Upon a Spring Breeze

Disclaimer : I do not own Naruto

Summary: Saat rumah sakit keluarga Haruno nyaris bangkrut, Sakura memutuskan untuk menerima bantuan dari Uchiha Fugaku. Syaratnya? Ia harus menikah dengan Uchiha Sasuke, putra bungsu keluarga Uchiha. Di dalam pernikahan yang penuh konspirasi dan motif tersembunyi, apakah mereka akan saling jatuh cinta? Atau malah akan saling menjatuhkan?

A/N: Halo! Maafkan saya yang hiatus bertahun-tahun dan mendelete fict saya yang judulnya Faint Attraction. Alasannya, karena saya merasa cerita yang dulu sangat-sangat disoriented, dan ada satu chapter yang menghilang karena belum ahli pake FFn -_- (so sad... hilang 1 chapter...) Akhirnya fict itu saya rombak sehingga jadilah fict ini yang muncul dengan judul yang berbeda…. Hehehe

Selamat membaca! Semoga suka :)


Chapter 1 : Satu Penyelesaian

Seorang wanita berambut merah muda sedang berbaring di atas tempat tidur. Tampak sepasang lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup, membuatnya terlihat beberapa tahun lebih tua dari yang semestinya. Wanita itu sangat lelah setelah berjam-jam bekerja di rumah sakit tanpa henti. Profesinya sebagai dokter bedah membuatnya harus bisa bertahan menjalani jam kerjanya yang panjang. Hari ini adalah hari Minggu, satu-satunya hari dalam satu minggu di mana ia tidak harus ke rumah sakit, jadi ia berniat untuk menebus jam tidurnya yang kurang itu. Namun, hari ini sepertinya ia salah besar.

Terdengar suara ketukan di pintu kamarnya, disusul suara seorang perempuan.

"Sakura-sama," perempuan itu memanggil.

Sakura mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan segenap kesadarannya. Ia masih belum ingin bangun, mengingat dirinya baru pulang dini hari tadi. Namun, sepertinya perempuan di balik pintu itu tidak peduli dengan betapa mengantuknya Sakura.

"Sakura-sama!" Perempuan itu memanggil namanya lagi.

Dengan enggan Sakura turun dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamarnya.

"Ada apa Yumi?" Tanya Sakura dengan mata setengah terpejam.

"Maaf Sakura-sama, tapi tadi Yamanaka-sama menelepon. Ia berpesan agar saya membangunkan anda," jawab Yumi.

Sakura mengangkat alis. Ia lalu melirik jam dinding di kamarnya. Pukul tujuh pagi. Ada apa dengan sahabatnya yang satu itu? Tidak biasanya seorang Yamanaka Ino menelepon sepagi ini dan menyuruhnya untuk bangun. Sahabatnya yang satu itu paham betapa sibuknya Sakura dan betapa penting waktu istirahatnya di hari minggu. Selain itu, Ino pun butuh istirahat juga, meskipun wanita itu bukan seorang dokter.

Ino bekerja sebagai editor majalah fashion ternama di Jepang yang terbit setiap bulan. Pekerjaannya itu mempunyai jam kerja yang tidak kalah banyaknya dengan Sakura. Belum lagi hari-hari yang dipenuhi bayangan deadline di setiap minggunya. Sama dengan pekerjaan Sakura, pekerjaan Ino juga menuntut kesempurnaan. Tidak ada kata tidak sempurna untuk setiap halaman majalah itu. Singkatnya, Ino dan Sakura sama-sama sibuk. Meskipun begitu, mereka masih meluangkan waktu di hari minggu untuk bertemu dan belanja bersama. Akan tetapi, minggu ini adalah minggu terakhir bulan Juli, yang artinya minggu sibuk bagi Ino. Sebenarnya ada apa Ino menelepon?

Sakura menghela napas. "Baiklah, kau boleh pergi," perintahnya. Yumi membungkuk dan kemudian beranjak.

Sakura menutup pintu dan berjalan ke meja riasnya. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di sana. Ada sepuluh panggilan tidak terjawab dan semuanya dari Ino. Pantas saja ia menelepon ke rumah…. Dengan segera ia menekan tombol memanggil untuk menelepon sahabatnya itu. Setelah beberapa saat, terdengar suara Ino dari seberang sambungan telepon.

