Hetalia: Axis Powers © Hidekaz Himaruya. Tidak mengambil keuntungan materiil dari pembuatan fanfiksi ini.
catatan: (1) sudut pandang orang pertama hong kong. (2) female! hong kong. nggak tahu kenapa saya lebih suka bayangin hong kong versi perempuan dan dia adik yang diperebutkan kakak-kakak laki-lakinya (...). (3) canon. saya lagi ngebetahin diri di fandom ini demi persiapan sbmptn juga kray.
Hanya perasaanku saja atau atmosfer di ruang makan pagi ini terasa suram? Seperti ada awan mendung di atas kepala mereka semua. Aku mengetuk jemariku di atas meja, sekadar mencoba untuk mengganggu suasana. Hanya aku satu-satunya yang sudah menghabiskan sarapanku, dan yang lain seolah-olah makan dengan tempo dilambat-lambatkan. Aku melirik Taiwan, barusan tidak ada cekcok perebutan lauk antara dia dengan Vietnam, padahal kupikir itu bagaikan rutinitas sehari-hari mereka dan bukannya diam.
Aku memecah keheningan. "Aku sudah habis."
Tak ada jawaban.
Semuanya menatap sarapan mereka dengan tatapan kosong. Memangnya ini kesepakatan untuk saling mendiamkan satu sama lain atau apa? Iya, sih, aku nggak tahu kenapa, tapi semalam sayup-sayup aku mendengar ada pembicaraan yang kayaknya serius dan hanya akulah satu-satunya suara yang tidak hadir di sana. Aku ingin sekali ke luar kamar dan ikut campur dalam konversasi, tapi aku nggak bisa melawan rasa kantukku, jadi aku melanjutkan tidur dan batal mencuri dengar.
Aku meninggikan suara. "Hei!"
Sumpit Japan terjatuh. Semua terkejut, mengangkat kepala.
Aku menatap mereka semua, agak lama, sebelum memutus jeda. "Aku yang habis pertama, nih?" kukerutkan kening. Pandanganku berhenti, aku lurus-lurus memantulkan mata China yang duduk tepat di seberangku. Aku nggak pernah habis lebih dulu daripada China. Dia yang tertua dan selalu menyuapiku kalau aku belum habis juga.
"Oh," China seperti sadar bahwa ia harus bicara tapi tidak tahu apa, "uhm, tunggu sebentar, Hong Kong."
"Tak masalah," kuangkat bahuku. Lagipula, aku nggak seterburu-buru itu buat menyuruh mereka cepat-cepat menghabiskan. Mata yang menuju padaku kembali tertunduk lagi, dan aku baru akan memutar kepala entah menatap apa, ketika mendengar suara ketukan di pintu.
Ada tamu.
Semuanya berpandangan. Aku memperhatikan ekspresi yang mereka lemparkan satu sama lain, aku berani yakin mereka tahu apa yang tidak aku tahu, dan aku paling nggak suka itu! Aku berdiri sebelum ada yang sempat bertindak. "Biar aku saja yang buka pintunya," kataku cepat-cepat. Aku ingin tahu, aku ingin juga tahu.
"Tunggu, Hong Kong—"
Aku mengabaikan suara South Korea, setengah berlari menuju ruang utama dan membuka pintu depan yang menghubungkan langsung ke halaman depan di luar. Hanya ada sesosok di balik pintu itu, memakai setelan serba hitam. Penagih hutang atau apa? Mungkin biaya untuk listrik bulan ini melonjak. Beberapa minggu yang lalu Japan pernah ketiduran di ruang televisi dan membiarkannya menyala sampai pagi.
Lamat-lamat wajah yang kupikir asing mulai semakin jelas, dan aku ingat warna rambut pirang serta alis tebalnya. Ini England, kalau tidak salah. Dulu sekali, aku sempat melihatnya sekilas datang ke rumah ketika China yang membukakan pintu, dia datang membawa kardus berisi kiriman barang entah apa. Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu, sebelum datang masa di mana China mulai jarang ada di rumah. Katanya, ia sedang berjuang mempertahankan tanahnya, dan dia menambah bahwa aku baru akan paham artinya di masa depan.
