WarningWarningWarningWarningWarningWarningWarningWarningWarningWarningWarningWarning
A-ano-e-eto—
Iya-iya please jangan timpukin Sho-kun pakai keyupuk, timpukin aja Sho-kun sama duit! Hitung-hitung angpao tahun baru #maunya
Maaf publish baru lagi padahal ada dua cerita yang belum kelar, salahkan otak Sho-kun yang terlalu banyak berfantasi, jadilah begini—
Dan sekali lagi, Sho-kun nggak baca ulang(semua fic juga Sho-kun nggak pernah baca ulang) jadi maaf kalau banyak typo atau kata-kata aneh
Ya-ya, bagi yang mau baca aja deh—
BTW, HAPPY NEW YEAR 2013! SEMOGA TAHUN DEPAN MENJADI TAHUN YANG LEBIH BAIK
-HAPPY READING-
.
.
.
TEST
DISCLAMER : MASASHI KISHIMOTO
Story by N.A a.k.a Sho-kun
Pair: HidanHina
Rated: M for next chapter
WARNING: AU, OOC, TYPO, BAHASA KLISE, BORING, RUSH PLOT, DLL
DON'T LIKE DON'T READ
.
.
.
Siang bekerja di cafe malam bekerja di pub bar. Itulah Hinata, seorang mahasiswi jurusan sastra universitas Konoha yang terpaksa membiayai hidupnya sendiri. Tetapi bagaimana kalau ternyata direktur tempat pub barnya ternyata adalah orang yang sama dengan manager dicafenya dan tidak menerima Hinata bekerja disana sebelum melewati tesnya? TES MACAM APA INI?
.
.
.
"Hinata, antarkan ini ke meja nomor dua." Perintah sang manager sambil meletakan sebuah pisin berisi shortcake stawberry diatas nampan. Kemudian beralih mengambil rokok yang sudah tersulut ujungnya dan mulai menyesapnya. Hinata merespon, pandangannya langsung menuju nampan yang telah terisi. Mengangguk singkat, Hinata segera menyambar nampan tersebut dan pergi untuk mengantarkan pesanan.
"Silahkan. Selamat menikmati." Ujar Hinata ramah pada pembeli yang memesan. Setelah mengantarkan pesanan, Hinata kembali menuju counter dan duduk disalah satu mejanya. Tangannya terangkat untuk memijat lehernya yang terasa kaku sampai akhirnya kedua tangannya dilipat kemeja dan kepalanya tenggelam dalam lipatan tangannya.
"Kau kenapa?" Tanya sang manager prihatin. Tangannya berpindah untuk mengusap surai-surai indigo Hinata yang terikat sembarang. Hinata mengadahkan kepalanya sejenak untuk melihat sosok sang manager yang menatapnya dengan pandangan iba. Meneguk ludah, akhirnya Hinata menjawabnya dengan singkat, jelas dan padat.
"Tidak apa-apa Hidanjii-san. Aku hanya sedikit kelelahan." Jawab Hinata yang menjadikan lelah sebagai salah satu alasan dirinya tidak bersemangat untuk kerja malam ini. Yah, bagaimana tidak lelah kalau beberapa hari ini dirinya mengambil full shift dari jam 8 pagi sampai jam 7 malam sedangkan jam 8 malam dirinya sudah diharuskan bekerja ditempat lain dan baru selesai sekitar jam 3 pagi. Belum ditambah dengan perjalanan kembali keapartementnya, secepat-cepatnya Hinata berjalan, paling baru jam 4 dia sampai disana.
Hidan bertopang dagu sambil menganggukan kepala berusaha menerima argument Hinata. Sebelum akhirnya dia beranjak kedapur dan kembali dengan membawa cangkir berisi lemon tea hangat lengkap dengan asap yang mengepul menandakan bahwa minuman tersebut baru saja dibuat. Sesampainya di counter, diletakannya cangkir tersebut tepat dihadapan Hinata membuat Hinata tertegun karena bingung.
"Minumlah." Perintahnya singkat sambil menggambil beberapa piring yang masih basah dan mulai mengeringkannya menggunakan kain.
