Title: Humanity
Author: Ly
Genre: Life
Main cast: Jung Daehyun and Yoo Youngjae (Daejae Couple)
Other cast : Lee Minhyuk Monsta X
Rating: T
Type: chaptered
Disclaimer: This story is mine. Don't plagiarize please.. thank you :)
Warning: Boys Love and typo(s)
Summary: Gelap, sunyi, pengap, dan tak berujung. Ini dunia di mana hidup manusia dinilai dengan sebuah harga. Aku hanya berharap di dunia ini masih ada manusia yang memanusiakan manusia.
.
.
STORY BEGIN
.
.
Chapter 1: My Daily Life
.
.
Pagi itu berjalan seperti biasanya. Ia harus cepat bangun pagi agar tak usah repot-repot mendengar teriakan ibunya dari lantai bawah. Segera bergegas ke kamar mandi untuk menggosok gigi seadanya dan melumuri tubuh dengan sabun secukupnya. Lalu keluar kamar dengan terburu-buru ketika ia sudah mendengar namanya di teriakkan selama tiga kali. Ingin mengumpat, tapi ia tidak ingin menambah dosa, tapi jika tidak mengumpat, rasanya mulutnya seperti gatal karena menahan kata-kata kasar, dan alhasil ia hanya bergumam, "Ne eomma…"
Derap langkah kaki terdengar cepat saat ia menuruni anak tangga. Ia tak peduli entah ia akan terjatuh nantinya atau tidak. Ia hanya peduli apakah ibunya pagi ini kembali akan mengomelinya atau malah menasehatinya. Jika iya, dipastikan pagi harinya akan sama lagi seperti biasanya. Suram dan membosankan. Monoton dan tidak berfaedah.
"Kau terlambat bangun pagi lagi Jung Daehyun!" teriakan sedikit melengking, karena tak semelengking biasanya kembali terdengar digendang telinga Daehyun yang seketika membuat empunya memutar bola mata jengah. Bolehkah kali ini ia berkata f*ck?! Oh ayolah, bahkan Daehyun dengan rela bangun jam 5 pagi demi ibunya, ralat, demi tidak mendengar omelan dari ibunya, tapi sepertinya, apapun, entah salah atau benar, ia akan selalu mendapat hadiah yang sama.
"Eommaaaa… aku bahkan sudah bangun dari jam 5 pagi! Heol!" Upss sepertinya kali ini Daehyun 'tak' sengaja meninggikan kata-katanya. Baiklah, ia sengaja. Ia hanya atau mungkin tak bisa lagi menahan kesal karena hal yang selalu sama. Tolonglah, tidak bisakah ibunya menghargai sedikit jerih payahnya. Iya, bangun pagi termasuk jerih payah bagi Daehyun.
"Lalu kenapa baru keluar kamar sekarang?" Ibu Daehyun bersedekap dan menunjuk jam dengan dagunya. Daehyun yang melihatnya hanya bisa dengan setengah hati menoleh untuk melihat jam yang ada di dinding di samping kiri tubuhnya. Jam menunjukkan pukul 7 pagi dan sialnya Daehyun masuk sekolah pada jam yang sama pula. "kau seperti ini terus, bagaimana eomma tidak marah eoh?!"
Daehyun hanya menghela napasnya pasrah dan menatap ibunya –yang sebenarnya ibu tercintanya, tapi ia sering merasa kesal dengan wanita yang telah melahirkannya tersebut– dengan tatapan kalem, "Ne… mianhaeyo eomma… Daehyun akan berangkat sekarang…" anak remaja berusia 14 tahun itu bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu dengan menggendong tas ranselnya dipunggung.
"Jung Daehyun!" ibu Daehyun berteriak tepat saat remaja laki-laki itu sedang memakai sepatunya sambil berdiri. Ia hanya malas untuk duduk, akan memakan waktu lebih banyak jika ia harus duduk dan bangkit untuk berdiri. Jika ia melakukannya dengan berdiri, akan lebih mempermudahnya untuk langsung bergegas keluar rumah.
