Note: Goooomeeennn neee!!!! karena banyak kesalahan dan typo sewaktu publish pertama kali. Maka saya kembali memperbaiki fic ini. Dan fic ini adalah hasil editan saya. Sekali lagi Gomenasai jika masih ada kesalahan dalam pengetikan T.T Bagi yang sudah membaca publishan yang pertama, silahkan membaca lagi supaya lebih mengerti karena ada sedikit yang ditambahkan.
Attention!!! rukii nightray kembali datang dengan sebuah fic yang berbumbu mystery!!! *alah!*. Tapi kali ini bukan di fandom bleach O_o Maka dari itu mohon dukungannya (-/\-)
Semoga kalian suka^^. Selamat membaca…
disclaimer # Gosho Aoyama
genre # Mystery, Friendship and Supernatural
Ginko no Rythm
Rhapsody 1: Rendezvous
Seorang gadis berambut sebahu berwarna pirang kecoklatan bersembunyi di belakang pohon ginko besar. Jantungnya berdegup begitu kencang. Napasnya tersengal-sengal. Matanya yang bulat berwarna hitam terpejam. Wajahnya pucat. Keringat mengalir di pelipisnya. Di dalam hatinya ia terus berdoa agar kedua orang berjubah hitam itu tidak mengejarnya sampai ke tempat ini.
"Hei, keluar kau! Kau pasti bersembunyi di sekitar sini kan?!" teriak seorang pria berjubah hitam yang berpostur badan gemuk. Ia mengangkat tokallevnya ke atas. Temannya yang berbadan kurus hanya berdiri diam saja di sebelahnya, tapi matanya tidak mau beralih dari sebuah pohon ginko besar di hadapannya.
"Gin? mau kemana?" tanya si pria gemuk saat melihat temannya berjalan meninggalkannya ke arah pohon ginko itu. Ia pun mengikuti langkahnya dari belakang.
Mendengar suara langkah kaki yang berat itu semakin mendekat, jantung si gadis semakin berdegup kencang. Ia tidak bisa lari. Sebelumnya, kaki kirinya telah terkena tembakan si pria gemuk. Ia pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya, agar suara bahkan desahan napasnya yang begitu lelah tidak terdengar.
"GYAAAAA!!!!" stun-gun mendarat dengan cantik di leher si gadis. Pandangannya menjadi kabur. Reaksi aliran listrik yang dikeluarkan oleh stun-gun itu telah membebani syaraf-syaraf di seluruh tubuhnya secara berlebihan untuk sementara waktu. Si gadis merasakan sakit yang luar biasa di dalam tubuhnya, bagaikan terkena sebuah sambaran halilintar.
Tubuh si gadis pun terjatuh. Ia tidak bisa menggerakkan semua anggota tubuhnya. Hanya indera pendengarannya yang sedikit berfungsi.
"Gin, kau menggunakan stun-gun?"
"Ya… aku tidak mau mengambil resiko menggunakan pistol yang tidak menggunakan peredam suara dan pada akhirnya hanya akan mengundang orang. Dia sudah tahu wajah kita. Segera bereskan tanpa sisa."
###
Musim dingin telah tiba. Tanaman-tanaman mulai memucat. Putih tertutup butiran salju yang bagaikan kristal langit. Angin dingin pun semilir berbisik di jalan. Menusuk hingga ke tulang.
Aku melangkahkan kakiku tanpa minat. Di sebelahku, seorang gadis berambut hitam panjang berjalan mengiringi langkahku. Ia berbicara tanpa henti. Senyumnya ditebarkan kemana-mana. Tangannya sesekali terangkat menunjuk ruangan-ruangan yang ia sebutkan. Lalu, ia pun menoleh padaku, aku hanya mengangguk sesekali. Terus seperti itu kegiatanku selama sejam ini. Ia lebih terlihat seperti seorang pemandu wisata professional daripada seorangn ketua osis.
"Di sepanjang koridor ini adalah ruangan klub-klub budaya dan seni. Yang ini ruang klub ikebana dan yang sebelah kanan ini adalah ruang klub minum teh."
