—sepenggal narasi bisa menjadi awal, klimaks, maupun akhir dari kisah hidup seseorang—
.
.
.
Hetalia © Hidekaz Himaruya
Trias Politica © MooMoo
.
.
TRiAS POLiTiCA
/pars pro toto ; taking a part for the whole /
prologo
5! — Brother
.
.
CRAS
Merah segar mekar dari leher tanpa kepala.
.
Malam itu hutan dipenuhi jeritan.
Lolongan serigala pada sang bulan adalah denting dimulainya pesta. Pemain sudah lengkap dan darah terlanjur tumpah, bukan? Entah itu darah musuhmu maupun kolegamu maupun darahmu sendiri yang muncrat dari luka di sendi bahu. Matamu sewarna daun segar, tak lelah berkelebat liar menelusuri keadaan, dan kau pun mulai menghitung.
Satu, dua, tiga... Berapa lagi yang masih tinggal? Tak banyak, hatimu mencelos.
Di pihakmu hanya tersisa beberapa tentara setia, sebagian besar pengawal yang kau bawa dari kastil telah ambruk dengan luka menganga, terinjak-injak dan menjadi mayat tanpa nyawa.
Keadaanmu terpojok. Check.
Kau tajamkan seluruh indera dalam butanya malam. Satu tanganmu memegang pedang dan tangan yang lain mendekap adikmu. Tubuh mungilnya melesak dalam pelukanmu, aman terkunci di tengah dada dan lengan kirimu, ikut terguncang hebat di atas kudamu yang meringkik liar.
Isakannya samar terdengar di sela-sela raungan pertempuran.
Dari dulu, tangisannya selalu sukses membuatmu sakit kepala.
Kau membenci suara tangisnya, sifat cengengnya, semuanya.
.
Arthur, diam!
Dan adikmu—Arthur Kirkland yang tak berguna, adikmu yang selalu membuatmu sakit kepala, adikmu (yang polos dan tak berdosa dan hartamu yang paling berharga) menatapmu dengan penuh air mata. Wajah bundarnya memerah dan basah, kedua tangannya tetap erat mengait di bajumu—takut kalau-kalau kau akan meninggalkannya sendirian.
Apakah adikmu sebegitu meragukanmu? Ingin kau tanya begitu, namun kau simpan dalam hati. Bukan waktunya.
Kita akan mati, Kak? seguknya. Kita akan mati seperti Ayah dan Ibu?
(kita akan mati terpenggal seperti ayah dan ibu dalam opera yang gila itu?)
Kita tidak akan mati. Berhenti menangis!
(jangan lihat jangan jangan—)
Tapi—tapi—Aku takuut! Kakak, jangan tinggalkan aku!
Pedang mengayun seperti bandul, menebas rata musuh di depanmu. Adikmu memekik lengking, pelukannya semakin erat dan frustasi, jubah hijau limunnya dilumuri semburat darah musuh yang baru saja kau penggal. Dari balik jubah itulah kalung warisan keluargamu menyembul keluar, berkilauan seakan menantang untuk ditemukan. Ukiran naga emas yang merengkuh permata merah terlihat makin megah di tengah lantunan perak sang rembulan.
[Trias Politica]
—peninggalan turun-temurun keluarga Kirkland.
Sang pengabul segala. Sang penanda Yang Terpilih. Sang warisan penarik garis dari keturunan para Kirkland, menghubungkan tiap lapis generasi ke generasi. Dialihkan dari para ayah pada putranya, diturunkan dari ibu untuk para putrinya.
Tanda mata dari orangtuamu yang tiada.
Di sekelilingmu, seringai para perampok begitu jahat, pupil mereka melata melihat kerlip nakal red ruby yang bertahta di leher kecil adikmu. Begitu mewah, begitu sombong, dan pastinya begitu mahal jika dijual.
