Thanks for Bryan Trevor and Jifan Kim

I have a surprise idea cause you two

.

.

Happy December Ceria Kihyun

.

Warn : Boys Love and Straight

.

Kisah cinta 2 Dimensi, perhatikan setting dengan baik hahahaha

.

Mix and Match.

Langit, bagaimana aku bisa mendeskripsikanmu?

Dikala itu, terlihat sangat gelap, awan kelabu menggantung di sana. Angin bertiup sepoi sepoi, perlahan mengencang, menghempas pepohonan di sekitar. Langit yang biru tak terlihat, cahaya mentari di halangi sesuatu.

Hitam.

Kelam.

"KAISARRRR!" teriakan bersambut dengan halilintar di musim gugur terdengar memekakkan telinga. Suara jerit tangis karena sang kaisar bijak nan baik hati—pemimpin mereka—umat manusia terbaring tak berdaya di atas tempat tidurnya. Tidak ada wanita pujaan hatinya di sana, mereka berkelahi entah dimana demi untuk menungguinya. Membuatnya kesal dan harus sedikit bernegosiasi dengan malaikat pencabut nyawanya agar memberinya sedikit waktu. "SEMBUHLAH! YA TUHAN! SEMBUHKAN KAISAR!" teriakan itu terus sambut menyambut.

Kaisar tersenyum, menatap langit langit kamarnya di istana. "Kasim Bei" mencoba memanggil seseorang yang selalu di sampingnya, orang yang mengerti kegundahan hatinya dan kebahagiaannya. Dia telah kehilangan hatinya, dibawa seorang wanita pergi—dan tak pernah kembali. Ia ingin menjemputnya dan nyatanya sang wanitalah yang kembali membawanya pergi.

"Yang mulia~" Kasim Bei sosok yang tenang dan berkarisma. Dia setia dan menjadikan kaisar sebagai kiblatnya, menjaga sang kaisar sejak kecil membuatnya sadar bahwa kesetiaannya akan segera berganti. Sosok yang ia anggap sebagai anaknya itu akan segera menghembuskan nafas terakhirnya. "Adakah yang kau butuhkan?"

"Jifan" terdengar seperti cicitan tikus dengan nafas tersenggal. Kasim Bei masih bisa menangkap nama itu. "Jifan" memanggil nama itu sekali lagi.

"Beliau sudah sedari tadi menunggu anda memanggilnya" nama seseorang yang disebutkan adalah pangeran muda. Adik satu satunya sang kaisar. Sosok cerdas yang baru saja berusia dua puluh di tahun ini, sosok yang menjadi hadiah terakhir ayah kaisar—kaisar terdahulu pada anaknya kemudian terbunuh dalam sebuah perang. "PANGGIL PANGERAN JIFAN!" teriakan kasim Bei terdengar setelah menerima isyarat jari kaisar untuk memanggil sang pangeran yang usianya mungkin lebih muda dan sepantaran keponakannya.

Pintu terbuka, menunjukkan pangeran berwajah tenang—seperti ayah mereka, berwajah tampan dan tatapan tajam dari bola mata hitamnnya. "Da ge" dia memanggil kakaknya, mempercepat langkahnya, menunjukkan wajah khawatir kentara. Dia tak suka dengan aturan istana, dia mendudukkan dirinya di sisi ranjang sang kaisar, menggenggam tangan kakaknya erat. "Jangan tinggalkan aku!" itu penuh dengan perintah. Dia memerintah kaisar negeri ini.

Tangan sang kaisar terulur, mengelus wajah adiknya lembut. Tersenyum.

"Gantikan aku!" kali ini perintah keluar dari kaisar. Memerintah dengan tegas hingga seluruh manusia di ruangan itu membungkukkan tubuh mereka. Takut dengan perintah mengerikan yang menyangkut dengan pemimpin negeri mereka. "Hanya kau yang kupercaya untuk melakukannya, Jifan! Perintah negeri ini" nafasnya tersenggal, bukti bahwa ini adalah perintah terakhirnya.

Sang adik terdiam. Jifan menatap dalam wajah kaisar yang sudah pucat pasi. Dia merasa para menteri dan beberapa pangeran di luar sana benar benar bodoh untuk mendoakan kesembuhan kaisar. Kakaknya takkan selamat, keajaiban bodoh apa yang diinginkan mereka untuk membawanya kembali hidup di dunia ini. "Aku tidak mau" jawaban yang sama. Jifan takkan pernah tertarik dengan perebutan kekuasaan. Dia cukup menikmati hidupnya, kakaknya itu bagaikan orang tua untuknya, ia tak pernah melihat wajah ayahnya dan ibunya tak jelas siapa. Dia memerintah hanya akan memberikan isu buruk bagi kerajaan.

