A/N : Gadge shipper mana suaranya!? *krikkrik

Fic ini terinspirasi setelah saya membaca What The Room Requires karya Alydia Rackham (cek favd stories saya kalau mau baca) dan lagu Hate To See Your Heart Break dari Paramore. Anyway, RnR? :))

Gadis bersurai pirang cerah itu menatap dia lagi- Gale Hawthorne, yang duduk di sudut ruangan. Spot favoritnya belakangan ini. Lengan kemejanya digelung ke atas dan bahunya merosot bersandar malas-malasan di kursinya. Laki-laki itu tidak memesan makanan meskipun sekarang sudah masuk jam makan siang. Hanya ada cangkir kopi yang terabaikan, yang belum dia sentuh sama sekali.

Gadis itu selanjutnya mengamati suasana kafetaria kantor pertahanan Panem di Distrik 2. Beberapa karyawan sudah turun untuk makan, berseliweran di hadapannya dengan santai sambil berbincang-bincang. Madge Undersee lantas bangkit dari kursinya, perlahan membuat jalannya menuju meja Gale. Bertanya pada dirinya sendiri apa yang sedang dia lakukan. Hanya ingin menyapa, mungkin, Madge berasumsi.

"Hey," gadis itu menurunkan pandangannya pada Gale. "Boleh aku duduk di sini?"

Gale, dengan ekspresi terkejutnya, mengangguk. Menganalisa gadis pirang yang tetiba membuyarkan lamunannya. Setelan pakaiannya tidak semencolok beberapa karyawati dari Capitol dan tidak senorak orang-orang dari distrik 2. Gale langsung familiar seketika setelah dia menatap mata biru si gadis.

"Madge..." lirih Gale mengikuti gerakan si gadis yang mengambil kursi tepat di depan Gale. "Kau... selamat."

"Ya," Madge menyahut singkat.

"Aku melihat rumahmu hancur. Kupikir..."

"Aku terbunuh? Well, tidak. Ayahku tahu lebih awal tentang pengeboman, kami naik kereta ke Distrik 4. Aku dan keluargaku selamat. Maaf mengecewakanmu."

Gale mendesah lalu menyesap kopinya, "Aku sudah mencoba menyelamatkanmu, kau tahu? Dan menyelamatkan penduduk distrik. Tapi, lihat apa yang dilakukan ayahmu, itukah tanggung jawab Wali Kota?"

Laki-laki itu masih sama, pikir Madge. Dia belum berubah, masih membencinya karena dia kebetulan anak Wali Kota. Madge hanya menggeleng lemah.

"Aku sudah minta maaf karena telah mengecewakanmu. Kau pasti berharap aku mati saja, kan?"

Gale membuang wajahnya, menatap keluar jendela, memfokuskan pandangannya pada mobil-mobil yang lewat.

"Kau tidak tahu keadaan waktu itu, Gale."

"Oh, ya, benar. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu kau harus berjuang membawa 800 orang ke hutan, melihat rumah-rumah hancur, mendengar tangisan di sana-sini. Dan, ya, aku tidak tahu kau harus memberi makan mereka yang selamat selama 3 hari hanya dengan perangkapmu," Gale mendengus, menatap Madge dengan amarahnya.

Madge tidak tersinggung dengan sarkasme si mata kelabu ini. Alih-alih, dia merindukannya. After all these years... Madge bisa mengerti, sejujurnya. Dan dari dasar hatinya dia bisa dan merasa pantas menerima segala bentuk kebencian yang ditujukan padanya. Dia merindukan Gale, sesungguhnya.

"Aku salut padamu, Gale," Madge berkata tulus, menatap Gale berangsur-angsur tak lagi semarah tadi.

"Tidak, jangan berikan aku tatapan seperti itu..."

"Seperti apa?" Madge bertanya.

"Ya seperti itu," Gale menyahut singkat.

"Spesifiknya?"

Gale mendengus, "Jangan lihat aku seakan kau mengagumiku, seakan aku pria paling mulia seluruh alam semesta."

Madge tertawa pelan, menyusupkan untaian rambut pirangnya ke belakang telinga. "Tapi aku memang mengagumimu," dia berkata tulus. "Kuharap aku lari memperingati warga distrik dan bukannya lari menyelamatkan bokongku sendiri. Kuharap aku bisa lebih berani sepertimu, atau seperti Katniss."

Gale mengunci fokusnya pada Madge. Sambil mengernyit tidak mengerti maksud Madge dia menggenggam cangkir kopinya dengan erat.

"Cih. Kau hidup dengan makanan melimpah dan gaun bagus setiap hari. Hidupmu tidak mendidikmu menjadi berani. Tidak seperti hidup aku dan Katniss!"

Madge ingin menangis. Dia ingin membantah Gale. Dia juga ingin berteriak bahwa itu bukanlah hidup yang dia pilih. Dia ingin Gale mengerti sedikit. Namun, dia sudah belajar dari dulu kalau tak ada gunanya berdebat dengan Gale. Dan Madge memang sudah siap diserang dengan cacian Gale dari momen dia menghampiri laki-laki itu.

Keheningan yang menyelimuti mereka Madge gunakan untuk mengamati figur Gale dan bagaimana matanya tampak lebih kelabu, lebih kelam, seakan tiap orang yang menatap mata itu bisa tenggelam dalam lumpur kesedihannya. Namun, Madge suka bagaimana Gale tidak sekurus dulu serta penampilannya yang lebih layak. Jari-jarinya lebih bersih. Wangi parfum mahal tercium dari badan atletis Gale. Pasti hidupnya jauh lebih baik beberapa tahun belakangan ini.

