Cepat Besar, Rukia!
Summary:
Rukia tidak menyangka Hisaghi akan serius dengan kata-kata yang diucapkannya beberapa tahun silam. RukiaxHishagi, one-sided RenjixRukia.
Disclaimer : Bleach hanya milik Kubo Tite-sensei.
Chapter 1
Begitu Rukia keluar dari gedung kampusnya, seorang pemuda berambut merah sudah menunggunya di depan notice board. Mendengar langkah gadis itu, Renji otomatis menoleh.
"Selalu," Rukia menaikkan alis. Dengan kalem dia menghampirinya.
"Apanya yang 'selalu'?" tanya Renji. Dia mulai berjalan sambil menyelempangkan tas, menyilang di dadanya.
"Kau selalu tahu kapan aku datang," Rukia mendongak. Tubuhnya mungil sekali sehingga tiap kali bicara dengan sahabat yang dia kenal sejak kecil itu, dia harus menegakkan diri dan menarik leher supaya bisa melihat wajah Renji.
"Renji Abarai, sih!" pemuda tinggi itu menepuk dadanya dengan bangga. Ekspresi wajahnya setengah mencemoh teman kecilnya.
Dia sudah lama sekali berteman dengan Rukia. Renji sendiri tidak ingat kapan tepatnya. Kontras dengan kelakuannya yang agak kasar, indranya peka terhadap bau, cahaya atau bunyi-bunyian di sekitarnya. Tidak selalu sebenarnya, tapi kalau sudah menyangkut Rukia, Renji tahu banyak tentangnya. Seperti misalnya, dia mengenali langkah gadis itu, baik suara, ritme, atau hentakannya. Tapi jangan harap Renji mau mengakuinya. Dibalik omongannya yang jauh dari halus dan sikapnya yang seenaknya sendiri, ada beberapa hal yang dirahasiakannya. Salah satunya, kemampuan supernya mengenali derap langkah Rukia, meski di keramaian sekalipun.
Rukia menghela napas. "Baiklah, tidak usah congkak begitu."
Renji nyengir lebar. "Kau langsung pulang?"
"Tidak," jawab Rukia. "Aku mampir ke perpus umum dulu."
"Oh," Renji menimbang sejenak. "Aku juga lewat sana."
"Lho, jalan pulang ke rumahmu kan bukan lewat sana," Rukia mengernyit.
"Memang. Sekali- sekali lewat rute yang berbeda, biar tidak bosan."
Beberapa menit kemudian, Rukia masuk ke sebuah perpustakaan umum besar sementara Renji terus berjalan pulang.
Selesai mengambil buku impor tentang tanaman, dia duduk bersila di atas karpet di tempat membaca. Dengan serius, dia membalik-balik halaman glossy buku-buku yang diambilnya. Rasanya dia mendengar bunyi 'cekrik' di suatu tempat, namun kemudian mengacuhkannya. Baru ketika dia merasa tidak nyaman seperti diperhatikan oleh seseorang, Rukia mengangkat kepalanya. Dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, berusaha mencari sumber ketidaknyamanannya. Terkejut adalah kata yang pas untuk menggambarkan perasaannya saat itu.
Di samping rak literature, seorang pria tinggi berambut hitam pendek tengah mengarahkan kamera ke arahnya. Setelah mengambil gambarnya, laki-laki itu berjalan menghampirinya. Senyum kecil tersungging di bibirnya.
"Halo Rukia. Sudah lama sekali tidak bertemu."
"Shuhei-san?"
xxx
Flashback
Perpustakaan adalah salah satu tempat favorit Rukia. Dengan kartu anggota yang dimilikinya, dia bebas meminjam buku apapun secara gratis. Meski biaya untuk memperbaharui keanggotaannya tiap tahun agak mahal (untuk anak seumurnya), kalau dihitung-hitung dia masih bisa menghemat uang sakunya daripada kalau harus membeli buku-buku tersebut.
Favoritnya adalah dongeng barat. Cerita dengan latar belakang budaya dan penampilan fisik tokoh-tokohnya yang jauh berbeda dengan budaya yang dimilikinya sangat menarik minatnya. Apalagi buku-buku hard cover di sana mempunyai ilustrasi yang cantik dan berwarna-warni.
Rukia kecil belum berani membeli buku cerita atau manga. Kadang dia membeli majalah anak-anak, itupun titip kakek kalau beliau pergi keluar. Jarang sekali dia minta tolong kakak laki-lakinya.
Sejak kecil dia sudah tahu keluarga Kuchiki mengadopsinya. Rukia paling dekat dengan kakek. Pria tua itu ramah dan baik. Rukia segan dan sayang terhadapnya. Namun, yang paling disegani anak kecil itu adalah kakaknya, Byakuya , yang lebih tua tujuh tahun darinya.
Bukannya karena Byakuya ketus ataupun, menurut perbendaharaan kamus anak kecil, jahat padanya. Dibalik penampilannya yang dingin, dia perhatian pada adik angkatnya. Diwaktu senggangnya, kadang dia mengajak Rukia ke perpustakaan umum.
Dari kakaknyalah Rukia mengenal Shuhei Hisaghi.
Shuhei teman Byakuya. Kadang dia main ke rumah. Berbeda dengan temannya, Shuhei sangat ekspresif dan suka ngobrol.
"Semakin besar, kau semakin cantik saja, Rukia," Shuei menggosok dagunya, tersenyum.
Rukia diam saja, tidak tahu harus berkata apa. Sekilas dia menoleh ke arah teman kakaknya itu, kemudian kembali ke dongeng di pangkuannya.
"Jangan menggoda adikku, Shuhei," tegur Byakuya datar, namun mata abu-abunya berkilat berbahaya.