"Akhirnya kau bangun juga!" Ino menjawab.

"Ada apa, Ino?" Tanya Sakura.

"Ada hal yang ingin kutanyakan padamu, Sakura. Apa kau punya waktu pagi ini?" Tanya Ino.

"Ada apa, Ino? Kenapa tidak kau tanyakan sekarang saja?" Tuntut Sakura.

"Sudahlah, nanti saja! Lagipula, ini hal yang harus kita bicarakan empat mata. Sekarang, cepat mandi dan berpakaian, kita bertemu di café seperti biasa," jawab Ino serius.

"Hei! Jangan memerintahku seenak jidat!" Seru Sakura.

"Masa bodoh! Sekarang cepat bersiap-siap, Sakura!" Perintah Ino lagi.

"Hah! Baiklah…." Sakura akhirnya menyerah.

"Sampai jumpa!"

Klik. Ino mengakhiri percakapan mereka.

Sakura melempar ponselnya ke atas tempat tidur dan segera berlari ke kamar mandi. Ia menyalakan keran air hangat dan bersiap-siap mandi.


Sakura memasuki café yang Ino maksud. Segera saja aroma kopi yang khas menyerbu penciumannya. Ia menyapukan pandangan, berusaha menemukan sekelebat warna pirang pucat yang khas dari rambut Ino. Akhirnya ia bisa menemukan Ino di sudut ruangan dekat jendela sedang duduk sambil menyesap secangkir minuman yang terlihat seperti kopi. Hari ini Ino mengenakan blus tanpa lengan berwarna putih yang dikombinasikan dengan cropped pants dan ankle boots sementara rambutnya diikat kuda tinggi, memberikan kesan edgy.

"Ino!" Panggil Sakura. Ino melambaikan tangannya, menyuruh Sakura untuk mendekat.

"Ada apa kau memanggilku pagi-pagi begini, Ino?" Tanya Sakura.

"Pertama-tama, ini kopimu. Jangan bilang aku membangunkanmu tanpa belas kasihan," ujar Ino sambil menyodorkan secangkir kopi pada Sakura.

"Terima kasih," balas sakura sambil menghirup kopinya.

"Kedua, aku ingin kau menjelaskan ini," kata Ino sambil mengeluarkan sebuah majalah edisi terbaru bulan ini dari tas Chanelnya.

"Majalah ini baru keluar besok, tapi aku berhasil mendapatkan salinannya dari seorang teman," tutur Ino sambil membalik-balik halaman hingga tiba pada satu artikel.

Halaman itu memuat sebuah artikel bersamaan dengan foto Sakura dan foto seorang laki-laki. Laki-laki itu berambut hitam, sehitam warna bulu burung gagak. Kulitnya putih, namun tidak pucat. Matanya berwarna hitam, tatapannya tajam. Fitur wajah laki-laki itu membuatnya terlihat tampan. Bisa dibilang, ia tipe laki-laki idaman semua wanita di Jepang. Ia juga terlihat cukup muda, kira-kira seusia Sakura. Dalam foto itu ia terlihat sedang menjelaskan sesuatu pada seorang dokter lainnya. Jelas foto itu diambil secara sembunyi-sembunyi.

Di sebelah foto laki-laki itu, terdapat foto Sakura yang juga terlihat diambil secara sembunyi-sembunyi. Sakura bisa mengenali foto itu. Itu adalah foto dirinya sehari yang lalu seusai bertemu dengan Uchiha Fugaku, pimpinan sebuah perusahaan farmasi bernama Uchiha Corp. Seketika itu, Sakura tahu apa yang dimaksud oleh Ino.

Sakura terhenyak di kursinya. Ia lelah karena tahu ke mana pembicaraannya dengan Ino berujung. Dan saat ini ia sangat tidak ingin membicarakan hal itu.

"Ino … aku..." Sakura berusaha menjelaskan, namun kata-kata itu tidak keluar dari mulutnya.

"Apa ini benar kalau kau akan menikah dengan laki-laki ini?" Tanya Ino sambil menunjuk laki-laki berambut hitam di foto.

Sakura memejamkan matanya dan mengangguk.

