kepada dunia bahwa dirinya mencintai Draco Malfoy.
Mencintai pemuda pirang platina yang sudah mencuri hati sejak dua tahun lalu...
Sayangnya, meski dirinya bertindak sebagai penyelenggara acara, kebulatan tekad yang ditunggu-tunggu tak datang jua. Menilik sikap Draco selama ini, Hermione tak yakin jika idola sekolah itu mau menyambut perasaannya. Bagaimana jika Draco mentertawakan dirinya? Bagaimana jika Draco menginjak-injak ikrar sucinya?
Praduga mengerikan seperti itulah yang membuat Hermione memendam perasaan, membuat jidat cerdasnya jadi ditumbuhi jerawat seperti ini. Perasaan tak terbalas yang membuatnya jadi mencak-mencak seperti nenek-nenek sakit gigi. Luapan emosi cinta tertahan yang memaksanya untuk selalu memasang tampang gahar setiap kali bertatap muka dengan sang pujaan.
"Malfoy! Jangan bengong terus seperti ayam mengeram! Ayo, bantu aku memasang rangkaian bunga ini," Hermione bersungut pedas, memeluk untaian mawar raksasa di depan dada.
Topeng sok galak yang dipasang Hermione untuk menyamarkan debur jantung tampaknya tak mempan melawan pesona Draco yang tiada duanya. Hati Hermione langsung berjumpalitan dan jingkrak-jingkrak di tempat saat Draco berbaik hati memanggilnya Cinta.
Meski bisa jadi Draco cuma main-main ketika menyapa dengan julukan sayang itu, mau tak mau Hermione membubung ke langit ketujuh. Perempuan normal mana sih yang tak akan klepek-klepek jika dipanggil dengan sapaan seromantis itu? Perempuan waras mana sih yang tak...
Oh iya, ya! Hermione membelalakkan mata saat menyadari fakta sesungguhnya. Jangan besar kepala dulu, Hermione Jean Granger, Hermione merepet dalam hati. Bukankah kau sudah tahu dari dulu kalau Draco Malfoy itu disebut-sebut sebagai hidung belang kelas paus bengkak?
Hermione yakin, selama ini lidah Draco yang tak bertulang pasti senantiasa memanggil gadis-gadis di sekelilingnya dengan julukan romantis. Jadi, sudah pasti sebutan indah itu tak berarti apa-apa. Cuma sekadar sapaan iseng semata.
Mencebik kesal, terganggu dengan kilat konspirasi di manik kelabu perak Draco, Hermione menghentak-hentakkan sebelah kaki di atas karpet.
Sialnya, bukannya menyadari kesalahan karena menyamakan dirinya dengan gadis lain, Draco malah menganggap aksi itu sebagai atraksi seksi. Buktinya, pandangan nakal Draco semakin panas dan membakar, membuat Hermione harus menggebrak tempurung pirang Draco dengan gundukan bunga kertas yang dipanggulnya.
"Ini namanya KDRT, Granger! Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kalau ada masalah seharusnya bisa kita bicarakan baik-baik, Cinta. Tak perlu memakai kekerasan seperti ini."
Jawaban Draco yang tak disangka-sangka membuat Hermione hampir pingsan kelabakan. Seharusnya, ia sudah terbiasa dengan istilah rumah tangga yang rutin dipakai bekas musuhnya itu. Tapi, entah kenapa hatinya selalu memekik girang jika kalimat tersebut meluncur dari bibir sempurna Draco.
Rumah tangga...
Andai Draco tahu betapa Hermione setiap malam selalu membayangkan seperti apa rasanya menikah dengan pewaris utama keluarga Malfoy itu. Membentuk keluarga kecil yang diberkahi anak-anak lucu. Keturunan menggemaskan yang mewarisi pesona Draco dan kepintaran otaknya.
Semua khayalan Hermione tentang berumah tangga dengan Draco lumer seketika tatkala cowok darah biru itu beranjak dari kursi sembari membenahi dasi sekolah yang menggantung longgar.
Demi bulu dada Voldemort yang belum di-rebonding! Draco memang benar-benar seksi. Setiap pergerakannya mencerminkan aura sensual maskulin yang menggetarkan. Tak heran jika seluruh siswi Hogwarts berebutan mencuri perhatian remaja darah biru itu. Pangeran bangsawan yang dengan mudahnya menebarkan sikap dan kata-kata manis kepada makhluk apapun yang berjenis kelamin perempuan.
Lihat saja kali ini, merendenginya sepanjang selasar, Draco bersiul-siul riang, tanpa sungkan membalas lambaian centil sekawanan siswi Hufflepuff tahun keenam yang bertemu muka dengannya. Menyaksikan keramahan luar biasa itu, rengutan di bibir Hermione kian bertambah runcing. Duh, kenapa Draco tidak bisa sedikit jual mahal sih?
Selama Draco tertawa dan berbincang sekilas dengan penggemar fanatik yang mengedip-ngedip genit, Hermione diam-diam mencuri-curi pandang. Melirik dari sudut mata, Hermione mengamati lekuk wajah Draco yang terpahat sempurna. Tampang keren yang pasti membuat Adonis; dewa Yunani paling ganteng menangis iri.
Seingat Hermione, Draco di tahun pertama belum semenawan ini. Sepertinya, pergantian waktu membuat ketampanan Draco terasah. Lihat saja bola matanya. Jika dulu manik kelabunya identik dengan kabut Dementor, kini iris pucatnya berganti menjadi kolam perak menghanyutkan.
Belum lagi dengan hidung mancung yang menggoda. Tulang pipi tinggi yang merupakan ciri khas kaum aristokrat makin menambah pesona diri. Rambut pirang halusnya selalu bersinar keperakan, dijamin dan digaransi tak akan kusut meski dibelai angin topan badai sekalipun.
Dengan semua kelebihan itu, tak heran jika Draco ketiban serbuan julukan fenomenal. Di antara gelar spektakuler, titel paling populer yang sempat merajai tajuk berita koran sekolah Hogwarts Daily adalah Draco si Titisan Paris. Paris sendiri merupakan lelaki kece kekasih Helen of Troy; perempuan termolek seplanet bumi yang kecantikan legendarisnya memicu perang besar antara Sparta dan Troya.
Ironisnya, julukan membanggakan itu dihembuskan oleh Astoria Greengrass. Bangsawan bersuara semerdu buluh perindu yang sialnya disebut-sebut sebagai Helen of Troy-nya Hogwarts.
Saat julukan Paris dan Helen of Troy Hogwarts itu berimbas pada taruhan tentang kapankah rencana pernikahan pasangan serasi itu terlaksana, Hermione meradang luar biasa.
Untungnya, kecemburuan akut itu tak berlangsung lama. Memanfaatkan pengaruh sebagai Ketua Murid, Draco berjanji memberi sanksi detensi mencuci berkodi-kodi celana dalam paling bau milik Kepala Asrama Slytherin; Profesor Severus Snape pada siapapun yang berani bertaruh tentang rencana pernikahannya dengan Astoria. Otoritas brutal dan gertakan mengerikan yang ujung-ujungnya membuat gosip rencana pernikahan Draco dan Astoria tak laku lagi dijual.
Menyingkirkan drama yang sempat membuat sukma merana, Hermione membuka pintu Aula Besar dan melangkah masuk. Pupil cokelatnya memandangi ruangan yang dihuni beberapa siswa yang tengah memanfaatkan waktu senggang mereka di sore hari.
Dari ekor mata, Hermione menyadari tatapan intens dan panas yang meluncur dari sepasang manik hijau gelap Theodore Nott. Bajingan berambut cokelat kehitaman yang baru-baru ini menduduki kursi jawara Pinggul Terseksi versi Hogwarts Daily.
Dulu, saat pertama kali dipandangi seperti itu, Hermione sempat menggigil ngeri. Hermione juga sempat menduga Nott tengah menilainya sebagai mangsa utama eksperimen mantra dan jurus sihir hitam.
Namun, seiring dengan berlarinya waktu plus kenyataan bahwa Nott telah bertunangan, tatapan lapar itu tak merisaukan hati Hermione. Satu-satunya yang meresahkan saat ini adalah percikan konfrontasi yang terjadi antara Nott dengan Draco.
Terkadang, Hermione tak habis pikir menonton permusuhan dua remaja bonafid itu. Padahal, tiga tahun lalu Draco dan Nott sangat lengket dan tak terpisahkan, persis seperti kutu dengan kepala. Kini, dua tokoh masyarakat itu saling bermusuhan layaknya kucing dan tikus, seperti Crookshanks versus Scabbers.
Merengut meninggalkan sepasang pemuda yang tengah berdebat kusir membahas ukuran pantat, Hermione menata pojok Aula Besar dengan goyangan tongkat sihir.
Belum setengah ruangan terhias, derap langkah besar yang membuat bumi bergetar berhembus di sepanjang ruangan. Tanpa menengok pun Hermione tahu bahwa Millicent Bulstrode, si calon istri Theodore Nott-lah yang bertanggung jawab atas gempa lokal di Aula Besar.
Keasyikan Hermione bekerja terinterupsi ketika derak tulang patah merasuki indra pendengaran. Menengok ke belakang, Hermione melihat Draco mengaduh nyeri saat lengan kekarnya digaplok tangan jumbo Millicent.
Berkacak pinggang, Hermione merangsek menghampiri Draco. Ditekan dorongan menghapus sentuhan mesra Millicent, Hermione mencubit lengan Draco. Cubitan keras yang membuat pemuda idamannya mengeluarkan respon tak terduga.
"Ya Tuhan, Granger. Aku baru tahu kalau kau suka main kasar. Jika kau mau bermain kasar, kau bisa minta langsung padaku dengan baik-baik."
Respon balasan Draco yang berkonotasi negatif dan sedikit ehem... mesum di kuping Hermione yang belum dikorek sejak pagi tak ayal membuatnya mengebul malu.
Ya ampun, mana mungkin dirinya suka bermain kasar di atas kasur. Meski dari postur tubuh Draco sepertinya agresif, jantan dan sangat memuaskan, Hermione lebih suka Draco bertindak lembut saat bercinta penuh gairah dengannya.
Bercinta penuh gairah...
Sekelebatan kalimat seronok itu membuat jantung Hermione bergemerincing dengan kecepatan membahayakan. Mendongakkan dagu demi meredam debur jantung yang memburu, Hermione balas menjawab dengan pikiran pertama yang melintas di benak.
"Malfoy, aku bukan pengidap kelainan seksual sadomistik, tahu! Aku lebih suka bercinta lembut daripada bermain kasar!"
Hermione menyipitkan mata ketika Draco mentertawakan jawaban spontan-nya. Astaga! Apa Draco tak percaya dan tetap menganggapnya sebagai gadis jalang yang gemar bergulat kasar di atas ranjang?
"Yee, Granger. Kenapa jadi menjurus ke arah begituan? Maksudku, kalau kau mau bermain kasar, kita bisa pergi ke ruang praktik Telaah Muggle dan menjajal karung tinju yang ada di sana."
Hermione tersentak mendengar tanggapan tersebut. Ya ampun! Ya Tuhan dan segala macam ya, ya, ya lainnya. Rupanya, Draco tak berniat membicarakan adegan ranjang. Dirinya saja yang keburu berpikiran kotor dan menyimpang.