Gampang sekali, bukan? Salah satunya terkekeh mengejekmu. Anak muda, serahkan kalung itu pada kami—dan akan kami perpanjang jatah nyawamu!
Kau menggeretakkan gigi.
[Trias Politica]—sang harta yang terus diincar karena kesombongannya terlalu indah.
Lalu memangnya kenapa?
Jangan harap. Kau menggeram bagai anjing kalah. Takkan kuserahkan harta Kirkland padamu! [Trias Politica] adalah milikku!
.
Dan kau—Scott Kirkland, pedangmu terayun.
.
.
.
4!—Savior
.
.
Jika berkuda setengah hari ke dalam hutan, akan sampailah para pengembara pada suatu desa.
Desa itu hanyalah pemukiman biasa tanpa cerita, tiada hal istimewa maupun legenda. Hanya deretan rumah serupa yang tertata mengikuti alur sungai sampai muara. Lingkungannya masih alami dan pemandangannya sungguhlah asri, penduduknya ramah dan begitu bahagia, kontras dengan keadaan Negeri Utara yang terus dilanda derita.
Di desa itu kebanyakan orang tua dan anak-anak. Para pemuda yang penuh gelora telah pergi berpetualang—mencari kemewahan maupun Trias Politica sang Legenda—sementara para gadisnya tertinggal di rumah, menunggu pahlawan mereka pulang sambil membuat roti panggang. Sekelompok orang tua akan menghabiskan waktu dengan apa saja—menggosip, memancing, membaca. Anak-anak berkubang dalam lumpur dan bermain sampai sore.
Begitu tenang, begitu damai.
Di sana, waktu seakan terhenti.
.
Di sana, waktu telah terhenti dan takkan berputar lagi bahkan meskipun engkau masih terjaga.
Dan kau berpikir, tinggal berapa lama lagi sampai jam dalam dirimu mati berderik?
Kau kembali berpikir, ini tidak adil.
(tuhan, kenapa kau tidak ada?)
Ini sungguh tidak adil. Usiamu saat ini baru saja menginjak angka dua belas, masih terlalu belia untuk semua ini, bukan? Dua belas yang masih mentah. Hampir-hampir meninggalkan usia anak-anakmu. Bukankah dia terlalu muda untuk melihat—
(bagaimana murka sang Raja bisa berarti segalanya)
(bagaimana caranya perang menghancurkan semua)
(bagaimana rasanya untuk merasa begitu putus asa ayaaah! begitu ketakutan mathias,cepatlari! begitu hancur bunuhdanbakarsemua, jangansampaiadayangtersisa! —
begitu tidak berdaya, tak bisa melindungi apa yang dicinta ay
ah—?ibu—?dimanakalianakutakutakuta
kut)
—untuk melihat neraka?
Di sekelilingmu yang ada hanyalah mimpi buruk. Dan onggokan mayat yang terburai. Dan sisa-sisa desamu—dan rumahmu—dan kedua orang tuamu— yang telah sewarna abu. Dan darah, arang, paduan merah dan hitam sepanjang cakrawala yang kembali dibakar senja, yang dulu kau sebut dengan bangga sebagai desaku tercinta.
Kau ada di sana, terjepit tubuh-tubuh yang telah binasa, sebagai satu-satunya sisa yang terlupa dalam santap sang serigala.
Matamu biru, hampir-hampir tidak membuka, lengket oleh darah mengalir dari ceruk luka di kepalamu, hasil dari pemberontakanmu pada prajurit si raja yang tengah menyulut api untuk membakar desamu(dan ibumu dan adikmu dan semua yang kau sayang terpanggang di sana hentikanhentikantolongayah) . Badanmu sama menyedihkannya, setiap sendi tubuhmu menangis setiap kali kau coba gerakkan, tungkaimu lunglai bagai marionnete rusak.
Dan samar kau mengingat kata-kata sang letnan yang memotong-motong tubuh ayahmu jadi lima,
HUKUM PARA PEMBOHONG!