"Bagaimana bisa? Kau tidak pernah bercerita kalau kau sedang berkencan dengan seorang Uchiha Sasuke! Kau tidak mau tahu pendapatku sebagai tentang pria itu? Lalu apa ini? Ini pernikahan, Sakura! Bagaimana bisa kau akan menikah dan aku tidak tahu tentang hal ini?" protes Ino.

"Aku mengerti, Ino…. Percayalah, dalam situasi normal, aku pasti akan menceritakan semuanya padamu. Tapi kali ini situasinya berbeda," ujar Sakura.

"Apa maksudmu?" Tanya Ino.

"Kau tahu kan kejadian musim panas lalu membuat keuangan kami memburuk…. Kami hampir tidak bisa lagi mempertahankan Konoha. Kalau begini terus, Konoha terpaksa harus ditutup. Aku tidak ingin itu terjadi. Kau tahu 'kan rumah sakit itu adalah impian ayahku, aku tidak mungkin melepaskannya begitu saja," ujar Sakura.

Tentu saja Ino ingat kejadian musim panas lalu…. Itu pertama kali dalam hidupnya melihat Sakura menangis habis-habisan. Sakura tidak pernah menangis seperti itu, bahkan tidak saat ia dijahili oleh teman-temannya semasa SD dulu. Bagaimana tidak? Sakura kehilangan ayahnya. Saat itu, Konoha, rumah sakit yang susah payah dibangun oleh ayahnya, dilalap api. Semua orang berhasil menyelamatkan diri, kecuali satu, Haruno Kizashi tidak sempat menyelamatkan diri. Saat kejadian, Kizashi sibuk menyelamatkan pasien-pasien yang masih tertinggal. Tetapi ia sendiri terlambat keluar sebelum salah satu bangsal rumah sakit itu ambruk karena terbakar api.

Kerusakan yang dialami Konoha cukup parah, membuat pihak rumah sakit harus bekerja ekstra untuk memulihkan keadaan rumah sakit. Ino tahu Sakura telah mengorbankan banyak hal untuk rumah sakit itu selama beberapa bulan terakhir. Kekosongan jabatan ayahnya di direksi harus diisi oleh Sakura. Hal itu membuat jam kerjanya bertambah dan jam praktiknya pun harus dikorbankan. Ino mungkin bukan seorang dokter seperti Sakura, tetapi ia juga menyukai pekerjaannya seperti sahabatnya itu. Salah satu yang paling Ino sukai adalah ia bisa menghadiri Fashion Week. Ino bisa merasakan kekecewaan Sakura saat sahabatnya itu harus mengurangi jam praktiknya, rasanya pasti sama seperti tidak bisa ikut dalam Fashion Week.

Akan tetapi, tidak peduli seberapa besar usaha Sakura, sepertinya kondisi Konoha tidak juga membaik. Hingga saat ini hanya beberapa bangsal saja yang bisa dipulihkan. Sementara pemulihan bangsal-bangsal lainnya sepertinya baru mimpi. Kalau begitu terus-menerus, Konoha harus ditutup dan bagi Sakura itu akan seperti kehilangan peninggalan terakhir Kizashi. Sakura tidak akan bisa menerimanya.

Ino menggeleng sambil kembali menyesap kopinya. "Apa tidak ada cara lain?" Tanyanya.

Sakura menggeleng dan berkata, "Aku tidak bisa memikirkan jalan lain, Ino. Tidak ada perusahaan yang mau berinvestasi pada rumah sakit yang hampir bangkrut. Selain itu, karena kondisi saat ini, kami sudah kehilangan beberapa dokter ternama. Reputasi kami pun menurun…. Kalau ada yang bisa menolong kami, hanya Uchiha Fugaku lah yang bisa. Uchiha Fugaku bersedia mendanai renovasi Konoha … tapi…."

"Tapi, ia tidak melakukannya secara cuma-cuma?" Lanjut Ino.

Sakura mengangguk. "Ia bersedia melakukannya, kalau keluarga kami bersatu."

"Dan itu berarti kau harus menikah dengan putranya?"

Sakura mengangguk.

Ino hanya terdiam dan menatap Sakura setelah sahabatnya menjelaskan semuanya. Ia mengeti apa yang menjadi pertimbangan Sakura. Antara kebahagiaannya sendiri atau rumah sakit peninggalan ayahnya, Sakura pasti memilih rumah sakit itu. Sakura pasti tidak akan rela melepaskan peninggalan terbesar dari ayahnya.