"Maaf Gadis Kecil, mengganggu kegiatan pagi-pagi kalian," ia memperkenalkan diri, mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sederhana, bendera negaranya, Union Jack seingatku namanya, dengan ukuran sudah diperkecil, dengan tiang tiruan dari biting pendek. Dia tahu benar bahwa aku, yang anak-anak ini, suka dengan ide pemberian mainan di pertemuan pertama. "Mau?"
Aku tak perlu berpikir panjang untuk langsung menyambar dengan senyuman lebar. Aku mengibarkannya dan tertawa kecil, sebelum sadar bahwa sungguh tindakan yang tidak sopan untuk tidak segera mempersilakan tamu masuk. "Oh," aku terkejut sendiri dengan kesadaranku yang terlambat. "Ada yang bisa kubantu?"
"Kamu Hong Kong, 'kan?"
"Ya, lalu?"
"Kedatanganku ke sini untuk bertemu dengan China," England menjawab tidak nyambung, kenapa dia bertanya bahwa apakah aku Hong Kong atau bukan kalau selanjutnya menyampaikan bahwa dia ingin bertemu dengan China? "Ada?"
Aku melempar pandanganku ke belakang, kemudian mengembalikannya lagi. Kalau yang membukakan pintu untuk tamu adalah aku, atau Taiwan, atau mungkin Vietnam, ada peraturan tak tertulis bahwa kami para anak kecil diharuskan untuk memperpanjang basa-basi sampai ada yang dewasa datang menyusul. Aku menjawab seadanya saja. "Baru aku yang sudah menghabiskan sarapanku."
"Kalau begitu, boleh aku titip pesan?"
Kukerutkan kening. Aku belum pernah mengalami yang satu ini sebelumnya. Apakah dia buru-buru? Kuharap saja pesannya tidak panjang agar aku tidak melewatkan poin yang mungkin sebenarnya penting.
"Aku nggak pergi, kok," England seperti bisa membaca pikiranku. "Aku tetap di sini. Yang kumaksudkan adalah pesan untuk China, yang begitu kamu terima, kamu bisa masuk ke dalam rumah dan sampaikan kepadanya. Karena aku nggak mungkin serta-merta masuk dan bikin recok acara sarapan bersama terakhir kalian, 'kan?"
Sarapan bersama apa, katanya?
"Oh," ia tersenyum melihat perubahan air mukaku. "Kamu belum tahu?"
Aku menelan ludah. Gerakan tanganku yang melambai-lambaikan bendera kecil negaranya berhenti tiba-tiba. "Belum tahu soal apa?" di kepalaku seolah terdengar alarm siaga satu berbunyi, aku mengubah nada bicaraku menjadi waspada—sekalipun mungkin sia-sia karena aku masih belum berpengalaman soal mengatasi bahaya.
"Ini sarapan terakhirmu bersama saudara-saudaramu."
Aku merasa salah dengar. Aku? "Apa?"
"Wah, kamu benar-benar belum tahu, ya?" tangan England terjulur untuk mengelus kepalaku, tapi aku tidak membiarkannya bertahan lebih dari dua detik karena segera kutepis buru-buru. Bahaya, bahaya, bahaya. Orang ini berbahaya! Aku mundur selangkah, tapi ia hanya tertawa kecil, melanjutkan. "Mulai pagi ini, kamu ikut aku."
China selalu mengajarkanku untuk jangan mudah percaya pada orang asing, dan seharusnya itulah yang aku lakukan. Bukannya terus mengejar begini. "Kenapa?"
Tapi bukan jawaban dari pertanyaanku yang England katakan kemudian. Ia memiringkan kepala, menimbang-nimbang, dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke topik awal; menyampaikan pesan. "Sampaikan pada China dan saudara-saudaramu yang lain di ruang makan, kalau England sudah datang untuk menjemput saudaranya yang baru."