Malah, Gale terlihat tampan dan menarik, pikir Madge mengulum senyum.

"Menikmati pemandangan, eh?" Gale menyindir kasar.

Madge membuang muka, berpikir untuk memesan teh atau kentang goreng atau apapun, "Jangan 'geer', Gale,"

Garis bibir Gale naik diujung dan dia menyeringai, "Baju yang bagus."

Mata Gale berkelana dari ujung rambut Madge sampai ke seluruh badannya. Seperti rajawali yang mengawasi mangsanya. Madge risih dengan pernyataan Gale, bingung menentukan apakah itu ironi atau dia benar-benar tulus memujinya.

"Jangan 'geer'-"

"Trims-"

Mereka berdua bicara bersamaan. Gale terbelalak sedangkan Madge tidak bisa menahan senyumnya. Akhirnya Madge tertawa, melupakan bahwa sejenak tadi Gale membuatnya bingung.

"Apa yang kau tertawakan?" Gale bertanya.

"Tidak," Madge berusaha berhenti tertawa. "Tidak ada."

Gale mendengus; Madge tersenyum lebar. Kecanggungan begitu terasa, tapi memang beginilah jika si pirang bertemu si mata kelabu.

"Bagaimana kabarmu-"

"Senang bertemu dengan-"

Mereka bicara bersamaan untuk yang kedua kalinya. Kaget, Madge kembali tertawa. Gale hanya menggaruk tengkuknya sambil menyesap kopi sedikit-sedikit.

Tapi si mata kelabu tak bisa menyangkal diri lagi, dia akhirnya membuka mulutnya dan menyeringai, lalu ikut tertawa juga.

oOo

"Anak Wali Kota! Aku sungguh-sungguh tidak suka dengan sikapmu tadi!" Gale berseru, menghempaskan bokongnya di sofa empuk di sudut ruangan. Gadis di depannya juga melakukan hal yang sama. Dia selanjutnya hanya mengangkat bahu sebagai respon.

"Ada yang salah?"

"Tentu! Kau tidak bisa masuk seenaknya ke ruang rapat," Gale menyampirkan jasnya ke sandaran sofa. "Apalagi hanya untuk mengingatkanku makan siang."

Madge terkekeh, "Aku sekretarismu."

"Ugh!" Gale menggeram frustrasi. "Itu. Sangat. Memalukan."

"Maaf," sahut Madge innocent, memperhatikan Gale menggelung lengan kemejanya sampai sebatas siku. Kebiasaan Gale yang Madge pelajari setelah ke sekian kalinya mereka menghabiskan santap siang bersama. Madge merilekskan badannya, menghirup aroma makanan dan menikmati suasana restoran bergaya Capitol yang terletak beberapa blok dari kantor. Dia melihat Gale - masih dengan amarahnya - lantas Madge tersenyum.

"Aku akan memecatmu," Gale memicingkan matanya mengancam si pirang yang berpangku tangan menatap wajahnya. "Dan jangan lihat aku seperti itu! Kau membuatku risih. Aku tahu aku tampan dan menarik, tapi Madge, aku tidak suka kau lihati begitu. Beside, kau bukan tipeku."

Madge mengernyit langsung duduk tegap dan mengibaskan tangan di depan wajahnya, mencoba menganggap angin lalu perkataan Gale. Meskipun perutnya seperti sedang salto dan peredaran darahnya makin cepat.

"Ya, tipemu pasti yang berambut gelap dan bermata abu-abu, benar?"

Gale menegang di tempatnya.

"Seperti Katniss?" tambah Madge.

Gale menggebrak meja, cukup keras sampai beberapa pasang mata mendarat memandangi mereka dengan ngeri. Madge mengerti- bukan tidak sengaja dia membawa-bawa Katniss; Madge mengerti kalau Gale masih menyimpan rasa untuk Katniss, dia hanya ingin pembuktian. Tidak begitu sulit ternyata, pikir Madge.

"Besok, Anak Wali Kota! Besok! Kau tidak perlu datang lagi ke kantor, kau tidak perlu membuatkanku kopi 'istimewa'-mu lagi, kau tidak perlu menempel post-it kurang penting di mejaku, dan kau TIDAK perlu mengajakku keluar makan siang bersamamu! Karena aku akan mengirimmu kembali ke Distrik 4!"

Habis kau, Madge, sorak Gale dalam hati.

Di luar ekspektasi Gale, Madge hanya menggelengkan kepala dan mengerling kepada Gale, "Kau tidak bisa melakukan itu, lupa ya?"

"Oh, sial! Aku lupa," Gale memutar bola matanya, berbohong.

"Kau sudah mengatakan akan memecatku ratusan kali, dan, tetap, hanya sebatas wacana- sayang sekali. Masih belum mau menyerah dan menerimaku sepenuhnya, eh?"

Kalimat Madge serasa membakar telinga Gale. "Aku akan menyingkirkanmu. Ketahuilah bahwa posisimu sekarang kau dapat karena nama ayahmu. Aku bahkan tidak yakin kau kompeten dalam bekerja."

Madge hanya mendengus, merasakan sembilu menyayat hatinya, "Kau sudah mengatakan itu ribuan kali."

"Kau menyebalkan," Gale melonggarkan ikatan dasinya ketika seorang pelayan dengan notes kecil dan aksesori serba perak tersemat di hampir seluruh tubuhnya datang untuk mencatat pesanan mereka.

Madge melihat-lihat buku menu sebelum akhirnya membalas, "Uh-uh, kau sudah mengatakan itu jutaan kali. Dan trims, ya, aku menganggapnya sebagai pujian."

TBC