Ino lalu menggeleng. "Sudahlah, untuk sementara, kau lupakan dulu masalah ini, oke? Hari ini aku sedang senggang, bagaimana kalau kita pergi belanja? Aku yang traktir! Kurasa kau membutuhkannya," ajak Ino.

Sakura tersenyum kecil. Ino selalu tahu cara untuk menghiburnya.

"Terima kasih, Ino."


Waktu selalu berjalan dengan cepat saat kau menghabiskannya dengan temanmu. Itulah yang dirasakan Sakura hari itu. Waktu serasa berjalan sangat cepat, secepat kilat menyambar. Tanpa terasa langit sudah memerah dan kakinya pun terasa pegal. Sakura dan Ino memasuki restoran favorit mereka untuk makan malam dan mengistirahatkan kaki.

Sakura meletakkan tas-tas belanjaannya di atas kursi kosong dan menduduki kursi di sebelahnya sementara Ino duduk di seberang Sakura. Seorang pelayan memberikan mereka menu restoran. Kedua wanita itu segera memesan makanan dan minuman tanpa menunggu. Rasanya seperti tradisi, mereka selalu makan di restoran itu setelah berbelanja sampai-sampai mereka sudah hafal menu di restoran itu.

"Kami-sama! Kakiku seperti mau copot rasanya!" Seru Sakura sambil mengurut-urut betisnya.

Ino berdecak, "kau ini! Salahmu sendiri yang memakai heels, Sakura!"

"Hey! Kau tidak berkata apa-apa soal belanja. Kupikir kita akan mengobrol di café saja," tukas Sakura.

"Salahmu sendiri yang bertampang muram. Wajahmu yang meminta ditemani belanja, Jidat!"

Sakura memutar bola matanya. "Aku bahkan tidak membeli satu barangpun. Lebih tepatnya aku yang menemanimu belanja, Pig!"

Mereka tertawa, Sakura memang tidak terlalu hobi berbelanja. Ia hanya suka melihat-lihat dan hanya berbelanja jika barang itu benar-benar dibutuhkan. Inolah yang paling suka belanja di antara keduanya. Wanita itu sangat suka membeli pakaian walaupun tidak terlalu membutuhkannya. Sebenarnya wajar-wajar saja Ino seperti itu, mengingat pekerjaannya yang berkutat di dunia mode. Sementara pekerjaan Sakura tidak menuntut dirinya untuk membeli pakaian-pakaian indah bermerk mahal. Sehari-hari Sakura hanya mengenakan pakaian bebas sebelum dan setelah bekerja, sisanya pakaian itu akan terlipat rapi di lokernya sementara ia mengenakan seragam rumah sakit. Meski begitu berbeda, kedua wanita itu selalu bisa meluangkan waktu untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama.

"Setelah ini kau harus memberitahuku semuanya, Sakura. Walaupun aku tidak bisa membantumu, paling tidak aku bisa mendengarkanmu," ujar Ino serius.

Sakura tersenyum padanya. "Tentu... Terima kasih, Ino."

"Kau tahu, setidaknya calon suamimu itu seksi," goda Ino.

"Ino!" Seru Sakura. Wajahnya merona merah mendengar komentar Ino.

"Jangan bilang kalau kau tidak setuju. Wajahmu itu tidak bisa berbohong!"

Sakura memutar bola matanya, berusaha terlihat seakan-akan ia tidak terpengaruh.


Beberapa hari yang lalu, Uchiha Sasuke tidak mengenal yang namanya Haruno Sakura. Sekarang, nama itu terngiang-ngiang di kepalanya semenjak ayahnya memberitahukan pertunangan mereka. Ia sangat terkejut. Tidak! sangat terkejut tidak bisa menggambarkan perasaannya saat menerima informasi itu, ia SANGAT SANGAT terkejut. Ia tahu bahwa ayahnya sedang mencoba memperkuat pengaruh Uchiha Corp dengan membeli beberapa rumah sakit, dan salah satunya adalah Rumah Sakit Konoha milik keluarga Haruno. Ia hanya tidak menyangka bahwa ia merupakan bagian dari kesepakatan di antara ayahnya dan keluarga Haruno.