"Lalu, saudara yang baru itu ..."
Senyum England terulas. "Iya. Kamu, Kecil."
Aku membanting pintu.
Apakah aku harus percaya? Tapi, kenapa China tidak pernah cerita? Aku memang yang paling muda, yang paling merepotkan, yang mungkin paling tidak diharapkan ada. Tapi kalau memang eksistensiku semengganggu itu bagi mereka-mereka, apakah mereka bisa melemparkanku begitu saja dan dengan mudah memutus hubungan saudara?
Aku berjalan ke ruang makan dengan pikiran yang kacau-balau. Begitu kakiku menapak di sana dan kutatap semuanya, mereka sudah menghabiskan sarapan mereka, tatapan mereka semua diarahkan padaku, menungguku. Aku muak. Aku berkata datar. "Aku menyampaikan pesan kalau England sudah datang untuk menjemput aku, saudaranya yang baru."
Tidak ada reaksi.
Aku lurus-lurus menatap China. "Kenapa?"
China berdiri dari kursinya, mendekatiku, berlutut agar bisa sejajar dengan wajahku. Tangannya terangkat untuk mengelus kepalaku, tetapi lebih parah lagi kali ini, aku sudah menepis sekaligus menjauh bahkan sebelum ia sempat mendaratkan tangannya. Aku patah hati. Apakah arti sesungguhnya dari saudara memang seperti ini? Kalau kita menyenangkan akan diajak main bersama, tapi kalau menyusahkan diusir pergi?
China menatapku, menarik napas. "Karena itu perjanjiannya."
"Berapa lama?"
Tidak ada suara untuk membalas. Aku tak percaya.
"Selamanya?"
Kubaca ekspresi sedih di sana, tapi bukan itu yang aku inginkan. Ini perpisahan, tapi aku butuh jawaban. Aku mengangkat kepala, kutatap mereka-mereka, saudara-saudaraku, yang memaku diri di kursi masing-masing. Mereka membalas tatapanku, mereka sedih, tapi hei, aku juga sedih. Aku lebih sedih! Mereka tidak bisa berbuat apa-apa? Hajar, tendang, atau bagaimana?
"Serius? Selamanya?" aku mengulangi lagi, suaraku seperti tercekat dari tenggorokan. Begini saja? Hanya sarapan suram dan pintu diketuk dan aku hengkang? Semudah ini, pagi-pagi aku angkat kaki, tak tahu kapan bisa kembali?
Aku menggigit bibir dan berlari kembali ke ruang utama.
"Hong Kong!"
Panggilan dari semuanya tidak kugubris.
Kubuka pintu dengan suara keras. England masih di luar, senyumnya yang terbentuk tiba-tiba langsung lenyap begitu melihatku, karena mungkin dia mengira yang membuka pintu adalah China, apalagi ketika melihat ekspresi wajahku yang tak keruan. "Hei—"
Aku tidak melepas sandal rumahku, aku tidak menggantinya dengan sepatu, aku tidak membawa mainan, boneka kesayangan, atau apa pun yang selalu kumainkan, bendera kecil Union Jack yang tadi di tanganku sudah terlepas entah kapan, entah terjatuh di mana. Aku menutup pintu dengan membantingnya. Air mataku menggenang ketika aku setengah meneriakinya. "Kita pergi!"
"Apa?" sepertinya bukan kejadian seperti inilah yang England harapkan terjadi. Hah, aku pun juga tidak mengharapkan kejadian yang sama.
"Yang melakukan upacara penyerahan formal secara simbolis atau apalah, itu orang-orang kita, 'kan? Yang perlu dilakukan olehmu hanyalah menjemputku agar tinggal di rumahmu? Itulah tepatnya yang akan kita lakukan," aku langsung ambil langkah, asal saja, meninggalkannya sekalipun aku tidak tahu di mana rumahnya. "Terima kasih karena toh mereka sejak awal nggak pernah menganggapku saudara mereka!"