"Tapi jii-san-"
"Lemon tea mengandung vitamin C sangat baik untuk menjaga kesehatanmu. Aku tidak mau kamu sakit." Jelasnya memberikan ceramah singkat mengenai manfaat minuman tersebut membuat Hinata hanya bisa merespon dengan sebuah huruf 'o' dan dengan malu-malu mengambil cangkir tersebut dengan kedua tangannya dan mulai meminumnya sedikit demi sedikit.
"Terima kasih." Cicit Hinata pelan ditengah-tengah acara minumnya. Pipi Hinata serasa memanas. Ini bukan pertama kalinya manager cafenya tersebut bersikap baik padanya. Sudah beberapa kali Hinata menerima kebaikan sang manager. Hinata merutuk, kenapa dia sangat baik. Kalau begini caranya susah untuk tidak jatuh cinta padanyakan?
"Hinata-"
"Ya-Ya!?" Sahut Hinata cepat setelah sadar bahwa Hidan sudah berusaha memanggilnya berkali-kali tetapi tidak terdengar karena dirinya sedang melamun. Hinata kembali meletakan cangkir yang isinya sudah tinggal setengah di meja counter sebelum akhirnya mengadahkan kepala menghadap sang manager lagi setelah menikmati kepulan asap hangat menerpa wajahnya. "Ma-maaf." Lanjutnya melihat beberapa kerutan yang tercetak diwajah Hidan.
"Tidak apa." Balas Hidan maklum seraya menghisap nikotin yang disediakan oleh rokok yang dihisapnya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi-" Hidan berhenti sejenak, terlihat menimbang-nimbang kata apa yang pantas untuk diucapkannya. "-kalau ada masalah kau bisa meminta bantuanku."
Hinata terperangah kemudian kembali mengigit bibir bawahnya gugup. Tuhkan lagi-lagi managernya memberikan sebuah perhatian yang mungkin saja bisa disalahartikan olehnya. Bagaimana kalau yang Hidan rasakan tidak sama dengan yang Hinata rasakan. Bagaimana kalau ternyata Hidan hanya menganggapnya anak kecil karena umurnya yang masih belum genap 19 tahun sedangkan Hidan sendiri sudah berumur tepat kepala tiga? Hinata mengetuk-ketukan jarinya dimeja sambil berpikir, kalau dia menyatakan cintanya apa mungkin Hidan akan menertawakannya dan berkata itu cuma ilusi? Pastinya dengan umur yang sudah matang, Hidan akan mengangap pernyataan cinta Hinata yang masih baru beranjak dewasa hanya kekaguman sesaat.
Hinata kembali tenggelam dalam dunianya, tidak sadar bahwa daritadi Hidan masih setia mengamati gerak-gerik sang pekerjanya. Ketukan demi ketukan berirama tidak beraturan semakin keras ketika tiba-tiba muka Hinata mengeras ditambah dengan mulutnya yang membentuk pout kecil.
"Kau benar-benar tidak ada masalah Hinata?" Hidan mencoba bertanya sekali lagi setelah yakin Hinata mempunyai masalah yang tidak bisa diceritakan secara gamblang.
Hinata menggeleng, beralasan pergi membuang sampah untuk beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Hidan yang masih punya segudang pertanyaan untuk dijawab.
.
.
.
"Ah tuan selamat datang." Sahut sang manager pub bar melihat sang direktur datang sebelum tempat tersebut buka untuk melayani pelanggan.
Sang pria itu mengangguk singkat, melepas mantel hitamnya dan memberikannya kepada seseorang yang menghampirinya sekedar menawarkan diri untuk menyimpankan mantel sang direktur. Sang manager pub bar itu kemudian memanggil semua pegawainya agar menghadap dan memberi salam kepada sang pemegang kekuasaan tertinggi disana.
"Selamat malam, Direktur." Sapa semua karyawan yang berbaris rapi menyambut masuknya sang direktur. Membalas singkat semua sapaan yang didengarnya, sang pria berlalu untuk menuju ruangan yang sudah beberapa waktu ini tidak dikunjunginya.
"Si anak baru belum datang ya?" Celetuk seorang wanita yang bekerja disana cukup menyita perhatian sang direktur. Menoleh kesamping, sang direktur memberikan tatapan penuh tanya pada manager yang masih berjalan disamping mengekorinya.