"Aku tidak menggoda, kok," protes Shuhei cepat. "Jujur lho, tiap ketemu, Rukia kelihatan tambah manis saja." Dia kembali mengarahkan senyum ke bocah SD itu. Sayangnya, Rukai sudah melengos.
"Tentu saja Rukia cantik," komentar Byakuya. "Kalau ada yang bilang jelek, langsung kuseret ke dokter mata dan kuantar ke optik."
Rukia terhenyak. Baru kali itu Byakuya memujinya cantik. Bukannya Byakuya orang kejam yang membuat Kuchiki terkecil itu sampai segan. Hanya saja, selama Rukia mengenalnya, dia menyadari Byakuya pelit pujian. Dia tidak akan memuji sesuatu atau seseorang jika mereka tidak pantas mendapatkannya. Dalam hati, dia senang sekali mendengar pujian dari mulut si kakak.
Shuhei melongo. Mata gelapnya menatap tak percaya. "Sadis sekali," dia menghela napas. "Kau bercanda kan?"
Ekspresi Byakuya tetap datar. "Tentu saja aku serius."
Shuhei menggelengkan kepala.
"Rukia adikku," lanjut Byakuya. Dia menurunkan kamera digital Shuhei dan meletakkannya di meja. "Kalau ada yang bicara tidak baik tentangnya, artinya orang itu sudah bosan melihat matahari."
Namun pemuda itu tidak menggubris peringatan Byakuya. Tetap saja, tiap main ke rumah, Rukia tidak luput dari lontaran godaannya. Byakuya cuma memperingatkan karena sejauh itu Shuhei tidak sampai mengganggu sang adik.
Jika sedang tidak mengumbar rayuan gombalnya, menurut Rukia Shuhei orang yang menyenangkan. Dibanding sang kakak yang cool, Rukia lebih menyukai Shuhei yang terbuka. Dia tak segan menyuarakan pendapatnya. Remaja itu senang bercerita apapun.
Byakuya hanya mengamati kelakuan temannya. Meski tidak pernah mengatakannya terang-terangan, menurutnya Rukia adik yang sangat manis dan imut. Pantas saja Shuhei senang bermain dengannya.
"Mestinya kau minta adik pada orang tuamu," saran Byakuya sore itu.
Mendekati ujian akhir nasional, Shuhei semakin intens belajar bersama Byakuya. Kadang menjelang petang, barulah pemuda yang baru menginjak delapan belas tahun itu pulang.
"Tidak usah kau sarankan pun aku sudah pernah melakukannya," Shuhei cemberut. Ditambah dengan soal-soal matematika yang harus dikerjakannya, kerut di dahinya semakin dalam. "Tahu apa kata orang tuaku?"
"Tidak," jawab Byakuya langsung tanpa mengalihkan pandangan dari kertas buram tempat dia menghitung.
Shuhei jadi keki. "Katanya aku terlalu tua untuk punya adik."
"Kalau begitu, cepat cari pacar, lalu menikah," kata Byakuya sambil lalu. "Masalah selesai."
Remaja itu meledak. "Ya tambah masalah dong. Aku masih terlalu muda untuk menikah. Mau kukasih makan apa anak istriku nanti?" uap keluar dari hidung dan telinganya.
"Nasi."
Shuhei menatap sebal. Baru ketika merasakan ada aura membunuh dari sahabatnya itu, Byakuya mendongak. "Lebih baik kau kerjakan soal-soal ini. Waktu terlalu berharga untuk disia-siakan."
Shuhei menarik napas lalu menghembuskannya keras-keras. "Kau selalu serius ya, Byakuya."
"Kau juga kok," balas Byakuya tak mau kalah.
Penampilan Shuhei yang terkesan asal mengelabui pribadinya yang serius. Sebagai orang yang cukup lama berteman dengannya, Byakuya tahu sahabatnya itu jauh lebih dewasa daripada yang bisa ditunjukkan oleh penampilannya.
"Mana Rukia?"
"Keluar dengan temannya. Ke perpustakan umum."
"Hei, kau mengijinkan dia keluar dengan orang lain, tapi melarangku mengajaknya main."
Kali ini Byakuya meletakkan pensil mekanik hitamnya. Dengan dingin dia menatap Shuhei. "Jelas sekali kan. Mana bisa aku mengijinkan laki-laki yang tujuh tahun lebih tua darinya mengajaknya kencan. Dan lagi, aku tidak ingin adikku yang masih polos itu jadi berpikir semua laki-laki sifatnya sepertimu."
Shuhei nyengir sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
"Bagaimana kalau kita main bertiga?" usulnya.
"Tidak," Byakuya menolak. "Jujur saja, Shuhei, aku jadi tidak mengerti apa yang berkelebat di pikiranmu. Kalau Rukia cuma selisih sedikit dibawah kita, aku masih bisa maklum," kali ini dia yang menghela napas panjang. "Meski adik angkat, aku benar-benar menganggap dia seperti adikku sendiri."
"Kau sering main dengannya?"
Byakuya menggeleng. "Tapi aku memperhatikannya, apalagi kalau sampai ada orang iseng berniat menggodanya," dia mengepalkan tangan. "Tanggung sendiri akibatnya."
TBC
Preview for the next chapter:
Shuhei mengatakan sesuatu yang membuat Rukia kecil memusuhinya. Bukan Shuhei kalau dia cuma diam saja.
A/N: Shuhei termasuk salah satu favoritku. Mungkin pairing ShuheixRukia amat sangat jarang sekali. Sejauh aku berkelana di fandom Bleach versi Indonesia ini, yang baru dua mingguan kira-kira, kebanyakan pairingnya RukiaxIchigo. Hopefully ada yang suka.