Aku berlari, lurus saja, aku nggak tahu ke mana. Kalau aku tersesat, ya, biarlah! Aku bisa hidup dan mati sendiri. Nggak pernah ada yang menginginkanku. Semua akan bersyukur kalau aku lenyap. China, Japan, semuanya, mereka nggak pernah sedetik pun betah atas kejahilan-kejahilan yang aku perbuat, dan England semata-mata mengangkatku sebagai saudara hanya karena itulah yang harus ia lakukan.
Saudara itu apa? Kita dijadikan saudara karena apa?
Aku tidak tahu sudah seberapa lama aku berlari, tapi seringkali Vietnam mengajakku jalan-jalan sore, dan aku belum pernah melintas di jalur ini. Sudah bukan tanah lagi, tetapi kakiku menjejaki jalanan beraspal. Sepertinya kendaraan akan lewat di jalur ini hanya saja aku belum melihat satu pun karena masih pagi. Lututku sudah letih, tapi aku harus berlari, dan ketidakmampuan tubuhku melakukan apa yang aku inginkan itulah yang membuatku jatuh terjerembab.
Perih.
Lututku berdarah—rok yang kukenakan hanya selutut sehingga lututku saja yang membentur aspal, tanpa lapisan apa pun. Sakit. Tapi masih lebih sakit hatiku. Berbekal keyakinan bahwa apa pun serangan fisik yang mendarat tidak akan sebanding dengan perasaanku saat ini, kusingkirkan bulir-bulir pasir yang menempel pada luka. Aku mengelap darah dengan kaos lenganku. Sakit.
Aku meluruskan kakiku dan mulai menangis. Satu per satu kendaraan melintas, tapi tak ada satu pun yang berhenti meskipun aku merasakan tatapan mata dari si pengemudi. Sakit, sakit, sakit. Bukan karena luka ini, tapi luka itu. Luka permanen dan sepertinya takkan pernah bisa hilang yang menyayatku beberapa menit lalu. Kini aku sendiri.
Suara langkah mendekat. Aku belum sempat menengok ke belakang ketika sudah melihat England, jongkok di samping kedua kaki yang kuluruskan. Mengamati lukaku. Tanpa suara ia mengeluarkan tisu dari sakunya, hendak membersihkan lukaku.
Dari segala keterkejutanku atas kehadirannya, kutepis tangannya. "Nggak usah coba-coba melakukan apa-apa."
Entah dia puasa bicara atau bagaimana, tapi England hanya menatapku. Ia mengubah posisi duduknya menjadi bersila, sebelah tangannya menyingkirkan tanganku perlahan, memindahkan ke pangkuanku. Aku terdiam. Sebelum ia mulai membersihkan, dilemparkannya tatapan, meminta perizinan, dan aku mengangguk. Percakapan yang terjalin barulah sepihak saja karena kata-kataku belum dibalas, namun aku merasa tak keberatan dengan itu.
Rumah tak pernah sunyi dari suara. Teriakan dan obrolan di sana-sini, kita menganggap bahwa hening berarti ada yang tidak beres. Selalu saja ada yang memprotes apabila semua penghuninya diam barang sepuluh detik, entah itu mengetukkan jemari ke atas meja seperti yang kulakukan, atau dengan cara China yang mengerutkan kening berseru, "Kenapa kalian semua diam?"
Tapi, selagi England membersihkan luka di lututku, aku menatapnya. Tak ada beban pikiran yang terbaca di raut mukanya menyikapi keheningan di antara kami berdua. Mungkin aku harus membiasakannya sekarang, bisa jadi memang ada saatnya kita untuk bicara dan ada juga saatnya untuk menghargai senyapnya suara.
"Tahu salahmu di mana?"
Rahangku mengeras. Aku tidak sudi dikuliahi. "Aku bukan anak kecil yang nggak tahu apa-apa. Aku jelas tahu kenapa aku bisa jatuh konyol begini. Karena aku memaksakan diri berlari."