"…dan yang terakhir ini… adalah ruang musik." imbuhnya sambil menghentikan langkah kakinya di depan sebuah ruang musik. Ia pun lalu berbalik dan kemudian tersenyum menatapku.
"O…oh." gumamku karena terkejut melihat ketua osis yang tiba-tiba mengehentikan langkahnya. Ia masih tersenyum padaku.
"Boleh aku melihat-lihat ke dalam?" tanyaku mencari alasan untuk lepas darinya yang terus-menerus tersenyum padaku. Apa… senyumnya itu merupakan suatu penyakit permanen??
"Kau yakin? Ruang musik yang ini sudah lama tidak digunakan. Sekarang, hanya menjadi tempat penyimpanan alat-alat musik. Kalau kau mau, lebih baik lihat saja ruang musik yang baru di bagian depan." jawabnya dengan nada skeptis, tapi masih sambil tersenyum.
Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak, terimakasih. Aku mau lihat ruang musik yang ini saja. Lagipula, sudah terlalu sore," kataku dengan nada ramah agar tidak menyinggung perasaannya. Sebenarnya, aku hanya tidak mau masuk ke dalam ruang musik yang baru itu karena ruangan itu hanya dipenuhi oleh para gadis-gadis yang sebenarnya sama sekali tidak bertalenta dalam bermusik. Mereka bahkan tidak tahu bagaimana membedakan flute dengan clarinet. Bagiku, mereka hanya sekumpulan orang bodoh yang ingin memperlihatkan eksistensi dirinya pada ketua klub musik yang berwajah tampan itu.
Bukannya aku benci dengan mereka. Hanya saja, sikapnya yang berlebihan bagiku sangat… hmm… mungkin… menjijikan? maaf. Saat tadi pagi aku masuk ke ruangan itu. Gadis-gadis itu langsung menghambur ke arahku dengan mata yang berbinar-binar. Mereka mengerubungi diriku seakan-akan aku adalah kappa atau makhluk luar angkasa. Belum lagi, matanya yang berbinar-binar saat melihatku. Sejak saat itu, aku trauma dan tidak mau lagi masuk ke sana. Padahal, aku sangat ingin bermain musik.
Si ketua osis yang sangat murah senyum itu kemudian mengangguk dan membukakan pintu ruang musik untukku. Sepertinya memang sudah lama tidak terpakai. Terdengar dari suara pintu tuanya yang berdecit saat digeser dan debu yang menyeruak keluar saat pintu dibuka lebar-lebar.
"Mau masuk?"
"Tentu saja."
Ruang musik itu tidak terlalu besar. Walaupun penuh debu, tapi terlihat sangat terawat. Alat-alat musik tersimpan rapi di tempatnya masing-masing. Di dekat jendela terdapat sebuah grand piano berwarna hitam. Di sebelahnya terdapat sebuah lemari yang memajang berbagai alat musik yang berukuran sedang seperti, biola, flute ataupun clarinet. Di sebelah kiri pintu masuk, cello berdiam dengan anggunnya.
"Sepertinya Kyogoku-san sangat suka musik ya?" tanya ketua osis saat melihatku menyentuh grand piano dan mengelusnya dengan lembut, melekatkan debu-debu itu ke tanganku.
"Begitulah. Kau tidak suka Mouri-san?" jawabku sambil membuka lemari yang berisi biola dan mengambilnya sebuah.
"Tidak juga. Aku suka. Hanya saja, aku tidak bisa memainkan alat musik. Kau bisa memainkan salah satunya?" tanya ketua osis –Mouri Ran- sambil berjalan menghampiriku.
"Ya."
Aku pun meletakkan biola itu kembali ke tempatnya. Aku tidak mau memainkan sebuah alat musik yang bukan milikku. Rasanya seperti ada sesuatu yang hampa. Karena alat musik milikku itu telah menemaniku sejak aku masih kecil. Ia sudah seperti teman bagiku.