Sang kaisar mengeram. Tidak habis pikir dengan adiknya yang keras kepala. Dia sering mengajak Jifan muda untuk berdebat tentang politik, pemerintahan dan rakyat, adiknya itu memiliki semua yang harus di miliki oleh seorang kaisar bahkan lebih baik darinya. Hanya satu yang kurang—

Minat.

Adiknya itu tak punya keinginan untuk menduduki tahta. Dia hanya ingin menjadi seorang cendikiawan yang mungkin bisa membantu memberi sedikit masukan serta ide untuk memberantas kemiskinan dan menyelamatkan rakyat dari kemarau.

Jifan muda bahkan pernah mengatakan ia akan membawa istrinya—istri satu satunya tanpa selir yang di nikahkan dengannya sedari kecil—untuk pergi dari istana dan hidup menjadi seorang petani atau pedagang.

Itu cita cita konyol.

Dia lahir dengan darah naga di tubuhnya, orang orang bersujud ketika dia melangkah. Rahangnya harus dengan angkuh terangkat, dadanya harus membusung ke depan dan matanya hanya boleh menatap rendah manusia lainnya. Dia tercipta untuk itu.

Semua orang menegaskan dirinya.

Kakaknya tak ada bedanya, dia mempersulit Jifan dengan keadaan dan kini dengan tahta. "Anak anakmu akan membunuhku dan keturunanku" Jifan menemukan satu alasan agar bisa terlepas dari drama pergelutan tahta yang sering terjadi.

"Jifan, permainsuri Qin akan menjemputku" Jifan buru buru melihat ke arah sang kakak menatap. Hanya ada udara kosong di sana. Apakah semua orang yang akan mati menjadi gila?

"Permainsuri Qin, jangan jemput Da ge dahulu, pulanglah! Hus hus hus" Kaisar yang tadi terbawa dalam bayangan cinta sang istri yang tengah mengulurkan tangannya menghela nafas ketika mendengar nada pengusiran polos sang adik. Istrinya yang dalam bentuk imajinasi orang hampir matinya bahkan tertawa kecil dalam bayangannya.

"Kenapa kau mengusirnya?" Kaisar suka berdebat. Tentang apa saja pada pangeran yang bahkan sangat mengertinya di banding anak anak bejatnya.

"Dia yang berhati lembut yang mengerti maksud kelakuanku ini, yang mulia" Jifan sukses membuat Kasim Bei hampir tertawa. "Aku tak ingin menggantikanmu, pilihlah salah satu dari anak anakmu! Mereka lebih dewasa dan berpengalaman dariku"

"Lalu menurutmu, siapakah yang harus memerintah Negara ini?"

Jifan terdiam, dia sedang memikirkan satu per satu sosok keponakannya. Dia tak menemukan gambaran pemerintahan yang akan lebih baik dari buku buku yang pernah ia baca. Sosok sosok raja cemerlang belum muncul diantara para ponakannya. Diantaranya bertangan besi, ceroboh, gampang di peralat, serakah dan polos. Memilih salah satu diantara mereka bukanlah hal yang bijak.

"Kau tidak menemukannya kan, adikku" Jifan termangu ketika kaisar memanggilnya adik. Itu panggilan yang sangat ia inginkan dan baru kali ini terkabulkan. "Didiklah mereka menjadi kaisar yang baik, untuk sementara biarkanlah tahta itu ada di tanganmu!"

Jifan paham maksud sang kakak. "Aku—"

"Kui Xian akan senang menjadi permainsuri, itu adalah keinginannya"

Hening.

Jifan memilih bergelut dengan pikirannya. Dia harus menimbang dengan benar keputusan itu. Kaisar kembali memerintah Kasim Bei membawakan alat tulis untuknya. Tak perlu menunggu hasil pertimbangan Jifan dengan dirinya sendiri, nama sang adik sudah tertulis dalam titah. "Ku serahkan padamu!" mata itu tertutup, begitu perlahan hingga Jifan tak bisa mencegahnya. Nafas itu menghilang.

Suasana hening.

"Da ge" Jifan mengguncang tubuh kaisar. Tidak ada jawaban dan bulir bening mengalir telah membuat arak sungai kecil di pipinya. "DA GEEEE!" dia berteriak memanggil. Kakaknya telah tiada.

