Satu waktu di musim panas, Takao melempar sepatu asal-asalan demi lari mengejar ombak. Buih berkilauan di bawah matahari sore sedang debur memecah karang itu membasuh pendengarannya yang merindu alam. Ia sempat menyesali ketergesaan melompat dari mobil, sehingga kamera di jok belakang tak terpikir diambil. Waktu sebentar lagi menjemput sunset dan minimal ingin ia abadikan. Tapi, oh, masa bodoh, lihat hamparan pasir putih ini! Kapan terakhir kali dia main ke laut? Jika pemotretan bulan lalu tak dihitung, berarti sekitar … enam? Delapan bulan?

Takao hampir terlalu antusias hingga tersandung kaki sendiri, ditambah fakta bahwa dia berjalan sambil menoleh ke sana kemari, sibuk mengagumi lanskap horizon. Takao mendarat dengan lutut, iris tertumbuk pada pasir putih yang belum terjamah ombak. Ia raup segenggam penuh dan melambungkan tinggi-tinggi. Tertawa kala butiran-butiran halus itu balik menghujani. "Pantai! Laut! Kita sedang di pantai, Shin-chan!"

Midorima membungkuk untuk memungut hak tinggi yang Takao campakkan begitu saja. Membuang napas. Bisa-bisanya gadis itu tidak berpikiran mengganti sepatu dulu—berjalan di pasir dengan hak tujuh senti pasti mengerikan—walau pada akhirya dilepas. Yah, Takao sekali. Mereka langsung kemari dari lokasi villa pemotretan Takao—terima kasih ia sedang libur jadi bisa menjemput—karena Takao menolak pulang dan menarik-narik ujung jaketnya, hei hei Shin-chan bagaimana kalau ke pantai? Raut wajah Takao perpaduan lelah serta suntuk, dan Midorima putuskan setuju. Takao bahkan masih mengenakan terusan selutut berpotongan sederhana, one piece warna putih dengan beberapa lipit, sulaman-sulaman yang menghasilkan kesan musim panas, satu dari beberapa stel yang Takao letakkan di kursi belakang mobil. Dari perusahaan mode yang ia peragakan produknya, Takao pernah bilang sejumlah baju di lemari juga berasal dari hal sama. Midorima tidak ambil pusing.

Hujan pasir mengembalikan Midorima dari lamunan. Takao telah berdiri di sana, belum melangkah ke bibir pantai walau matanya berkali-kali mengintip ombak. Masih ada satu genggam penuh di tangan kanan. "Jangan cuma diam saja, lah, jarang-jarang kita bisa ke sini!"

Mungkin itulah daya tarik Takao sebagai seorang model: ekspresi riang tak dibuat-buat. Takao bisa dengan mudah menarik senyum lebar dan membuat suasana sekitar cerah, seolah-olah ia punya kemampuan meringankan atmosfer seburuk apapun. Takao senang tertawa tanpa ragu-ragu, dan Midorima pernah refleks ikut mengulum senyum, baik ketika Takao tertawa di sampingnya atau dengan perantara lembar majalah. Salah satu sebab mengapa ia memiliki imej ceria di media massa.

Takao berlari sepanjang garis pantai sambil berteriak bebas, rambut yang sedikit melewati bahu melompat-lompat seiring jejak kaki. Midorima mengikuti dengan berjalan, memilih mengamati punggung Takao kian jauh dari belakang. Aroma garam terbawa ke indra penciuman, pun dirgantara bak kanvas ternoda tumpahan cat oranye. Midorima memperpendek jarak ke jangkauan ombak hingga ujung sepatunya tersapu. Bayangan tubuh memanjang di hamparan pasir.

Di sana, Takao sudah berhenti berseru. Namun bukan berarti kegembiraan gadis itu hilang. Ia tengah berjongkok, ujung one piece sudah layu dilebur ombak bergulir, mengamati satu kerang tertanam pasir. Jari-jari kotor karena beberapa kali menggali tanah namun ia telak mengabaikan. Midorima mendekat ke sebelah Takao dan tidak berkata apa-apa, mata terpaut jauh ke tengah laut. Berkas senja sempurna menyiram mereka.

Di sana, matahari tergelincir, mencium lautan yang setia menunggu.