(BangHim) Just Love Never Enough
Author : Bang Young Ran
Rating : T
Genre : Angst/Drama/Yaoi/AU
Main Cast :
Kim Him Chan
Bang Yong Guk
Support Cast :
Shin Ji Min (AOA)
(PS: Inspired by Descendants Of The Sun's drama)
Just Love Never Enough
"Oppa." Jimin memanggil Himchan dengan suara berbisik yang hanya ditanggapi 'hmm?' pelan dari dokter berparas tampan sekaligus cantik di sampingnya. "Bukankah menurutmu Kapten Bang sangat gagah? Saat tersenyum dia juga terlihat manis! Omo~" pekiknya, mengepalkan kedua tangan di pipi dan menatap penuh puja ke kejauhan.
Tepatnya, ke arah lapangan terbuka di depan gudang penyimpanan senjata, di mana beberapa prajurit tentara tengah melakukan latihan pagi. Mereka semua bertelanjang dada, memperlihatkan tubuh tegap dan dada bidang yang mereka miliki. Namun, untuk saat ini, Jimin tidak menatapi namja-namja bertubuh menggiurkan itu. Dia menatapi satu dari dua orang berseragam militer di depan barisan.
Kapten Bang Yong Guk.
Sementara namja lain yang juga berseragam adalah Sersan Moon Jong Up. Bisa dikatakan, namja bertubuh tidak terlalu tinggi namun memiliki otot liat yang sempurna itu adalah tangan kanan Kapten Bang. Well, kenyataannya dari posisi atau kedudukan mereka memang begitu.
Entahlah.
Himchan sendiri pun, tidak tertarik untuk mempelajari. Toh, dia cinta damai. Dia mengobati orang, bukannya bertarung, ataupun membunuh orang-orang seperti yang tentara-tentara berseragam tersebut lakukan. Mereka berbeda.
"Yah, dia memang sangat gagah dan manis saat tersenyum. But, he's hopeless and death-able." Himchan akhirnya berkomentar. Terkesan begitu acuh karena mengangkat kedua bahu sekilas. Ia malah kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda; membalut kain kasa pada lengan pasien yang terluka.
Tapi Jimin seolah belum puas akan jawaban acuh Sang Dokter. "Apa maksudmu dengan hopeless and death-able, Oppa? Kau membuat namja yang bekerja di kemiliteran terdengar sebagai pilihan yang buruk," protesnya, merajuk sembari mengerucutkan bibir.
"Bukankah memang begitu kenyataannya? Bisakah kau mencoba membayangkan? Saat kalian berdua berkencan di bioskop, tiba-tiba ponselnya berdering. Dia mendapat panggilan tugas. Dia harus pergi meninggalkanmu saat itu juga. Dan kau tidak bisa menahannya. Kau tahu kenapa? Karena itu adalah kewajibannya dan kau? Kau adalah pilihan entah nomor ke berapa di dalam list prioritas hidupnya. Mereka lebih mementingkan negara dibanding dirimu. Pada akhirnya? Kau akan kesepian sepanjang waktu, dan berkemungkinan besar sendirian hingga akhir hayatmu saat dia gugur dalam bertugas. Hopeless and death-able. Coba jelaskan padaku, bagaimana mungkin mereka bukanlah pilihan yang buruk?!"
Checkmate.
Straight.
Realistic.
Oh, tambahkan 'cerdas', kalau itu menyangkut Dr. Kim Him Chan, Sang Ahli Bedah jenius dan ternama. Berargumen pendapat dengan Dr. Kim akan membuatmu terkesan begitu bodoh. Percayalah.
Pasien yang sedang Himchan balut lukanya, hanya bisa menganga tidak percaya. Omo, kenapa dokter cantik ini terlalu blak-blakan? Tidakkah dia melihat, kalau dirinya tengah menangani luka seseorang yang juga prajurit tentara di sini? Apa dia... tidak segan?
Seolah membaca apa yang Si Pasien pikirkan tentangnya, Himchan menatap namja itu lurus. Sama sekali tidak ada tanda-tanda penyesalan ataupun takut pada marbel hitam indah tersebut. "Aku terkesan lancang. Ne, aku tahu itu. Tapi bisakah kau menjawabnya? Jika ada pilihan, apakah itu negara atau kekasihmu, siapakah yang akan kau pilih, Tuan Prajurit?"
"T-tentu saja Negara Kami, Korea Tercinta, Uisa-nim!"