Suatu hari di awal musim gugur, ketika hujan turun dengan derasnya nyaris seperti badai. Jifan, pangeran muda kehilangan sosok kakaknya, para pangeran kehilangan sosok ayah mereka, ratu dan selir kehilangan suami mereka dan rakyat kehilangan raja mereka.

"AYAHANDA!" pemilik suara berat satu per satu menerobos masuk. Para ratu, permainsuri dan anak anak mereka memasuki ruangan, terkejut dengan keberadaan mayat yang terlihat tenang tertidur di atas ranjangnya.

"Siapa yang mejadi kaisar?" suara kegaduhan itu terdengar kemudian. Mulai mempertanyakan kekosongan tahta. Seolah tak peduli dengan rasa sakit akibat di tinggalkan yang dirasakan oleh Jifan. Rakyat di luar sana yang mendengar suara gong kematian bahkan menundukkan diri mereka, mencium tanah dan menangis di tengah hujan untuk kaisar.

Mengapa para bangsawan dan kerabat kerajaan bertingkah laku seperti bajingan di kamar ini. Jifan berbalik, menatap tajam mereka yang ingin mendekati mayat kakaknya. Ingin mengetahui pesan terakhir raja sebelum kematiannya. Mereka tak berhak menjadi kaisar, mereka tak berhak menjadi salah satu yang menggantikan kakaknya—Jifan menatap para keponakannya. Mereka juga tak pantas menggantikan permaisuri Qin yang menggantikan sosok ibunya—istri kakaknya yang telah tiada bertahun lalu—kali ini ia menatap para ibu dari keponakannya.

Jifan menggigit bibir bawahnya. Kenangan kakaknya yang tersenyum dan bersedih seolah menjadi memori rusak di kepalanya. Berputar acak dan membawanya ke dalam kesedihan yang lebih dalam. "Kasim Bei" Jifan memanggil—air mata tak bisa berhenti dan kebencian menyeruak di hatinya. Kenapa orang orang ini begitu kejam.

"BERI HORMAT PADA KAISAR! SEMOGA KAISAR TETAP SEHAT DAN SELALU JAYA!" suara Kasim Bei menggema, mengalahkan suara kericuhan di kamar mendiang kaisar. Sebuah kertas yang berisi titah terakhir kaisar diangkatnya dan seluruh menusia menundukkan dirinya. Mencium lantai tak peduli apa kedudukan mereka. Jifan berbalik kembali, menatap wajah kakaknya yang terlihat seperti tertidur dengan sangat nyaman.

"Kau ingin aku melakukannya kan? Maka biarkan aku melakukannya dengan caraku, Ge" dia bergumam. Menarik jubah kaisar dengan lambang naga emas di punggungnya menutupi wajah mendiang kaisar. "Aku Ji Fan bersedia menerima perintah!" kali ini dengan suara yang sedikit lebih keras. Jifan berdiri menatap semua orang yang tak percaya dengan keputusan itu. Kaisar benar benar gila, dia mengganti garis keturuanannya.

"Titah pertamaku, putra mahkota akan kuberikan pada keponakanku"

Membuat hening—

"Aku takkan membuat anakku menjadi kaisar"

KiHyun

"Kartu identitas" ini sebuah pertanyaan bernada perintah. Seorang berbaju kaos—sengaja memamerkan otot lengan dadanya yang besar, tattoo di sekitar lengannya, berkulit hitam legam—percayalah, aku sedang tak menunjukkan kerasisan, ini hanya sedang mendeskripsikan bagaiman seorang penjaga di pintu depan pub.

Segerombolan remaja itu saling bertatapan. Wajah mereka yang awalnya menunduk seperti menahan hasrat ke kamar mandi. "Pergi sana, dasar bocah!" kembali suara berat seram itu memerintah mereka.

Sebuah benda berbentuk persegi diangkat seseorang dari para remaja itu. "Kami exclusive, kawan!" katanya dengan nada sing a song. Senyuman asimetris tergambar di wajah dengan potongan mata sipit rubah dan hidung besarnya. "Jaga sikapmu atau kau akan di pecat oleh bossmu!" dia menepuk bahu yang berbalut kaos hitam itu. Melangkah dengan langkah besar bersama gerombolannya masuk melalui pintu pub yang yang terhubung dengan terowongan remang.