Aku pun mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan itu. Ruangan ini kurasa masih layak digunakan, tetapi mengapa tidak dipakai? Dan tiba-tiba saja, mataku tertuju pada sebuah jendela besar yang seperti memperlihatkan sebuah lukisan indah kumpulan pohon-pohon ginko kepadaku. Aku pun menghampiri jendela itu dan membukanya.
Seketika angin musim dingin mengalir masuk. Angin yang dingin itu seolah menghujam dengan keras tubuhku yang tanpa perlindungan jaket ataupun cardigan. Aku pun dengan segera, kembali menutup jendelanya.
"Maaf. Entah mengapa, aku tertarik melihat kumpulan pohon ginko itu."
"Tidak apa. Kumpulan pohon ginko itu memang menjadi pemandangan yang indah dari tempat ini. Semua juga setuju. Bahkan, kepala sekolah ingin membuatnya menjadi taman sekolah. Hanya saja… sampai sekarang hal itu belum terlaksana." ucap Ran menanggapi sambil mendekatiku dan ikut melihat ke luar jendela.
"Mengapa? Tentu hal itu akan menjadi sesuatu yang menarik bukan?"
"Kau lihat… pohon ginko yang di pinggir itu? yang paling besar itu…" tanya Ran seraya jari telunjuknya mengarah ke pohon ginko yang terlihat paling besar dari yang lainnya itu.
Aku mengangguk. "Ya, aku lihat."
"Jika hendak dijadikan taman, maka, pohon ginko yang paling besar itu harus ditebang agar dapat menjadi jalan masuk. Tapi…"
"Tidak bisa ditebang…?" tebakku asal. Tanpa disangka, Ran pun mengangguk.
"Ya. Setiap akan ditebang pasti ada saja pekerja yang mengalami sakit atau kecelakaan. Atau bahkan hujan turun terus-menerus. Lalu, ada juga yang bilang pernah melihat hantu disana. Jadi, walaupun indah dipandang, tempat ini terkenal sebagai salah satu tempat mengerikan di Teitan. Maka dari itu, ruang musik ini, yang langsung mengarah ke tempat itu pun jarang didatangi para murid yang takut akan cerita hantu. Dan ruangan ini jadi tidak terpakai lagi." jawab Ran dengan sebuah senyuman dan tanpa rasa takut sedikit pun.
"Ketua, sudah waktunya rapat osis." ucap seseorang yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.
"Baiklah. Sepertinya aku harus segera pergi. Kau mau kembali bersama kami atau masih ingin disini?" tanya ketua osis yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Kalian duluan saja. Aku masih ingin disini." jawabku setelah menimbang-nimbang. Ran pun tersenyum dan kemudian melangkah keluar ruang musik.
Aku pun kembali menatap kumpulan pohon ginko itu di dalam keheningan. Warna daunnya yang kuning cerah seperti menarikku. Entah mengapa… rasanya ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang lebih baik tidak boleh kuketahui. Tapi, sesuatu itu seolah-olah memanggilku, seperti meminta pertolongan kepadaku. Sesuatu itu… telah lama menungguku.
Tiba-tiba saja, aku merasa seperti mendengar sebuah suara merintih dari arah kumpulan pohon ginko itu… Apakah rumor adanya hantu itu benar?
###
Keesokan harinya. Entah mengapa, aku ingin sekali bermain di ruang musik tua itu. Kali ini, aku membawa biolaku sendiri. Biola yang telah menjadi temanku sejak aku masih berumur 6 tahun. Walaupun sudah lama, tentu aku bisa menjamin suaranya.
Aku pun meminjam kunci ruang musik itu pada ketua osis. Sesaat, ia heran. Kemudian mengeluarkan senyum sejuta voltnya dan menyerahkan kunci itu kepadaku. Mungkin, aku dianggap orang aneh baginya. Siapa juga yang mau datang ke tempat berhantu? Tapi aku tidak peduli. Toh, aku juga menganggap aneh dirinya.