Daehyun menggeram tertahan dan menoleh untuk melihat apa lagi yang akan menjadi kesialannnya pagi ini. Tanpa disangka, bukan omelan atau pukulan pada kepala yang sering ia dapat, tetapi sebuah kotak makan yang telah terbungkus kain dengan tatapan ibunya yang tak seperti biasanya. "Kau harus menghabiskan makan siangmu. Jangan membeli sesuatu yang akan mengganggu pencernaanmu. Lalu… belajarlah dengan benar anak eomma yang nakal…" wanita paruh baya itu mengakhiri nasehatnya dengan senyuman tulus khas seorang ibu.
Daehyun tertegun sejenak. Ia berani bersumpah ibunya tidak pernah seperti ini sebelumnya, maksudnya ibunya akan melakukan hal baik saja ketika Daehyun sedang tidak berulah, tapi ini dalam kondisi yang berbeda. Ibunya sangat hangat kali ini, walaupun hari ini Daehyun kembali melakukan kesalahan yang sama. "Eomma waeyo?"
"Kkk… tidak bolehkah jika eomma seperti ini?" wanita paruh baya itu menjeda kalimatnya hanya untuk menghela napasnya perlahan, lalu detik berikutnya ia membuka ritsleting tas ransel Daehyun dan memasukknya bekal makan siangnya, lalu berujar, "jadilah anak yang baik, maka appa-mu akan bahagia di atas sana…"
Daehyun kembali tertegun. Dadanya tiba-tiba terasa tertohok. Ia baru ingat sekarang, jika hari ini adalah peringatan ke seribu ayahnya. Ah! Daehyun mengerti sekarang kenapa ibunya seperti ini. Walaupun memang ia termasuk anak yang bebal, tetapi setidaknya Daehyun masih mengerti tentang apa yang dirasakan ibunya saat ini. "Mianhaeyo eomma… Daehyun lupa jika hari ini peringatan appa… apa eomma mau Daehyun temani ke sana nanti?"
Ibu Daehyun menggeleng perlahan. "Tidak perlu. Eomma bisa ke sana sendiri. Kau harus sekolah dan jangan membolos!" ibunya berjalan maju ke arah Daehyun dan mendekapnya perlahan. "jangan khawatirkan apapun. Kau hanya perlu untuk fokus bersekolah… dan karena anak eomma belum sarapan pagi ini, jadi eomma juga membawakan roti mentega dan kotak susu di tasmu, makanlah jika gurumu tidak sedang memperhatikan kkk…"
"Eomma…" Daehyun mengeluh dengan candaan ibunya, tetapi tawa kecil itu tetap hadir dibibirnya yang tebal. "baiklah, Daehyun berangkat sekarang eomma… eomma hati-hati di jalan ne!" Daehyun balas mendekap ibunya dan berlari kecil mendekati pintu.
"Ne… cepat pulang. Jika kau masih ada urusan jangan pulang terlalu malam. Lalu, eomma tidak ingin jika kau pulang nanti bekal makananmu tidak kau habiskan. Kau mengerti Jung Daehyun?!" Daehyun menoleh dan menggangguk dengan semangat. Lalu kembali berbalik badan untuk membuka pintu dan detik berikutnya badan kurus Daehyun telah hilang di balik pintu kayu rumahnya.
.
.
TAP TAP TAP
Lagi dan lagi. Terus dan akan selalu sama. Setiap pagi para tetangga di bawah rumah Daehyun harus rela atau mungkin sudah membiasakan telinga mereka dengan suara gaduh ketukan sepatu milik Jung Daehyun. Dari atas atap rumah hingga lantai dasar, suara langkah terburu-buru anak nakal itu tetap konsisten mengganggu pendengaran mereka di pagi hari. Jangan salahkan Daehyun untuk rumahnya yang berada pada rooftop.