Sayup sayup. Suara musik terdengar, beat cepat yang cocok untuk bergoyang. Sedikit demi sedikit semakin keras. "Hei, jangan bilang kalian tidak pernah kemari, memalukan sekali!" ini si piranng yang menunjukkan kartu identitas di depan pintu tadi. Dia sepertinya yang paling berpengalaman. "Kibum juga sering kemari, iyakan?" dia melirik salah satu personil mereka yang berfokus pada ponselnya.

"Kurang lebih Zico" sahutnya—terdengar acuh.

"Hei hei!" Sehun dan Kai—dua remaja lain yang seusia dengan mereka mengambil alih ponsel Kibum. Mereka cepat menyorot bokong seorang wanita yang melewati mereka, bersiul tidak jelas sebagai apresiasi bahwa si wanita memiliki bokong yang sesuai selera mereka. Kibum merebut kembali ponselnya.

"Pelit sekali ya" sungut keduanya bak anak kembar. Saling berpandangan kemudian saling menggerutu tentang oleh sang sahabat.

Sebuah ruangan besar menyambut mereka. Di tengah bagiannya adalah kolam renang besar, di kelilingi ribuan manusia yang sibuk bergoyang tidak jelas dengan minuman di tangan mereka, ada meja bar, panggung dengan tiang dansa, meja DJ dan tak ketinggalan lampu berkelap kelip menyenangkan. "WOW, SURGANYA ORANG DEWASA!" teriak Zico. Cepat turun dari tempatnya berdiri.

Melangkah cepat, ia hampir terjatuh tapi untung dia bisa membenarkan keseimbangannya. "Kalian datang?" Ini pub terhebat yang pernah di lihat oleh Kibum. Dia sering keluar masuk pub di Seoul dengan relasi dari sepupunya. Hanya tak menyangka sepupunya bisa membuat tempat yang sehebat ini.

Suara dentuman musik, semakin membuat gerak manusia manusia di sana menggila. Mereka berteriak, bergoyang dan saling bergesekan. "Lihat siapa rajanya!" Kai berteriak—dia memang yang paling berisik diantara mereka. Ia cepat menubruk tubuh berotot topless sepupu Kibum yang sedang tertawa dengan beberapa temannya di sebelah Timur ruangan. Sepertinya pemandangan wanita hampir telanjang yang sedang menggesekkan bokong di dance pole bukan suatu pemandangan untuk pria pria dewasa itu.

"Kalian datang?" sebuah tawa ramah di tunjukkan si pria. Dia menepuk ringan bahu Kai. "Nikmati pestanya, dude!" ini sebagai bentuk selamat datang yang di berikan oleh boss.

Menghampiri Kibum, si pria menepuk bokong seorang gadis yang lewat. Sedikit terpekik namun menghadiahkan kedipan nakal. "Hei sepupu tercintaku" sapanya, merangkul Kibum menjauh dari teman temannya. "Ku dengar kau bertengkar dengan tunanganmu, kau sudah gila? Bibi menelponku, menyuruhku untuk berbicara denganmu. Apa kau ingin kita berdua di asingkan lagi sebagai nelayan?" dia lebih cerewet dari kelihatannya.

"Fuck! Kulitku sudah cukup tanning, aku tak ingin menghitamkannya lagi" ini lanjutan ocehannya. Kibum memilih diam. Dia mendengar dengan baik. Sangat baik. Kibum merasa sepupunya itu paham masalahnya tapi sialnya tak berdaya dengan tingkah ibunya. Maksudnya, ibu mereka berdua, sejak kecil mereka punya satu ibu yang mengasuh. Seorang pria yang jelas tak bisa hamil. Intinya mereka bukan sepupu, mereka adik kakak beda ayah beda ibu tapi dalam satu kartu keluarga. "Jadi kembali temui tunanganmu dan katakan padanya kau sangat mencintainya"

"Kau saja yang menikahinya"

"Aku tak suka pria" Kibum mendecih saat mendengar alasan saudara dengan kedok sepupunya itu. Sudah biasa. Jaebum—Jay Park, dia mengambil nama Park dari ayah mereka, sedangkan Kibum mengambil Kim dari ibu mereka. Jangan Tanya kenapa, itu hanya kesepakatan saja. Biar mereka tak di kenali sebagai adik kakak. Jay tak terima punya adik sebelagu Kibum dan Kibum tak terima punya kakak seeksentrik Jay. "Sudahlah, lakukan saja. Aku akan memberikan semua akses ke seluruh club yang kau inginkan."

Jay itu manusia taat agama ketika di rumah. Dia bahkan memarahi Kibum jika lupa ke gereja dan mengajak doa pagi. Dia juga selalu memimpin doa ketika akan makan. Semuanya berubah jika dia keluar dari pintu pagar kediaman mereka, dia manusia hedonis yang tak kenal Tuhan. Dia tak segan mencekoki gadis gadis dengan ekstasi lalu menyuruh mereka menari telanjang.

