Chapter 1 - Our Love
Disclaimer : Queen Joanne Cathleen Rowling ©HarryPotter
Warning : OOC (meski aku uda usaha buat engga) , Segala hal yang mungkin mengganggu
Harry Potter/Hermione Granger
#Happy Reading ^_^
- Hermione POV -
''Morning, love.'' sebuah kecupan singkat di pelupuk mataku yang tertutup menginterupsi tidurku. Dengan pelan kubuka mataku menampakkan iris hazelku yang menyorot sayu. Secara reflek sudut bibirku melengkung tersenyum melihat seorang laki-laki yang juga tengah tersenyum menyambut hari kami.
''Morning.'' balasku dengan suara serak khas seorang manusia yang baru bangun. Pelan aku menggeliat menyapa pagi. Aku ingin segera bangun dan menyiapkan kesempurnaan hari ini. Namun keinginanku untuk segera berdiri dihambat oleh sebuah tarikan lembut tangan yang kerap memelukku di tengah dinginnya malam-malamku.
''Jangan pergi dulu, Mione. Biarkan seperti ini dulu sebentar lagi.'' katanya membuatku jatuh kembali ke pelukan hangatnya. Aku hanya tersenyum tipis di rengkuhan dada bidangnya. Kupejamkan mataku menikmati setiap detik yang kulalui dalam lindungannya. Kuhirup dengan rakus aroma tubuhnya yang tak pernah membuatku bosan.
''Bilang saja kalau kau malas bangun, Harry. Jangan ajak aku untuk ikut bermalas-malasan denganmu.'' tuduhku dengan senyum makin mengembang di bibir mungilku. Aku mendengar Harry terkekeh pelan. Ya. Laki-laki yang tengah memelukku ini adalah Harry James Potter -Anak yang selalu bertahan hidup- sang pahlawan dunia sihir. Entah apa yang terjadi pada kami. Yang kami sadari adalah ketika cinta telah menunjukkan jalan mana yang harus kami jajaki, maka itulah jawaban yang terbaik yang akan kami dapatkan. Perjalanan mencari Horcrux memunculkan getaran cinta yang selama ini tak pernah kami sadari. Berbulan-bulan bersama membuat kami terbuka akan segala hal. Termasuk tak memungkiri adanya cinta melebihi batasan sahabat yang kami junjung selama ini. Apalagi setelah Ron sempat memutuskan untuk meninggalkan kami. Tersisalah kami berdua berjuang demi mayoritas sihir yang bahkan mungkin tak peduli pada hidup kami. Tapi toh kami berhasil dan menang. Serta kami juga merasakan euphoria yang layak bagi kami. Kekalahan kaum hitam merubah segalanya. Kematian sang pemimpin Death Eater membuat pandangan indah dunia sihir kian nyata. Pengulangan tahun akhir bagi kami membawa dampak besar bagi kisahku dan Harry Potter. Saat ini aku dan Harry adalah Ketua Murid Hogwarts ditahun terakhir kami. Dan di ruangan khusus Ketua Murid inilah aku dan Harry sering sekali bergelung berdua untuk sekedar mencurahkan rasa rindu yang terpendam. Karena ketika kami telah keluar dari Ruang Hak Veto kami, maka aku adalah kekasih Ron dan Harry adalah kekasih Ginny. Aku bergidik pelan menyadari hal itu. Hubungan kami adalah hubungan tertutup. Sangat tertutup.
''Hei kau melamun.'' kata Harry membangunkanku dari lamunanku. Dia menatapku penuh cinta yang tergambar jelas di kilat emeraldnya yang indah. Aku hanya tersenyum membalas perkataannya.
''Ayo, Harry. Sudah saatnya bangun dan mempersiapkan diri. Kau tak lupa kan pelajaran kita yang pertama bersama Profesor Slughorn?'' tanyaku kali ini berhasil berdiri dan membebaskan diri dari pelukannya.
''Yes, Mione. Aku tahu.'' kata Harry akhirnya turut bangun dari tidurnya. Aku memandangnya sekilas dan meneruskan langkahku keluar kamarnya dan bersiap untuk mandi.
.
Aku menyapa diriku yang lain di depan kaca. Aku tak pernah menyangka kisahku akan seperti ini. Ditahun keenamku aku sangat senang merasakan cinta untuk sahabatku, Ron Weasley. Tapi aku tak menyangka kalau apa yang aku rasakan itu bukan cinta. Hanya rasa sayang. Rasa cinta yang kusimpan ternyata terlalu dalam dan rasa cinta itu kusimpan untuk Harry. Aku menyesal terlambat menyadarinya. Setelah kisahku dan Ron telah terjalin sempurna.