Sasuke menghela napasnya. Ia tidak seharusnya memusingkan hal itu sekarang. Tugasnya hari ini masih belum selesai. Saat ia selesai menangani pasien terakhirnya hari ini, tiba-tiba pagernya berbunyi. Sebuah pesan masuk dan memberitahunya kalau ia masih harus mengoperasi satu pasien lagi.

"Uchiha-sensei!" Panggil seorang perawat.

Sasuke menoleh. Dahulu nama itu ditujukan pada ayahnya. Sekarang setelah ayahnya tidak lagi menjalankan praktik, nama itu ditujukan padanya.

"Apa anda sudah mendapatkan pesan-" perawat itu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Sasuke sudah bergegas sambil melambaikan pagernya tanda ia sudah menerima pesan yang dimaksud.

Sasuke berniat menyelesaikan operasi terakhirnya hari itu secepat mungkin. Bukan hanya karena kecepatan dan ketepatan memang dibutuhkan pada saat operasi, tetapi juga karena ia ingin segera pulang ke apartemennya. Ia ingin mengatakan kalau berita pertunangannya itu tidak memengaruhinya, tetapi ia tidak bisa bohong. Seharian ini ia hampir tidak bisa berkonsentrasi karena emosinya. Ia mungkin masih muda, tetapi ia sudah menyandang gelar dokter spesialis bedah. Tentu saja kasus yang ditanganinya lebih berat dari dokter-dokter biasa. Beruntung hari ini ia tidak menangani kasus yang begitu berat seperti biasanya.

"Kudengar kau akan pindah, Sasuke?" Tanya seorang dokter yang tiba-tiba berjalan di sampingnya.

Dokter itu bernama Uzumaki Naruto, dokter spesialis bedah yang juga merupakan sahabat Sasuke. Mereka sudah bersahabat sejak kecil karena keluarga Uzumaki dan Uchiha memang memiliki hubungan bisnis yang dekat sejak dahulu. Mereka sama-sama bersekolah di sekolah dengan program akselerasi. Berbeda dengan Sasuke yang terlahir jenius, Naruto harus berjuang mati-matian menempuh pendidikannya hingga bisa mendapatkan gelar spesialisnya. Entah mengapa, laki-laki itu selalu menganggap Sasuke sebagai rivalnya walaupun secara akademis perbedaan mereka begitu mencolok. Mungkin karena hubungan keluarga mereka yang saling bekerja sama sekaligus saling bersaing.

"Hn," jawab Sasuke asal.

"Ke Rumah Sakit tunanganmu itu? AWWW!" Naruto berteriak saat kepalan tangan sasuke mengantam kepalanya.

"Masih calon, Dobe!" Ujar Sasuke jengkel. Dasar Naruto, seenaknya saja memberikan predikat. Mereka bahkan belum bertemu, bagaimana bertunangan? Dasar Naruto bodoh!

Naruto mengusap-usap bagian kepalanya yang terkena pukulan Sasuke. "Hati-hati dong! Kalau aku gegar otak bagaimana?"

"Hn. Pukulan seperti itu tidak akan mengakibatkan trauma di otakmu. Dura matermu* kan lebih tebal daripada manusia normal," ujar Sasuke asal. [dura mater: salah satu lapisan pembungkus otak yang kuat]

"Dasar kau ini!" Gerutu Naruto. "Kapan kau akan pindah?"

Sasuke mempercepat langkahnya karena Naruto mulai menanyakan hal yang tidak ingin ia bicarakan saat ini. Ya, pertunangannya dengan gadis Haruno itu juga berdampak pada karirnya. Ayahnya meminta Sasuke untuk bekerja di rumah sakit itu. Bagi Uchiha Fugaku, tidak ada kata tidak. Jadi, Sasuke hanya bisa menuruti kehendak ayahnya dan memindahkan praktiknya ke rumah sakit itu. Tentu saja Sasuke bisa melihat dasar keputusan ayahnya. Rumah sakit itu hampir bangkrut karena kebakaran, ditambah dengan dokter-dokter unggul yang mulai angkat kaki karena tidak bisa menjalankan praktiknya. Meskipun muda, Sasuke adalah salah satu dokter bedah terbaik di Jepang. Memindahkan Sasuke ke sana akan menaikkan citra rumah sakit itu.