"Tentu saja tanpa diketahui ayah dan ibu" itu kesepakatannya. Kibum mendengus. Dia belum cukup umur dan satu satunya cara untuk keluar masuk dari dunia malam hanya si bangsat Jay. Dia dewanya. Namanya mendunia jika membahas tentang music, kehidupan malam dan pesta.

Ika. Zordick

"Kaisar? Suamiku?"

Pertanyaan. Lelaki berwajah manis dengan rambut yang baru saja di tata oleh seorang dayang bertanya tentang sesuatu yang mengganjal di hatinya. Apa sebenarnya yang terjadi di sini?

Dia sudah lama tak mendapati kedatangan suaminya ke kediamannya—mereka memang terpisah kecuali untuk beberapa malam yang di izinkan oleh kaisar—kini ia mendengar sebuah berita yang mengejutkan. Kaisar meninggal dan itu artinya ia memakai pakaian berkabung selama empat puluh hari. Hari ini ia di perbolehkan memakai pakaian sutera indahnya dan di suguhi sebuah hiasan kepala yang tak ia kenali sebagai miliknya.

Kui Xian, seorang anak bangsawan yang besar di lingkungan istana. Perawakannya indah, bagaikan musim gugur yang mendayu. Dia lembut dan menawan. Anggun dan tegas. Dia di takdirkan sejak kelahirannya menjadi seseorang yang akan menikah dengan keturunan kaisar. Dan—

Titah itu telah sampai padanya saat usianya menginjak yang keenam. Tepat saat ia mengira ia mendapatkan banyak hadiah karena ulang tahunnya dari kaisar, disaat itulah upeti upeti pernikahan di terima oleh keluarganya. Dengan hati yang membenci dia membungkuk kepada langit, bumi, kaisar dan orangtuanya—menikah dengan seseorang yang takkan menjadi kaisar.

Seorang pangeran bungsu.

Kini, alisnya terangkat sebelah. Melirik malas pada kasimnya yang tengah menyampaikan berita tentang pengangkatan dirinya sebagai seorang permainsuri. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Dia tak ingat menikahi anak kaisar terdahulu dan kemudian suaminya menjadi pewaris tahta.

Dia hanyalah—

Bukan wanita yang mendapatkan peran utama. "Kaisar adalah suami anda yang mulia" Kyuhyun menyipitkan matanya. Suami? Suaminya yang mana?

Ah maksudnya dia memang hanya punya satu suami. Ayahnya seorang perdana menteri negeri ini, memberikan kekuatan politiknya lewat fraksi yang di tujukan pada Si Wan—pangeran sulung kaisar. Si Wan berjanji akan membunuh suaminya, si pangeran muda dan memberikan kedudukan permainsuri pada Kuy Xian, hanya saja, bukankah terlalu cepat?

Kuy Xian bahkan tak mendengar pengeksekusian Ji Fan, suaminya. Harusnya dia datang melihat dan menunjukkan betapa ambisinya harus lebih besar dari rasa cinta.

Kui Xian hanya tak suka pada sifat welas asih berlebihan dari si kutu buku sejenis Ji Fan, percayalah!

"Kasim Xing" sang kasim sedikit terlonjak ketika namanya di panggil oleh sang permainsuri—Kui Xian baru saja di angkat, sedikit saja kesalahannya, dia bisa menemukan dirinya tergantung tak bernyawa di tiang eksekusi. Sudah menjadi sebuah rahasia umum, Kui Xian, si cantik yang berambisi putri bangsawan kelas atas berposisi perdana menteri, berhati dingin dan berambisi.

"Ya, yang mulia"

"Ganti pakaianku dengan yang lebih mewah, aku tak ingin tampil mengecewakan kaisar saat pengangkatanku" ujarnya. Nadanya ketus, tajam dan memiliki banyak makna. Kasim Xing menunduk mengerti, memanggil para dayang untuk melakukan perintah.

Hujan turun di musim gugur, dingin menyejukkan jiwa yang kini memanas. Pangeran muda yang mengenakan pakaian kaisar dan hiasan kepala yang menunjukkan posisinya sekarang menatap sendu pohon maple yang berdaun merah, masih mempertahankan posisi mereka, menancap kuat agar tak turut jatuh di guyur hujan.