.
Di lain cerita, teragunglah seorang raja dari Utara.
Raja itu adalah satu-satunya yang berkuasa di seperempat daratan [Pangaea]. Kedua tangan serupa Dewa dan kata-kata semakna Tuhan. Apapun, siapapun, semuanya adalah milik sang Raja. Mulai dari kastil-kastil mewah yang berdiri di ibukota sampai deretan gubug reyot di sudut desa, apapun yang berdiri di tanah Utara adalah persembahan para rakyat untuk Raja tercinta.
Karena satu kata dari sang Raja bisa berarti segalanya.
Sang Raja bertangan besi, namun ia pandai mengatasnamakan segalanya berdasarkan cinta yang murni. Hatinya beku, dingin dan dalam dan tersembunyi tanpa bisa diterka, senyuman manis di wajahnya lebih kejam dibanding pedang yang menghujam dada.
Suatu hari sang Raja bertanya,
[Trias Politica] kalian sembunyikan di mana, da?
Dan para anaknya yang bernama rakyat dengan jujur menjawab,
Sungguh Tuanku Raja, kami tidak tahu apa-apa!
Sang Raja tersenyum di singgasananya, senyum yang lebih keji dibanding pisau belati, dan telunjuknya menjentik nakal.
Bakar desanya.
.
/Dan pada suatu hari tersebutlah desa yang asri—/
.
Kau memejamkan mata, merasakan nyawamu bergantung pada seutas tali.
Detik-detik tali itu meregang, dalam pikiranmu mulai terbayang segalanya— kehidupanmu, impianmu, dan cita-citamu. Semuanya terlukis warna sepia.
—di kepalamu berputar petualangan panjang tiap petang di pematang sungai, dimana kau dan teman-temanmu berlagak pahlawan—(Akulah sang pemegang [Trias Politica]! kau dan kawananmu membual begitu sambil mengayunkan ranting seperti pedang, ironis karena sang Legendalah yang membuat kalian begitu hancur)
— dan kau teringat pada Paman Will, kau selalu menemuinya memancing di tepi sungai, bukan?— (Yo Mathias, kapan kau mau memancing denganku lagi? paman Will berkata begitu padamu, Paman Will yang tercincang pedang si prajurit raja jahanam)
— dan ada Nenek Anne yang selalu membuatkanmu kue telur, diserbu setiap minggu bersama teman-temanmu tepat jam tiga sore— (Aaah, Mathias, kau sudah mau pulang? Nenek Anne terlihat sedih, kenapa kau baru sadar beliau itu sangat kesepian saat badannya telah terinjak jadi mayat?)
—dan ada ibumu, ibumu dan ayahmu dan adikmu di rumah beratap merah itu, ayahmu membaca dan adikmu bergelayut di tanganmu dan ibumu –(apa arang terbakar itu adalah dirimu.
ibu—?)
.
Hei, bocah. Kau masih hidup?
Siapa? Kata-katamu tak terucap di mulut.
Tenang saja, bocah.
/—dixitque Deus fiat lux et facta est lu—/
Ajaib, seharusnya kau tak bisa lagi membuka mata . Tapi perlahan kau kembali terjaga, merasakan kehangatan mengalir ke seluruh tubuhmu; menambal kepalamu yang bolong dan memenuhi tiap sela jari, lurus ke jantungmu yang kembali berdaya. Kehangatan yang begitu lembut, begitu manis, seperti kue panggang ibu di sore hari.
Kau buka matamu, dan ternganga.
.
Di hadapanmu adalah seorang pemuda, tanpa ekspresi, tanpa benang sehelaipun, oranye senja garang membakar tubuh pucatnya. Dia berdiri di sana, mulus tanpa satupun noda, kontras dengan neraka yang melatari pertemuanmu dengannya. Di pinggang pemuda itu ada lambang bunga [Bergfrue]yang ganjil.