Jangan salahkan Si Prajurit kalau ia menjawab dengan gugup. Dr. Kim yang cantik menatapnya fokus di kedua mata. Tentu saja, siapapun dapat mengerti dan memaklumi akan kekacauan degup tidak beraturan di ruang dada, akibat dari tatapan marbel hitam menakjubkan tersebut.
Sementara itu, dengan senyum puas penuh kemenangan, Himchan melirik Jimin, suster bertubuh mungil yang merangkup sebagai asistennya. Sebelah alis sempurna miliknya terangkat, seolah menunggu suatu pengakuan dari Sang Suster.
Alhasil, dengan kedua bahu turun dan bibir masih setia mencebik cemberut, Jimin berkata, "ne..., ne, kau benar, Dr. Kim Yang Agung~! Lagi."
"Kkkkk, kau yang memulainya, Jiminie~ Ingat, makan siang nanti, kau harus mentraktirku!"
"Mwo?! O, wae?!"
"Kau kalah berargumen, ingat? Kita punya perjanjian, 'kan? Yang kalah berargumen harus mentraktir yang menang. Kkkk, omo... aku tidak sabar! Hari ini aku ingin makan steak~"
"Ya, Oppa! Sejak kapan ada peraturan kalau yang menang bisa menentukan menu, eoh?! Lagipula, aah... sincha! Kenapa waktu itu aku setuju bertaruh dan membuat peraturan konyol itu denganmu!? Aku selalu kalah. Kau tahu? Tabunganku tidak pernah bertambah gara-gara mentraktirmu. Aku tidak akan pernah kaya. Dan lagi, gajimu jauh lebih besar dari gajiku! Kenapa kau suka sekali memorotiku, eoh?! Kau seperti lintah!" Jimin mengomel panjang-lebar tanpa mempedulikan kalau saat ini pengunjung klinik di camp cukup banyak.
Tim Alpha, tim yang dipimpin oleh Kapten Bang, melakukan misi kemarin. Sebagian dari mereka kembali ke markas dengan luka memar dan lecet. Ada juga yang menderita luka cukup dalam. Namun hanya itu. Minus kantung mayat. Tim Alpha adalah unit kemiliteran yang yang sangat terkenal. Setidaknya, itulah yang Himchan dengar dari teman-temannya saat mereka bergosip.
"Aigoo... aigo, dengarlah Yeoja Ini berbicara. Kau tidak malu, eoh? Mengeluh tentang penghasilanmu yang tidak seberapa di depan pasien kita? Apa kau tidak sadar? Kau terkesan sangat tidak tulus dalam melakukan pekerjaanmu?! Aigo, Yeoja Ini..." Himchan bergumam, gelengan penuh ironi sengaja ia lakukan, membuat Jimin lebih tersudut dengan statement-nya. Memutar-balik fakta adalah satu dari banyaknya keahlian seorang Kim Him Chan.
Menyedihkan.
Entah sampai kapan Jimin akan mengambil pelajaran dari hal seperti ini. Kim Him Chan bukanlah tandingan siapapun dalam berargumen. Jangan beradu argumen dengannya. Kalau kau tidak ingin keluar sebagai sosok seorang pengecut konyol di akhir, sebaiknya jangan.
~~~~~~~~\(=^3^)(0o0=)/~~~~~~~~~
"Kudengar kau mem-bully Suster Jimin lagi di klinik."
Suara berat dan dalam dari arah pintu ruang pantri membuat Himchan mengangkat kepala. Menyeringai, saat menemukan Bang Yong Guk berdiri menyender pada daun pintu sembari berpangku tangan. "Wae? Kau datang ke sini untuk membelanya?"
Balas menyeringai, Yongguk melangkah menuju meja makan dapur dan berhenti di samping Sang Dokter. Ia dengan santai menduduki tepian meja, nyaris berhadap-hadapan dengan namja cantik yang duduk di kursi. "Ani. Aku hanya ingin membuka pembicaraan saja. Kau tahu? Tidak mudah memulai pembicaraan santai dengan orang cantik sepertimu," jawabnya cheeky.
Himchan berjengit, memasang ekspresi seolah jijik. "Eii, kau mulai lagi. Seriously, apa yang membawamu ke sini, Kapten Bang? Apa kau ingin makan? Atau... ah! Kau ingin minum kopi juga? Aku bisa membuatkannya untukmu. Kalau kau mau."
