Fanfiction – Naruto Funeral

Hari kedelapan

Kau masih menyibukkan dirimu dengan sia-sia. Kau menumpuk setiap kertas yang kau temukan ada nama dia. Dan setiap kali, kau membayangkan dia berteriak sesuka hati sedikit senyum kecut tersimpul di bibirmu yang merah. Tiba-tiba kau merasakan tanganmu mulai kaku, kau merasakan sakit, kertas-kertas itu terlepas dari jemarimu kemudian bertebaran. Hening…

Hari kedelapan

Belum juga kau puas mengunci dirimu di ruangan itu dan mengutuki dirimu sendiri atas penyesalanmu - rasa sakitmu. Sebesar apapun usahamu untuk menerjemahkan semua yang terjadi, pada akhirnya kau gagal. Karena kau tidak pernah belajar. Pada akhirnya kau kehilangan (lagi).

Seandainya kau mengerti bahwa kutukan untukmu tidak akan pernah terputus hingga kau mati. Seandainya kau paham itu. Setidaknya kau tidak akan pernah kehilangan orang yang kau cintai (lagi). Karena demikianlah takdirmu.

Tapi kau tidak pernah belajar, kan?

Puluhan tahun yang lalu kau melihat tubuh terbaring tertutup kain. Tentu kau masih ingat benar dengan itu. Kau juga masih ingat bagaimana sakitnya kehilangan – orang yang begitu kau cintai. Pun kau masih bisa melihat jelas, tubuh kekasihmu yang bersimbah darah yang gagal kau selamatkan. Kau ingat pedihnya kehilangan – orang yang kau cintai.

Tapi kau tidak pernah belajar, kan?

Kau melihat wajah Nawaki serta Dan di wajahnya, tapi kau tidak juga mengerti. Sekalipun kau menganggap bocah bermata biru itu istimewa dan kau begitu yakin rasa sakitmu tidak akan terulang lagi.

Jika saja kau menyadari kau sudah terlalu mengagumi bocah berambut pirang itu. Jika saja kau menyadari kau telah begitu menyayanginya. Jika saja kau menyadari - pada akhirnya semua orang yang kau cintai akan mati.

Tidak ada pengecualian. Semua akan berlaku sama. Begitu juga dengan dia. Tidak ada 'maaf' sekalipun untuk seorang yang memiliki rubah ekor sembilan terkurung di tubuhnya. Sekalipun darah Namikaze Minato mengaliri tubuhnya.

Cintamu itu haram

Maka ketika kau jatuh cinta, akan selalu ada yang mati. Dan sekarang menjadi giliran dia. Dia yang diam-diam kau cintai. Yang selalu kau awasi. Yang senantiasa kau perhatikan. Yang kau harapkan akan menjadi penerusmu selanjutnya. Menjadi seorang Hokage.

Lihatlah dirimu sekarang. Untuk ketiga kalinya, kalung kristal hijau itu kembali melingkari lehermu. Kepalamu menunduk dan kau tidak bisa merasakan apapun lagi. Dengan jubah kebesaranmu yang mulai basah oleh gerimis. Tubuhmu mulai gemetar, dan kau mulai menangis. Dengan perintahmu sendiri, kau mengirim Uzumaki Naruto ke kuburan.

Satu lagi orang yang kau cintai mati dalam misi. Konoha dan mungkin dunia memang jadi lebih damai. Kau hanya tidak menyangka pengorbanannya akan sebesar itu. Pertukaran yang tidak adil menurutmu. Kedamaian dunia kau tukarkan dengan kematian Uzumaki Naruto dan air mata orang-orang di Konoha.

Akhirnya kau menangis juga setelah delapan hari kau menghindari ketakutanmu sendiri. Perlahan kau mengangkat kepalamu, mengangkat topi bertuliskan 'hi' dan meletakannya di atas batu besar di hadapanmu. Nisan seorang Uzumaki Naruto – yang kau cintai.

Pada akhirnya kau harus menerima takdirmu. Kau memang harus selalu sendiri.

Tempat terakhir kau menatap genin berambut pirang yang seakan tidak pernah merasakan kesedihan. Bocah bermata biru yang selalu menyala-nyala penuh semangat. Mengumpulkan satu per satu catatan misi. Bocah bermata biru yang selalu menyala-nyala penuh semangat.