Aku membuka pintu dengan pelan agar tidak menimbulkan suara. Untuk kedua kalinya, aku menginjakkan kaki di tempat asing ini. Dan perasaan aneh itu kembali menyelimutiku. Bukan perasaan aneh karena takut dengan rumor berhantu tentu saja. Tapi perasaan aneh berupa kumpulan emosi yang kuat. Emosi yang kuat itu begitu intens dan komprehensif.
Kubuka resleting tas biolaku dan mengambil biola di dalamnya. Aku pun melangkahkan kakiku perlahan ke tengah-tengah ruangan. Berdiri dan terdiam dalam keheningan. Kemudian, aku pun mengambil napas dan memulai permainan biolaku.
Suara permainan biolaku bergaung memenuhi ruang musik yang sempit. Gelombangnya memantul dan sampai di indera pendengaranku, sehingga aku pun bisa menentukan mana nada-nada salah yang tidak sengaja telah kumainkan.
'KREK'
Suara ranting kayu yang terinjak seseorang di luar sana telah mengagetkanku. Aku tahu bagi kalian ini terdengar aneh, karena mustahil mendengar suara ranting kayu yang begitu pelan di tengah-tengah permainan biolaku yang meraung-raung. Tapi aku diberi sebuah keistimewaan sejak aku lahir ke dunia ini. Indera pendengaranku lebih tajam dari orang pada umumnya.
"Ada orang di luar?" tanyaku dengan suara yang sedikit keras. Tapi, tidak ada jawaban. Aku pun meletakkan biolaku di atas meja dan mengambil syal untuk melindungi leherku dari rasa dingin ketika aku membuka jendela itu. Aku yakin, pasti ada orang di luar. Aku bisa mendengar suara napasnya yang lembut.
'BRAK!'
Kubuka jendela itu dengan keras dan kemudian kutundukkan kepalaku. Melihat ke arah bawah. Alisku pun mengernyit. Terlihat oleh kedua mataku, seorang gadis sedang terduduk sambil mengusap-ngusap kepalanya. Wajahnya meringis kesakitan.
"Ah! Maaf! aku telah mengganggu permainan biolamu yang indah itu!" serunya tiba-tiba sambil beranjak bangun. Aku terperangah. Seolah tidak menyadari keanehan yang kurasakan terhadap dirinya, ia terus berbicara.
"Tadi aku sedang berjalan-jalan di sekitar sini. Saat sayup-sayup mendengar permainan biolamu aku akhirnya tanpa sadar kemari. Tapi, aku malah terpeleset karena menginjak ranting kayu. Hahahaha. Aku memang ceroboh yaaaa… Hahahaha!!!"
Aku semakin tercengang. Gadis itu berambut sebahu berwarna coklat dengan bandana melekat di kepalanya. Warna bandananya senada dengan seragam yang ia gunakan. Matanya begitu jenaka. Berbinar-binar dan sepertinya penuh rasa ingin tahu. Ia mengenakan seragam yang mirip dengan bentuk seragam sailor. Hanya saja, roknya bukan rok mini. Melainkan rok yang berupa gaun panjang sampai ke mata kaki. Seragam itu berwarna biru tua. Warnanya sama dengan seragam Teitan yang sekarang sedang kugunakan. Tetapi, bentuknya beda. Seragam Teitan berupa pakaian 2 lapis dengan kemeja berwarna putih dan jas sekolah berwarna biru tua. Untuk wanitanya, roknya berupa rok pendek walaupun bukan rok mini.
Aneh, itulah kesanku pada gadis ini. Bagaimana bisa ia berjalan-jalan dengan tenang di tengah musim dingin seperti ini? Bukan, bukan sikapnya yang kumaksud. Tapi…dengan menggunakan seragam berlengan pendek seperti itu? Bukankah itu seragam musim semi? Apa ia tidak kedinginan? Apakah ia tidak tahu kalau sekarang sedang musim dingin???