''Mione.'' teriak Harry di depan pintu kamarku. Aku menyentakkan pelan tongkat sihirku untuk membuka pintu kamarku.
''Ada apa? Jarang sekali kau kunci pintu kamarmu dengan sihir?'' tanyanya setelah memposisikan duduk bersimpuh menggenggam lembut tanganku.
''Tidak apa-apa, Harry.'' jawabku mencoba tersenyum. Banyak pertanyaan dan rasa bersalah menyelimuti otakku saat ini.
''Apa lagi? Apakah ini tentang Ron? Atau Ginny?'' tanya Harry seperti dapat membaca pikiranku. Tapi aku tahu ia tak dapat membaca isi kepalaku. Harry adalah seorang Legilimens yang payah.
''Tidak, Harry. Lupakan saja.'' jawabku pelan membelai pipinya. Aku bukannya memberi kekuatan padanya. Aku hanya ingin menguatkan hatiku sendiri. Aku mencintai Harry. Bahkan sangat mencintainya. Tapi bagaimana dengan Ron? Ginny? Dan keluarga Weasley yang selama ini begitu baik pada kami? Sanggupkah kami melukai dua orang sekaligus dalam keluarga Malaikat itu?
Harry menuntunku berdiri dan memelukku erat. Tangannya mengusap pelan rambutku seolah memberiku perlindungan. Melindungiku dari pikiran bersalah yang terus dan terus akan menghantuiku.
''Kita beritahu mereka saja, Hermione. Kita katakan pada Ron dan Ginny. Rasa cinta tak bisa dipaksakan dan aku mencintaimu. Sangat. Kita katakan saja pada mereka.'' kata Harry untuk kesekian kalinya. Sudah berkali-kali Harry memintaku untuk jujur pada Ron dan Ginny tentang hubungan kami. Hanya saja aku terlalu takut untuk mengatakannya. Aku takut semua ini hanya akan merusak persahabatan yang sudah delapan tahun aku, Harry dan Ron jalin. Aku takut dengan fakta adanya cinta antara aku dan Harry dibalik kisahku dan Ron akan merusak segalanya. Aku benci perpisahan.
''Tidak, Harry. Tidak sekarang. Aku belum siap. Kita belum siap dengan apapun konsekwensi yang mungkin saja akan kita dapatkan. Kita tak tahu bagaimana reaksi mereka akan hubungan kita. Aku belum siap dengan resiko terburuk yang mungkin terjadi. Tidak, Harry, aku tak mampu.'' desahku pelan. Tanpa kusadari sebutir bening air mata jatuh dari iris hazelku. Harry mengangkat daguku mempertemukan hazelku dengan emeraldnya.
''Maaf, aku takkan memaksamu lagi. Maaf aku membuatmu sedih lagi, Mione.'' kata Harry menyatukan dahinya kedahiku. Aku terkesiap mendengar kata-katanya. Ia begitu menyayangiku. Ia begitu melindungiku. Ia tak ingin aku terluka bahkan karena perbuatan dan pikiranku sendiri. Aku meraih bibirnya dan mengecupnya pelan.
''I love you, Harry. Dan untuk sementara biarkan semua berjalan seperti ini dulu.'' kataku sembari tersenyum. Ia menganggukkan kepalanya membuat rambutnya yang hitam berantakkan mengayun pelan kedepan dan kebelakang. Ia tersenyum dan membalas kecupanku dengan mengecup puncak kepalaku.
.
Aku duduk berhadapan dengan Harry di meja makan Great Hall Hogwarts. Di sampingku ada Ron yang sibuk dengan makanan di tangannya. Dan di samping Harry dana Ginny yang menatap Harry kagum dan memuja. Seperti inilah kehidupan nyata yang kami perlihatkan secara umum. Ada rasa sakit yang kuredam setiap kali melihat Harry bersama Ginny. Tapi aku 'hanya' sahabat Harry di dunia nyata kami. Dan Ginnylah yang berhak akan Harry di muka dunia bukan aku. Rasa sesak yang kurasakan terkadang hanya akan kucurahkan setelah aku hanya berdua bersama Harry. Dan kurasa Harry juga merasakan hal yang sama.
''Hermione, Profesor Mcgonagall memanggilmu dan Harry ke ruangannya.'' kata Luna mengalihkan kecemburuanku pada pasangan di depanku ini.
''Terima kasih, Luna.'' ucapku menghantarkan senyuman pada gadis unik dari Ravenclaw ini. Kulihat Luna mengangguk dan kembali berjalan menuju mejanya.