Menggigit bibir bawah, Hermione mendesah lelah. Erangan lirih yang terbungkam ketika kilat predator menari-nari di mata kelabu perak Draco yang spektakuler. Sinar pemangsa yang membuat saraf tubuh Hermione bergelenyar liar.
"Malfooy! Jangan menatapku seperti itu!" hardik Hermione gusar, melambai-lambaikan tangan ala penyanyi dangdut untuk meredam hormon remaja yang melesat. Celakanya, lambaian tak beraturan itu tidak memupus aura sensual yang melingkupi mata metalik Draco.
Selama beberapa menit, pandangan Draco yang erotis mengunci mata Hermione. Sorot panas yang terputus ketika Draco merampas segenggam macaroon yang bertaburan di taplak meja Ravenclaw.
Sewaktu melihat Draco melahap camilan super-manis itu, mulut Hermione menganga terpana. Tumben benar Draco mau menyantap kue bertabur gula? Bukankah selama tiga tahun terakhir ini si pirang albino alergi pada cokelat dan kue manis? Bukankah setiap kali mengonsumsi kudapan berglukosa perut Draco pasti kembung dan melilit?
Mengambil secangkir kopi pekat, Hermione menyorongkan larutan hangat itu ke tangan Draco. Ritme jantung Hermione yang sudah normal kian menggila ketika jari Draco membelai jemarinya yang tersangkut di gagang cangkir.
"Trims, Sayang. Aku benar-benar mujur punya pasangan perhatian seperti dirimu."
Lagi-lagi komentar eksotis Draco membuat mulut Hermione melongo seperti sepatu jebol yang harus disol. Memasang tameng angker untuk menyamarkan isi hati yang kegirangan, Hermione terbirit-birit melipir menuju pojok ruangan di tepi barat.
"Aku bukan pasanganmu, Malfoy! Dan jangan panggil aku dengan julukan sok mesra seperti itu lagi."
Selama memunggungi Draco, Hermione berkonsentrasi pada sudut Aula Besar yang minim dekorasi. Tatapan Draco yang menembus punggung membuat Hermione mendesah pasrah. Memejamkan mata, Hermione melafalkan nama yang selalu diucapkan dalam lamunan sejak dua tahun lalu.
Nama yang baru bisa disandangnya jika Draco mau menjadi miliknya...
Hermione Jean Malfoy...
Draco Malfoy sangat membenci Valentine.
Bagi pemuda tampan menawan itu, momen kasih sayang yang dirayakan setiap tanggal empat belas Februari merupakan saat paling menjengkelkan sedunia.
Yah, coba bayangkan saja, saudara-saudara. Di hari itu, para gadis berebutan membuat cokelat pekat untuk diberikan pada cowok pujaan masing-masing. Tindakan kurang kerjaan yang tak layak masuk dalam hitungan alur kehidupan.
Sampai sekarang, Draco belum sepenuhnya paham mengapa ia sangat membenci Valentine termasuk boga manis buatan tangan. Seingatnya, dulu ia sangat menggandrungi cokelat-cokelat Valentine yang rutin menyambangi pangkuan.
Lalu, apa dong yang membuat seorang Pangeran Slytherin seperti Draco Malfoy membenci Valentine dan cokelat buatan tangan?
Berpikir keras sembari memandangi Aula Depan yang sudah selesai dirias, Draco merenungkan kembali alasan di balik kebencian pada Valentine, cokelat dan masakan serba manis lainnya.
Bukan, bukan karena ulah si geblek Pansy Parkinson yang nekat menaburkan ramuan Amortentia ke dalam cokelat kirimannya. Seorang pemuda gagah perkasa sekaliber dirinya tak akan ngeper dengan jurus pelet kacangan macam itu.
Lalu, apa dong yang membuatnya alergi pada cokelat Valentine?
"Hermione, setelah selesai menata dekorasi sekolah, kau pasti membuat cokelat Valentine untuk kami, kan?"
Draco yang sedang memutar otak mengernyit mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Ronald Bilius Weasley. Gembel berambut merah yang sejak tahun pertama bersekolah sudah jadi target bulan-bulanan yang paling empuk.
"Tentu saja, Ron. Aku pasti memasak cokelat untukmu. Untuk Harry, Neville dan anak laki-laki Gryffindor lain," jawab Hermione antusias, merangkul lengan Ron dengan sentuhan hangat dan bersahabat.
Mata Draco memicing tajam melihat lengan Hermione melingkar di pundak gepeng Ron. Iris mata sewarna bulan purnama miliknya kian menyipit tatkala Harry James Potter, musuh utama yang paling dibenci ikut-ikutan mengalungkan lengan ceking di bahu Hermione.
Melirik Draco yang mematung beku, Hermione tersenyum singkat. Tak menyadari bahwa di balik sikap diam itu, Draco tengah mengingat mantra non-verbal horor yang bisa dipakai untuk memotong lengan-lengan lancang yang berani menempel di pundak gadisnya.
Ya, gadisnya!
Tak bisakah Potter dan Weasley mengerti kalau sejak empat tahun lalu Hermione sudah menjadi miliknya?
Oh ya, batin Draco sinis. Potter kan tak bisa berpikir dengan jidat yang terbelah. Sedangkan Weasley, wajar saja jika dia culun mengingat kemiskinannya pasti membuat cowok berambut jerami itu kekurangan gizi di masa emas pertumbuhan.
"Malfoy, kau bisa kembali ke asrama sendirian. Aku mau ke Dapur Hogwarts dulu. Biasalah, membuat cokelat untuk Harry dan Ron," ujar Hermione lancar, memangkas semua pikiran negatif Draco yang berkutat seputar dua makhluk Gryffindor menyebalkan yang sekarang mulai menyeringai lebar-lebar, tersenyum terus-menerus seperti monyet gila.
Memonyongkan bibir, Draco membalas dengan satu-satunya ucapan yang lewat di otak.
"Granger, istri macam apa kau ini. Masak meninggalkan suami sendirian di asrama."
Jika mulut Hermione membuka dan menutup seperti ikan koki sekarat mendengar komentar itu, Harry dan Ron tertawa terpingkal-pingkal sampai banjir air mata.
"Kumat lagi sintingnya. Sana, minum obat dulu, Malfoy. Mimpi kali ya jadi suami Hermione," sindir Ron sengit, dengan sengaja menyampirkan tangan di pinggang Hermione. Gerakan akrab yang membuat api kemarahan Draco melesat ke titik didih.
Hermione yang sadar perang berdarah besar-besaran akan terjadi jika tak segera ditangani menepis lengan Ron. Menebar senyum maklum, Hermione tergesa-gesa menghampiri Draco yang sekujur pori-porinya sudah mengeluarkan aura berbahaya.
"Malfoy, aku tak akan lama kok. Tenang saja, aku pasti kembali untuk menyelesaikan pekerjaan mengurus keperluan pesta Valentine esok lusa, " tutur Hermione bersemangat, menggenggam tangan Draco yang mengepal tegang.
Memandangi jemari Hermione yang terjalin di tangannya, kemarahan Draco menyusut. Selain menumpulkan emosi, kehangatan tangan Hermione yang menembus tulang sumsum juga menumbuhkan perasaan kasih tak berujung.
Mengangkat tangan Hermione ke bibir, Draco berbisik rendah. Gumaman serak yang membuat wajah manis Hermione makin merona bingung.
"Ingat, ini tahun terakhir kau membuat cokelat untuk badut-badut pecundang itu. Mulai tahun depan dan tahun-tahun berikutnya, tangan cantikmu hanya memasak untukku."
Melepaskan jemari Hermione yang memerah, Draco membalikkan badan, sengaja menyenggol Harry dan Ron yang mencak-mencak menonton adegan ciuman tangan romantisnya.
Sepanjang perjalanan menuju asrama khusus Ketua Murid, otak Draco bergoyang kencang mencerna jawaban dari pertanyaan yang selama ini meneror benak. Akhirnya, ia tahu apa yang membuatnya membenci Valentine dan parsel cokelat yang mengiringi.
Ya, kebiasaan Hermione memasak cokelat untuk laki-laki selain dirinya-lah yang membuat Draco tak lagi menyukai cokelat dan varian kudapan manis lain. Setiap tahun, setiap melihat Hermione memberikan cokelat buatan tangan ke Harry Potter dan kawan-kawan, kalbu Draco diselubungi cemburu.
Apa Hermione tak tahu kalau cokelat bikinan tangan itu identik dengan pernyataan cinta? Seharusnya Hermione hanya memasak cokelat untuknya. Seharusnya Hermione tak memberikan cokelat buatannya ke cowok-cowok berandalan sialan yang tak pantas untuknya.
Seribu satu macam 'seharusnya' yang saking banyaknya bisa dijadikan sebuah novel membuat Draco tak sadar kalau dirinya sudah tiba di depan pintu asrama Ketua Murid yang dijaga lukisan ksatria berbaju zirah dan putri bergaun kuning kunyit.
Kali ini, si ksatria tengah mendorong ayunan yang dinaiki sang putri, membuat putri berambut ikal keemasan itu memekik gembira. Sudut bibir Draco meliuk ke atas menyaksikan adegan tersebut. Setiap jam adegan antara putri dan ksatria berbaju baja pasti berubah-ubah walau tak jauh-jauh dari unsur kemesraan pasangan yang dimabuk cinta.
Menghela napas iri, Draco mengucapkan kata sandi masuk asrama. Kata sandi yang sudah ditetapkan tanpa musyawarah dengan Hermione. Kata sandi yang selalu dikatakan Draco sesuai dengan kondisi mereka saat ini. Kata sandi yang membuatnya mengkhayal setiap kali mengutarakannya.
"Suami-istri Malfoy."
Sang putri pirang yang melonjak girang di ayunan mengedip pelan, mempersilahkan Draco masuk ke ruangan. Setelah pintu terbuka, Draco bergegas melangkah masuk dan langsung disambut meongan heboh.
Melonggarkan dasi hijau bergaris-garis, Draco melepas jas dan membuka kancing kemeja putih satu persatu. Mata abu-abu peraknya menatap sayang kucing gembrot berkaki bengkok yang sibuk menggosok-gosokkan bulu jingga di keliman celana sekolah.
"Iya, iya, Crookshanks. Kau lapar ya? Tunggu sebentar. Biar Daddy Draco siapkan makanan untukmu," Draco memuntir tongkat sihir, menerbangkan sekotak makanan kucing yang disimpan Hermione di atas lemari kecil dekat perapian.
Usai menaruh separuh isi kardus makanan kucing di piring oranye milik Crookshanks, Draco duduk merunduk, mengelus-elus dengan lembut bulu kucing jantan galak yang tengah mengendus-endus lapar.
"Kau tahu Crookshanks, hari ini Mommy Hermione sibuk berat sampai mengabaikan kita berdua," keluh Draco, terus mengusap bulu tegang Crookshanks yang asyik melahap makanan.
Memandangi Crookshanks yang kekenyangan dan sekarang sibuk membasuh muka, Draco tersenyum tipis. Seperti majikannya yang sok ngebos tapi imut-imut, kucing kelebihan gizi ini juga menggemaskan, membuat dirinya yang tak suka binatang luluh dan jatuh hati.
Berdiri dan menghenyakkan tubuh di sofa panjang, Draco berbaring dan menutupi mata dengan tangan. Pikirannya menerawang mengenang perubahan hubungannya dengan Hermione.
