BoBoiBoy Fanfiction

.

Gardening

.

.

Summary: Diam-diam Fang yang merupakan anak sombong dan pemarah, mempunyai kegiatan aneh. Dan itu adalah... menanam.

.

Disclaimer: BoBoiBoy milik Animonsta Studios

Warming: bahasa indonesia + bahasa melayu (setiap percakapan saja), OOC (tapi diusahakan untuk tidak sampai kesana)

.

.

Chapter I - No One Known My Hobby

.

.

.

"Jadi, siapa yang mau mengerjakan soal matematika di depan?" suguh Papa Zola, guru kelas kami yang stress seakan-akan kurang asupan bahagia alias kata orang 'Masa Kecil Kurang Bahagia'. Bayangkan saja, dia menggunakan pakaian ketat dengan topeng layaknya 'Superman' kesiangan (tapi aku yakin Superman tidak pernah menggunakan topeng...). Tubuhnya yang kekar seperti bapak-bapak sehat kebanyakan memang sangat disayangkan berakhir gila seperti itu. Aku saja bingung kenapa bapak-bapak yang terlalu kekanakan ini malah mengajarkan matematika.

Baik kusudahi komentarku tentang beliau.

Saat ini kami memang sedang belajar matematika untuk tingkatan 'kelas 5 SD'. Jangan tanyakan aku materi apa yang Papa Zola berikan. Sebab aku terlalu malas untuk menjawabnya.

Aku sibuk memikirkan hal pribadiku seusai jam belajar untuk hari ini.

Semua murid-murid dalam kelas enggan mengacungkan tangan tanda ingin mengerjakannya. Papa Zola menatap kami satu persatu kebingungan.

"Tak nak yang mengerjakan ni?"

"Kalau soal itu, BoBoiBoy pasti lebih cepat mengerjakannya," ucap seseorang yang tidak lagi asing kukenal selain Buntal—ah salah, Gopal. Sang kawan karib rivalku memang senang sekali mengajukan nama BoBoiBoy setiap saat.

Aku menatap Gopal tajam dari balik kacamata bergagang ungu gelap milikku. Kugertakkan gigiku kesal.

"Kali ini biarkan Fang mengerjakan, Gopal," sahut pria bertopi jingga aneh—dimana memiliki motif polkadot kuning berduri dan bergigi juga terlihat simbol petir kecil ditengahnya, dengan menyilangkan kedua tangannya sambil menyanggah punggungnya pada kursinya. "Biasanya juga aku tak pintar matematika."

"BoBoiBoy...," lirihku geram.

"Eh? Hai Fang!" BoBoiBoy dengan wajah khasnya yang polos kebangetan, melambai ria padaku. "Masih belum menyerah untuk menjadi populer bukan?"

"Kau mau aku bunuh, huh?" gertakku.

"Eh kan kau mau populer. Apa salahnya? Mengalah sedikit tidak apa-apa bukan?"

"Tidak usah pakai alasan. Kau mencoba meremehkanku?"

"Loh? Aku salah kah? Aku hanya mencoba membuat kawanku ini sekali-kali menang dariku."

"Sombong sekali kau, BoBoiBoy..." Kugenggam tanganku—berselimut sarung tangan tanpa jari, dan samar-samar muncul aura gelap menyelimuti genggamanku. Papa Zola merinding melihat aku dan BoBoiBoy saling beradu tatapan tajam, bahkan kawan-kawanku yang lain begitu juga.

"Ya sudah. Ying! Kerjakan tugas di depan!"

"Eh!?" Aura gelap langsung sirna dari kepalan tanganku seiring aku membalikkan badan—membenarkan posisiku, dalam helaan nafas kecil. "Oh baguslah."

"Lalu bersama Fang mengerjakannya!"

"BEDEBAAAAAHHHHH!"

.

.

.

.

"Cih! Aku benci hari-hariku yang berat!"