Ganjil, ganjil, teramat ganjil.
[Legifer], tentunya.
.
Namun kau—Mathias Kohler, bagimu sang pemuda adalah malaikat. Penolong. Dewi fortuna. Dan kau begitu terpesona.
Dan mulai saat ini, dia berarti segalanya bagimu.
.
.
.
3!— Precious
.
.
Dia menangis dan kau lantunkan kidung tidur untuknya. Nadamu meleset, karena dari dulu menyanyi bukan keahlianmu.
(keahlianmu itu membunuh, membunuh, membunuh)
Orang-orang ramai meneriakkan sesuatu. Dahimu berkerut mendengarnya. Kenapa berisik sekali? Lovino bisa terjaga.
Kau penggal mereka bergantian, kepala bergelimpangan dari engselnya.
.
.
Klek klek klek.
Bunyi kapak besarmu terseret di lorong megah itu. Kapakmu yang raksasa, besar bagai milik sang dewa petir, keji dan mematikan seperti Mjlonir. Sudah berapa kawan seperjuangan kau bunuh dengan pisaumu itu, wahai dirimu sang pengkhianat [Vatican]? Tak terhitung, rupanya. Kapak perak itu telah banjir darah yang amis, membuat alur di lantai marmer serupa jejak serigala. Marah dan berbahaya, warna merah yang terus menoda.
Kastil yang dingin ini pun bisa tampil semarak dengan warna nyala, semuanya berkat dirimu.
Bayi itu menangis dalam buntelan di pelukanmu, selimut putihnya sewarna armor platinamu yang berbercak darah. Dia menangis dan terus menangis sampai hatimu ikut terenyuh dalam isaknya.
Lovino sayang, Lovino malang, Lovino tercinta.
Kau nyanyikan dia pengantar tidur.
Berhenti di sana, Antonio!
Prak prak prak, bot mereka bersol besi, menggema di lorong [Vatican] yang sepi ini. Kau menoleh dengan alis bertaut kusut, kesal karena nyanyian tidurmu terganggu. Dengan satu tangan kau ayunkan kapak,
CRAS
.
Memenggal kepala itu mudah,
lebih mudah dari menyanyi.
.
Lagumu mencapai bait ketiga ketika geram itu membahana sampai atap tertinggi di lorong. Biasanya kau tak ambil peduli, namun lengkingan angin yang menyayat tepat di belakang tengkuk membuatmu terpaksa berbalik.
ANTONIO!
Dan di ujung koridor sana berdirilah dia, teramat marah, teramat murka, dengan wajah tercoreng pedih dan kecewa.
Gilbert, temanmu.
Jubah putihnya berkibar di punggung dalam ayunan yang memukau. Armor platina miliknya yang identik denganmu (—meski griffin yang bertahta di sana tidak diwarnai oleh pengkhianatan dan ambisi seperti singa yang mengaum di dadamu—) berpendar hijau dari energi dan angin buritan yang menggulung tangan kanannya. Di tangannyalah sebuah pedang hijau terhunus, halus dan bercahaya, begitu tajam hingga udara di koridor itu tercincang oleh auranya.
[Legifer].
Pedang, angin, dan hijau. Elizavetakah itu? Kau hampir-hampir tertawa. Elizaveta yang itu, mau saja mengikat [Legatura]—kontrak suci—dengan Gilbert yang itu? Elizaveta mau menjadi senjata seorang Gilbert? Situasi yang teramat lucu. Sayang, bukan waktunya untuk terbahak.
Gilbert, kau tersenyum ceria, namun percik darah mengalir di pipi kananmu membuatnya jadi seringai ganjil.
Antonio!Dia meraung, mengambil satu langkah. Kau bergeming dengan senyum masih di wajah. Bayimu sudah berhenti menangis, tidur dan lelah. Lovino malang. Apa yang—Apa maksud semua ini, Antonio!