Dulu, di tahun pertama dan kedua, ia sangat tak menyukai gadis bergigi bajing itu. Gadis jelata keturunan Muggle yang nilai-nilainya selalu tinggi darinya, si penyihir elit berdarah murni. Nona-Sok-Tahu-Segala yang membuatnya jadi bulan-bulanan kemarahan ayahnya yang sejak bumi berdiri sudah terobsesi pada nilai-nilai akademik sempurna.
Namun, kebencian menahunnya memudar di tahun ketiga. Lebih persisnya di jam pelajaran Pemeliharaan Satwa Gaib yang diasuh guru separuh raksasa, Rubeus Hagrid.
Kala itu, ia yang jengkel setengah mati karena Harry Potter dipuja-puji gara-gara bisa menjinakkan Hippogrif segalak Buckbeak nekat menantang hewan separuh kuda separuh burung itu. Akibat provokasi konyol itu, lengannya terkoyak disabet cakar runcing Buckbeak.
Di keributan berdarah itulah, Hermione yang selama ini dimusuhi bertindak seperti bidadari penyelamat. Dengan tegas gadis berambut mencuat itu memerintahkan Hagrid untuk menggendong dan melarikannya ke Ruang Kesehatan.
Tak sekadar itu saja, Hermione yang tampak cemas ikut menemani Hagrid ke Ruang Kesehatan. Selama matron Ruang Kesehatan, Madam Poppy Pomfrey menangani luka di lengan, Hermione terus berdiri di samping kanan. Tangan kecilnya tak pernah berhenti mengusap punggungnya yang menggigil kesakitan.
Sejak saat itulah Draco mulai menaruh perhatian khusus pada saingan utamanya itu. Perasaan istimewa yang semakin mengental ketika menyaksikan Hermione mati-matian membela Buckbeak dan Hagrid. Walau di bentrokan itu hidung mancungnya mimisan gara-gara ditinju Hermione, cintanya tak jua menghilang tapi semakin menyala.
Draco yang sejak lahir tak pernah disayangi secara tulus terpana melihat kegigihan Hermione dalam melindungi orang-orang yang disayangi. Pelan tapi pasti, Hermione mulai mengisi hati. Mengubah hatinya yang sepi tanpa cinta menjadi lebih bersemi.
Memori Draco tentang awal mula dirinya jatuh hati pada Hermione terpotong ketika tubuh gendut Crookshanks mendarat mulus di perut. Menyeringai menatap Crookshanks yang bergelung manja di perut ratanya, Draco bergumam pelan.
"Ini Valentine terakhir kami di Hogwarts. Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?"
Mengeong panjang, Crookshanks menguap lebar dan merenggangkan tubuh, berguling melingkar mencari posisi nyaman. Tersenyum geli, Draco memandangi seisi ruangan yang dihuninya bersama Hermione. Rumah tangga kecil mereka yang akan ditinggalkan jika lulus nanti.
Kenyataan bahwa sebentar lagi dirinya akan diwisuda menghentak batin Draco. Sebentar lagi, ia dan Hermione akan lulus dan berpisah. Hermione mungkin akan melanjutkan studi di tempat yang berbeda dengannya.
Bagaimana jika saat kuliah Hermione bertemu dan jatuh cinta pada orang lain? Bagaimana jika Hermione menikah dengan lelaki lain yang ditemuinya saat kuliah?
Bayangan Hermione berdiri di altar dalam balutan gaun pengantin, mengucapkan janji sehidup semati bersama pria lain membuat perutnya mulas. Ia harus segera melakukan sesuatu atau pengorbanannya selama ini sia-sia.
Menatap dapur asrama yang jarang digunakan mengingat mereka lebih suka menyantap makanan di Aula Besar, senyum lebar terpampang di muka tampannya. Ya, Draco Malfoy akhirnya tahu hal apa yang bisa dilakukannya untuk memenangkan hati Hermione.
Satu-satunya gadis yang layak untuk menyandang nama Malfoy...
Hermione Jean Granger sangat menyukai Valentine.
Bagi gadis berotak tajam itu, momen kasih sayang yang dirayakan setiap tanggal empat belas Februari merupakan saat paling menyenangkan sedunia.
Yah, bayangkan saja, saudara-saudara. Di hari itu, para gadis berkesempatan memasak cokelat untuk diberikan pada idola pujaan masing-masing.
Sejak tahun ketiganya bersekolah, berkat provokasi mantan teman sekamarnya, Lavender Brown, Hermione yang pada dasarnya tak begitu suka turun ke dapur sudah mencoba-coba membuat cokelat.
Memang sih rasa cokelatnya standar dan tak selezat milik Lavender, tapi Hermione tetap senang tak terkira. Apalagi meski sering ketiban kiriman cokelat dari para pemuja mereka, Harry dan Ron terus-terusan meminta dibuatkan cokelat setiap Valentine tiba.
Di tahun keenam, Hermione yang tingkat kepercayaan dirinya mengangkasa karena cokelatnya disukai dua teman cowoknya memberanikan diri membuat lebih banyak cokelat untuk dibagikan ke penghuni Menara Gryffindor.
Hermione sendiri tak berpikir macam-macam saat memberikan cokelat buatan tangan tersebut. Ia hanya ingin berbagi kesenangan di hari kasih sayang. Bagi Hermione, memberikan cokelat pasaran sebanyak mungkin seperti kompensasi baginya. Pelipur kesedihan karena sampai sekarang ia belum berani memberikan cokelat buatannya kepada satu-satunya pemuda yang ingin dibahagiakannya.
Draco Malfoy...
Menghembuskan napas rendah, Hermione mengaduk lelehan cokelat dengan sepenuh hati. Sejak tahun kelima, sejak dirinya menyadari cintanya, Hermione sudah ingin menghadiahkan Draco cokelat Valentine kreasinya.
Sayangnya, Draco terkenal fobia dengan segala sesuatu berbau manis. Sejak empat tahun lalu, Draco menghindari makanan manis penuh gula. Menurut desas-desus yang berseliweran, Draco alergi cokelat manis karena ulah si sableng Pansy Parkinson yang mengguyur cokelat Valentine buatannya dengan Ramuan Cinta Amortentia. Untung saja cokelat itu tak dimakan Draco sehingga bintang masyarakat itu terhindar dari jerat pelet teman sejak kecilnya.
Menyiapkan cetakan cokelat berbentuk wajik dan kembang, Hermione mengingat-ingat kembali kapan dirinya mencintai pemuda yang sempat membuatnya mati kutu di awal-awal tahun pertamanya bersekolah.
Semua itu berawal di tahun kelimanya, ketika ia menggagas berdirinya organisasi pembebasan peri rumah, SPEW. Kala itu, Hermione sempat dicap kurang kerjaan karena mengkampanyekan pembebasan peri rumah. Sobat-sobat Gryffindor-nya, termasuk Harry dan Ron bahkan mentertawakan dan menganggap dirinya hanya buang-buang waktu saja.
Sikap pesimis itu tak menyurutkan semangat Hermione untuk mengumpulkan dana dan petisi. Setiap hari, Hermione tak kenal lelah berkeliling seluruh asrama untuk meminta sumbangan.
Setelah beberapa minggu nyaris tanpa hasil selain uang recehan semata, energi Hermione kembali tersulut ketika sebundel Galleon emas mampir di kaleng sumbangan SPEW. Kantung penuh uang emas yang hadir tanpa nama pengirim.
Kala itu, Hermione menduga si pemberi dana rahasia pastilah salah satu staf pengajar atau anak Hufflepuff yang terkenal dermawan. Namun, fakta yang dibocorkan Dobby, bekas peri rumah Draco yang kini bekerja di Dapur Hogwarts membuat Hermione tersentak.
Kata Dobby, Draco-lah yang memintanya untuk meletakkan uang itu di kaleng sumbangan SPEW. Tak cuma menyumbang diam-diam, Dobby juga mengisahkan bahwa saat liburan Natal, Draco meminta ayahnya, Lucius Malfoy yang tinggi hati dan pelit bukan main untuk menggaji para peri rumah yang bekerja di rumah mereka.
Menurut info yang dibeberkan sobat baik Dobby yang masih bekerja di Malfoy Manor, Lucius Malfoy awalnya berat hati mengabulkan permintaan tersebut. Namun, penyihir berambut pirang panjang itu tak bisa berkutik sebab ia sudah menjanjikan akan memberi anaknya hadiah Natal apapun yang dimintanya. Tak disangka tak diduga, Draco malah meminta pemberian gaji peri rumah sebagai hadiah Natal.
Mengetahui hal itu, Hermione merasa sangat bersimpati. Simpati yang makin melebar mengingat tabiat Draco yang semakin membaik dari tahun ke tahun.
Jika diingat-ingat, sejak insiden terlukanya Draco akibat tendangan Buckbeak, pemuda bermata kelabu perak itu tak lagi memanggilnya dengan julukan favorit, Darah Lumpur kotor. Draco memang masih senang menjahili Ron dan Harry tapi setidaknya remaja atletis itu jauh lebih kalem jika berhadapan dengan dirinya.
Menghiasi permukaan cokelat dengan taburan kismis kering dan kacang, Hermione mendesah lelah. Tahun ini merupakan tahun terakhirnya bersekolah bersama Draco. Musim panas nanti mereka akan lulus dan diwisuda.
Memikirkan wisuda membuat batin Hermione kian gundah gulana. Draco mungkin akan melanjutkan studi di tempat yang berbeda dengannya. Draco mungkin jatuh cinta dengan mahasiswi seksi yang ditemuinya di sana. Bagaimana jika selepas kuliah Draco menikahi gadis tersebut? Gadis yang bukan dirinya?
Jantung Hermione berlompatan membayangkan Draco berdiri di altar dan mengucapkan janji pernikahan bersama perempuan lain. Perasaan yang diidapnya kali ini setara dengan sakit hati yang sempat dirasakannya ketika berita pertunangan Draco dan Astoria Greengrass melesak ke permukaan setahun lalu.
Rasa kecewa yang syukurlah tak bertahan lama setelah Draco secara mendadak membatalkan pertunangan. Pembatalan perjodohan yang sempat membuat wajah cantik Astoria Greengrass bermandikan air mata.
Menatap cetakan cokelat hati yang teronggok nganggur di atas meja, tekad baru Hermione kembali tumbuh. Ia harus melakukan sesuatu untuk merebut dan mempertahankan cinta pertamanya.
Sudah saatnya ia berani dan jujur pada diri sendiri. Sudah saatnya ia mengakui rasa cinta. Sudah saatnya ia berjuang memenangkan hati Draco.
Dan sudah saatnya Valentine tahun ini menjadi awal baru yang abadi bagi mereka berdua...
Draco Malfoy sangat membenci Valentine.
Bagi pemuda pirang platina itu, momen kasih sayang yang dirayakan setiap tanggal empat belas Februari merupakan saat paling menjengkelkan sedunia.
Yah, bayangkan saja, para pembaca. Untuk menyambut hari itu, banyak cewek rela berkeringat dan berpanas-panasan di dapur hanya untuk membuat cokelat Valentine. Cokelat buatan tangan yang setelah dibuat berjam-jam ludes disantap dalam hitungan detik.