''Aku pergi dulu, Ron, Ginny. Ayo Harry.'' pamitku pada Ron. Ron hanya memandangku sekilas dan mengangguk. Ron adalah sahabat terbaikku, tapi ia bukanlah kekasih yang bisa mengimbangiku. Aku melihat Ginny tersenyum pada Harry. Senyum tulus penuh cinta. Sanggupkah aku menghilangkan senyum itu? Rasa bersalah kembali mengalir didiriku. Harry membelai singkat rambut merah Ginny dan memberi isyarat padaku melalui ujung matanya untuk berjalan. Aku dan Harry berjalan beriringan sambil bertautan tangan. Takkan ada yang curiga pada hubungan lebih kami. Persahabatan kami yang solid seolah membenarkan tautan kami hanya sebatas sahabat. Meskipun sebenarnya ada rasa hangat dan getar cinta yang terwakilkan tautan tangan kami yang menyatu. Takkan ada yang bisa menyadari itu.
.
''Gerombolan Rusa.'' Harry menyebutkan password di depan patung Gryffin. Patung itupun berbalik dan memunculkan tangga perputar yang mengantarkan kami ke ruangan kepala sekolah. Begitu pintu besar ruangan itu terbuka kami melihat Profesor Mcgonagall melihat kami sembari tersenyum. Profesor Mcgonagall masih terlihat bersemangat meski dengan rambut putih di kepalanya yang kian banyak. Beliau menggantikan tempat Profesor Dumbledore dan Profesor Snape sebagai Kepala Sekolah Hogwarts setelah keduanya wafat. Dan saat ini foto keduanya tergantung rapi di jajaran para mantan Kepala Sekolah Hogwarts lainnya.
''Permisi, Profesor. Ada perlu apa anda memanggil kami kesini?'' tanyaku saat kami sudah berada di ruangan berbentung bundar itu.
''Baiklah Miss Granger dan Mr. Potter kalian sebagai Ketua Murid harus turut serta dalam penyeleksian materi OWLs bagi tingkat lima yang akan dilaksanakan sebelum NEWT kalian.'' jelas Profesor Mcgonagall pada kami. Kami berdua mengangguk dan mulai berdiskusi bersama. Waktu terasa cepat berlalu. Aku tak merasakan lelah dan penat meski diskusi ini membahas tentang sesuatu yang berat. Karena bagiku bersama Harry dalam satu tempat yang sama sudah membuatku sangat nyaman.
.
Tanpa terasa waktu telah memasuki jam malam. Profesor Mcgonaggal mempersilahkan kami untuk kembali ke ruangan kami. Kamipun berpamitan padanya dan melangkah pergi dari ruangan besar berbentung tabung ini.
''Mau ke suatu tempat dulu, love?'' tanya Harry pelan saat kaki kami telah melewati tangga terakhir pembatas ruang kepala sekolah dan patung Gryffin.
''Ini sudah malam, Harry. Mau kemana?'' tanyaku kembali menatapnya dan melemparkan senyum manisku padanya. Aku selalu nyaman berada di dekatnya.
''Tiba-tiba aku rindu pada Sirius.'' ucapnya sama pelan dengan pertanyaannya tadi. Aku merasakan duka yang teramat dalam tersirat dari kata-katanya. Aku tahu ia sebenarnya sangatlah rapuh. Kehilangan banyak orang dari masa lalunya yang benar-benar mengenal secara pribadi orang tuanya dalam waktu yang nyaris berdekatan tentu saja akan menimbulkan luka yang mendalam. Apalagi waktu bersama Harry dengan Sirius Black yang merupakan ayah baptisnya bisa dihitung dengan sebelah jari tangan pertahunnya. Aku tak pernah membayangkan jika itu terjadi padaku. Itulah salah satu kekagumanku padanya. Bukan kagum karena ialah The Choosen One. Tapi kagum pada kemandirian, ketegaran dan kedewasaan yang ia tunjukkan bahkan sejak ia masih dini. Tanpa sadar aku memainkan sedikit rambut belakangnya. Ia memandangku dengan sendu. Dan getaran itu mengaliri tubuhku lagi. Getaran cinta yang seperti arus listrik selalu saja menjelajah tubuhku tiap kali mata emerald itu memandangku. Aku sadari kalau aku benar-benar sangat mencintainya.
''Ayo ikut denganku.'' ajakku menggenggam tangannya dan kulangkahkan kakiku menuju tempat yang sangat indah. Tempat dimana akan kumunculkan Sirius di depan mata Harry.
.
''Kenapa kau membawaku kesini, Mione?'' tanya Harry bingung. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya. Saat ini aku berhasil membawanya ke puncak tertinggi Hogwarts. Menara Astronomi. Seperti kataku tadi bahwa aku akan mempertemukan Harry dengan Sirius. Sirius sang bintang paling terang.