"Ah- begini tuan, sejak seminggu yang baru kita punya seorang karyawan baru." Sahut sang menager tanggap. "Tapi entah mengapa hari ini dia terlambat, mungkin salju menghambat keretanya." Lanjutnya sambil memandang keluar jendela melihat awan mendung yang memuntahkan salju menimbun jalanan menjadi putih. "Kalau anda berkenan, saya akan menceritakannya sedikit-"
Dilain tempat, Hinata memacu larinya agar lebih cepat sampai ketempat yang ditujunya. Tidak mengindahkan nafasnya yang semakin pendek-pendek, dalam hati Hinata menjabarkan segala sumpah serapah yang tertuju pada sang manager. Kenapa tadi dia menawari Hinata untuk beristirahat sejenak. Yang berakhir dengan tertidurnya Hinata hingga jam setengah 8 malam disofa ruang karyawan cafe. Begitu keluar ternyata sang manager telah selesai membereskan isi cafe bersama beberapa karyawan yang lain. Merasa bersalah, Hinata terus-terusan meminta maaf sampai akhirnya setelah cafe dikunci Hinata melesat berlari menuju tempat kerja selanjutnya tanpa mengindahkan ajakan sang manager yang ingin memberikan tumpangan untuk pulang. Yah, siapa juga yang mau kalau ternyata pria yang kita suka mengetahui pekerjaan kita yang lain. Yang tentunya jauh dari kata 'baik'.
Hinata menggelengkan kepalanya sejenak, mengibaskan salju yang mulai menumpuk diatas indigonya. Rasa dingin membuatnya memeluk erat-erat mantel usangnya yang membungkus tubuh sitalnya. Jejak-jejak berat tercipta diatas jalanan bersalju takkala Hinata mendapati bahwa jarak yang ditempuhnya semakin pendek. Wajahnya sumringah ketika melihat plang berhiaskan lampu neon warna-warni membentuk susunan kata 'Akatsuki Bar' sudah tinggal beberapa langkah didepannya. Belum ada tanda-tanda pelanggan datang, itu berarti bar belum buka. Hinata menghela nafas lega, setidaknya walaupun terlambat dia tetapi bar belum buka dan Hinata masih mempunyai waktu untuk bersiap-siap.
"Maaf aku terlambat!" Seru Hinata begitu membuka pintu dan masuk kedalam. Hinata membenahi sejenak penampilannya yang cukup acak-acakan, beberapa teman kerjanya berteriak melihat Hinata datang dengan keadaan basah kuyup karena salju yang meleleh bersama suhu tubuhnya yang panas karena berlari. Seseorang yang berbaik hati memberikan Hinata sebuah handuk untuk mengeringkan rambutnya.
"Terima kasih." Hinata menyambut riang handuk yang terjulur padanya, mengambilnya kemudian mengeringkan rambutnya yang kusut karena basah.
"Hina-chan, sebaiknya kau bergegas pergi menganti baju. Direktur sedang ada disini." Saran Ino salah satu rekan Hinata mengangsurkan sebuah kunci ruang ganti.
"Oh begitukah? Kalau begitu sebaiknya aku-" Hinata mulai mengambil langkah panjang-panjang menuju ruang ganti. Langkah panjangnya terhenti melihat potongan siluet seorang pria yang menatapnya tajam dari sofa hitam disudut ruangan. Matanya berubah nanar, refleks Hinata mematung saat pria tersebut mulai mendekatinya dan dalam hitungan beberapa detik sudah berada dihadapan Hinata. Hinata tergugu, meneguk ludah Hinata mencoba untuk memberi salam seperti biasa-nya.
"Se-Selamat malam, Hidanjii-san." Ucap Hinata tergagap melihat figur pria yang berdiri tepat didepannya.
.
.
.
Hinata bergerak gelisah membenarkan roknya yang terlihat semakin mengkerut dan hanya menutupi setengah paha putihnya karena bentuknya yang memang minim. Sesekali membenarkan posisi duduknya yang terasa tidak nyaman, Hinata mencoba menatap sang atasan yang menguarkan aura hitam dan duduk dengan angkuh dikursi kebesarannya terpisah oleh jarak satu meter karena meja jati beronament yang terletak dihadapan keduanya.