Tapi, setelah mengetahui betapa asyiknya membuat sesuatu untuk orang tercinta, kebencian Draco pada semua hal yang berbau Valentine mulai memudar. Tersenyum samar, Draco menyalakan kompor dan meletakkan panci berisi cokelat, berjanji dalam hati untuk tak lagi mengucapkan narasi 'Draco Malfoy sangat membenci Valentine'.
Mengaduk-aduk cokelat di panci dengan konsentrasi tinggi, sebelah tangan Draco yang lain membolak-balik buku resep. Bola mata Draco yang sewarna bunga salju perak berkilat-kilat mencermati setiap instruksi yang tertera di lembaran panduan memasak.
Sebenarnya, ia bisa saja memanfaatkan tongkat sihir kayu hawthorn miliknya untuk membuat cokelat. Tinggal sret, sret, sret dalam sekejap cokelat Valentine pasti sudah tercetak. Namun, ia tak mau menggunakan aksi instan tersebut.
Jika ingin mencairkan hati Hermione, ia harus menggunakan kelihaian tangannya. Jika ingin menjinakkan Hermione, Draco Malfoy; si pewaris tunggal klan tajir Malfoy harus membuang harga dirinya. Turun sendiri ke dapur dan memasak secara manual ala Muggle.
Memasak ala Muggle.
Ha! Saat ini Draco yakin leluhur Malfoy pasti tengah nangis guling-guling di dalam kubur mengetahui salah satu keturunan mereka mengerjakan pekerjaan yang seyogyanya dilakoni oleh peri rumah. Pekerjaan yang istilahnya 'bukan Malfoy banget'.
Menyeringai kecil, Draco menyiapkan selai stroberi kesukaan Hermione, selai yang akan dijadikan pelapis cokelat buatannya. Sejak hatinya direbut Hermione empat tahun lalu, ia tak lagi mewarisi sifat-sifat dasar keluarga Malfoy yang belagu dan congkak. Ia kini lebih saleh dan anteng, jarang membuat keributan jika berhadapan dengan Hermione.
Yup, catat itu, saudara-saudara. Jika berhadapan dengan Hermione. Bukan dengan cowok pemuja Hermione yang astaganaga banyaknya, termasuk si jagoan tengik Gryffindor, Cormac McLaggen.
Mengiris-iris stroberi ranum dengan penuh dendam, membayangkan kalau itu adalah kepala McLaggen yang tengah dibedahnya, Draco mengenang kembali momen di mana dirinya menghajar McLaggen karena berani mengajak kencan Hermione di tahun keenam.
Begitu mengetahui McLaggen jatuh hati pada Hermione, Draco langsung merancang skenario balas dendam. Di pertandingan Quidditch Slytherin versus Gryffindor, Draco yang seharusnya beroperasi mengejar Golden Snitch malah menghantamkan Bludger ke tubuh McLaggen. Hantaman keras yang membuat kiper berambut kawat itu nyangkut di batang pohon Dedalu Perkasa.
Kendati saat itu Draco dimaki-maki dan dijatuhi hukuman oleh wasit Quidditch, Madam Rolanda Hooch, ia tetap puas tak terkira. Kekalahan Slytherin tak sebanding dengan kegembiraannya melihat McLaggen yang ringsek dihajar pohon Dedalu Perkasa harus dirawat inap di Ruang Kesehatan selama empat pekan.
Memasukkan cokelat ke dalam loyang berbentuk hati, Draco menatap jam yang berdentang di dinding ruang perapian. Sampai jam segini Hermione belum balik dari Dapur Hogwarts padahal tugas sekolah plus kewajiban mendekorasi seisi kastil untuk keperluan pesta Valentine masih menanti untuk dikerjakan.
Menyimpan loyang cokelat hati di dalam lemari pendingin, Draco beralih ke tugas berikutnya. Mengisi air di ceret dan menjerangnya.
Tersenyum dalam hati, Draco mulai berandai-andai. Saat sampai nanti, tulang-belulang Hermione pasti rontok kecapekan. Sebagai seorang suami jadi-jadian, sudah tugasnya memanjakan si istri pekerja keras.
Istri gadungan yang diharapkan bisa menjadi istri aslinya beberapa tahun lagi...
Hermione Granger sangat menyukai Valentine.
Bagi gadis berambut semak belukar itu, momen kasih sayang yang dirayakan setiap tanggal empat belas Februari merupakan saat paling menyenangkan sedunia.
Yah, bayangkan saja, para pembaca. Di hari itu ia berkesempatan unjuk gigi dan menyumbangkan tenaga. Apalagi Valentine tahun ini, tahun di mana dirinya menjabat sebagai Ketua Murid. Status yang membuat dirinya memiliki otoritas penuh dalam menyiapkan dekorasi menawan untuk perayaan akbar tersebut.
Kesibukan menyiapkan pesta Valentine termasuk agenda membuat cokelat yang berpadu dengan ketatnya jadwal pelajaran plus banjirnya tugas sekolah sudah tentu membuat Hermione harus menjaga stamina. Daya tahan tubuh yang sialnya malah melemah jelang momen penting esok lusa.
Setelah merayap pelan-pelan dari Dapur Hogwarts menuju asrama Ketua Murid, Hermione akhirnya tiba di pintu masuk yang diapit lukisan bergambar ksatria baju zirah dan kekasih abadinya, si putri bergaun kuning kunyit.
Terdiam beberapa menit memandangi lukisan putri berambut keemasan yang tengah tertidur di pangkuan si ksatria baju zirah, Hermione dengan lemas menggumamkan kata sandi masuk asrama. Kata sandi yang sampai detik ini masih membuat detak jantungnya berdentam-dentam liar di dalam rongga.
"Suami-istri Malfoy."
Melirik sebal karena mimpi basahnya terinterupsi, si ksatria berbaju besi mempersilahkan Hermione yang tertatih-tatih kelelahan masuk ke lorong asrama.
"Sudah pulang, Cinta?"
Sapaan lembut Draco yang berbaring santai di sofa panjang membuat jantung Hermione semakin giat berpacu. Lagi-lagi sapaan romantis itu. Sapaan yang hanya Tuhan yang tahu berkonotasi asli atau imitasi.
Mendengus pelan, berjuang meredam dentum jantung, Hermione merebahkan pinggul di sofa pendek, tepat di seberang Draco yang tengah menulis bergebung-gebung esai tentang Konfederasi Sihir Internasional.
Mata Hermione yang tadi terpejam mengantuk membelalak terbuka menyaksikan lembaran perkamen Draco yang bergulung-gulung di lantai. Sisi kompetitornya bangkit seketika melihat kesempurnaan lembar tugas tersebut.
"Ya ampun! Aku belum tuntas mengerjakan PR Sejarah Sihir," Hermione mengerang lelah, buru-buru mengeluarkan segepok perkamen kulit domba dari perut tas ransel.
Baru beberapa saat mencorat-coret perkamen, Hermione sudah dikejutkan dengan secangkir teh susu yang diletakkan Draco di samping meja. Menengadahkan kepala, Hermione disambut senyuman Draco yang sehangat teh susu buatannya.
"Minum teh dulu, Granger. Supaya otak encermu tak butek lagi."
Menautkan alis, Hermione sedikit mengernyit kebingungan. Dari mana Draco tahu kalau ia menggemari teh susu dengan sedikit air jahe? Menyeringai penuh konspirasi, Draco mencondongkan badan ke arah Hermione yang kebingungan.
"Aku yang membuat teh susu itu, Granger. Tenang saja, tak ada racunnya kok."
Mengucapkan terima kasih dengan perlahan, Hermione menyeruput teh hangat favoritnya. Memejamkan mata lekat-lekat, Hermione meresapi minuman yang ajaibnya terasa lebih menakjubkan daripada teh yang selama ini diminumnya.
"Tak ada racun, tak ada Amortentia. Jadi, kalau sesudah minum teh susu itu kau tergila-gila padaku, jangan salahkan aku. Itu tandanya kau yang memilih aku," seru Draco tiba-tiba, membuat teh yang diminum Hermione muncrat dari mulutnya.
"Malfooy, kau ini," sungut Hermione sebal, membersihkan tumpahan teh dengan lambaian Mantra Scourgify. Menangkup mulut dengan tangan untuk meredam cekikikan, Draco menuangkan teko teh ke cangkir Hermione, mengisi kembali cangkir bermotif anggrek bulan dengan teh susu buatannya.
Menaikkan alis, Hermione meraih cawan teh dan mereguk pelan-pelan. Jika mau jujur, Hermione tak keberatan seandainya Draco benar-benar menambahkan Ramuan Cinta Amortentia ke teh susu. Setidaknya ia jadi punya dalih untuk mengejar-ngejar Draco seperti penagih utang di musim gajian.
Untuk beberapa saat, ketenangan tanpa emosi mengisi ruang tamu tersebut. Hanya bunyi goresan pena bulu dan sesapan teh yang menghiasi kesunyian. Bunyi kepala terantuk meja-lah yang menyadarkan Draco yang tengah memfokuskan diri pada lembar-lembar perkamen tugas.
"Hei, Granger. Jangan molor di sini," seru Draco, menggoyang-goyangkan pundak Hermione yang menelungkup pasrah. Gumaman tak jelas terlontar dari mulut Hermione, membuat Draco terpaksa menggaruk-garuk kepala pirangnya yang tak gatal sebab selalu dicuci dengan sampo anti ketombe.
"Granger, kau bisa kena flu kalau tidur di sini. Sana, balik ke kamarmu," ujar Draco pelan. Duduk jongkok di samping Hermione, dengan lembut Draco menyingkap helai-helai rambut cokelat lebat yang menutupi wajah gadis kesayangannya.
Lagi-lagi Hermione hanya menggeram tak jelas. Kali ini jemarinya bahkan terjulur dan mengibas-ngibas udara, membuat Draco terpaksa melengkungkan badan ke belakang untuk menghindari tamparan tangan kosong.
"Granger, kalau kau tak segera bangun, aku akan membawamu ke kamarku," ancam Draco, berupaya membangunkan teman seasramanya dengan gertak sambal. Ancaman kosong yang bakal berubah nyata jika gadis yang mulai mendengkur keras itu tak segera bangun dari tidurnya.
Ultimatum Draco tampaknya cuma masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Hermione yang sudah tersesat jauh ke alam mimpi tak memberikan reaksi selain mendengkur halus dan mengigau sesekali.
Mengacak-acak surai halusnya, Draco dengan cekatan mengangkat dan menggendong Hermione menuju ke kamar pribadinya. Mengucapkan kata sandi; sebuah peraturan dasar turun temurun bagi para Ketua Murid untuk mencegah penyusup, Draco membawa Hermione ke dalam kamarnya yang berdesain maskulin.
Membaringkan Hermione dengan hati-hati di ranjang besar empuk yang terbungkus seprai satin hitam, Draco merapikan untaian anak rambut yang menggantung di sekitar pipi Hermione.
Setelah puas menelusuri lekuk wajah Hermione dengan jemari, Draco menunduk dan mengecup semua bintik-bintik di dekat hidung Hermione. Aktivitas yang sudah ingin dilakukannya sejak bertahun-tahun lalu.
Jika sudah tertidur, Hermione mungkin persis kerbau mati disuntik bius sebab gadis bertubuh mungil itu sama sekali tak terbangun meskipun bibir hangat Draco berulangkali mencumbu wajahnya.