"Minggu depan," jawabnya.

"Begitu ya... Cepat sekali," komentar Naruto.

"Hn," tanggap Sasuke singkat. Sasuke berharap Naruto mengganti topik pembicaraan mereka yang semakin melelahkan. Cepat atau lambat Naruto pasti akan menanyakan tentang perempuan itu.

"Tentang tunanganmu itu-" Betul kan yang Sasuke pikirkan! "-AW! Kau!" Kepalan tangan Sasuke kembali mengenai kepala Naruto. "Iya, iya! Calon tunanganmu itu, dia-"

"Uchiha-sensei! Pasien anda sudah siap!" Panggil seorang perawat yang menyelamatkan Sasuke dari pertanyaan Naruto lainnya. Diam-diam Sasuke berterima kasih pada perawat itu.

Sasuke menoleh dan segera mengikuti perawat itu, meninggalkan Naruto dengan pertanyaannya yang tidak sempat terselesaikan.

"Dasar... Dia itu," Gerutu Naruto.


"dr. Itachi" begitulah nama yang terukir di atas plat berbentuk prisma segitiga berwarna hitam di atas meja sebuah ruangan praktik. Di baliknya tampak seorang laki-laki berkemeja biru tua yang sedang serius membaca koran pagi ditemani secangkir kopi. Di sandaran kursi tersampir jas putih yang biasa dipakainya pada saat menangani pasien. Jarum jam di ruangan itu menunjukkan pukul enam pagi. Jam praktiknya memang belum mulai, tetapi Itachi memang selalu datang lebih awal untuk membaca koran dan meminum kopi hariannya.

Tiba-tiba pintu ruangan praktik itu terbuka. Spontan, Itachi menoleh, otaknya otomatis berada dalam keadaan siaga, mengira ada keadaan darurat yang harus ditanganinya dengan segera. Namun, ia hanya menemukan sahabatnya di ambang pintu yang sedang meringis, memamerkan deretan gigi-gigi runcing yang terkesan menyeramkan. Hoshigaki Kisame, itulah nama pria yang mengganggu rutinitas Itachi pagi ini.

Kisame adalah teman sekamar Itachi semasa kuliah di Amerika dulu. Ya, meskipun penampilannya aneh dan terkesan punk, Kisame pernah mengenyam pendidikan dokter seperti Itachi. Namun, laki-laki itu terlalu arogan untuk menjadi dokter dan memutuskan untuk drop out dari universitas. Untungnya bagi Kisame, bakat bisnisnya begitu menonjol dan menjadikannya pebisnis besar. Laki-laki itu sekarang menguasai ekspor impor suplemen kesehatan.

"Yo, Itachi!" Sapa laki-laki itu sambil memasuki ruangan praktik Itachi tanpa dipersilakan. Kisame kemudian duduk di seberang Itachi, juga tanpa dipersilakan.

Itachi hanya menghela napas dan melipat korannya. Ia sudah terbiasa dengan tingkah laku Kisame yang tidak tahu aturan ataupun tata krama.

"Apa yang kau inginkan?" Tanya Itachi sambil meneguk kopinya.

Selalu seperti itu dengan Kisame. Laki-laki itu terlalu perhitungan untuk melakukan sesuatu hanya untuk basa-basi. Kisame pasti punya niatan tertentu datang pada Itachi sepagi ini.

"Hey, hey! Kau seharusnya tidak memasang tampang seperti itu! Aku jauh-jauh datang dari Tokyo ke Hokkaido untuk menemui mantan teman sekamarku dan ini yang kuterima?" Protes Kisame.

"Kau tidak pernah beramah-tamah, Kisame. Berhentilah berpura-pura dan katakan saja apa maumu?" Tanya Itachi.

"Baiklah, baiklah…. Kau mungkin mau membaca ini," ujar Kisame sambil melemparkan sebuah koran ke atas meja kerja Itachi.

"Kalau kau tidak sadar, aku sedang membaca koran sekarang," ujar Itachi.

Kisame menggeleng. "Ini koran yang berbeda. Ada artikel tentang keluargamu dalam koran itu. Kurasa kau ingin membacanya. Lagipula kau tidak banyak mendengar kabar tentang mereka selama …" Kisame menghitung dengan jari-jarinya. "… tiga tahun?"

