Disclaimer: Magi belongs to Shinobu Ohtaka. I take nothing except pleasure from this fic.

Note: headcanon based on chapter 225. Segala kesamaan kalimat, ide, dan plot hanya kebetulan semata. Terima kasih dan selamat membaca.


.:Silences:.

a SoloShe fanfiction

Dan itulah yang dia cintai dari wanita ini.


Sheba melamun ke langit-langit kamar sebelum berbisik, "Hei, Solomon, kau belum tidur?"

Sunyi beberapa jenak sebelum deham singkat dari samping.

Sheba merengut. Ragu, sebelum berbisik, "Hei, apa aku cantik?"

Solomon tersedak. Dipukulnya dada sambil batuk, sampai Sheba menawarinya air di gelas nakas. Dia menggelengkan kepala. "Kok kau bisa tersedak, sih."

"Salahkan kau sendiri yang tiba-tiba bertanya aneh."

Sheba melipat lengan, "Aneh? Aku cuma bilang apa aku cantik, kok."

"Itu aneh," dibalas lirikan dari mata menyipit Solomon.

Sheba mendengus. "Jawab saja, apa susahnya?"

Solomon diam. "Kau tidak cantik."

Dan Sheba mengerut sedih. "Ka-kalau begitu, aku jelek?"

Solomon diam lagi. "Tidak jelek juga sih ..."

Sheba jadi uring-uringan. "Jadi kenapa kau memilihku?"

"Siapa?" Solomon menyipitkan mata, terganggu, "Bukannya kau yang memilihku?"

"Ta-tapi—"

"Bukannya kau yang mati-matian mendampingiku?"

Sheba memandang suaminya kesal. Memang benar sih, tapi Solomon tidak perlu selugas itu, kan? Mau ditaruh di mana harga dirinya sebagai pihak wanita? "Ya, ya, terserah. Aku memang memilihmu, karena aku menyukaimu. Sekarang, kutanya, apa yang kau suka dariku?"

Kali ini Solomon diam lagi. Sheba melihat wajah konsennya di pijar lemah lilin. Biasanya wajah itu akan membuat Sheba meleleh, tapi tidak malam ini. Keheningan yang dia ciptakan membuat wanita itu mengerang frustrasi.

"Argh, sudah kuduga! Kau lagi mabuk waktu melamarku di pesta!"

"Hah?"

Tidak menghiraukan, Sheba sekarang mengelus perut ratanya, "Tidak apa sayang, jangan hiraukan ayahmu. Biarlah dia berkata sesukanya, kau punya aku. Cup cup, anak manis, kita pukul ayahmu nanti kalau kau sudah lahir—"

"Oi, oi, Sheba, hentikan. Kau ini kenapa? Kau sakit?"

"Iya, aku sakit! Telingaku panas tiap kali ada orang yang bilang aku jelek dan aku tidak pantas bersanding denganmu!"

Solomon terperangah, "Hei, pelan sedikit, nanti bayinya—"

"Bukan urusan dengan anak kita!" Sheba mendesis, "Sekarang, katakan. Kenapa kau memilihku. Jujur!"

"Aku tidak memilih—"

"Ya, ya, menerimaku, apalah! Ayo, ayo cepat," Sheba mengguncang pundak Solomon.

"Hm ... kau tidak cantik, tapi tidak terlalu jelek."

Sheba mengerang lagi, lalu mengempaskan tubuhnya ke ranjang, merajuk. "Anakku, jangan jadi seperti ayahmu, ya. Kalau kau suka seseorang, katakan langsung, jangan seperti ayahmu yang membuat ibu menderita. Hueee ..."

Solomon mengerutkan dahi, bersalah. Iya, ya. Apa yang dilihatnya dari Sheba? Gadis urakan yang mendahulukan otot dari otak, yang bertindak sesukanya dan terlalu jujur, yang mengedepankan emosi daripada rasionalisasi ...

Yang matanya berkilau saat melihat Solomon.

Oh ...

"Sheba."

"Apa!? Kalau kau mempermainkanku lagi—" Sheba menengadah, menemukan wajah Solomon yang terlalu dekat.

"Bagaimana kalau kujawab, aku suka kau yang membelaku saat yang lain diam."

Sheba hilang kata. "E-eh ..."

"Kau tidak suka ada orang yang menggunjingkanmu? Kita buat semuanya transparan. Besok, katakan pada semuanya bahwa kau akan jadi ratuku."

Sheba bergetar. "Ta-tapi, Solomon ... kau ... tahta raja ..."

"Cepat atau lambat ini akan terjadi." Pria itu tenggelam dalam pikirannya. "Dan aku butuh kau untuk mendukungku. Apapun yang terja—"

Sheba memeluknya bisu.

Solomon memejamkan mata, merasa damai. Tidak perlu janji, karena saat istrinya berkata dengan pelukan, Solomon menemukan kepercayaan. Sheba akan ada di sampingnya, menemaninya, berkata semua akan baik-baik saja bahkan jika harus mengorbankan nyawa.

"Aku selalu di sini, Solomon. Aku tidak akan pergi."

Dan itulah yang dia cintai dari wanita ini.

.

END