Mengerang lembut merasakan harum tubuh Hermione yang menggoda, Draco mengepalkan tangan di seprai. Bersusah payah menahan keinginan menyergap Hermione yang tak sadarkan diri.
Sabar Draco Malfoy. Sabar, bisik hati malaikatnya. Semua itu indah pada waktunya. Bukankah kau sudah berjanji untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya?
Menghela napas, Draco mengangguk keras berkali-kali. Ya, benar. Ia sudah bersumpah untuk berubah dan tak lagi menjadi seorang Draco Malfoy yang bisa disetir dan dikendalikan orang lain. Termasuk syahwat dan hawa nafsunya sendiri.
Melepas beberapa kancing kemeja, Draco menyibak selimut dan berbaring di samping Hermione yang tertidur ngorok seperti singa gunung kekenyangan. Biasanya, ia selalu tidur bertelanjang dada namun kali ini aktivitas itu tak bisa dilakukan. Draco tentu tak mau tubuh maskulinnya cemong kena Kutukan Sectusempra jika Hermione bangun dan menemukannya tidur bertelanjang dada.
Baru sedetik merebahkan diri di peraduan, harum tubuh Hermione, perpaduan vanila dan stroberi membius indra penciumannya. Mengerang rendah, Draco bergerak mendekat dan melingkarkan lengan di perut Hermione. Memeluk 'calon istrinya' itu dari belakang.
Harum khas Hermione dan irama detak jantungnya yang stabil membawa Draco dalam ketenangan. Sejurus kemudian, penyihir jangkung pirang itu pun terlelap dalam bunga tidur penuh arus kebahagiaan...
Sinar mentari yang menerabas masuk melalui sela-sela tirai jendela membangunkan Hermione dari tidur malam yang membahagiakan. Mengerjapkan mata, Hermione merenggangkan tubuh, langsung berbenturan dengan sesuatu yang hangat, kokoh dan berbau harum.
Tunggu dulu...
Sesuatu yang hangat, kokoh dan berbau harum? Sudah tentu itu bukan Crookshanks, kucing gembul berbulu tebal yang biasa meringkuk tidur bersamanya setiap malam. Jadi, apa dan siapa gerangan yang bercokol di belakang punggungnya? Yang dengan pelan tapi pasti makin merapatkan diri ke arahnya?
Hermione mengernyit dan pelan-pelan melebarkan pupil mata yang masih berkedip lima watt. Dalam keremangan, iris cokelatnya menelusuri ruangan kamar yang tampak asing. Kamar yang jelas-jelas bukan miliknya jika menilik dari seprai satin yang terhampar di bawah tubuhnya. Seprai mahal yang kehalusannya melebihi seprai katun biasa yang selalu dipakainya.
Keterkejutan Hermione makin menjadi-jadi ketika menyadari keberadaan sepasang lengan kokoh yang melingkari perutnya. Belum sempat berpikir, Hermione terkesiap ketika sesuatu yang hangat dan harum di belakangnya itu mendekat dan berbisik lembut di kupingnya.
"Selamat pagi, Putri Tidur. Untung kau bangun cepat sehingga aku tak perlu menunggu seratus tahun untuk membangunkanmu."
Mengangkat muka yang memerah parah, Hermione langsung berhadapan dengan Draco yang melempar senyum menggoda. Senyum yang makin melengkapi penampilan Draco yang meski baru bangun tidur tetap terlihat seksi membahana.
Menutup mulut dengan tangan, mengantisipasi bau naga sehabis bangun tidur, Hermione gelagapan bertanya. Pandangan awasnya tak lepas dari dada macho Draco yang sedikit mengintip dari balik kemeja yang tak berkancing.
"Mal... Malfooy? Apa yang kau lakukan?"
Melihat ekspresi kalut di wajah Hermione, Draco mati-matian meredam tawa yang sudah terjerat di tenggorokan. Bukan hal bijak mentertawakan singa betina yang baru bangun tidur ini. Mengantuk atau tidak, kemampuan ilmu sihir Hermione yang sakti mandraguna tak bisa dipandang sebelah mata.
"Bukankah sudah jelas? Kita tidur bersama, Granger," jawab Draco sekenanya, hampir terbahak merangkak-rangkak mendengar kesiap kaget yang merosot keluar dari bibir Hermione.
Merlin, menggoda Hermione ternyata merupakan tonik penghibur yang adiktif, pikir Draco dalam hatinya. Hatinya terasa hangat melihat pergantian ekspresi menghibur yang tercetak di wajah Hermione yang merona padam.
"Tidur bersama?" pekik Hermione nyaring, meneliti sekujur tubuhnya, bernapas lega saat menyadari dirinya masih berpakaian lengkap. Membelalakkan mata, Hermione bergegas bangkit dari tempat tidur. Telunjuknya teracung menunjuk pemuda pirang yang tengah nyengir tertahan di depannya.
"Untung saja tongkat sihirku ketinggalan di ruang tamu, Malfoy. Kalau tidak, kau pasti sudah aku ubah jadi kodok betung," gertak Hermione, menghentak-hentakkan sebelah kaki ke karpet tebal.
Meletakkan lengan di belakang kepala, Draco tersenyum sensual. Bibirnya meliuk memamerkan seringaian khas yang mampu membuat kaum perempuan sedunia rela melakukan perbuatan dosa.
"Ya ampun, Granger. Segitu inginnya kau menggerayangiku hingga berniat mengubahku jadi Pangeran Kodok. Setelah aku jadi kodok, kau pasti tanpa ragu menciumiku kan?" kekeh Malfoy geli.
Rambut mengembang Hermione yang selalu berantakan setiap kali bangun tidur mencuat seperti tersambar petir. Mengucek-ucek ujung mata yang sedikit belekan, Hermione menggerundel memikirkan mengapa Draco senang sekali menggodanya.
"Terserahlah, Malfoy," tukas Hermione kesal, bergegas keluar kamar. Tak mau berlama-lama satu ranjang dengan pemuda yang ketampanannya membuat kinerja otak ngadat total.
Sesaat sebelum membuka pintu, Hermione terdiam mendadak, seakan disambar Mantra Petrificus Totalus. Menengok dari balik pundak, mengawasi Draco yang menatap keheranan, Hermione mengeluarkan perintah dengan gaya ngebos yang biasa.
"Jangan lupa, Malfoy. Sehabis jam pelajaran, kita dan para Prefek akan menghiasi seisi kastil dengan tema Valentine."
Mengangkat bahu tak peduli, Draco kembali merebahkan diri di kasur sebelum berteriak dengan nada heran yang kentara betul dibuat-buat.
"Granger, kau mimpi basah ya semalam? Sepraiku jadi lembab begini."
"Jangan asal cuap, Malfoy!" rutuk Hermione bengis, memutar pegangan pintu sambil berkomat-kamit garang, menahan keinginan mentransfigurasi Draco menjadi musang melambung paling tampan.
"Oh, jadi bukan akibat mimpi? Lalu ini apa? Kau ngiler sebanyak ini sampai sepraiku basah begini?" tanya Draco sok lugu, meneliti hamparan seprai satin hitam dengan tingkat ketelitian seorang ilmuwan.
Melipat tangan di dada, Hermione mengangkat hidung tinggi-tinggi. Terus terang, tingkat kesabaran Hermione mulai menipis menghadapi tingkah kekanak-kanakan seperti ini.
"Tak usah banyak omong, Malfoy. Jika kau ingin membakar sepraimu karena sudah terkontaminasi Darah Lumpur, musnahkan saja! Tak perlu membuat sejuta macam alasan," semprot Hermione ketus.
Senyum lebar Draco perlahan memudar mendengar tantangan tersebut. Iris abu-abu peraknya yang berkilap nakal berubah redup dan muram.
"Aku tak pernah berpikir begitu. Satu lagi, jangan sebut dirimu dengan Darah Lumpur, Granger," ujar Draco perlahan, menyingkap selimut dan bangkit dari tempat tidur.
"Benarkah?" kedua alis Hermione naik sekejap. "Bukankah kau dulu selalu mengata-ngataiku dengan sebutan itu? Bukankah kau dulu alergi bersentuhan denganku?"
"Dulu, Granger. Dulu," tandas Draco, berdiri berhadapan dengan Hermione yang harus mengimbangi perbedaan tinggi badan mereka dengan mendongakkan kepala belukarnya lebih tinggi.
"Sekarang aku sudah berubah. Tak bisakah kau melihat perubahan itu dan berhenti memusuhiku?" Draco bertanya rendah, menjulurkan tangan untuk meletakkan ikal rambut Hermione yang terjurai ke balik telinganya.
"Err..." gagap Hermione malu. Ya Tuhan Hermione Jean Granger, mata batin Hermione yang paling dalam mengumpat pelan. Bukankah di awal tahun ajaran ketujuh Draco sudah meminta maaf dan mengajak rujuk? Tak bisakah kau berhenti mengungkit-ungkit masa lalu?
Menundukkan kepala, Hermione berbisik meminta maaf. Memang, tak sepatutnya keinginan tulus Draco untuk berteman dibalas dengan air tuba seperti ini.
"Maaf, Malfoy. Aku sadar kau sudah berubah. Aku saja yang bodoh. Masih terpaku pada sikapmu di masa silam," gumam Hermione, menelusuri motif karpet kamar Draco yang dihiasi seiris sinar mentari.
Mengangkat dagu Hermione dengan jemari, Draco mengunci tatapannya dengan mata cokelat Hermione yang membulat terkejut.
"Berhubung ini bulan kasih sayang, permintaan maafmu dikabulkan. Asal kau berjanji tak mencurigai dan menyangsikan semua perbuatan dan perkataan yang akan kunyatakan padamu."
"Eh? Apa maksudnya, Malfoy?"
Mengabaikan pertanyaan bertubi-tubi itu, Draco menggenggam bahu Hermione dan mendesak gadis kepala batu itu untuk keluar dari kamarnya. Sebelum menutup pintu kamar, Draco masih sempat melemparkan kedipan nakal.
"Lihat saja besok malam, Granger."
Berdiri mematung di depan pintu kamar Draco yang tertutup rapat, kerutan di dahi Hermione makin bertambah dalam. Apa maksudnya dengan tunggu saja besok malam? Memangnya apa yang akan dilakukan dan dikatakan Draco esok malam?
"Yang ingin aku katakan adalah, selamat Ketua. Pesta Valentine besok malam pasti berjalan sukses."
Melodi merdu yang mengalun dari belakang punggungnya membuat Hermione yang sibuk mengamati seisi koridor lantai empat membeku sesaat. Melirik dari ujung mata, Hermione melihat si empunya suara bergerak dan mengambil posisi di sampingnya.
"Terima kasih, Astoria Greengrass. Ini semua berkat kerja sama kalian sebagai Prefek," ujar Hermione formal, sedikit rikuh berdiri begitu dekat dengan seorang gadis singset yang setahun lalu membuat hatinya berdarah-darah dengan pertunangan sesaatnya.
Mengeluarkan tawa halus yang mengalir berirama, tawa memesona yang katanya bisa membuat cowok-cowok terlena, Astoria menatap Hermione dengan pandangan tak terbaca. Manik cokelat karamelnya mengawasi Hermione dengan penuh selidik.