Ah, ah, dia bertanya apa maksud gundukan tubuh di sekelilingmu dan bayi manis di pelukanmu. Dia bertanya apa maksud seretan kapak di tangan kananmu. Dia bertanya apa maksud jejak darah di langkahmu—sehingga kau jawab dengan jujur, Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya mengambil apa yang seharusnya jadi milikku.
Lovino milikku, kau yang paling tahu bukan?
Kau—Tapi kau sudah hilang akal, Antonio! Sesaat dia terdengar melolong seperti hewan yang pedih. Tanpa sadar hatimu melesak ke dalam. Dosamu ini takkan pernah termaafkan!
Aku tahu.
Tahukah kalau ini semua—ini semua hanya ambisimu belaka!
Aku tahu.
Kalau begitu kenapa... KENAPA!
Dia meraung. Wajahmu makin pahit. Gilbert, Gilbert, sahabatmu tersayang, sahabatmu tercinta selama belasan tahun menjadi abdi Tuhan, sahabatmu yang selalu bersama dalam suka dan duka dan luka, sahabatmu yang saling bersanding di kala perang, sahabatmu yang ada tiap pagi maupun petang, kenapa dia tak mau mengerti isi hatimu?
Dan Elizaveta, sahabatmu juga. Yang dulu menyisiri rambutmu dengan jari-jari lentiknya. Yang sekarang tak ragu untuk mencincangmu sama rata.
Berani-beraninya kau mengkhianati Vatican, Antonio! Berani-beraninya kau nodai singa suci di armormu itu!
Kau tersenyum. Darah di tubuhmu menetes-netes, mewarnai singa putih yang terukir di armor dadamu. Kau paling cocok dengan merah, kau tahu? Banyak yang bilang begitu.
Berani-beraninya kau mencuri Trias Politica! Kau—Pengkhianat—Brengsek—kau KAU—
Pedang hijau itu menuding, siap untuk mencabikmu jadi serpihan.
KAU BUKAN TEMANKU!
Kapakmu terseret,
dan kau tersenyum.
.
Bayi dalam pelukanmu menangis lagi.
.
.
Sehingga kau—Antonio Fernandes Carriedo, nyanyikanlah lullaby untuknya.
.
.
.
2!—In Duty
.
.
Dan semuanya menunggumu :
'Wahai Nyai, ucapkanlah satu panji untuk kami.'
.
Hari ini adalah penentuan. Hari ini adalah titik klimaks. Hari ini adalah pencatatan sejarah.
Hari ini adalah yang terpenting bagimu.
.
Kau begitu cantik, mempesona, memikat. Wajahmu sedari dulu memang ayu, namun dandanan yang kau kenakan membuatmu jadi istimewa. Rambutmu hitam bak mayang, panjang bergelombang dan ditata rumit ke atas, hiasan emas dan melati saling tersemat rapi. Kain hijau bersulam emas yang kau kenakan membuat kulitmu tambah langsat. Gemerincing perhiasan akan terdengar seiring dengan lenggok tubuhmu yang diukir tato bertulis mantra.
Kau begitu cantik, mempesona, memikat.
Kau duduk dengan anggun di tandu yang diangkat empat pria bertelanjang dada. Lantang dan percaya diri di atas singgasana, kontras dengan usiamu yang masih belia. Sang ratu. Ratu kami, kaulah itu. Ratu kami, terberkatilah selalu.
Ratu kami, Ronggolawe yang siap mengabdi.
.
Arakanmu akan meniti jalur sempit yang terbuat dari barisan lilin di jalanan licin, jauh ke gua batu kecil di sebuah kompleks kuil. Di dalam gua itu ada altar, sajen, dan seorang tetua yang akan memulai upacara. Obor-obor di luar telah menyala, terpasung di dinding-dinding berlumut sepanjang jalan. Sesembahan sudah terbagi, bulan telah naik dan orang-orang kampung berdesakan ingin melihat tandumu. Kau, sang medium Garuda yang baru. Kau, sang pewaris Dewa.