"Kau kenapa diam saja? marah padaku ya?" ujarnya sambil menatapku dengan mata jenakanya. Aku tersentak. Kembali ke alam sadarku. "Kau apa—"
"Eh? Namaku? Namaku Suzuki Sonoko. Senang berkenalan denganmu. Kau hebat sekali bisa mengeluarkan suara seindah itu! Aku kagum sekali padamu! Siapakah namamu? Apakah kau pernah mengadakan sebuah recital atau konser???" tanyanya beruntun sambil menjabat tanganku dan mengerak-gerakkannya dengan bersemangat ke atas dan ke bawah.
"Namaku Kyogoku Makoto. Belum, aku belum mengadakan yang seperti itu." jawabku tanpa sadar.
"Eh? Kalau begitu aku adalah penggemar pertamamu ya???? Wah… nama yang bagus. Kau pasti orang yang tangguh ya…!"
"Tangguh…???"
"Ya. Nama adalah sesuatu yang penting. Sebuah nama memiliki kekuatan tersendiri dan merupakan harta yang paling berharga kedua setelah tubuh. Kau harus berterimakasih kepada kedua orang tuamu yang telah memberi nama itu kepadamu!!"
Matanya semakin berbinar dan ia semakin erat menggenggam kedua tanganku.
"Bukan itu maksudku. Tapi sudahlah. Err… Kau… bisa lepaskan tanganmu?"
"Hyaaa!!! Maaf! Tanganmu hangat jadi tanpa sadar aku terus menggenggamnya. Kau tidak suka ya? Oh ya! Tata krama! Aku lupa dengan pelajaran yang satu itu! Membosankan sih… Padahal menurutku lebih baik tidak usah ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan…" ucapnya dengan nada panik. Matanya yang bulat itu naik-turun. Tangannya bergerak-gerak lincah. Sesekali ekspresi wajahnya berubah-ubah.
Aku menatapnya heran. Tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakannya. "Tidak apa. Aku tidak peduli." balasku seadanya. Ia pun terdiam sesaat dan kemudian tersenyum lagi.
"Baiklah. Aku harus segera kembali ke tempatku. Besok, aku akan kemari lagi." ujarnya bersemangat sambil berlalu pergi. Ia melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku tidak bisa membantahnya. Ia sudah berlari dengan kecepatan tinggi ke arah kumpulan pohon ginko. Punggungnya semakin lama semakin menghilang dari pandanganku.
"Ternyata benar kau ada disini. Kisaki-sensei memanggilmu ke kantornya Kyogoku-san." ucap Ran yang tiba-tiba saja sudah berdiri di ambang pintu. Tidak lupa, dengan senyum yang tiada henti menghiasi wajahnya.
Aku terdiam sebentar. Kemudian melangkah keluar ruang musik itu dengan banyak pertanyaan memenuhi kepalaku. Aku menyusun daftar pertanyaan itu dan menyimpannya di dalam memori otakku. Begitu banyak yang ingin kutanyakan padamu, Suzuki Sonoko.
###
"Kau… benar-benar datang…???" ujarku sambil mengernyitkan alis saat Sonoko menampakkan wajahnya di jendela sambil melambai-lambaikan tangannya. Aku pun menghampiri jendela dan membukanya.
"Tentu saja! Aku kan sudah janji padamu!" jawabnya dengan bangga sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri. Aku menghela napas panjang.
'HUP'
Sonoko pun meloncati jendela ruang musik. Telapak tangan kanannya bertumpu pada bingkai jendela. Ia meloncat. Dan dalam sekejap saja, tubuhnya dengan cepat sudah berpindah ke dalam ruang musik.
"Hmm… sudah lama sekali yaa…" gumamnya pelan sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang musik. Aku tidak dapat mendengarnya.
"Apa?"
"Tidak."
Ia pun mulai berkeliling. Tangannya yang mungil itu menelusuri tiap-tiap benda yang ia sentuh. Ia berhenti sebentar saat berada di depan grand piano. Matanya tiba-tiba menjadi sayu. Seperti memperlihatkan sebuah kerinduan yang begitu mendalam.