''Agar kau bisa bertemu dengan Sirius.'' jawabku singkat. Aku menarik tangannya mengikutiku. Aku berjalan menuju teropong bintang raksasa di menara Astronomi ini. Kulirik sejenak langit hitam di atas Hogwarts melalui teropong ini. Beberapa kali kualihkan fokus dari satu ruang langit ke ruang lainnya. Hingga kutemukan hal yang aku cari. Senyumpun kembali terukir dari bibirku. Aku menarik Harry lebih dekat padaku.
''Lihatlah, Harry, maka Sirius akan menatapmu.'' kataku pada Harry. Ia menundukkan badannya dan mulai menatap langit melalui teropong yang tadi aku gunakan. Sebuah senyum terlihat dari bibir tipisnya.
''Kau tahu, Harry. Bintang Sirius adalah bintang yang bersinar paling terang. Karena itulah ia juga yang akan paling cepat terbakar habis. Seperti halnya dengan Sirius. Kehadirannya untukmu yang meski singkat namun sangat penting. Melaluinya kau terhubung dengan masa lalu ayah serta ibumu. Melalui dia juga kau mengerti hal yang selama ini kita semua yakini adalah suatu kesalahan. Melalui Sirius pula kau tahu bahwa banyak orang yang berada di sisimu. Melindungimu. Dan menyayangimu. Meski hanya sebentar kau mengenalnya, namun aku tahu bahwa dialah titik balik kehidupanmu yang jelas. Melalui sinar terang yang ia pancarkanlah kau mengerti bahwa kau tak pernah sendiri.'' jelasku dan kugenggam erat tangannya. Ia alihkan pandangannya dari teropong menusuk ke hazel milikku. Dengan cepat ia memeluk erat tubuhku. Aku merasa hangat meski udara dingin seolah berlomba merasuki tubuhku. Rengkuhannya memberikan kehangatan yang mencairkan segala kebekuan.
''Terima kasih, Mione. Karena kau selalu ada untukku. Karena kau adalah satu-satunya orang yang benar-benar mengerti aku. Karena kau telah memilihku. Karena kau mengijinkanku untuk mencintaimu dan memberiku hal indah karena kau cintai. Tetaplah bersamaku, Mione. Tetaplah memilihku. Aku akan rapuh tanpamu. Jangan pernah meninggalkanku. Aku tak tahu apakah aku akan sanggup kehilangan seseorang yang teramat berarti dalam hidupku lagi. Aku mencintaimu.'' ungkapnya di balik punggungku. Aku tercekat mendengar kata-katanya. Kini aku sadari sepenuhnya bahwa aku takkan bisa menjauh dan kehilangannya. Karena aku tahu sebesar rasa cintaku padanya maka sebesar itu pula balasan yang ia berikan padaku.
''Mione, Harry, apa yang kalian lakukan disini?'' tanya Ron yang entah sejak kapan berada di ruangan yang sama dengan kami. Kehadirannya yang tiba-tiba memutuskan kilat posisi kami. Jantungku berpacu sangat cepat menandakan bahwa kondisi psikisku sedang tidak baik. Kulihat wajah Harry pucat. Aku tahu apa yang ada di otaknya saat ini. Karena pikiran itu yang saat ini juga ada di otakku.
''Ron, sejak kapan kau disini?'' tanya Harry mencoba santai tapi aku masih bisa mendengar nada tercekat dikata-katanya. Aku masih dalam kondisi membeku di samping Harry. Mulutku tak mampu mengeluarkan kata apapun. Otakku tak mampu berpikir jernih saat ini. Semua terasa begitu salah. Beberapa kali aku berbalik menatap Harry dan Ron.
''Apa yang kalian lakukan disini?'' tanya Ron kembali tanpa mengindahkan pertanyaan Harry. Aku takut memandangnya. Bahkan juga takut memandang Harry. Akankah semua terungkap tanpa sengaja disini?
.
.
.
TBC
A/N : Maap banget banget bangeeettttt... Bukannya nyeselein Time sama Promise malah bikin MC baru -_- abisnya geregetan banget pengen bikin HarMony :3 apalah daya rasa cintaku pada Pair ini juga sebesar rasa cintaku para Dramione dan Drarry ._.
Semoga berkenan membaca dan Review. Aku uda nyoba baca fic ini berulang kali. Aku sih udah ga nemuin typo tapi gatau juga :| kadang human error gabisa diprediksi ._.
Feelnya dapet engga? Kecepetan nggak? Basi nggak? Reviewnya boleh? :3 *Bighugs*