"Apa yang kau lakukan disini?" Pertanyaan penuh nada amarah yang datang dari sang pria tidak menakuti Hinata. Bukannya bergidik ngeri, Hinata malah merasa lega, setidaknya atmosfer yang menaunginya tidak terlalu mencekam seperti keheningan yang beberapa saat tadi tercipta.
"Men-mencari uang?" Jawab Hinata tergagap. Hinata menelan ludahnya, merasa bahwa jawaban yang dilontarkannya salah besar karena bukannya melunak, tetapi wajah sang pria berubah semakin mengeras. Hinata menunduk, menyembunyikan wajahnya yang berubah pucat. Kedua tangannya memainkan kedua jari telunjuknya gugup didepan dadanya. Toh, Hinata tidak salah jawab, memang benar itu alasannya. Hinata memerlukan uang yang banyak, sangat banyak! Untuk membayar uang kuliahnya, uang sewa apartemennya dan sederet kebutuhan lainnya yang turut serta menguras kantong finansialnya.
"Untuk bersenang-senang?" Pemikiran aristokrat yang diturunkan oleh keluarganya membuat Hidan berpikir bahwa seorang mahasiswi yang membutuhkan uang pastilah hanya berkeinginan untuk mengejar penampilan, bersolek dan berkencan dengan pemuda sebaya mereka sebelum akhirnya hancur karena perpisahan.
"Ya untuk ber- APA?!" Hinata terkejut. Awalnya Hinata ingin langsung saja mengiyakan pernyataan Hidan agar cepat selesai tetapi kalau salah paham begini sih siapa yang mau. "Aku tidak membutuhkan uang lebih untuk bersenang-senang Hidanjii-san. Aku punya alasan lain." Dirasa tidak perlu menceritakan alasan pribadinya Hinata kemudian berhenti bercerita.
"Kalau begitu untuk apa?" Hidan semakin gencar bertanya. Tetapi Hinata tetap bungkam, alisnya mengeryit dengan muka berpaling agar tidak bertatapan langsung dengan pandangan Hidan yang mengintimidasinya. "Aku rasa uang gaji yang aku berikan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan lainmu sebagai mahasiswi biasa." Lanjut Hidan masih mencoba untuk memancing Hinata bicara dengan menekankan kata biasa pada akhir kalimatnya.
Hinata mengerang kesal dalam hati, bagaimana bisa pria yang selama ini membuat hatinya mendadak membangun taman bunga sama dengan orang yang secara instant membangun perempatan siku-siku dikepalanya. Lagian apa untungnya sih sang direktur yang merupakan orang yang sama dengan manager untuk ikut campur dalam urusannya. Hinata kembali melamun, memutar matanya bosan sambil menggerak-gerakan kakinya dengan cepat.
"Baiklah kalau kau tidak mau bicara." Hidan mengangguk takzim merasa Hinata mempunyai sesuatu yang tidak mungkin dia ceritakan padanya. "Tapi kau tidak bisa bekerja disini." Melipat tangannya kedada dengan angkuh, Hidan mengeluarkan pernyataan keberatan akan adanya Hinata dipub bar yang dikelolanya atau lebih tepatnya, Hidan memecat Hinata secara halus.
"KENAPA!?" Hinata berdiri, mengebrak mejanya dengan keras. Sumpah, kadar parameter kekesalan Hinata sudah sampai pada batasnya. "Baiklah, begini Jii-san aku sudah bekerja disini selama seminggu dan tidak ada keluhan denganku." Hinata mencoba mengadu argument dengan Hidan bahwa tidak ada yang salah saat dia bekerja disini dan itu berarti Hidan tidak berhak untuk memecatnya.
"Kau masih remaja tanggung dan kau-"
"Umurku sudah lebih dari 18 tahun Jii-san!" Hinata memotong perkataan Hidan sebelum Hidan menyelesaikan kalimat yang Hinata sudah tahu kemana arahnya. "Aku bukan anak kecil atau remaja tanggung." Hinata menunjuk dadanya dengan penuh percaya diri. "Aku bisa-"
"Kau tidak tahu pekerjaan apa yang harus kau lakukan disini!" Bentak Hidan pada Hinata. Hidan menggacak rambutnya pelan. Remaja yang ada didepannya ini polos sekali, tidak tahukah Hinata bahwa bekerja ditempat miliknya ini sangat berbahaya? Apalagi bagi gadis yang tidak berpengalaman seperti Hinata.