Jifan masih berdiri tegar. Menatapi pepohonan dari tempatnya, tak ingin beranjak. Kasim, beberapa pejabat yang tak terpaut oleh fraksi manapun, para penjaga kaisar dan dayang membentuk barisan di belakangnya. Menunduk dalam, tak berani melihat kearah yang di lihat kaisar muda itu, segan juga bertanya apa gerangan keresahan hatinya, namun kadang mencuri lirikan pada pepohonan maple dan wajah sang kaisar.

"Yang mulia, yang lain telah menunggu" Jifan tersenyum, berbalik dan menatap salah seorang pejabat muda yang baru lulus di pemilihan pejabat beberapa waktu lalu. Pilihan kakaknya, belum merasakan fraksi dan berpegang teguh pada politik setia pada kaisar. Dia menunduk dalam, tak ingin matanya bertemu langsung dengan mata sang kaisar.

"Kenapa kau tak bertanya padaku tentang apa yang ku pikirkan tapi berani mengingatkan bahwa ada yang menungguku?" sebuah pertanyaan tak logis.

"Bertanya tentang hati paduka adalah kelancangan" jawabnya. Ini Negara monarki, kaisar adalah ujung tombak yang bisa menyayat jantungmu kapan saja. Dia masih menyayangi nyawanya tapi rela mati jika itu perintah kaisar. Hanya saja dia tak ingin mati sia sia.

"Kalau begitu seringlah bertanya mulai sekarang. Aku memberimu perintah" Jifan tersenyum. Pejabat muda itu mendongak, melihat sang kaisar yang mungkin seusia dengannya. "Jika kau tak bernisiatif bertanya tentang kegundahan hatiku, bagaimana caramu memberikan nasihat padaku untuk membangun negeri? Apa guna dirimu yang membaca ratusan buku demi lulus ujian Negara?"

Benar.

Dia menarik sudut bibirnya. Takjub dengan kebijakan sang kaisar baru. "Dia seseorang yang berbeda" masih teringat petuah mendiang kaisar, tentang betapa hebatnya sang adik. Beberapa pejabat tua yang berada di sana buru buru bersujud.

"Terima kasih atas kemurahan hati yang mulia." Teriak mereka dan yang lain ikut bersujud kecuali si pejabat muda.

"Apakah kalian ingin berkata bahwa yang sedang kulakukan mengacu pada revolusi?" Jifan tertawa, terdengar riang seperti seorang remaja yang mendapatkan nilai bagus saat di sekolah. "Aku sedang merubah dunia menjadi lebih baik, dan aku akan memulai dari diriku sendiri. Revolusi yang ku maksudkan bukanlah merubah kebijakan konfusius."

Mereka sadar, kaisar baru mereka lebih pintar dari mereka. Mereka akan mendapatkan banyak kemansyuran karena itu. "Biarkan aku menjadi pengikut mu, fraksi yang ku inginkan adalah berada di sampingmu" pernyataan itu membuat Jifan tertawa. Pemuda yang masih menjadi pejabat rendahan itu sungguh membuatnya tertawa.

"Kenapa kalian tak ikut tertawa?" dia bertanya lagi. Para pejabat tua itu bangkit. Saling berpandangan bingung. "Apakah kalian tak merasa dia sangat lucu. Mana ada fraksi kaisar, semua pejabat. Terserah ingin menjadi fraksi ratu, tetek bengek para mahkota dan para ponakanku, adalah fraksiku. SEMUANYA!"

Hening.

Kaisar baru saja membicarakan sesuatu yang tidak main main. "Satu satunya keresahanku, apakah ratuku menyukai kejutan yang baru saja ku berikan. Apakah dia suka menjadi ratu dengan akulah kaisarnya?" pernyataan yang penuh makna. "Ayo jalan!"

Pukulan gong terdengar. "KAISAR TIBA!" suara merdu kasim Bei menggema ketika Jifan melangkahkan kakinya memasuki ruangan yang ada singgasananya di sana. Seluruh manusia bersujud, memberikan jalan, begitu pula dengan para pangeran dan sang ratu yang telah berada di sana. "SEMOGA KAISAR TETAP JAYA DAN PANJANG UMUR" teriak mereka serempak.

Jifan mengulurkan tangannya. Menyambut sang permainsurinya. "Berikan tanganmu!" katanya. Sambutan di terimanya, tangan putih yang halus itu kini berada di genggamannya. Jifan membantu sang ratu berdiri, beberapa dayang dengan wajah yang masih tertunduk turut membantu sang ratu. "Mereka bersujud padamu" bisiknya. Seperti sebuah pernyataan mengolok. "Dan padaku, ratuku" menatap dalam ke caramel indah Kui Xian.