"Kau sepertinya tak suka berdekatan denganku ya, Granger?" Astoria bertanya tanpa basa-basi, membuat Hermione sedikit belingsatan karena ketahuan.
"Tidak juga. Aku biasa-biasa saja kok," kelit Hermione, meremas-remas jemari tangan dengan gugup.
Mengibaskan rambut cokelat panjang yang seharum kamboja, Astoria mendesah pelan. Pupil sendunya menatap Draco yang tengah berdiskusi seru dengan dua Prefek Ravenclaw, Luna Lovegood dan Marcus Belby. Jika Luna seperti biasa terlihat melamun, Belby hanya melongo bego mengawasi Draco yang menunjuk-nunjuk seisi ruangan.
"Seharusnya yang memendam perasaan tak suka itu aku, Granger. Gara-gara kau, aku tak bisa menikah dengan Draco," ujar Astoria lirih, suara indahnya sedikit bergetar menahan luapan emosi.
Hermione terperangah mendengar pengakuan adik kelasnya. Apa benar gara-gara dia, gara-gara penyihir keturunan Muggle seperti dirinya Draco membatalkan pertunangan? Pembatalan yang selama berbulan-bulan menjadi topik utama dalam setiap pembicaraan murid-murid asrama?
"Tahun lalu, saat Paman Lucius menyatakan Draco akan menikah denganku, Draco marah-marah tak terkendali," jelas Astoria panjang lebar, setia bercerita tanpa menghiraukan ekspresi wajah Hermione yang terpana tak percaya.
"Jika pertunangan denganku tak dibatalkan, Draco mengancam akan pergi ke Kementerian Sihir Inggris dan meminta Menteri Sihir, Kingsley Shacklebolt untuk mencabut kemampuan sihirnya. Draco mengancam akan pergi ke dunia Muggle jika Paman Lucius tetap bersikeras menikahkannya denganku," tutur Astoria lemah, suara beningnya makin terdengar getas seiring dengan setiap torehan pengakuan.
"Pertunangan akhirnya diurungkan sebab Paman Lucius tak mau pewaris tunggalnya jadi Muggle. Bagi Paman Lucius, lebih baik ada darah campuran di dalam pohon keluarganya ketimbang anak satu-satunya berubah jadi Muggle," Astoria berbisik getir, menyunggingkan senyum rapuh yang memilukan hati.
"Tapi, aku..." ujar Hermione, bingung memikirkan kalimat tepat seperti apa yang harus dikeluarkan di saat seperti ini.
"Draco mencintaimu, Granger. Sejak tahun ketiganya bersekolah. Apa kau tak sadar akan hal itu?" tanya Astoria, matanya yang sedikit berair mengerdip sesekali.
Menggelengkan kepala, Hermione menatap dara yang lebih muda dua tahun darinya. Draco Malfoy sudah mencintainya sejak tahun ketiga mereka? Jadi itukah yang membuat seorang setan penindas seperti Draco berubah drastis menjadi malaikat lembut dari tahun ke tahun?
"Draco berubah sejak kau memasuki hatinya. Ia bukan lagi pemuda dingin tak berperasaan. Kau tahu, ia rela melakukan apapun untuk membahagiakanmu. Apapun. Termasuk membatalkan pertunangan dan menghapus rumor Paris dan Helen of Troy yang sengaja kubuat," desah Astoria pasrah, menatap lekat-lekat wajah Hermione yang masih ternganga.
Menghembuskan napas kalah, Astoria melirik sekilas ke arah Draco yang balas menatapnya dengan dahi berkeriut.
"Tak ada harapan bagiku sebab aku lihat kau juga mencintainya. Aku hanya berharap semoga suatu saat nanti aku menemukan pria yang benar-benar mencintaiku. Seperti Draco mencintaimu," Astoria menepuk pelan pundak Hermione sebelum beranjak pergi. Meninggalkan Hermione yang masih membeku seperti arca candi.
Sampai bayangan Astoria menghilang di balik bordes pun Hermione belum bergerak dari posisinya. Ia baru tersadar setelah geraman sebal Draco terdengar di kupingnya.
"Ya Tuhan, aku bisa gila jika terus berdiskusi dengan Loony Lovegood dan Belby. Si Loony Lovegood memang ngaco tapi Belby jelas-jelas bego. Heran, kenapa dia bisa terpilih sebagai Prefek," gerutu Draco judes, mengacak-acak tatanan rambutnya yang klimis.
Mengernyit mencermati Hermione yang sekaku batu, Draco menarik napas lelah. Tadi, sesaat sebelum mendatangi Hermione, ia melihat gadis yang ditaksirnya berbicara empat mata dengan mantan tunangannya. Apa sih mantra yang disemburkan teman kecilnya itu sehingga Hermione jadi sebeku mumi yang diformalin?
"Granger, apa yang tadi dikatakan Tori padamu? Kalau dia menjelek-jelekkanmu atau menghinamu, aku-"
Mengulum senyum manis yang membuat Draco lupa apa yang hendak diutarakannya, Hermione menatap Draco dengan mata bersinar-sinar penuh harapan.
"Tenang, Malfoy. Dia tidak melakukan hal buruk padaku. Dia cuma memberiku informasi sangat berharga. Informasi yang membuatku makin mantap menuntaskan misiku."
Kerutan di dahi mulus Draco kian bertambah panjang. Menghela rambut pirang pucat yang bertengger di sekitar pelipis, Draco memandangi Hermione dengan penuh tanda tanya.
"Misi apa?"
Mengedip nakal seperti yang dilakukan Draco tadi pagi, Hermione berkomentar mantap. Semantap tekad yang tertanam di benaknya.
"Lihat saja besok malam, Malfoy."
Menatap punggung Hermione yang makin menjauh, Draco berdiri keheranan. Terheran-heran karena Hermione yang selama ini judesnya minta ampun mendadak menyumbangkan senyum semanis madu murni untuknya.
Menyeringai senang, Draco menyusul Hermione kembali ke asrama mereka. Tak sabar untuk mewujudkan mimpi sekaligus menanti kejutan dari Hermione esok malam.
Ya, esok malam.
Malam hari Valentine yang bisa mengubah arah perjalanan cinta mereka...
"Madam, lama sekali sih dandannya," sindir Draco resah, bolak-balik mengetuk pintu kamar tidur Hermione yang tersegel sihir. Mengecek jam di dinding, Draco menghembuskan napas tegang, memikirkan rencana yang sudah disusunnya untuk menyambut hari Valentine. Hari yang tepat untuk menyatakan cinta yang lama terpendam.
Omong-omong tentang menyatakan cinta, seharian ini Draco memang dihadang ratusan peri dan kurcaci pendek yang berbondong-bondong menyenandungkan surat cinta. Ritual tahunan tiap Valentine yang selalu membuat bibir seksinya nyaris dower karena harus berulang kali mengumandangkan kalimat 'Tidak, maaf. Aku tak mencintaimu.'
Prosesi pembacaan surat cinta yang membuat Draco harus meringis karena terpaksa mendengar tangisan histeris fans fanatiknya yang tak terima pernyataan cintanya ditolak sang idola.
Jika Draco sibuk meratapi kupingnya yang masih berdenging gara-gara seremoni pembacaan puisi dan syair cinta dari penggemar maniak yang tak kenal kapok, Hermione tengah berkutat membenahi penampilannya, terutama membereskan sebutir jerawat yang mendiami jidatnya.
"Merlin, sehabis malam ini aku harap kau kempes dan tak pernah nongol lagi," desis Hermione, menunjuk jerawatnya yang terpantul di cermin. Mengoleskan lipstik warna bibir sebagai sapuan terakhir, Hermione mengamati keseluruhan penampilannya dari atas hingga bawah.
Yah, tidak buruk-buruk amat, pikir Hermione puas, merapikan ikal rambut yang sedikit melebar keluar. Gaun selutut warna merah muda tapak dara yang dipakainya melayang lembut seiring pergerakan kakinya yang terbalut sepatu kaca transparan. Sepatu yang sudah dibubuhi Mantra Anti Pecah sehingga aman dan nyaman untuk digunakan.
Menarik napas panjang, Hermione membuka segel pengunci pintu yang mencegah Draco menerabas masuk kamar. Sedari tadi, remaja pirang itu memang berteriak-teriak mengancam bakal menyerbu masuk jika Hermione kelamaan berdandan.
"Nah, Malfoy. Aku sudah siap. Ayo, kita pergi ke pesta di Aula Besar," ujar Hermione, mengagetkan Draco yang tengah mondar-mandir di depan kamar.
Untuk sesaat, Draco terkesima menatap Hermione. Malam ini, Hermione yang memang sudah semanis gulali berubah jadi lebih manis lagi. Gaun tanpa lengan yang dikenakan terlihat sempurna membungkus tubuh mungilnya, memamerkan bahu dan tubuh bagian atas yang terlihat lembut dan mengundang untuk dipegang.
Jika menuruti ego dan kecemburuan, Draco mungkin akan menyuruh Hermione mengganti gaun dengan karung goni. Bagaimanapun juga, Draco tak mau mata anak laki-laki lain jelalatan menikmati keindahan raga tunangannya.
Ya, tunangannya!
Calon istrinya!
Calon Madam Malfoy di masa depan!
Status yang akan segera menjadi milik Hermione jika gadis yang tengah merona tersipu-sipu ini setuju menerima lamaran yang akan ditayangkan nanti malam.
"Umm, Malfoy," kata Hermione ragu-ragu, menggoyang-goyangkan kelima jari di depan mata Draco yang bersinar terkesima. Seakan tersadar dari hipnotis, Draco berdeham geragapan. Membuat Hermione melengkungkan senyum geli karena baru pertama kalinya melihat Draco Malfoy yang arogan salah tingkah dan kehilangan kata-kata.
Tak mau jadi bulan-bulanan lawakan, Draco segera memasang tampang percaya diri yang selama ini identik dengan dirinya. Mengangsurkan lengan ke Hermione untuk dipegang, pasangan Ketua Murid itu pun berjalan bersisian menuju pesta Valentine.
Pesta Valentine terakhir mereka di Hogwarts. Pesta terakhir mereka sebagai remaja lajang bebas merdeka...
"Terima kasih Tuhan, akhirnya pesta tadi sukses besar dan menuai banyak pujian," kata Hermione sumringah, menyandarkan tulang bahu yang pegal di sofa empuk depan perapian.
Merenggangkan kedua kaki yang letih luar biasa, Hermione tersenyum puas dan memejamkan mata rapat-rapat. Syukurlah kerja kerasnya bersama Draco dan seluruh Prefek berbuah hasil maksimal. Perayaan Valentine tahun ini bahkan dinobatkan sebagai acara terbaik sepanjang sejarah Hogwarts.
Lebih dari itu, hal yang paling menggembirakan bagi Hermione adalah fakta bahwa banyak pasangan baru yang lahir di malam ini. Pasangan yang berbahagia karena bisa menyatukan cinta mereka.
Sebentar lagi aku juga akan menjadi bagian dari kelompok pasangan baru yang berbahagia itu, bisik Hermione penuh harap. Jika pernyataan Astoria benar, mungkin masih ada peluang untuknya. Kesempatan untuk berpasangan dengan Draco. Peluang untuk mewujudkan mimpi menjadi Hermione Jean Malfoy suatu saat nanti.