Aku duduk di bawah pohon rindang pada halaman rumah hantu—yang dahulu merupakan tempat aku dan BoBoiBoy pertama kali bertarung. Ku perbaiki kacamataku dalam helaan nafas ringan.

"Andai bisa seperti BoBoiBoy yang berpecah menjadi tiga, pasti sudah aku menjadi yang terkuat," keluhku. "Atau saja jika seandainya kata 'rival' tidak per—nah— a..."

Kutundukkan kepalaku kecil sedih.

"Ternyata aku juga... ingin menjadi sepertinya..."

"Kenapa tidak coba menjadi diri sendiri?"

Aku terlonjak—menegang dari tempat dudukku. Nampak gadis berkacamata bulat dengan gagang warna biru tersenyum di depanku dalam posisi jongkok. Ia memakai topi kupluk kuning dengan hoodie yang juga berwarna kuning, melapisi kaos lengan panjang bermotif garis biru.

"Y—Ying? Kau mengagetkan aku! Kau pakai jam kuasamu lagi?"

"Hehehe. Maaf jika mengagetkan kau. Soalnya aku penasaran kenapa kau sangat anti-sosial," jawabnya.

"Bukan urusanmu."

"Kau iri pada BoBoiBoy ya?"

"Tidak. Ngapain juga aku iri dengannya! Huh!" jawabku tenang. Aku memalingkan wajahku sambil memperbaiki kacamataku.

"Ish. Ngelak pula... Sampai buang muka macam tu."

"Kau ini kenapa ada disini!? Pergi sana! Hus hus!" mencoba mengelak dari topik pembicaraan Ying yang memang suka memancing emosiku, aku mengusirnya dengan mengibaskan tangan kananku.

"Fang galaknya ih~" godanya. Emosiku sudah sampai puncak dan aku langsung berteriak, "PERGI SANA!" Kutatap wajah Ying marah.

"Ish. Pemalu lah!" Sepertinya bentakan awal tidak mempengaruhinya ya? Kalau begini aku,

"PERGI ATAU KUCAKAR WAJAHMU DENGAN CAKAR BAYANG!" marahku. Tubuh Ying menegang, reflek mundur dariku. Dia menatapku sedih. Tanpa hitungan menit, sosoknya menghilang dan terlihat sesuatu berlari dengan sangat cepat dari kejauhan. Aku mengambil nafas cepat, menatap kepergiannya.

'A—apa aku terlalu galak?' pikirku. 'Ah aku akan minta maaf besok. Malu juga sebagai cowok menyakiti hati cewek satu darah ras.'

Kuperbaiki kacamataku dan bangkit dari tempat dudukku, ingin pulang rasanya. Helaan nafas kecil kuhembuskan dari kedua lubang hidungku sambil memejamkan mata.

"Cip cip!"

Terdengar suara burung mungil mengelilingi sebuah tanaman yang hanya baru tumbuh tunasnya. Burung itu mencoba menggigit dua helai daun muda miliknya yang masih kecil. Aku reflek mengibaskan tanganku mengusir burung tersebut.

"Ini... tanaman apa?"

Takutnya burung yang sama kembali menyakiti tanaman kecil tersebut, aku menggerakkan leherku mencari-cari sebuah gelas plastik atau wadah lainnya yang bisa kupakai guna mengangkat tanaman tersebut. Beruntung aku menemukan wadah berupa gelas air mineral, aku segera mengerok-ngerok tanah disekitarnya—berusaha tanpa memutus jalur akarnya, lalu mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam wadah. Ya, dengan jemari-jemariku yang bersarung tangan fingerless.

'Sarung tanganku kotor deh...'

Tanpa menggubris pakaian yang kukenakan kotor maupun kukuku yang hitam akibat kemasukan banyak tanah, aku membawa tanaman tersebut beserta wadahnya. Aku menatap tanaman tersebut sambil sekali-kali aku menekan-nekan tanah—yang gembur menjadi padat—dengan jari telunjuk dan tengah kananku.