Setelah sampai pada jalanan aspal, Daehyun semakin mempercepat laju larinya. Sejujurnya, ini bukan pada taraf kecepatan berlari Daehyun yang seperti biasanya. Ini dikarenakan 10 menit lagi bus terakhir shift pagi akan segera tiba dan jarak yang masih harus ditempuhnya adalah 500 meter lagi. Oh sh*t dan sepanjang jalan ia berakhir dengan terus mengumpat.
Tepat pada detik-detik terakhir, Daehyun berhasil masuk ke dalam bus dan seketika pintu bus di belakangnya tertutup rapat otomatis. Daehyun yang menyadari dirinya telah berhasil, menghela napasnya dengan begitu lega dan tersenyum kemenangan seperti orang yang mendapatkan hadiah. Entahlah mengapa akhir-akhir ini ia mudah senang walaupun dengan hal-hal kecil.
Dengan kedua kaki yang berdenyut nyeri, Daehyun berjalan sedikit terseok ke arah belakang bus demi duduk di kursi pojok dekat jendela. Tempat itu menjadi tempat favoritnya, sejak ia duduk menghabiskan waktu dengan mendiang ayahnya dulu untuk pertama kalinya. Daehyun akan duduk tepat di sebelah jendela dan ayahnya akan duduk tenang di sebelahnya, tetapi tidak akan menjadi tenang lagi ketika mulut Daehyun mulai terbuka.
Kenangan tentang mendiang ayahnya kini berputar diingatan Daehyun. Sebenarnya memang hanya beberapa kenangan saja yang dapat ia ingat dengan jelas. Setelah kepergian ayahnya, ia mulai menyesali mengapa dulu ia terlalu sibuk bermain bersama temannya. Daehyun ingin mengeluh jika boleh jujur, tetapi nasihat ibunya seperti tertancap diingatannya. Jangan mengeluh dengan apapun yang sudah terlewat.
Daehyun mengarahkan pandangannya ke arah jendela dan melihat pemandangan Kota Seoul yang selalu padat demi agar dirinya tak kembali terbawa emosi. Memang benar Daehyun akan mudah menangis jika ia mengingat tentang ayahnya. Hanya setelah 100 hari kepergian sosok yang Daehyun anggap sebagai super hero-nya itu, ia memutuskan untuk tidak lagi mengeluarkan setetes pun air mata. Satu lagi nasihat yang diberikan oleh ibunya, jika Daehyun bahagia, maka ayahnya juga akan bahagia di atas sana.
"Appa bogoshippeoyo…" Daehyun memang berjanji jika ia tidak akan menangis, tetapi ia tidak berjanji untuk tidak merindukan ayahnya. Ini bukan merupakan bentuk kesedihan, tetapi ini bentuk kerinduan. Maka Daehyun berharap ayahnya bisa menolerir hal yang satu ini dari atas sana. "appa… aku tidak melanggar janji karena aku tidak menangis, aku hanya merindukanmu, jadi jika aku seperti ini tidak apa-apa kan?"
Daehyun menjeda kalimatnya dan menarik napasnya dalam-dalam. Sesungguhnya ia hanya bersikap sok tegar. Ia akan terus membohongi dirinya sendiri demi ibu dan ayahnya. Entah kapan ia akan merasa lelah menjadi sosok yang bukan dirinya.
"Appa, hari ini eomma datang melihat appa. Sebenarnya aku ingin ikut, tapi eomma melarangku. Eomma menyuruhku untuk fokus bersekolah. Appa, eomma benar-benar menyebalkan! Bagaimana jika aku ke sana tanpa sepengetahuan eomma? Eum… mungkin sehabis pulang sekolah aku akan menemui appa. Boleh kan appa?" Daehyun bergumam dengan menatap satu per satu mobil yang berlalu-lalang.
Selama perjalanan ia terus bermonolog. Membayangkan sosok ayahnya ada di sebelahnya dengan senyum hangat seperti biasanya. Seperti telah menjadi salah satu kebiasaan yang tak pernah terlupakan, mungkin bagi Daehyun, ia tengah berdialog dengan ayahnya. Biarlah ia tetap seperti ini, karena sejujurnya hal itu satu-satunya yang bisa membuatnya merasa tidak sendirian di dunia ini.