"Kau bersekolah dimana? Cepat sekali kau datang…"
"Eh, yang benar? Hahaha." Ia tidak menjawab pertanyaanku dan tertawa ringan. Aku pun tidak mau bertanya lebih jauh.
"Oh ya! Makoto, ini!" serunya tiba-tiba sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam saku roknya. Ia mengangkat tinggi-tinggi sesuatu itu. Sesuatu itu berbentuk kotak seukuran telapak tangan dengan ukiran bunga sakura di sekelilingnya.
"Ha? Kotak musik?"
"Yup! Coba kau dengar."
Sonoko pun membuka kotak musik itu dengan hati-hati. Suara yang indah pun mengalun dari kotak musik itu. Bersusun menjadi satu, menjadi sebuah rangkaian nada-nada yang memukau. Aku kenal lagu ini. Dan aku sering memainkannya.
"Requiem D. Minor K.626?"
"Kau tahu lagu ini Makoto?"
"Ya. Aku sering memainkannya."
"Aku suka sekali dengan musik-musik Mozart dan mulai belajar main piano. Tapi, walaupun aku sudah bisa memainkannya dengan baik, orang tuaku tetap tidak mengizinkanku untuk menjadi seorang pianis." ucapnya begitu pelan sambil membelai-belai kotak musiknya itu. Wajahnya diselimuti aura kesedihan. Tapi… itu hanya beberapa saat…
"Maka dari itu! Saat aku mendengar permainan biolamu yang indah, aku langsung membayangkan bagaimana Requiem saat dimainkan dengan biola. Aku… aku ingin sekali mencoba bermain biola…" imbuhnya dengan wajah yang kembali ceria. Ia pun menutup kotak musiknya dengan sarkasme.
"Itulah tugasmu, Makoto! Kau harus menjadi guruku! Selama seminggu ini kau harus bisa membuatku memainkan Requiem dengan biola!" ucapnya lantang sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajahku. Aku terkesiap lalu kemudian terperangah.
"Mengapa harus aku…? Lagipula mengapa waktunya hanya semi—" keluhku sambil menyingkirkan jari telunjuknya dari wajahku. Ia mendesah kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hhh… Makoto… harus berapa kali kukatakan padamu? Kau itu berbakat. Seorang virtuoso masa depan… dan kekuatan bermusikmu itu tidak boleh hanya terpendam sia-sia saja! Ajarilah aku! Maka, kau akan mendapat berkah dari dewa musik di langit!!!" ujarnya penuh percaya diri dengan gaya Sherlock Holmes yang sedang memecahkan kasus. Alisku semakin mengernyit. Dewa musik di langit katanya? Dan ia… semakin lebar tersenyum…
Aku menghela napas dan menaikkan letak kacamataku. Sepertinya percuma saja membantah permintaannya. "Baiklah…"
###
*tsuzuku*
Uwahhh!!! Akhirnya selesai juga!!! Ini adalah fic saya yang ke-3 dan lagi-lagi bertema misteri…!!! Tapi, ini adalah fic pertama saya di fandom detective conan^^. Douzo yoroshiku untuk kalian yang baru mengenal saya ;p
Misterinya belum kelihatan ya di chapter pertama ini…? Hahaha, maklumlah… kan baru chapter pertama… saya baru memperkenalkan tokoh-tokohnya saja. Bagaimana menurut para readers karakter Makoto dan Sonoko disini? Menarikkah? atau… membosankan?
Oh ya, saya tidak tahu apakah fic ini termasuk OC atau… apa gtu istilah yang lainnya. Maaf saya nggak begitu hapal. Tapi, saya akan berusaha sebaik mungkin untuk menyajikan yang terbaik untuk para readers. Semoga para readers bisa menerimanya^^
Kalau begitu, ditunggu reviewnya ya. Kesan-kesan, komentar kalian, pujian bahkan kritikan kalian (tapi bukan flame! saya ingatkan sekali lagi bukan flame! tapi kritik yang membangun!).
Jaa mata ne (/_0)
Douzo… tekan tulisan di bawah ini… (-/\-)