Yongguk memperhatikan sekilas pergelangan tangan, serta lengan bawah Himchan yang mengintip dari celah lebar jas putihnya akibat Sang Pemilik mengangkat lengan tinggi. Namja cantik ini bermaksud memperlihatkan secangkir kopi yang tengah ia pegang. Bukan salahnya kalau Yongguk kehilangan fokus saat melihat kulit seputih salju miliknya terekspose.
"Ekhem!" Yongguk terbatuk. Oh, seakan dengan melakukan itu Yongguk akan mampu memfokuskan pikirannya kembali. "Err... sebenarnya, aku butuh jahitan." Sang Kapten akhirnya berkata, sedikit memiringkan tubuh untuk memperlihatkan bagian belakang dari lengan kanannya. Terdapat luka robek yang cukup dalam di sana.
"Omo! Apa yang terjadi?!"
"Aku terjatuh di tepian jalan berbatu." Jawaban Yongguk membuat sebelah alis namja cantik yang ia tatap terangkat sangsi. Tatapan 'kau bercanda?' menghiasi nyata wajah mempesona tersebut.
"Kau terjatuh? Bagaimana hal itu bisa terjadi, Kapten Bang? Apa kau se-ceroboh itu?" tanya-nya menyelidik, mendekatkan wajah pada Sang Kapten, bermaksud memberi gestur mengintimidasi.
Tapi tentu saja, apa yang Yongguk rasakan sama sekali berbeda. Dia gugup setengah mati. "A-aku menyelamatkan seorang anak dari mobil yang akan menabraknya." Ia menjawab dengan kaku, tanpa sadar langsung menahan nafas begitu telapak tangan halus Si Dokter Cantik memegangi lengannya dengan sangat lembut dan berhati-hati.
"Oh." Himchan menyahut singkat. Matanya mulai terfokus pada luka robek yang masih mengalirkan darah tersebut. "Itu mengagumkan. Apa anak itu memberimu ucapan terima kasih? Akan sangat ironis kalau dia tidak memberi penghargaan apapun atas tindakan heroikmu ini."
"Eum..."
Tidak.
Yongguk tidak mendapat apapun atas tindakan heroiknya.
"... Aku memang tidak mengharapkan apapun. Aku senang membantu seseorang yang membutuhkan pertolonganku."
Definitely hopeless and death-able.
Himchan menggigit bagian dalam pipinya; takut, kalau pendapat rasionalnya yang kelewat jujur mengambil alih. Cukup Jimin dan beberapa orang saja. Dia tidak suka beradu argumen dengan Yongguk. Dia tidak suka beradu argumen dengan seseorang yang menjunjung tinggi moral, perintah, kewajiban, dan segala macamnya. Sejak dulu hingga sekarang, pendapat mereka tidak pernah sama.
"Tunggu di sini. Aku akan mengambil peralatanku dulu." Mengalihkan pembicaraan, Himchan bermaksud pergi menuju ruang penyimpanan peralatan medis hanya untuk dihentikan oleh genggaman tangan lebar yang mencengkeram siku kirinya. Dengan ragu ditatapnya Si Pemilik tangan. "Waeyo?"
"Kau mau ke mana?"
Cara Yongguk menatapnya, seolah Himchan mengumumkan bahwa ia akan pergi jauh, bukannya beberapa langkah menuju ruangan sebelah. "Aku pergi mengambil beberapa peralatan. Bukankah aku sudah mengatakannya padamu?"
"Oh. Ah... ye, ne, k-kalau begitu kau boleh pergi."
Himchan mengangguk. Langsung berbalik begitu cengkeraman pada lengannya terlepas. Ia tidak berkomentar apapun. Dia tidak ingin berkomentar apapun. Biarlah segala yang terjadi di antara Kapten Bang dan Dr. Kim, tersisa sebagai wujud tak kasat mata yang menghuni suatu ruang yang disebut kesunyian.
Seperti dulu.
########(0o0)########
"Dulu? Memangnya apa yang terjadi di antara mereka dulu? Omo, aku baru tahu kalau Himchan Oppa ternyata sudah mengenal Kapten Bang sejak lama. Kupikir mereka baru bertemu saat kita menjadi relawan di camp ini."
Yeoja menjelang paruh baya yang Jimin ajak bicara menggeleng. Ekspresi penuh keyakinan terpampang di wajahnya. "Ani. Mereka bertemu saat Dr. Kim masih menjadi mahasiswa. Dia menjadi relawan di sekolah kemiliteran. Saat itu Kapten Bang hanyalah perwira biasa. Mereka bertemu di sana. Dari yang kudengar hubungan mereka sangat dekat. Tapi... setelah Kapten Bang ditugaskan ke Pakistan... aku tidak mendengar apapun la – Ah, ya! Aku baru ingat! Kudengar Kapten Bang mengalami insiden.