.
.
Setelah 20 menit berlalu akhirnya Daehyun sampai pada gerbang sekolahnya yang tampak ramai. Apalagi jika bukan gerombolan murid yang juga terlambat sama sepertinya. Apa mau dikata? Jika sudah terlambat, lalu mau apa? Sejak awal Daehyun juga sudah sangat sadar ia akan kembali berakhir dengan mengepel lantai kamar mandi pria atau bahkan menyapu halaman sekolah.
Dengan berjalan seperti tanpa beban, Daehyun menghampiri gerombolan murid itu dan menyapa salah satu siswa yang memunggunginya. "Minhyuk-ah…" Daehyun menepuk pundak kanan murid lelaki itu dan sontak membuatnya sedikit berjengit.
"Eo kau! Hahaha… aku tahu kau akan terlambat." Minhyuk, lelaki seumuran dengan Daehyun itu melempar sarkasmenya dan tertawa ritmis pada teman sepermainannya ini ketika ia menyadari ternyata ia tak sendirian saat nanti menjalankan hukuman dari Lee Ssaem, sang guru BK.
Sedangkan korban sarkasme dari Minhyuk hanya tersenyum kecut dan menatapnya malas, seakan mengerti akal bulus yang Minhyuk jalankan. Dia mau apalagi setelah ini? Hhh dasar… untung kau temanku Lee Minhyuk…
"Tumben kau terlambat? Ah! Apa jangan-jangan kau rindu mengepel lantai kamar mandi sama seperti waktu itu hahaha…" Jika Minhyuk bisa mengejek Daehyun, maka Daehyun dengan cara apapun juga harus bisa membalas Minhyuk. Layaknya seperti detik ini, Daehyun akan mengingatkan masa di mana Minhyuk harus membersihkan kamar mandi pria yang super kotor dan berakhir dengan ia yang memuntahkan semua isi perutnya. Daehyun, selaku teman yang baik hanya bisa tertawa waktu itu.
"Yaaakkkk! Jangan membahasnya lagi Jung! Ouh itu sangat menjijikkan!" Minhyuk bergidik jijik yang membuat bulu kuduknya meremang, ouh, perutnya kembali mual. Sepertinya Jung Daehyun harus diberi rekor sebagai orang yang hebat dalam membalas teman. "aku hanya bermain games semalaman Jung dan yaahh… sekarang aku berakhir sama seperti mu."
Sekali lagi tawa menyebalkan Daehyun kembali hadir dan ia mengangguk-angguk lucu sebagai balasan untuk Minhyuk –tetapi tetap dengan menahan tawanya. Detik berikutnya gerbang sekolah terbuka perlahan dan menampilkan Lee Ssaem dengan kumis tebalnya yang khas.
Semua murid berbondong-bondong masuk setelah dipersilahkan oleh Lee Ssaem sebelumnya. Ketika daftar nama murid yang terlambat sudah tercantum dengan benar, guru BK berperut besar itu mulai menyuruh mereka untuk segera bekerja bakti membersihkan halaman depan gedung sekolah. Kali ini Minhyuk dapat bernapas lega, karena setidaknya bukan kamar mandi lagi yang dipergunakan sebagai tempat hukuman mereka.
Ini bukan keberuntungan, bukan pula kesialan, ini lebih seperti makanan sehari-hari bagi Jung Daehyun. Sungguh, menyapu halaman sekolah selama 15 menit bukan apa-apa baginya. Terlalu seringnya ia mendapatkan hukuman, membuatnya mulai kebas dengan peraturan sekolah yang ada. Tidak ada siapapun yang tahu kapan Daehyun akan merasa kapok dengan hukumannya.
"Ya Jung Daehyun… hari ini pembagian nilai matematika dan nilainya akan ada pada papan pengumuman. Aku mengerti kau tidak akan peduli, tapi aku punya hal menarik yang bisa membuatmu melihat papan pengumuman haha." Tawa ritmis Minhyuk kembali hadir dan Daehyun sangat mengerti ini bukan merupakan sebuah tawa pada umumnya.