"Berdirilah!" ucap sang kaisar, menggandeng tangan sang ratu ke singgasananya, mendudukannya di sampingnya.

Kui Xian dengan sigap mengambil batu tinta dan membuat tinta yang di butuhkan di atas meja singgasana sang kaisar. Itu tugasnya, membantu meringankan beban sang kaisar di sisinya, sebagai seorang ratu. "Sebelum memulai diskusi kita tentang pertanggungjawaban masing masing menteri, aku akan memberikan beberapa titah" sejujurnya, dia pria humoris seperti mendiang kaisar terdahulu. Sososknya muda dan banyak tersenyum membuat kesan kaku sirna darinya.

"Aku takkan menikahi siapapun selain ratuku" Kui Xian menghentikan tangannya yang tengah menggesekkan batu tinta. Dia menatap wajah Ji fan di sampingnya, pendangan pria itu lurus menghadap para pejabat istana. "Dan yang meneruskan tahtaku adalah keponakanku" membuat alis Kui Xian terangkat sebelah. Suaminya gila, jelas telah gila. "Aku adalah hakimnya, yang menurutku paling berjasa pada kerajaan, adalah putra mahkota"

Suasana di ruangan itu mulai ricuh. "Segala fraksi di dalam istana akan dianggap menyeleweng jika tak setia padaku. Aku akan mencoret nama pangeran yang fraksinya tak memberikan laporan yang benar" Jifan tersenyum. Seperti orang gila yang baru saja merasa dirinya berada di puncak tertinggi dalam diplomatik. "Tentu saja aku tak paham dengan fraksi fraksi yang ada. Intinya, semua tindak tanduk pangeran, harus ada laporannya padaku. Termasuk ibu mereka"

"Kaisar! Bukankah keterlaluan jika anda menyelidiki kakak ipar anda?"

"Benarkah?" Jifan tertawa. "Yang berada di sampingku, adalah ratumu. Bukan para kakak iparku"

Kui Xian menatap ayahnya yang berada di sana. Melotot tak percaya dengan sebuah tanggung jawab yang di berikan. "Semua wanita yang ada di dalam istana, semuanya adalah kekuasaan ratu. Hanya hukuman pengasingan, pengusiran dan eksekusi yang perlu meminta izinku. Selebihnya adalah kuasanya"

"Kaisar!" Kui Xian menatap Ji Fan.

"Lakukan tugasmu dengan baik, ratuku"

"ARGH!" sebuah erangan. Kui Xian menjambak rambut panjang hitamnya frustasi. Menatap tetes tetes air hujan yang masih setia jatuh setetes demi tetes dari atap istana kediamannnya, meski hujan telah berhenti. "Aku bisa gila jika seperti ini"

"Tenanglah anakku" suara sang perdana menteri. Sebuah kunjungan keluarga di malam hari. Dia menatap anak perempuan satu satunya, "Kau baru saja mendapatkan kuasa yang besar"

"Ayah, dia tahu perselingkuhan itu!" tak tahu malu dengan perkataannya. Kui Xian berdehem demi mengecilkan suaranya yang di penuhi emosi. "Dia ingin mengadu antara aku dan Si Wan, melalui hukuman yang akan kuberikan pada ibunya. Laporan laporan penyelewengan keuangan yang di lakukan oleh permainsuri Yi akan banyak di berikan padaku. Aku mau tak mau harus menghukum beliau" Kui Xian melangkahkan dirinya keluar dari ruangannya, membuka pintu yang terhubung dengan taman belakang istana.

"Pulanglah ayah! Akan jadi masalah besar jika kaisar mengirimkan telinganya ke istana ini" bukan bermaksud mengusir, Kui Xian hanya sedang berhati hati dengan suaminya yang menjadi sangat pintar sejak kematian almarhum kaisar terdahulu. Lelaki itu bisa melakukan segalanya termasuk memenggal kepalanya dan kepala ayahnya.

"Aku mengerti" perdana menteri Xian tentu paham kegundahan anaknya yang memang sangat pintar itu. Dia beranjak ke arah pintu.

Dan—

JLEB

Sebuah anak panah menusuk tepat di jantung Kui Xian, membuat pemilik itu limbung, terjatuh dan kepalanya terhempas di sebuah batu. "KUI XIAN!" suara teriakan ayahnya cukup keras hingga memanggil semua penjaga di sekitar.