Khayalan Hermione yang melambung ke angkasa terhenti ketika Draco mendudukkan diri di samping kiri. Tanpa permisi, Draco merangkulkan lengan ke pundak Hermione yang pegal linu karena kebanyakan bekerja. Jemari hangat Draco memijat lembut bahu tegang Hermione, menghilangkan otot dan saraf kaku yang bertebaran di sana.
Untuk sesaat, tak ada yang berani mengeluarkan suara. Baik Hermione dan Draco menikmati keheningan dan atmosfer tenang yang membayangi keduanya. Crookshanks yang biasanya belum tidur pun seolah berkomplot dan memahami suasana. Kucing jantan gembul itu tak terlihat di ruang asrama Ketua Murid. Besar kemungkinan dia sedang mengejar tikus-tikus got yang banyak beredar di sekitar halaman kastil.
Di saat Hermione nyaris terlelap menikmati sentuhan magis pijatan, Draco mendadak berdiri, membuat Hermione membuka mata yang setengah mengatup. Tanpa banyak kata, Draco beranjak menuju dapur asrama dan menuangkan botol Butterbeer ke dalam dua gelas kosong. Di bawah pengawasan mata Hermione yang memicing penasaran, Draco memasukkan sari jahe ke salah satu gelas berlabel H, gelas besar milik Hermione.
Menyodorkan mug berinisial H ke tangan Hermione, Draco mengajak gadis yang bengong keheranan di hadapannya untuk bersulang. Mendentingkan gelas, Hermione memandangi Draco dan bertanya penuh selidik.
"Kenapa kau tahu kalau aku suka Butterbeer dengan campuran sari jahe, Malfoy?"
Menyesap pelan sari Butterbeer dingin, Draco menatap balik Hermione. Iris abu-abu peraknya bersinar penuh konspirasi.
"Aku tahu semuanya tentang dirimu, Granger. Makanan kesukaanmu. Minuman favoritmu. Bahkan ukuran celana dalammu," ujar Draco, menahan tangan di atas wajah untuk menghindari semburan bantal yang dilemparkan Hermione.
"Oh, seriuslah, Malfoy!" semprot Hermione, terus melemparkan bantal sofa ke arah bujangan atletis yang tengah tertawa-tawa geli.
"Aku serius, Granger," tandas Draco, mengangkat kaki Hermione dan meletakkan di pangkuan. Tak menggubris pekikan terkejut Hermione, Draco mengelus dan memijat jari kaki Hermione yang kram karena terlalu banyak berdansa di pesta Valentine tadi.
Sentuhan lembut jari Draco di telapak kakinya mengirimkan getar listrik ke seluruh saraf dan sel-sel tubuh Hermione. Hermione nyaris menangis haru dan gembira merasakan gelombang kasih sayang yang terpancar dari pijatan ringan tersebut.
"Draco berubah sejak kau memasuki hatinya. Ia bukan lagi pemuda dingin tak berperasaan. Kau tahu, ia rela melakukan apapun untuk membahagiakanmu."
Ucapan Astoria bahwa Draco sudah mencintainya sejak tahun ketiga mereka terngiang kembali di benak Hermione. Mungkinkah Draco tak berani mengungkapkan perasaan karena terhalang perbedaan status darah? Karena kasta darah murninya tak mungkin bersatu dengan darah jelata sepertinya?
Jika benar begitu, jika Draco tak bisa berkata jujur, itu bukan masalah besar bagi Hermione. Tersenyum menyemangati diri sendiri, Hermione bersiap-siap mencurahkan perasaan pada Draco. Perasaan mendalam yang sudah dipendam sejak dua tahun silam.
"Malfoy, aku-"
"Apapun rencana yang sudah kau rancang, tolong ditunda sebentar, Granger. Aku punya kejutan untukmu," potong Draco, berdiri dan melangkah kembali ke dapur. Membuka pintu kulkas, Draco mengeluarkan cokelat stroberi berbentuk hati yang dibuatnya kemarin malam.
"Ini untukmu, Granger," ujar Draco, menyerahkan bungkusan itu ke tangan Hermione yang terperangah.
"Aku yang membuat sendiri cokelatnya. Selamat Hari Valentine," sambung Draco, menunduk dan mencium pipi Hermione yang memanas.
Meraba pipinya yang dikecup, Hermione menatap paras cerah Draco. Membuka bungkus berpita merah marun itu, mata Hermione membulat senang melihat cokelat stroberi berbentuk hati yang bertengger manis di dalam.
"Oh Malfoy. Dari mana kau tahu kalau aku sangat senang makan cokelat stroberi?" pekik Hermione girang, mencolek sejumput lelehan selai stroberi yang melimpah-ruah.
"Kan sudah aku bilang kalau aku tahu segalanya tentangmu, Granger," jawab Draco, menyambar jemari Hermione yang berlumuran selai. Menatap penuh hasrat, Draco memasukkan jemari Hermione ke dalam mulut, menjilat dan mengisap lembut. Tindakan intim yang membuat Hermione nyaris pingsan terserang panas dingin.
"Kenapa kau mau repot-repot mengetahui banyak hal tentangku? Kenapa kau mau repot-repot memasak untukku?" pancing Hermione, berdebar-debar menanti jawaban jujur dari pemuda ganteng yang tengah menatap dengan pandangan memuja.
Melepaskan jari Hermione, Draco menghela napas, mencoba membulatkan tekad untuk bersikap jantan dan ksatria. Ini saatnya untuk membuka isi hatinya pada Hermione. Pada gadis yang sudah bertahun-tahun didambakannya.
"Itu karena aku mencintaimu, Granger," ungkap Draco tegas, menggenggam jemari Hermione dan membawanya ke bibir untuk dikecup.
"Tak apa-apa jika kau tak memiliki perasaan sama sepertiku. Aku mengerti jika kau tak bisa membalas perasaanku. Aku-"
Segala macam tetek bengek omong kosong itu terpotong ketika Hermione menyapukan bibirnya ke bibir Draco yang terbuka kaget. Usai mencium antusias, Hermione menatap pipi pucat Draco yang dirambati rona semu merah jambu.
"Malfoy? Jangan bilang kalau itu ciuman pertamamu," ujar Hermione ragu-ragu, tercengang melihat ekspresi syok yang terpampang di wajah sesempurna dewa itu.
Ketika Draco mengangguk singkat, Hermione menjerit tak percaya. Ya Tuhan, mana mungkin seorang petualang cinta yang banyak dipuja-puji seperti Draco Malfoy belum pernah dicium atau berciuman?
"Tapi, bukankah kau si Casanova yang selalu punya banyak pacar? Bagaimana dengan gerombolan perempuan yang siap sedia memuaskanmu satu kali dua puluh empat jam itu?" seru Hermione, membelalak mengawasi Draco yang mengerutkan alis pucatnya, tampak tersinggung mendengar sebutan hidung belang yang dialamatkan padanya.
"Siapa bilang aku punya banyak pacar? Aku ini seorang Malfoy yang selektif dalam memilih. Kabar aku sering gonta-ganti pacar pasti cuma rumor yang disebarkan orang-orang yang sirik dengan kepopuleranku," ungkap Draco tegas, kembali menggenggam telapak tangan Hermione dan mengusapnya perlahan-lahan.
"Terus, julukan sayang yang sering kau obral ke cewek lain itu, apa maksudnya Malfoy?" cecar Hermione penasaran, mencoba mengorek fakta terbaru dari kenyataan yang disembunyikan.
Melengkungkan alis, Draco melepas tangan Hermione hanya untuk membelai pipi merah Hermione dengan jemari hangatnya.
"Aku tak pernah memanggil cewek lain dengan panggilan sayang. Mungkin kau salah dengar, Granger."
Bibir Hermione terbuka sebesar tumbuhan kantong semar kelaparan. Merlin, mungkinkah selama ini ia gegabah mengambil kesimpulan? Mungkinkah selama ini ia tertipu penampilan Draco yang flamboyan? Tertipu mentah-mentah sehingga dengan seenak perutnya menuding Draco gemar menyapa gadis-gadis lain dengan sebutan Cinta?
Menelusuri garis rahang Hermione dengan sentuhan lembut jemarinya, Draco melanjutkan penjelasannya.
"Jika yang kau maksud panggilan nama kecil, aku memang biasa melakukannya. Seperti Pansy yang aku panggil Pans, Astoria dengan Tori atau Millicent yang aku sapa Millie. Tapi, aku tidak pernah menyebut mereka Cinta, seperti yang biasa aku lakukan padamu."
Mengerjapkan bulu matanya yang sedikit basah karena air mata gembira, Hermione mengelus bibir Draco dengan ujung jarinya. Mengirimkan denyut kebahagiaan ke sosok pemuda jangkung di depannya.
"Jadi, kau benar-benar mencintaiku, Malfoy?" tanya Hermione lagi, berusaha menegaskan perasaan murni Draco padanya.
Membingkai kedua pipi Hermione dengan telapak tangan, iris Draco yang seindah kolam perak cair menatap mantap. Pancaran kesungguhan terkuak dari bola mata yang bersinar menghipnotis.
"Aku sudah mencintaimu sejak dulu, Granger. Sejak insiden Buckbeak mengamuk di tahun ketiga kita."
Memeluk erat Draco, membuat pemuda berambut pirang halus itu sedikit terhuyung, Hermione terisak bahagia. Pengakuan pun meluncur dari bibirnya yang sedikit bergetar.
"Aku juga mencintaimu, Malfoy. Sejak dua tahun lalu."
Mengangkat dagu Hermione, Draco memandangi wajah Hermione yang merona malu. Untuk sesaat Draco nyaris tak percaya dengan pernyataan yang didengarnya barusan.
Ternyata, selama ini cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Hermione Granger, si Princess Gryffindor yang punya banyak fans rahasia rupanya jatuh hati padanya. Pada Pangeran Slytherin yang sempat membuatnya merana di masa-masa awal bersekolah.
"Benarkah itu, Granger? Kau juga mencintaiku?" tanya Draco serak, hatinya seolah mengembang dipenuhi harapan dan impian masa depan.
Menengadahkan wajah, Hermione mengangguk berkali-kali. Jemarinya dengan perlahan merapikan anak rambut pirang yang bergelantungan di sekitar dahi Draco.
"Ya, Malfoy. Tadinya aku berniat menyatakan cintaku dengan memakai cokelat yang aku buat semalam," Hermione melambaikan tongkat sihirnya, menerbangkan bungkusan berpita hijau keperakan yang tersimpan rapi di atas kabinet dekat perapian.
"Ini cokelat buatanku, Malfoy. Selamat Hari Valentine," ujar Hermione lembut, mencium pipi pucat Draco dengan penuh rasa cinta.
Membuka tutup kardus, Draco dengan berbinar-binar memandangi cokelat berbentuk hati yang menguarkan aroma kopi. Draco benar-benar merasa beruntung dicintai seorang gadis yang sangat perhatian seperti Hermione. Lihat saja, Hermione yang mengetahui dirinya tak begitu suka cokelat manis mau repot-repot membuatkannya cokelat kopi bercampur moka.
"Aku tahu kau tak suka masakan manis, Malfoy. Mudah-mudahan kau suka dengan cokelatku yang sengaja tak aku buat terlampau manis," beber Hermione, berdebar-debar menanti respon terkait bingkisan yang dibuatnya.