"Lalu?" Daehyun menjawab tanpa menoleh kepada Minhyuk. Sejujurnya menggesek ribuan ujung batang lidi pada dataran paving yang tersusun rapi di halaman sekolahnya jauh lebih menyenangkan ketimbang mendengar hal tidak bermanfaat yang keluar dari mulut –yang untung– temannya.
"Bagaimana jika kita bertaruh?"
"Jika aku menang apa yang bisa ku dapat? Aku tidak ingin rugi dan siapapun tidak ingin rugi Lee Minhyuk." Akhirnya mata elang Jung Daehyun mau menatap mata bulat Lee Minhyuk. Hanya sekedar tatapan santai, tenang saja.
"Err… akan ku traktir kau selama seminggu, dan jika aku menang kau akan memberiku apa?" Sebenarnya ini hanya pesan implicit, karena di dalam kamus Lee Minhyuk selalu terdapat peribahasa ada udang di balik batu.
"Tidak ada. Kau tahu sendiri aku tidak punya apapun." Daehyun mengalihkan pandangannya dan beralih pada daun kering yang tersangkut di antara paving. Sepertinya Daehyun harus mengambil sekop untuk mengambil daun sialan yang tersangkut ini. Intinya, daun kering lebih penting daripada murid tampan bernama Lee Minhyuk.
"Baiklah-baiklah kau tidak perlu memberiku apapun. Cukup ajari saja aku menari. Deal?"
"Eum.. oke… deal… jadi apa taruhannya?" Good! Ini sebenarnya maksud kotor dari Minhyuk. Di sekolah Chungju High School –tempat mereka bersekolah, Daehyun lumayan terkenal bisa menari di antara teman-teman terdekatnya.
"Jadi kita lihat siapa yang berada pada ranking pertama kali ini. Apakah anak itu lagi atau murid lain? Lalu apa pilihanmu Jung?!" Minhyuk terlihat lebih antusias kali ini. Matanya berbinar dan sikunya ia letakkan pada pundak kanan Daehyun. Wajah sumringahnya yang konyol terus menatap Daehyun dengan semangat.
Daehyun terlihat berpikir sejenak. "Sepertinya anak itu. Bukan apa-apa, hanya yakin saja…" Daehyun hanya menjawab enteng. Instingnya berkata kali ini anak itu lagi yang akan mendapatkan ranking satu pada urutan parallel.
"Baiklah kalau begitu aku murid yang lain. Haahh… rasanya jadi tak sabar menunggu pengumuman hahaha…" Sepertinya Minhyuk sangat senang hari ini. Ia banyak sekali tertawa dan Daehyun sebagai teman yang pengertian hanya mampu menatap teman dekatnya ini miris. Kasihan…
.
.
Para murid berdesak-desakan di depan papan pengumuman demi melihat ranking yang mereka dapat. Ada pemandangan baru di sini, karena salah satu murid yang terkenal masa bodoh dengan nilainya ternyata juga ikut mengantri untuk melihat nilai yang tertera. Jangan salah paham dan jangan mengira dia telah tobat, dia seperti ini juga karena ada pertahuran sebelumnya.
Setelah berhasil melihat papan pengumuman, wajah Daehyun berubah lebih sumringah, sedangkan Minhyuk tampak lesu tidak bersemangat, "Terkadang aku berpikir dia merupakan robot asli buatan Jepang." Daehyun berkata dengan terheran-heran. Sebenarnya ia tak habis pikir bagaimana otak anak itu bekerja, tetapi setidaknya ia diuntungkan dengan kepintaran anak tersebut secara tidak langsung. Hhh… ibu Daehyun bisa hemat uang jajan selama seminggu. Yey!
Daehyun, setelah bergulat dengan pikirannya sendiri, akhirnya menoleh pada Minhyuk. Tidak seperti sebelumnya, Minhyuk terlihat bersedih karena sepertinya ia tak jadi diajarkan menari oleh Daehyun. "Hei! Tak apa, aku akan tetap mengajarimu menari. Setiap hari Sabtu, sepulang sekolah di kelas musik. Bagaimana?"