'Kau akan jadi tamu pertamaku di rumah nanti. Kau akan jadi kawan baik pertamaku.' Sambil memandang tanaman tersebut, tanpa sadar senyuman kecil terlukis dari wajahku. Akhirnya aku punya suatu kegiatan untuk membuang waktuku yang kosong. Bukan, akhirnya aku punya kawan untuk menemani hari-hariku yang kelabu.

Aku akan mengaku untuk kali ini. Aku masih berumur 11 tahun, dan bermental anak kecil. Aku juga ingin mempunyai kawan. Aku juga bisa merasa kesepian walau beberapa orang selalu kuusir saat mereka ingin bersamaku.

Tapi tanaman tidak bisa bicara ataupun bergerak layaknya manusia yang selalu membuat kepalaku hampir meledak karena kesal. Mungkin, dia memang cocok menjadi kawan pertamaku?

.

Karena dia lemah... Tidak berdaya... Mungkin dia tak akan kujadikan hanya sebagai hobi baruku tapi—

.

'Kau sama sepertiku ya, sendirian. Lemah. Tapi aku janji akan terus merawatmu sampai besar. Kau akan selalu kulindungi. Kau adalah harta pertamaku yang akan kujaga karena kita satu nasib.'

.

.

.

.

Aku duduk diam memandang rembulan yang kebetulan sekarang adalah fase bulat sempurna. Tanaman yang kupungut tadi sore terlihat menemaniku duduk—terletak di sebelahku. Tentu sudah kuberikan beberapa tetes air untuk makanannya sesudah pulang saat tadi.

"Mungkin kalau kubawa jalan-jalan dia senang?" Kuangkat pot tanaman yang merupakan wadah tak bermodal dengan hanya dilubangi pinggirnya oleh paku—guna memberi oksigen pada tanah dan tempat air yang turun keluar, dan membentuk tanganku seperti burung seraya berucap, "Elang Bayang!"

Nampak burung besar berselimut bayangan hitam dengan mata merah menyala terbang mengitariku. Aku memeluk pot—takut-takut terjatuh, dan berdiri di atas punggung burung tersebut.

Burung tersebut membawaku terbang menikmati angin malam. Sekarang masih jam 9 malam. Tentu di jam ini angin malam masih belum parah-parahnya. Masih dalam posisi berdiri, aku menikmati cahaya-cahaya dari bintang-bintang yang tidak kalah terang dibanding lampu-lampu desa.

Saat melewati rumah BoBoiBoy, aku melihat kawan-kawan sekelasnya (ah ya, sekelasku juga) berkumpul di teras rumah Atuk Aba. Sinar dari api unggun yang berukuran sedang disana memperlihatkan jelas wajah dari masing-masing sosok yang kulihat.

Sekarang aku baru ingat, jika mereka ini sedang mengadakan pesta membakar jagung bersama untuk merayakan BOBOIBOY BERHASIL MENGALAHKANKU DALAM PERTARUNGAN BERMAIN FUTSAL.

.

Sial...

.

"Yey! Jika tiap hari diadakan acara seperti ini tak apalah! Tok Aba special hot chocolate memang terbaik~" seru BoBoiBoy yang teriakannya sampai terdengar pada kedua telingaku dari atas.

"Seronok!" Gopal ikutan berseru.

"Tapi acara ini hanya berlaku hari ini loh!" peringat Atuk Aba. "Besok, kembali bekerja."

Aku terus memandang mereka, dan tanpa sadar burung yang menerbangkanku berputar-putar dalam kegelapan mengelilingi tempat tersebut. BoBoiBoy yang biasa mengucapkan kata 'terbaik' dengan wajah konyok sembari mengacungkan ibu jari kanannya membuatku eneg mengakui aku adalah rival dia. Tapi itu adalah ciri khasnya.

'Betapa menyenangkannya dikelilingi orang-orang yang tersenyum bangga padamu,' batinku. 'Alasanku selalu cemburu dengannya, karena aku ingin berada diposisinya.'