"Dia tidak pernah mengabari Dr. Kim. Aku masih ingat bagaimana paniknya Dr. Kim waktu itu. Kurasa... hal itulah yang menyebabkan mereka berpisah. Memiliki namjachingu yang bekerja di kemiliteran memang terdengar keren, tapi kenyataannya? Urgh, aku saja yang sudah setua ini, Suster Shin, tidak bisa membayangkannya. Aku pasti akan terkena serangan jantung setiap hari jika teringat kalau seseorang yang berharga bagiku, terancam bahaya sepanjang waktu."
Mulut Jimin membulat, membentuk huruf 'o'. Ia tahu seka – tunggu,itu berarti..."Jadi kencan di bioskop yang gagal waktu itu... ADALAH KENCANNYA DAN KAPTEN BANG?!" teriaknya heboh.
Pantas saja Himchan terdengar sangat luwes dan cerdas, eoh? Fakta yang hebat, hanya tercipta dari pengalaman pribadi, 'kan? Tidak ada yang bisa mengalahkan seseorang dalam berargumen, bila topik yang menjadi perdebatan adalah pengalaman pribadi dari seseorang tersebut.
Sial! Himchan mengelabuinya lagi.
"YA, SUSTER SHIN! Kenapa kau berteriak di klinik?!"
########(0o0)########
"Ja. Lenganmu sudah aman." Himchan memberi tepukan pelan, tepat di atas luka yang telah dibalutnya rapi. Senyuman bangga sebagai bentuk dari rasa puas atas hasil kerja yang ia lakukan, menghiasi wajah cantiknya. "Ingat, kau harus membatasi pergerakanmu."
"Urgh, aku akan banyak mengalami kesulitan. Tangan kanan bagiku adalah segalanya."
Gerutuan Yongguk langsung bersambut putaran bola mata.
"Omo, kau seharusnya memikirkan hal itu saat dengan berani menyelamatkan orang dan menjatuhkan diri ke sisi kananmu," celetuk Himchan asal, menggelengkan kepala di tengah kesibukan tangannya mengumpulkan sisa kapas dan kain kasa di meja.
"Aigo, Dr. Kim, bagaimana bisa aku berpikir lurus dalam keadaan terdesak seperti itu!?"
Himchan mengangkat bahu acuh, melemparkan gulungan kain kasa bekas terakhir ke tong sampah di samping kulkas. "Well, kau adalah komandan dari tim khusus. Kupikir, orang-orang sepertimu adalah tipe cekatan layaknya Batman. Atau mungkin kuat, seperti Superman."
Apa baru saja namja cantik ini menjadikan karakter superhero dari cerita fiksi sebagai perbandingan? Untuk Bang Yong Guk?! Apa yang Kim Him Chan pikirkan di dalam otak jeniusnya, memang tidak seorang pun yang mampu menebak. Terkadang dia terdengar begitu rasional, dan terkadang... tidak masuk akal seperti ini.
"Apa kau sedang mabuk? Kau tidak boleh minum-minum saat sedang bekerja. Sudah berapa kali kubilang, kau sering melakukan hal aneh saat sedang mabuk, Hime! Dulu aku sering me—"
Deg!
Bagai ditarik secara paksa ke dunia nyata, Yongguk berhenti. Matanya terbelalak dikala sadar akan apa yang baru saja keluar beruntun dari mulutnya.
Siiiiiiiiiiiiiiiiiiinngg...
Tanpa disengaja, ia melewati batas itu.
Sementara Himchan... dia hanya terdiam, mendadak terpaku di tempat. Kedua marbel hitamnya menatap wajah tampan milik Yongguk lurus, dengan ekspresi yang tidak terbaca.
Hime.
Sudah cukup lama nama itu tidak dialamatkan padanya. Dan sekarang... satu-satunya orang yang memanggilnya dengan nama itu, berdiri di depannya. Menatapnya waswas luar biasa. Wae?
Apa karena Yongguk menyadari, kalau baru saja ia menghancurkan 'mantra' di antara mereka? Mulai dari sekarang... haruskah mereka saling menjauh? Akting mereka untuk berpura-pura sebagai kenalan biasa nyatanya tidak berhasil.
Dan yang terpenting, yang paling Himchan hindari, dia tidak mau dihantui oleh perasaan takut akan ditinggalkan itu lagi. Dia tidak ingin menjadi pihak yang selalu merasa bersalah. Pihak yang selalu menunggu penuh harap.