"Wuaaahhh jinjjjaaa?! Aaaa… kau memang teman terbaik yang aku miliki Jung Daehyun." Minhyuk bersorak dan spontan memeluk tubuh kurus Daehyun, sedangkan Daehyun sendiri hanya tersenyum kecil. Ia hanya tidak tega melihat Minhyuk, se-menyebalkan apapun, Lee Minhyuk tetap teman terdekatnya satu-satunya, manusia yang mau berteman dengannya tanpa melihat latar belakang yang dimiliki oleh Daehyun.
"Ya. Aku tahu Minhyuk-ah." Candaan percaya diri dari Daehyun membuatnya mendengus kesal dan seketika melepaskan pelukan yang terjadi selama 3 detik tadi.
"Yak Jung, apa kau mau melihat pertandingan futsal besok jam 4 sore?"
"Untuk apa?"
"Tidak apa-apa, hanya ingin mengajakmu, lagi pula yang bermain futsal si anak-anak pintar. Salah satunya dia, si anak peringkat satu. Kau mau melihatnya?"
"Aahh… jika tidak ada hal lain, aku akan ikut denganmu…"
.
.
Si anak pintar…
Si anak peringkat satu…
Haruskah aku berterima kasih kepadanya karena berkat dia, aku bisa hemat uang jajan selama seminggu?
Tapi lebih penting dari itu, apa benar dia bisa bermain futsal?
Si anak pendiam dengan wajah judes itu bermain futsal?
Kenapa ini jadi lebih menarik?
.
.
TBC (baca note juseyo, penting, maaci)
.
.
Haloo semuanyaaa apa kabar kalian? Semoga baik yaa amiinn.. sebelumnya, Ly mau ngucapin minal aidzin walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin untuk semuanya. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H bagi yang merayakan.
Horee akhirnya bisa comeback. Yupp, ini ff comeback setelah hiatus beberapa bulan. Yosh, aku bawa ff "beda" kali ini.
Sejujurnya aku takut kalian akan bosen, karena aku menyadari ff ini jauh dari kata romance atau bromance. Ff ini lebih menekankan gimana tentang kehidupan itu berjalan. Ya kayak kehidupan kita sehari-hari. Ada susah, ada rasa berjuang, ada rasa senang, kecewa, marah, menyayangi, kepedulian dan yang lainnya. Intinya di sini itu tentang nilai-nilai kehidupan yang enggak hanya di isi dengan cinta-cintaan aja.
Aku berharap sekali kalian bisa menikmati apa yang aku tulis. Memang ini bukan "gaya" aku yang seperti sebelumnya, dari gaya tulisannya pun udh beda (jika kalian udh pernah baca ceritaku sejak awal mucul mungkin kalian akan menyadari), dan aku mencoba gimana kalo aku pakek jalan cerita yang beda juga.
Ya inti dari semuanya, aku cuman pengen buat ff yang ada value di dalamnya, yang kalian bisa ambil sesuatu dari apa yang aku tulis. Cerita ini murni dari pengalaman-pengalaman hidup orang pada umumnya dan maaf jika nantinya moment daejae hanya akan ada sedikit, tapi tenang ini tetep ff daejae kok, daejaenya tetep aku buat yaoi haha..
karena ini masih pendahuluan, jadi belum keliatan konfliknya hehe.
Serius aku beneran gak tau gimana tanggepan kalian nanti huhu TT_TT semacam gak pede sebenernya..
Dan sekali lagi aku ngucapin maaf banget karena enggak update cerita yang lain dan malah ngepost cerita yang baru.
Satu lagi, maaf belum sempet baca cerita yang baru-baru, mungkin besok baru aku bacanya sekalian review haha.
Sekian dari apa yang pengen aku ucapin, terima kasih karena udh baca note dan sampai ketemu di chapter berikutnya.
-LY-
#foreverwithbap