"Kalau yang Jii-san maksud adalah bagaimana cara bekerjanya. Aku sudah sangat mengerti. Pelanggan adalah raja. Selama pelanggan tidak melakukan perbuatan yang kurang ajar maka kita tidak berhak—"
"Baiklah-baiklah." Sekarang gantian Hidan yang menyela pembicaraan Hinata. Hinata terdiam, kembali duduk ditempatnya dengan tangan menyilang dan wajah berpaling untuk tidak menatap Hidan.
"Jadi sekarang aku boleh keluar dan mulai bekerja? Aku sudah sangat terlambat Jii-san" Hinata melirik jam bundar yang terletakberdiri di meja direktur milik Hidan. Jam sudah menunjukan pukul 21.30. Ya Tuhan, pasti sudah banyak pengunjung yang dating dan Hinata masih terjebak disini belum satu pun mendapat pelanggan untuk dilayani.
"Tidak!" Tolak Hidan, Hinata membelalakan matanya lebar-lebar mendengar penolakan Hidan. 'Apa lagi!?' Teriak Hinata dalam hati.
"Kau harus melalui tes yang aku buat."
"Tes?!" Hinata mengulangi perkataan Hidan. Hidan mengangguk mengiyakan satu kata pertanyaan Hinata. Terdiam, Hinata menundukan kepalanya, bertopang dagu berusaha memproses permintaan Hidan. Setelah akhirnya menghela nafas panjang, Hinata kembali menatap mata crimson merah milik Hidan yang menyiratkan tekad bulat untuk membuktikan konsistensinya sebagai pegawai pub bar disana.
"Baiklah, Jii-san. Cepat katakan padaku apa tesnya?" Tantang Hinata pada Hidan.
"Sini." Hidan menepuk pahanya seperti mengisyaratkan Hinata untuk duduk dipangkuannya. Hinata mengangkat satu alisnya bingung. Maksudnya? "Hey-Hey, kenapa kau terlihat menakutkan begitu?" Hidan terkikik geli melihat ekspresi ketakutan yang menguar dalam wajah Hinata. Berusaha menutupi tawanya yang segera meledak, Hidan menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
"Ja-jangan tertawa! Te-tes seperti apa ini?" Gemetar, Hinata kembali berdiri dari duduknya seraya memeluk tubuhnya sendiri seakan membentuk sebuah perlindungan dari bayangan binatang buas yang hendak menerkamnya. "I-ini tidak seperti yang aku bayangkan, kan?" Hinata berusaha tertawa walaupun yang akhirnya keluar hanya senyum terpaksa. Ok, ini bercanda, pasti Hidan hanya mencoba untuk membuat lelucon dengannya.
"Tes seperti apa?" Hidan menghentikan kikikannya. Kemudian menghadap Hinata untuk menjawab pertanyaan yang Hinata lontarkan. "Tentu saja untuk membuktikan dedikasimu pada pekerjaan ini! Dan ini bukan candaan Hina-chan." Lanjutnya sambil memasang seringai diwajah tampannya.
.
.
.
Lalala~
Ndak tahu, Sho-kun nggak tahu apa-apa—
Lagi-lagi ide random roman picisan numpang lewat di otak Sho-kun jadilah seperti ini. Ini semua gara-gara Hidan, gara-gara ngebayangin dia jadi om-om tamvan pakai baju butler dan dikesempatan lain pakai kemeja+jas dengan dasi longgar ya omg-omg- #authornosebleed
Oh iya, bagi yang nggak tahu pub bar. Sebenernya pub itu sama dengan bar, cuma lebih kecil dan menyediakan service unik. Nah disini servicenya adalah dimana si pelanggan 'pria' bisa ditemani oleh wanita-wanita pegawainya dan berhak untuk digrepe-grepe selama tidak menjurus ke hubungan badan. Yah, begitulah singkatnya~
Well—
Bagaimana tanggapan kalian tentang fic ini? Pasti udah ketebakan lanjutannya? Ufufufufu~
Sekali lagi SELAMAT TAHUN BARU 2013, LAKUKAN RESOLUSI TERBAIKMU UNTUK TAHUN BARU INI! GOOD BYE 2012 thanks for all trolls event QAQ
WITH LOVE—SHO-KUN