Eh? Apa yang barusan kupikirkan?

Kugelengkan kepalaku dan mengarahkan elang bayang untuk terbang menjauhi mereka, masih dalam keadaan aku memeluk pot tanaman yang kubawa dari awal.

"Pikiranku memang masih kanak-kanak untuk mencari perhatian orang." ocehku sembari mendengus.

"Kenapa kau tak nak mau ikut kite-kite?"

Aku melengokkan kepalaku ke samping—spontan—setelah mendengar seseorang sedang berbicara padaku. Kagetnya aku bahwa yang menyapa adalah BoBoiBoy Taufan yang saat ini menaiki air skate-nya disebelahku. Mata biru bercahayanya menatap wajahku lekat, masih dalam raut wajah polos. Elang bayang langsung menghilang tanpa perintahku karena kegugupanku, dan aku terjatuh.

"A—"

GREP!

BoBoiBoy Taufan menangkap kedua kakiku. Akibatnya aku menggelantung dalam posisi kepala ke bawah.

"Kau bisa mati, Fang," ucapnya datar. "Kaget ya melihatku tiba-tiba di sebelahmu? Kau juga kenapa terbang melihat acara kite-kite tanpa mengucapkan satu kata pun?"

Ingin sekali aku menyahutnya, jika saja aku langsung teringat dengan tanaman yang tadi kubawa. Dia tidak ada di pelukanku. Berarti dia jatuh. Dan—

"BoBoiBoy! Lepaskan aku!" perintahku. Aku menggoyang-goyangkan tubuhku memberi massa berat, berjaga-jaga untuk memberikan gaya turun gravitasi yang cukup.

"T—tapi kau bakalan jatuh Fang!"

"Tak usah peduli denganku! Cepat lepaskan!" Mataku masih terus berkeliling mencari tanaman tersebut. Ah! Aku menemukannya setelah 3 menit kugunakan mencari sambil bicara cerewet pada BoBoiBoy. Kugoyangkan kedua kakiku. BoBoiboy Taufan dengan wajah keheranan pun menurut. Ia melepas kakiku. Aku meluncur jatuh ke bawah dan mendekati pot tanaman yang nyaris saja akan hancur lebur seperti tomat segar yang dilempar, jika tak tertangkap.

"Gerakan bayang!"

Sempat kuputar tubuhku setelah mendapatkan tanaman tersebut dengan ukuran 165 derajat, dan kakiku kini ada di bawah. Langsung saja aku berlari melesat cepat, dengan diiringi bayangan hitam dari kedua kakiku.

Perasaan hatiku sangat lega. "Fuh syukurlah kau sela—"

"Jadi kau menyelamatkan sebuah tanaman yang baru saja tumbuh tunasnya?" heran BoBoiBoy Taufan yang mengiringiku terbang masih dengan air skatenya—tanpa kusadari. Dia memposisikan duduk di atas papan seluncur anginnya.

"Bukan urusanmu, BoBoiBoy!"

"Berita ini akan heboh di kelas besok. Aku ja—" Aku mencengkeram lengan kiri BoBoiBoy Taufan marah secara reflek. BoBoiBoy menatapku horor, merasa nyalinya seketika ciut oleh tatapan marahku.

"Kau beritakan hal ini, atau aku takkan segan-segan membunuh Atuk Aba-mu," lirihku dengan nada menakutkan. BoBoiBoy Taufan langsung berkeringat dingin merinding mendengar ucapanku.

"A—aku takkan bilang! Aku janji!"

"Baguslah."

- To be Continued -

A/N: My first BoBoiBoy fanfic! Kyaa saya sangat suka Fang~ mengapa dikau begitu keren dimata akuh~ Padahal dahulu saya suka BoBoiBoy taufan. Jadi cerita disini adalah Fang mulai jadi maniak menanam sebelum Ejo jo datang. Soalnya sedih aja (sekalian ngakak) liat Fang yang padahal sudah jujur namun malah tidak dinotice. Ckckckck.

Review?