"Bukan itu," England menggelengkan kepala. Ia sudah selesai membersihkan lukaku, dan aku duduk bersila, kami berhadapan di tepi jalan raya. "Kamu yang jatuh dan berdarah memang konyol. Tapi lebih konyol lagi caramu menyikapi perpisahan dengan banting pintu dan lari."
Aku memutar bola mata. "Kamu nggak tahu rasanya nggak diinginkan."
Diam sejenak. "Begini," England memutuskan untuk tidak membahas itu dan aku sesungguhnya terusik—aku tadi membalas tanpa berpikir dan sekarang aku jadi bertanya-tanya apakah dia memang tidak tahu rasanya ditinggalkan atau tidak. "Setelah ini, kita kembali ke sana. Kalian berbaikan, kalian berpisah dengan baik-baik, janji untuk saling rindu—"
"Balik ke sana lagi, serius? Hah, China membuangku padamu! Dia nggak berusaha mempertahankanku, dan sekarang aku yang kausuruh berdamai dengannya? Aku sudah bukan saudaranya atau saudara satu pun dari mereka sekarang!"
England menatapku lama. Ia berbeda dengan beberapa menit yang lalu, yang dengan senyuman licik menjelaskan bahwa aku adalah saudaranya kini. Sifat arogannya menghilang sama sekali. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana sepenuhnya arti dari sorot mata yang kuterima, karena masih ada sisi diriku yang belum mau menerima kehadirannya. "Kamu masih ... sakit hati?"
"Tentu saja, memangnya aku berhati batu sepertimu?" aku tersinggung. "Aku bukan kamu! Aku terkhianati oleh saudara-saudaraku yang sudah selalu main dan makan bersama, dan aku nggak akan pernah mau ke rumah itu lagi."
"Ada yang salah di pikiranmu sekarang, dan seharusnya aku memaklumi itu, tapi tidak," England berdiri, mengulurkan tangannya. "Kecil, kamu harus tahu kalau ada di dunia ini yang nggak sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Tapi sekarang kamu harus berbaikan dengan saudara-saudara lamamu karena mereka nggak mengkhianatimu seperti apa yang kamu kira."
Aku tidak percaya padanya. Aku berdiri dengan kekuatanku sendiri, aku menepis tangannya yang terulur dengan penuh kemenangan karena aku tidak butuh bantuannya. Tapi rasa tidak percayaku didorong oleh rasa ingin membuktikan bahwa ia salah, jadi alih-alih membantah, aku justru menantangnya. "Jadi, kamu pikir bahwa saudara-saudaraku masih menginginkanku, dan mereka melepaskanku dengan alasan sesederhana 'nggak punya cukup kekuatan untuk mempertahankannya'?"
England mulai melangkah, dan aku mengikuti, sekalipun canggung. "Simpan pertanyaanmu untuk nanti. Prioritas pertama adalah sikap dan sopan santun. Buang keegoisanmu, berbaikan dengan mereka."
Aku sangsi.
Oke. Oke, aku akan melakukannya. Aku mengiyakannya untuk membuktikan bahwa ia salah tentangku, tentang apa yang ia tahu, dan tentang apa yang ia pikir ia tahu.
Aku yang mengetuk pintu. Dibuka sendiri oleh China.
"Hong Kong?" bola matanya melebar. Aku jelas melihat kedua matanya sembap.
Kesunyian yang merambati tiang-tiang penyangga dan merayapi dinding-dinding rumah membuat suara China terdengar sampai ke dalam, dan bersamaan dengan itu aku melihat wajah saudara-saudaraku yang lain tersembul. Mereka semua terkejut, mendekat. Aku menelan ludah.
China menatap England. "Apa yang—"
England mengangkat sebelah tangannya. Sekadar untuk menghentikan China berbicara. Tetapi dengan kakinya, ia menyenggol kakiku, dan seketika aku tahu apa maksudnya. Aneh, padahal baru beberapa saat kami saling bicara—dan percakapan yang terjalin di antara kami tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. Aku meliriknya. Ini saatnya aku bicara, saatnya ia untuk diam. Dari kebersamaan kami yang baru sebentar, dia sudah memberiku satu pelajaran.