Menundukkan kepala, Draco mengusapkan puncak hidung mancungnya ke ujung hidung Hermione. Belaian napas hangat Draco yang sedikit berbau Butterbeer segar membius saraf penciuman Hermione.
"Apapun yang kau masak pasti terasa lezat di lidahku. Trims, Granger. Ini hadiah Valentine-ku yang sangat indah."
Tersenyum malu-malu, Hermione menghamburkan dirinya ke pelukan Draco, yang langsung mendekapnya dengan penuh kehangatan. Menciumi puncak kepala Hermione yang berbau sampo vanila, Draco bergumam lembut.
"Secara teknis dan menurut hukum sihir, kita sudah bisa menikah. Kau mau menikah denganku sekarang, Granger? Dengan sistem sihir kuno?"
Secepat kilat, Hermione menegapkan muka, nyaris bertubrukan dengan dagu runcing Draco. Demi celana dalam Snape yang paling bau, apa tadi Draco melamarnya? Memintanya untuk menikah di usia belia?
"Rasanya terlalu dini jika kita membicarakan pernikahan," jawab Hermione lemah, takut mengecewakan hati Draco yang tengah mengecup ubun-ubunnya dengan penuh kasih sayang.
Menarik napas, Draco menata debur jantung yang memburu. Kebahagiaan meluap-luap-lah yang menyulut dirinya untuk meminta Hermione menikah malam ini juga. Ya, kegembiraan sekaligus kekhawatiran bakal kehilangan Hermione jika tak bergerak sigap saat itu juga.
"Aku masih ingin kuliah dulu, Malfoy. Sudah lama aku ingin menuntut ilmu hukum sihir di Universitas Beauxbatons," jelas Hermione, menyandarkan wajahnya kian rapat ke dada Draco, mendengarkan detak jantung kekasihnya yang bergerak teratur.
Universitas Beauxbatons. Kampus sihir bergengsi yang terletak di Prancis. Tadinya, Draco ingin kuliah di Universitas Durmstrang, kampus tempat leluhurnya biasa menggali ilmu. Namun, tradisi itu tampaknya akan terhenti sebab detik ini juga Draco sudah memutuskan untuk mengikuti Hermione. Belajar di Universitas Beauxbatons.
"Baiklah, Cinta. Kita akan menikah selepas kuliah nanti. Aku juga akan kuliah di Universitas Beauxbatons bersamamu. Aku akan menggali ilmu bisnis di sana," tandas Draco, mengusap-usapkan pipinya ke rambut megar Hermione.
"Benarkah, Malfoy? Aku senang sekali kita bisa belajar bersama," papar Hermione sumringah.
"Ya, aku juga senang. Siapa tahu kita bisa jadi teman seranjang lagi?" goda Draco iseng, menyeringai lebar melihat pipi Hermione yang mengepul malu.
"Jangan sok mesum deh, Malfoy. Ya ampun, selama ini dunia tertipu dan mengira kau bajingan mata keranjang yang payah. Faktanya, kau baru mengalami ciuman pertama malam ini," sindir Hermione, gantian cengar-cengir menyaksikan wajah Draco yang merona.
"Kau sendiri, pernah berapa kali berciuman, Granger?" Draco bertanya ingin tahu, mengepalkan buku-buku jari di saku jubah pestanya. Mengangkat bahu singkat, Hermione melempar senyum tipis. Kedua alisnya mengerut heran melihat ekspresi kecut yang dipasang Draco.
"Cuma sekali. Dengan Dean Thomas. Itu saja karena aku dipaksa ikut permainan Truth or Dare."
Manggut-manggut seolah tak peduli, Draco merangkulkan lengannya di pinggang Hermione, memaksa kekasih mungilnya untuk lebih bersandar merapat ke tubuhnya.
Dean Thomas, Draco mencatat dalam hati, bersumpah untuk segera mencuci mulut remaja Gryffindor berkulit gelap itu dengan larutan disinfektan. Berani betul cowok keparat itu mencuri ciuman pertama Hermione. Dengan jalur permainan pula!
"Malfoy, apa yang kau pikirkan?" sela Hermione, menyadarkan Draco dari imajinasi mengepel mulut Dean Thomas dengan cairan pembasmi hama.
Memandang wajah berbalut rasa ingin tahu itu, Draco tersenyum hangat. Granger dan Malfoy. Betapapun lidah mereka fasih mengucapkan nama itu, sebutan tersebut harus segera diubah. Mulai sekarang, mereka harus membiasakan diri memanggil dengan sebutan Draco dan Hermione. Atau Mr Malfoy dan Mrs Malfoy kalau perlu.
"Yang aku pikirkan cuma ini," ujar Draco, membungkukkan wajah dan memagut lembut bibir Hermione. Mendesah di sela-sela erangan lirih Hermione, Draco menghunjamkan lidahnya, pelan tapi pasti memperdalam ciuman panasnya yang meluluhlantakkan jiwa. Melepaskan mulutnya, Draco berbisik serak di sudut bibir Hermione yang merona.
"Yang aku pikirkan cuma bagaimana agar aku bisa terus menciumi hadiah Valentine-ku yang paling indah. Hadiah Valentine yang paling abadi."
Dan kedua sejoli yang dimabuk asmara itu pun asyik bertukar ciuman sampai-sampai melupakan cokelat Valentine mereka yang tergeletak di atas meja. Cokelat yang akhirnya dibabat habis Crookshanks yang masuk ke asrama satu jam kemudian...
Scorpius Hyperion Malfoy sangat membenci Valentine.
Yah, mungkin agak terdengar lebay bin hiperbola namun begitulah fakta yang ada. Bocah berambut pirang platina itu tak mengerti mengapa hari kasih sayang yang jatuh setiap tanggal empat belas Februari menjadi momen yang paling dinanti-nantikan setiap insan. Termasuk orangtuanya yang tengah berciuman mesra.
Menatap ayahnya yang sibuk mengecup puncak rambut megar ibunya, Scorpius mendesah pelan. Manik perak kelabunya yang sama persis seperti mata ayahnya memicing menatap ruangan kamar yang penuh dekorasi merah jambu.
Di otak Scorpius yang meski masih kecil sudah cerdas seperti ibunya masih berputar-putar pertanyaan mengapa kedua orangtuanya seolah terobsesi pada hari Valentine.
Jika berdasarkan penjelasan ayahnya, yang sekarang tengah mengelus pipi makhluk mungil yang bergelung dalam gendongan ibunya, hari Valentine memiliki banyak makna dan peristiwa penting dalam kehidupan cinta mereka.
Contohnya, kata ayahnya, mengacungkan satu jari untuk memberi contoh pertama. Di hari Valentine lima tahun lalu, ayah dan ibunya resmi mengikatkan diri sebagai suami-istri. Dan, kata ayahnya sambil mengacungkan jari kedua, di malam empat belas Februari lima tahun lalu itulah, Scorpius pertama kali diciptakan.
Untuk yang satu itu, Scorpius masih belum mengerti sepenuhnya sebab ibunya sudah keburu mencubit lengan ayahnya, mengatakan dengan berapi-api kalau Scorpius masih terlalu kecil dan belum layak dicekoki dengan pengetahuan biologis.
Dahi Scorpius mengernyit mencerna penjelasan ibunya yang kembali terngiang-ngiang. Memangnya ada peristiwa heboh apa di malam Valentine, malam di mana ayah dan ibunya resmi menikah? Kejadian seru macam apakah yang terjadi sehingga dirinya terlahir sembilan bulan kemudian?
"Scorp, ayo kemari. Sapa adik kecilmu."
Suara hangat ayahnya membangunkan Scorpius dari segala macam belitan pertanyaan yang mendera. Mengerucutkan bibir, dengan malas-malasan Scorpius menyeret kaki kecilnya mendekat ke arah ayah dan ibunya yang mengawasinya dengan sorot penuh cinta.
Ya, ini salah satu penyebab kenapa Scorpius Hyperion Malfoy tak menyukai hari Valentine.
Kenapa sih setelah bertahun-tahun menjadi anak tunggal, dirinya harus mendapat hadiah seorang adik? Ugh, adik perempuan pula. Padahal, tadinya Scorpius yang terbiasa menjadi penguasa tunggal bersedia mengalah dengan harapan mendapatkan adik laki-laki yang bisa diajaknya bermain Quidditch bersama.
Tapi, harapan cuma tinggal harapan sebab yang terlahir ke dunia tepat di hari kasih sayang ini adalah bayi perempuan yang tengah tertidur pulas dalam gendongan lembut ibunya.
Berdiri di samping ayahnya, yang langsung mengangkat dan mendudukkannya di sebelah ibunya, Scorpius setia memasang tampang cemberut.
Demi uban Grandpa Lucy yang makin banyak, (Scorpius biasa memanggil kakeknya, Lucius Malfoy dengan sebutan Grandpa Lucy, meskipun kakek-kakek pirang sombong itu berulangkali menegur dan merayu cucunya agar mengganti nama panggilannya) adik perempuan kan bisanya cuma menangis dan rewel. Seperti putri Tante Pansy dan Tante Tori yang cengeng itu.
Mengusap dan mengacak-acak rambut pirang perak putranya, Draco menyunggingkan senyum bangga. Mengajak putra pertamanya untuk mencium pipi adik barunya.
Merengutkan bibir tanda tak setuju, Scorpius berniat membuang muka. Namun, sebelum niatnya terlaksana, si bayi mungil yang tadi tertidur nyenyak menguap kecil dan mengerjapkan matanya.
Sejurus kemudian, mata cokelat hangatnya terbuka lebar, menatap wajah putih pucat Scorpius yang terpana. Hidung mungilnya yang diisi sebiji bintik mengembang dan mengempis seiring dengan senyuman lebar yang diperlihatkannya.
Detik itu juga Scorpius dilanda rasa kasih sayang yang menggebu-gebu. Tampaknya, meski kulit adiknya putih pucat keperakan dan kepalanya hanya ditumbuhi secuil rambut pirang, adiknya itu diberkahi pesona ibu mereka. Daya pikat mematikan berupa hidung berbintik dan senyuman lebar menawan.
Senyuman yang membuat ayahnya terlihat seperti orang tolol jika berhadapan dengan ibunya. Seperti saat ini, Scorpius mendengus melihat ayahnya yang tak henti-hentinya mengecup pipi halus ibunya yang merona.
Mengalihkan perhatian ke bayi mungil yang berdeguk riang dan menjulurkan tangan kecilnya ke arahnya, Scorpius menyeringai senang. Memegang dan mengusap jemari mungil adiknya, Scorpius mencium pipi montok si bayi yang wangi dan lembut.
Scorpius Hyperion Malfoy sekarang mengerti mengapa kedua orangtuanya sangat menyukai hari Valentine.
Ya, di hari kasih sayang yang jatuh pada setiap tanggal empat belas Februari itulah banyak makna dan kejadian penting yang menimpa keluarga kecil mereka. Termasuk kehadiran malaikat mungil yang manis ini.
Adik perempuan yang membuat insting protektif Scorpius bangkit. Bayi mungil yang akan disayangi dan dibelanya sampai mati. Bayi mungil yang akan dibangga-banggakan sebagai adik kesayangannya.
Hadiah Valentine paling berharga dalam hidup keluarganya...
TAMAT