Kau,
sang [Trias Politica].
.
Stop, kau mengangkat tangan dan memberi isyarat. Para pesuruh menurunkan tandumu.
Dari arah kerumunan orang-orang yang begitu rapat, empat bocah datang menghampirimu. Kau kenal semua—ya kau kenal, mereka saudara-saudarimu dari satu rahim yang sama dan meminum susu yang sama. Indo, abang—atau adik?— kembarmu dan ketiga adik-adikmu tersayang; Lay, Sing dan Nei.
Kau mungkin ratu, kau mungkin mulia, namun kau mungkin juga seorang gadis biasa yang sayang pada keluarganya.
Semuanya, wajahmu berseri—dan sepersekian waktu ke depan kau menanggalkan topengmu yang berani. Sekarang kau bukan lagi sang medium maupun pewaris, kau bukan lagi ratu kecil kami, di depan keluargamu kau hanyalah Nesia si gadis desa biasa. Gadis desa yang sayang abang dan adiknya. Ada apa ini? Kenapa kalian tidak menunggu di kuil seperti Kakek dan Nenek?
Ada yang harus kami berikan! Abangmu menjawab mantap. Ah, Indo, Indo yang selalu bersahaja, meskipun dia si Abang yang agak terlupa dibandingmu—penitis dewa Garuda. Namun dia selalu ceria, abangmu sayang. Ayo, Sing, jangan malu-malu!
Mendapatkan keberanian dari tepukan si abang di punggungnya, adik kecilmu yang paling malu mengulurkan karangan bunga dengan takut-takut. Karangan bunga itu berantakan, sembarangan, namun matamu tetap melebar melihatnya.
Ini?
Sing dan Lay yang buat, loh! Lay—si bocah paling nakal, membusungkan dada bangga. Perayaan terpilihnya Kak Nesia jadi medium!
Dan Nei, tanpa kata-kata seperti biasa, namun dia mengangguk mengiyakan.
Kalian...
—dan kau terharu, terharu, amat terharu.
Sukses, ya! Indo mengacungkan jempolnya. Bukankah jadi titisan adalah cita-citamu sedari dulu?
.
.
Benar, benar—bagimu, Nesia, menjadi sang penitis Garuda adalah cita-cita yang kekal.
.
.
Manunggaling kawula gusti – ucapkanlah panji, wahai Nyai.
.
.
.
1! — Strangers
.
.
(saat itu, kau mengira dia hanyalah seorang kakek biasa di sudut suatu bar)
.
Aku tahu apa yang telah kau lakukan.
(dia tersenyum melihat jemarimu berhenti mengetuk-ngetuk meja bar)
Apa kau bertanya-tanya yang mana? Aku tahu banyak, nak. Mulai dari caramu masuk ke kota ini sampai identitasmu yang ilegal.
(kau melirik pedangmu dan dia terkekeh)
Sarungkan semua pedang, anak muda. Aku tidak berniat melaporkanmu maupun memerasmu. Aku hanya meminta waktumu, tidak lebih dari sepuluh menit dibanding hidup yang sepanjang sungai itu.
Boleh aku tahu ambisimu? Kupikir kau punya alasan kuat untuk melakukan itu semua sampai menghilangkan nyawa.
.
Aku sedang mencari [Trias Politica].
.
Aih, apa yang kuharapkan? Sudah pasti pemuda pemberani sepertimu mengidamkan [Trias Politica].
[Trias Politica]- sang pengabul segala. Tapi pengorbanannya tidak akan sebanding dengan apa yang kau dapat.
.
Kakek.. Apa kau tahu apa yang tak kutahu?