Aku menundukkan kepala. "Aku minta maaf. Tadi caraku berpisah sama kalian itu benar-benar buruk. Yang terburuk dari yang terburuk."
China seperti mengatakan sesuatu, tapi tak jelas, dia terlalu terkejut untuk menerimanya. Aku mengangkat kepala dan melihat ia tak mampu membalas tatapanku, dan alih-alih melakukannya, ia menatap England. "Apakah kamu nggak keberatan kalau kamu memberi kami waktu sebentar?"
England mengangkat bahu. Hemat bicara, tahu tempat, selalu.
China membawaku masuk.
Aku mencoba tersenyum. Aku mencoba percaya bahwa mereka menyayangiku, bahwa mereka menginginkan aku ada. Tapi hari ini masih pagi, dan luka itu bahkan belum bertahan lebih dari dua jam. Aku melihat air menggenangi kedua mata China, dia benar-benar tidak menyangka bahwa aku memberinya waktu untuk bicara. Pun yang lainnya.
China bercerita panjang lebar, mulai sejak kedatangan England kali pertama ke rumah dan negosiasi yang terjadi di antara mereka berdua. Kronologis perang di antara keduanya, kekalahan China, dan betapa perjanjian itu merugikannya sangat. Ia kehilanganku. Entah sampai kapan, tidak ada yang tahu.
Tapi aku tidak begitu mendengarnya. Pandanganku mengabur, kepalaku hampa rasanya. Jangankan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, aku tak yakin aku sepenuhnya meresap semua kalimat-kalimat China. Aku serasa kosong. Aku kenapa? Ada yang aneh denganku. Kenapa aku sebegini jahat—aku sama sekali tidak menghayati perpisahan ini. Aku bahkan tidak merasa kehilangan.
Kenapa?
"Kami semua akan menunggumu di sini. Kami juga akan berjuang agar kamu bisa pulang secepat mungkin," aku tahu China sungguh-sungguh mengatakannya. Namun aku ragu.
Dia bukan lagi saudaraku. Mereka semua bukan lagi saudaraku. Sekarang aku diangkat menjadi saudara oleh England, tapi aku tidak mau menerima dengan mudah kata 'saudara'. Kata 'saudara' seolah-olah suatu ikatan, yang membuat masing-masing percaya bahwa mereka tidak akan saling menyakiti dan mengkhianati, tapi sebenarnya mereka sedang melakukannya.
Semuanya bohong besar! Jangan pernah menanggalkan hati di suatu tempat karena di setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Di setiap hubungan pasti akan diputus juga. Sekalipun itu hubungan yang seharusnya permanen seperti saudara. Nyatanya apa? Kata-kata manis yang dikatakan mereka, tisu yang disebarkan Japan ke lainnya, mereka semua toh akan melupakanku begitu aku tidak ada.
China menggandengku ke luar, dan berbicara sebentar dengan England. Setelah itu ada bisikan-bisikan yang ia sampaikan padaku, tapi aku tidak menyimaknya. Ia mengelus kepalaku, satu per satu semua saudara lamaku melakukannya, kemudian sudah. Sekeliling yang awalnya bising tak jelas, yang seperti suara microphone yang melengking, kini menjadi sunyi dengan onomatope pintu tertutup. Blam.
Lalu ada suara England.
"Apa yang kaurasa sekarang?"
"Oh, aku jadi tahu satu hal," aku berbalik badan, tak memandangnya. "Bahwa adalah benar untuk tidak memercayai ikatan yang bernama saudara."
"Apa?"
Aku sudah mengambil langkah dan tidak memedulikan panggilannya. England mencoba mengajakku bicara tapi aku tak membalas, dan ia tahu bahwa sepertinya percuma untuk mencoba memaksaku, jadi pada suatu titik, ia memilih untuk diam.
Pagi itu, aku sadar bahwa saudara tidak seindah apa yang aku tahu.