Dia bukanlah seseorang yang egois. Dia tahu itu. Hanya saja... saat mereka bersama, Himchan selalu meragukan semua itu. Dia bukan Kim Him Chan. Dia tidak menjadi dirinya sendiri; pribadi yang tangguh dan ceria. Yongguk membuatnya menjadi seseorang yang dirinya sendiri pun, tidak kenali—seseorang yang egois.
Bersama dengan Yongguk membuatnya frustasi. Sedih. Himchan merindukan dirinya yang dulu, itulah yang membuatnya melepas namja itu. Tapi sekarang? Setelah semuanya serasa kembali 'normal', Yongguk datang dalam kehidupannya bak sebuah permainan takdir.
Lagi, Himchan dibuatnya sesak.
Kenapa mereka harus bertemu di camp ini?
Oh, Himchan semakin menyesal tidak menerima tawaran untuk menjadi relawan di Afrika waktu itu.
"Hime, ma-maaf, a-aku..."
"Aku sudah mengobati lukamu. Selamat malam, Kapten Bang."
Grab!
Himchan bahkan tidak sempat melangkah saat tangan Yongguk yang lebar meraih lipatan sikunya, menahannya pergi.
"Tidak bisakah kita membicarakannya?"
Suara berat itu berbisik pelan padanya. Seandainya Himchan berbalik, dia pastilah akan melihat ekspresi sendu dan tatapan yang meneriakkan permohonan tersebut. Oleh karenanya, ia menolak untuk berbalik. Bukan hanya Yongguk yang terlihat tidak berdaya saat ini.
"Membicarakan apa?" tanya Himchan getir. "Bagian dimana aku tidak boleh mengkhawatirkanmu? Atau bagian dimana kau menghilang dan tidak memberiku kabar apa-apa? Huh, itu akan menjadi pembicaraan yang sangat panjang, Kapten Bang. Lima tahun bukanlah waktu yang sedikit. Kau tidak bisa meringkasnya ke dalam sebuah pembicaraan sederhana."
Diam.
Yongguk hanya bisa diam.
Entah kenapa Himchan sudah menduganya.
Apa karena dari dulu Yongguk memang seperti itu? Kenapa namja ini bisa berpikir, diam akan menyelesaikan masalah? Tidak. Diam hanya membuat permasalahan semakin memburuk. Apa Yongguk tidak melihat apa yang terjadi pada mereka sekarang?!
"Huh, wah, kkkk... kau tidak berubah." Nada takjub penuh ironi begitu kental menguasai suara Himchan. Ia seolah ragu; terjebak di antara dengusan takjub, serta tawa sinis. "Kalau tidak ada yang ingin kau bicarakan, aku pergi." Himchan menyentak lengannya dari cengkeraman Yongguk. Berjalan pergi hanya untuk berhenti mematung di tempat saat mendengar bisikan lirih itu.
"I love you so much, Hime."
DEG.
"I always love you. It never change."
Deg, deg, deg, deg...
Himchan benci jantungnya yang masih saja berdebar kencang saat mendengar suara berat dan dalam itu, membisikkan kata-kata tersebut padanya. Himchan juga benci otaknya yang berteriak, menyuruh dengan seenaknya agar dia membalas ungkapan Yongguk dengan kata-kata yang nyaris sama. Ini tidak adil.
Kenapa Bang Yong Guk begitu mempengaruhi dirinya?! Seolah... setiap sel di tubuhnya menginginkan namja itu; pelukan hangatnya, bisikan lembutnya, senyumnya yang cemerlang, dan, kata-kata cinta darinya yang begitu tulus. Semua itu, hanya untuk Kim Him Chan seorang.
'I love you too. Always.'
Ini tidak adil.
Melakukan satu-satunya hal yang sangat ingin dilakukannya sedari tadi, Himchan berlalu pergi. Tanpa menoleh, meninggalkan dapur dengan langkah pasti. Meninggalkan Bang Yong Guk yang tidak bisa berbuat apa-apa selain menatapi punggungnya yang menjauh.
"I love you, Hime."
Terkadang, saling mencintai saja tidaklah cukup. Butuh kehadiran dua insan untuk menyatukan dua hati. Bukannya satu insan, yang terus-menerus merindukan kehadiran hati yang lain. Yongguk bukanlah bulan. Dan Himchan sudah lama lelah menjadi seekor pungguk.
FIN(?)
(NEXT) iKON