(dia terdiam. kau terdiam. lama kalian terdiam, sampai-sampai waktu terhenti di antara kalian)
... Aku tahu sebanyak yang kau tahu, nak. [Trias Politica] si legenda. Pengabul apapun lebih dari yang kau kira- harta, kedudukan, kehormatan. Kekuatan tak terbatas. Kebajikan yang tak terputus. Menghidupkan jasad maupun membantai ribuan nyawa. Menjadi dewa di dunia yang baru. Menjadi pengatur zaman. Apapun yang kau pinta.
Dia adalah pedang tak tertandingi. Dia adalah tongkat yang mengatur waktu. Dia adalah buku yang memberimu pengetahuan. Dia adalah sesuatu yang abstrak, yang tak kau ketahui keberadaannya kecuali kau pejamkan mata dan rasakan dengan hatimu. Dia adalah sesuatu bernyawa yang tunduk dalam perintahmu.
Lalu dia itu apa?
Yang manakah [Trias Politica] dari seluruh benda maupun nyawa yang kau sebut sebagai 'Trias Politica'?
Baik kau maupun aku, maupun beribu-ribu orang yang mencarinya, tak ada yang tahu dia itu apa. Tak ada yang tahu kebenaran, yang manakah sang legenda di antara beribu-ribu benda yang kita tuduh sebagai Trias Politica. Terlalu banyak kebohongan dan kepalsuan sampai kita sendiri hilang arah.
Karena itulah dia mempesona bagi para ksatria, sebuah permata berkilau yang dijaga sang naga buas. Dia memberimu tantangan untuk menemukan yang asli dan jadi pahlawan sejati.
Tapi bagiku, [Trias Politica] tak lebih dari alasan para ksatria untuk memuaskan hawa nafsu mereka.
...
Untuk berpetualang. Berperang. Membunuh. Mencipta dosa. Merampas. Memberi tujuan dan menghidupkan masa muda. Mengasah naluri.
Untuk membuatmu meninggalkan segalanya di belakang.
Untuk membuatmu meninggalkan rumah tempatmu pulang, temanmu yang sejati maupun orang terkasih- hanya untuk satu hal yang belum tentu pasti. Kau meregang nyawa dan mengayun pedang, kau menghancurkan segalanya untuk hal yang tersembunyi dalam beribu-ribu imitasi.
Bukankah itu konyol?
.
(kau melihat itu semua dari matanya yang terpejam- kau melihat gelora. kejayaan. rasa rindu. kau melihat masa lalu dan perjalanan melewati jalan berdebu. kau melihat ayunan pedang dan darah mengkarat di besi.
dan terutama, kau melihat penyesalan yang terdalam.)
.
Ah, tapi itu hanyalah pandangan seorang tua yang telah lelah hidup. Tentunya pendapatku dan pendapatmu berbeda, anak muda.
(dia terkekeh lagi)
Sama seperti apa yang kita sebut [Legifer]. Ada yang menganggap mereka senjata berbahaya, ada yang memperlakukan mereka tak lebih dari budak, ada pula yang percaya mereka sejajar dengan dewa. Pandangan setiap orang berbeda-beda dan itu adalah hal yang tak bisa dipaksakan.
Tentunya kau tahu apa itu [Legifer]?
(kau mengangguk)
Pertanyaan bodoh, eh? Semua orang tahu apa itu[ Legifer]. Monster yang cantik, mereka itu. Mempesona dan brutal. Kuat dan berbahaya.
Mereka tidak butuh senjata—merekalah senjata itu sendiri. Mereka bisa menjadi sebilah pedang, selongsong peluru, maupun parasit. Mereka bisa menjadi hujan panah maupun petir menyambar. Mereka bisa jadi pelindung maupun kutukan. Merusak atau menyembuhkan. Berwujud maupun tak kasat mata.
[Legifer]adalah kuda liar di padang luas, hanya bisa dijinakkan oleh orang-orang terpilih. Taklukan dan mereka akan tunduk padamu. Loyal. Setia. Mahluk-mahluk menyedihkan yang mematikan hati demi tuannya. Gerakkan satu jari dan mereka akan lakukan apa saja untukmu—dengan mengorbankan apa yang ada. Keluarga, teman, kekasih, diri sendiri.