Kui Xian tak mendengar apapun. Ia bisa melihat darahnya mengalir, bercampur dengan tetes air hujan yang jatuh dari atap istananya. Mengenang dan memantulkan wajahnya di sana.

"Kyuhyun, kau baik baik saja?"

"Kyuhyun"

"Kyuhyun"

Ika. Zordick

"Anak setan" Kyuhyun, seorang lelaki dengan caramel indah yang tengah menerawang menatap langit senja. Dengan seragam setengah berantakan dia mencoba bangun dari posisi duduknya. Mengumpat sesekali ketika matanya dapat meraih tanda bercak kemerahan di daerah dadanya yang tersingkap. "Dia meninggalkanku setelah puas mencumbu, seperti pelacur sekali"

Menepuk nepuk seragamnya yang mungkin ternoda oleh debu. Kyuhyun kini siap untuk kembali ke rumahnya. Dia membolos, di cumbui tunangannya di atap dan berakhir tertidur di atap ini. Dia akan memutar knop pintu yang menunju tangga kebawah. Caramelnya melihat cincin emas yang melingkar manis di jari manisnya. "Aku lupa menanyakan dimana dia meletakkan cincin miliknya" mendengus kesal.

Biarlah Kyuhyun sibuk dengan monolognya.

Dia menemukan Changmin, teman setianya yang menunggunya di ujung lorong dengan tas miliknya. "Kenapa kau tak menemuiku saja di atas?" Kyuhyun mempercepat langkahnya, mengambil tasnya dan menyampirkan ke bahunya. Changmin memberikan jawaban berupa cengiran khasnya.

"Aku hanya takut menganggu kegiatan bercumbumu dengan tunangan sialanmu itu"

"Kau melihatnya?"

"Sedikit, aku mengumpat setelah sampai ke kelas, kenapa aku tak merekamnya" Changmin tertawa keras ketika mendapati tatapan Kyuhyun. "Setidaknya kita bisa menghalau para jalang yang ingin mengambilnya darimu"

Kyuhyun tertawa keras kini. Mereka sama sama melangkahkan kaki mereka menuruni satu per satu anak tangga, melangkah keluar dari gedung sekolah. Changmin mengedarkan pandangannya, merangkul cepat tubuh Kyuhyun, menutup matanya dengan telapak tangan besarnya. "Kenapa?" Tanya Kyuhyun tapi tak butuh waktu lama ia sangat tahu apa yang terjadi.

"Si bajingan itu yang menyerahkan dirinya pada para jalang, bukan mereka yang merebutnya dariku" Kyuhyun menurunkan tangan Changmin, melihat dengan sangat baik tunangannya itu berciuman dengan siapa lagi kali ini. Dia memang terlahir sebagai playboy. "Aku sudah terbiasa, jika dia tak melakukan itu, mungkin dia adalah lelaki tersempurna di muka bumi ini" nadanya mengejek namun terdengar miris.

Berjalan dengan penuh percaya diri menuju gerbang, Kyuhyun menahan air matanya agar tak mengalir. Sudah biasa. Tapi tak pernah terbiasa. Perselingkuhan tunangannya—entah itu pantas dikatakan perselingkuhan. Mereka hanya di jodohkan, akan menikah tapi tak untuk saling mencintainya.

Hanya dia.

Kibum tidak.

"Kau mau kemana? Biar kuantar pulang"

"Kyuhyun akan pulang denganku, Kibum. Tidak usah repot repot, kasihan pelacur yang baru saja kau cium" Changmin memang sakratis.

Kyuhyun tertawa. "Aku akan bicara kalau aku baik baik sa—" kata kata itu belum selesai di ucapkan oleh Kyuhyun. Sebuah motor melaju cepat, menghempas tubuhnya yang tak melihat ke kiri ke kanan saat akan menyeberang. Masih menghindari kontak mata dengan si pembuat penyakit hati.

"KYUHYUUUUN!"

Tubuh Kyuhyun menggeliat, rasa sakit seolah membuatnya mati rasa. Darah merembes keluar, mengenang di aspal karena jumlahnya yang banyak. Kyuhyun dapat melihat pantulan wajahnya di sana. Suara teriakan melengking Changmin bahkan tak terdengar lagi di telinganya.

Kericuhan.

"Kui Xian!"

"Yang mulia?"

"Ratuku, Kui Xian, bangunlah sayang!"

Ika. Zordick

"Dimana aku?"

TBC

Ayo pilih yang mana?

Si kaisar atau si playboy? Hahahaha xD

Si baik atau si brengsek?