Itachi memejamkan matanya dan menghela napas. "Kurasa kau juga tahu kalau sekarang aku sudah tidak ingin berurusan lagi dengan orang-orang yang kau sebut keluargaku itu," jawabnya.

"Well, tentu saja…. Maksudku kau dan ayahmu membuat headline di koran-koran waktu itu. Tapi apa kau yakin tidak ingin melihat isi artikel itu?" Tanya Kisame sekali lagi.

Itachi semakin gerah mendengarnya. Sudah tiga tahun ia pergi meninggalkan keluarga Uchiha. Bahkan saat ini ia sudah tidak memakai nama itu lagi. Mendengar ratusan orang memanggilnya dengan sebutan "Uchiha-sensei" sudah membuatnya muak. Nama itu mengingatkan dirinya pada ayahnya. Jadi ia memutuskan untuk tidak mencantumkan nama keluarganya lagi. Awalnya orang-orang segan untuk memanggilnya dengan nama kecil saja, tetapi Itachi berhasil meyakinkan mereka untuk tidak terlalu memusingkan hal itu. Setelah usahanya selama ini untuk menghapus nama Uchiha dari dirinya, Kisame datang dan membawa nama itu ke hadapannya.

"Kau tahu jawabanku…." Jawab Itachi.

"Meskipun itu tentang adikmu?" Pancing Kisame. Siasatnya untuk mendapatkan perhatian Itachi nampaknya berhasil. Laki-laki itu menatap Kisame dengan penuh selidik.

"Ah, begini saja…. Aku akan meninggalkan benda ini di atas mejamu," ujar Kisame sambil bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Laki-laki itu kemudian berhenti dan berkata, "Oh ya, kau bisa berterima kasih nanti. Tidak perlu susah-susah, sebotol whiskey saja sudah cukup."

Kisame lalu beranjak dan menutup pintu di belakangnya. Meninggalkan Itachi di ruang praktiknya dengan koran itu di atas meja.

Itachi menatap koran itu dengan penuh ingin tahu. Keluarganya tidak banyak masuk ke dalam koran. Memang Uchiha Corp adalah perusahaan besar yang menaungi banyak rumah sakit. Namun, kalau memang artikel itu tentang perusahaan seharusnya ayahnyalah yang berada dalam artikel, bukan adiknya.

Lalu, apa maksud Kisame dengan membawa-bawa adiknya ke dalam pembicaraan mereka? Apakah memang ada hal penting tentang adiknya dalam artikel itu? Egonya berkata ia tidak seharusnya peduli akan apa yang terjadi pada keluarganya sekarang. Namun, hatinya berkata untuk membaca isi artikel yang dimaksud. Lagipula, adiknya tidak memiliki sangkut paut apapun dengan perselisihan di antara dirinya dengan ayahnya.

Itachi menghela napas sekali lagi sebelum membuka koran itu. Ia tidak bisa menyingkirkan rasa penasarannya. Itachi membalik-balik halaman hingga tiba di halaman yang dimaksud Kisame. Laki-laki itu tidak berbohong. Sekali lihat Itachi langsung tahu kalau berita di artikel itu tentang adiknya. Foto Uchiha Sasuke terpampang di satu kolom, berdampingan dengan foto seorang wanita. Wanita itu berambut pendek berwarna merah muda. Ia terlihat sebaya dengan Sasuke. Namun, Itachi tidak pernah melihat wanita itu. Itachi mulai membaca judul artikel itu:

Pertunangan Uchiha dan Haruno: Sebuah Akhir Cerita Dongeng atau Sebuat Strategi Bisnis?

Uchiha Sasuke tidak lagi melajang! Dokter bedah muda itu dikabarkan telah bertunangan dengan Haruno Sakura (27). Pertunangan mereka diumumkan kemarin setelah pertemuan kedua pihak keluarga. Namun, Uchiha Sasuke dikabarkan tidak hadir dalam pertemuan itu sementara Haruno Sakura terlihat hadir bersama dengan Haruno Mebuki. Warga Tokyo tentu masih ingat insiden musim panas lalu ketika Rumah Sakit Konoha milik keluarga Haruno terbakar dan menewaskan Haruno Kizashi. Hal ini memunculkan berbagai spekulasi mengenai pertunangan mereka. Apa lagi mengingat tidak ada kabar yang beredar bahwa keduanya sedang berkencan. Apakah pertunangan ini benar-benar persatuan dua insan, ataukah hanya strategi bisnis semata?