Seperti anjing yang begitu kesepian, begitu menyedihkan.
.
Nak, kau sudah mau pergi?
(kau mengangguk dan berdiri)
Bolehkah kakek tua ini tahu siapa namamu?
(kau menjawab.
Namaku adalah—
)
..—Lars? Nama yang bagus.
.
Sehingga kau—pengembara muda berbau darah, keluar dari bar itu tanpa menengok lagi. Si kakek tua hanya memandangmu kasihan. Pengembara muda yang malang, gumamnya. Teramat malang, belum sadar dirinya akan banyak kehilangan.
.
.
.
0!— Blank Page
.
.
Dan ini bisa menjadi awal, klimaks, maupun akhir yang terputus.
.
.
.
prologo end
.
.
next chapter : english roses I
.
.
.
G L O S S A R Y
Bergfrue :Bunga kebangsaan Norway (tapi ada juga sumber yang bilang Saxifrage, nah saya jadi bingung o.o)
dixitque Deus fiat lux et facta est lu : And said God let there be light, and there was light (Genesis 1:3)
Manunggaling kawula gusti : Bersatunya abdi dengan Tuan (Kejawen) Hal ini bisa pula diartikan secara sekuler, yaitu bersatunya abdi negara atau rakyat dengan pemerintah.
Legifer : Lawgiving, sang pemberi hukum (Latin)
Legatura : To bind (Latin)
Pangea/Pangaea : Superbenua yang merupakan penggabungan dari daratan yang ada di bumi
Trias Politica : ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak.
.
Q & A
Q: Apa itu 'Trias Politica' yang selalu disebut-sebut disini? Kok ada banyak dan 'beda-beda'? Yang mana yang asli?
A: Sesuai dengan yang dijelaskan si kakek, Trias Politica disini adalah legenda dan tidak diketahui mana yang asli, saking banyaknya benda yang disebut sebagai Trias Politica. Didongengkan kalau Trias Politica adalah pengabul segala, dimana yang menemukannya akan mendapatkan kebahagiaan tertinggi. Kalau yang asli—itu masih rahasia :))
Q: Legifer itu kaya gimana sih?
A: Legifer itu 'bentuknya' seperti manusia biasa, makan dan minum dan tidur—pokoknya kaya manusia, namun mereka bisa berubah wujud jadi senjata untuk para tuannya (konsepnya kaya Erementar Gerad, emang!) Nanti akan diceritakan sistemnya lebih detil kok.
Q: Setting ceritanya dimana dan kapan?
A: Benua antah berantah, Pangea, yang terbagi lima (Utara, Timur, Barat, Selatan dan 'Tengah/Vatican'). Setting waktu prolog di-set lima belas tahun sebelum cerita utama, jadi chapter depan akan loncat waktu lima belas tahun.
Q: Kok Nesia dan Indo ada dua?
A: Iya soalnya saya butuh orang kembar, dan saya menolak menjadikan Malay cewek 3
Q:Pairingnya apa aja?
A: ScotEngFran (terutama ScotEng), Spamano, Gerita, Giripan, Dennor, Sufin, SeaIce, NesiaNetherIndo, PruCan, AusHung, TurkeyEgypt, etc. Maaf, ga ada USUK karena perbedaan umur mereka rada jauh *_* (lagian England udah digilir Scotland sama France, kasian atuh...)
.
SPECIAL QUESTION: Kok berasa pernah baca?
A: Ya iyalah.. Ini sebenarnya cerita saya tahun lalu yang akhirnya kesampaian juga dirombak:)) Perombakan cerita paling kentara nanti di chapter depan.
.
.
.
For NatureMature—or Nami. Thanks for the amazing two years!
.
.
.
Review? Review? Review?