Untuk saat ini belum ada jawaban apa pun dari kedua pihak dan Uchiha Fugaku tampaknya tidak menggubris isu-isu tersebut. Ia tetap mengumumkan pertunangan putra bungsunya dengan putri keluarga Haruno kemarin malam kepada media. Kabarnya, pesta pertunangan mereka akan diadakan di hotel Mandarin Oriental Tokyo akhir pekan ini….

Itachi tidak perlu melanjutkan membaca artikel itu. Ia mengerti sekarang mengapa Kisame memperlihatkannya artikel itu. Sekarang sepertinya Itachi berhutang sebotol whiskey pada pria itu….

Dan ia akan memberikannya sendiri nanti setelah tiba di Tokyo.


Kisame baru saja melangkah keluar dari klinik di mana Itachi membuka praktiknya saat sebuah limousine hitam berhenti di hadapannya. Kisame berhenti dan menunggu karena tahu limo itu berhenti untuknya. Seorang pria berjas dan berkacamata hitam keluar dari dalam mobil dan membukakan pintu untuknya. Kisame masuk ke dalam limo itu tanpa ragu-ragu.

Di dalamnya sudah tersedia sebotol whiskey kesukaannya dan gelas berisi es batu, siap untuk menampung whiskey.

"Ah, anda tahu apa yang saya suka," ujar Kisame terkesan. Ia lalu menuangkan whiskey itu ke dalam gelas.

"Anda tidak seharusnya meragukan kemampuanku untuk mendapatkan informasi, Hoshigaki-san." Terdengar suara serak seorang laki-laki bersamaan dengan turunnya partisi di hadapan Kisame.

Terlihat siluet seorang laki-laki. Kisame tidak bisa melihat wajah laki-laki itu dengan jelas karena laki-laki itu tidak menyalakan lampunya. Namun, Kisame tidak terlalu peduli akan wajah laki-laki misterius itu. Ia hanya peduli akan apa yang bisa didapatnya dari laki-laki itu.

"Ah, tentu saja. Omong-omong, Kisame saja suda cukup," ujar Kisame sambil menuangkan whiskey itu ke dalam gelas. Kisame tidak suka menggunakan sapaan yang terlalu formal, rasanya aneh. Namun, sejak pertemuan pertama mereka, laki-laki itu selalu berbicara dengan formal.

"Tentu saja, Kisame-san. Jadi apakah anda sudah memastikan ia membaca artikel itu?" Tanya laki-laki itu. Kali ini keformalannya berkurang meski masih terasa terlalu formal bagi Kisame.

Kisame meneguk whiskey itu. "Aku tidak perlu memastikannya. Ia pasti sedang membaca artikel itu sekarang."

Suara itu diam sejenak sebelum bertanya, "Bagaimana anda tahu?"

"Itu mudah…. Itachi mungkin berkata kalau ia membenci keluarganya, tapi sebenarnya ia hanya membenci ayahnya dan dirinya sendiri. Jika itu tentang adiknya, ia pasti tidak akan tinggal diam," jawab Kisame.

"Begitu rupanya…."

Kisame meletakkan gelasnya yang sudah kosong di atas meja. "Sekarang apa lagi yang anda inginkan?" Tanya Kisame.

"Untuk sekarang ini anda bisa menikmati whiskey itu dulu. Chauffeurku akan mengantar anda ke bandara," jawab laki-laki itu sebelum partisi naik kembali.

"Jangan lupa keseluruhan perjanjian kita," kata Kisame sebelum partisi itu kembali menutup.

"Tentu," jawab laki-laki itu lagi. Dan itu terakhir kalinya laki-laki itu berbicara sepanjang perjalanan.


A/N: Itu dia chapter pertama! Mohon maaf kalau ada kesalahan-kesalahan ya. Gimana cerita ini menurut kalian? First impression? Menarik? Biasa aja? Please let me know what u think about it dan kalau kalian mau chapter keduanya! Hehe

Reviews, favorites and follows are much appreciated! Thank you for reading!

[Updated: 7/6/2015 - dd/mm/yyyy]