My Hero Academia © Horikoshi Kouhei
Cinderella by Anne Anderson
Tsunderella Boy by Jeruk
WARNING : AU, OOC(max), konten bahasa di luar kendali KBBI.
Enjoy!
[Chapter 1]
Di jaman metro serba canggih era milenium ini tersebutlah sebuah dusun makmur yang secara misterius masih saja menggunakan kuda sebagai moda transportasi tunggal. Dalam dusun yang semata-mata bukanlah kampung udik biasa ini hidup sebuah keluarga yang tinggal di pelosok kampung, dengan pagar rumahnya yang besar ditempeli peringatan 'awas anjing ganas'atau 'hati-hati ranjau darat' dan semacamnya yang membuat rumah itu lebih nampak seperti sarang narapidana. Entah maksud hati ingin menakuti pengutil atau tukang sayur kompleks.
"KATSUKIIII!"
Kera-kera hutan beristigfar mendengar lengkingan dari rumah itu. Sesosok kuntilan—ey, maksudnya wanita anggun penuh pesona menggebuki pintu reot sebuah kamar di loteng seperti orang kesetanan. Tak lama dari balik pintu menyembul kepala kepirangan Katsuki dengan tatanan rambut baru bangunnya yang sungguh maha dewa ciptaan Zeus.
"Kuso baba[1], berisik banget ini masih subuh! Nanti rumah ini diacak-acak lagi sama orang kampung emangnya mau, heh?" Ia mengucek matanya yang masih kangen bantal kasur.
"Anak kurang ajar! Gini-gini gue nyokap lo ya, panggil gue nyonyah Midnight!"
Bibir si pirang maju. "Bodo, ah.."
"Heh, eniwey, ini lo apain baju gue warnanya luntur butek gini! Heyloooow, lo gatau betapa mahalnya dress ini kan!" Sebuah gaun seberat dosa-dosa ownernya disambitkan ke wajah Katsuki. Termometer kesabaran si remaja siaga satu siap meleduk. "Ga mau tahu ya, ini baju kudu balik ke bentuknya sedia kala atau uang jajan lo bulan ini gue penggal!" Midnight sok-sokan mengancam menggoret leher dengan telapak tangan.
"Idih main potong-potong uang jajan, ngasih duit aja nggak pernah!"
"Ya pokoknya lo dihukum jadi jongos abadi rumah ini, titik!"
"Enak aja ini rumah gue—!"
Pintu dibanting nyaris rontok oleh nyonya rumah. Katsuki yang masih sensi jam tidurnya kecolongan nyirnyir membanting gaun merah mentereng itu di atas lantai kamarnya yang usang, kendati hendak ia jadikan keset dan basuhan kotoran tikus sebelum ia cuci lagi nanti.
"Abaaah! Hiiiiks!" Ia merengek berjumpalit di atas kasur, mengeluarkan secarik foto lecak dari balik sarung bantal Manchester. Dielus-elusnya sosok wajah yang mengumbar hasrat sepertiga semangat hidup dan sisanya mau gantung diri yang terpatri pada lembar hitam putih itu. "Kayak nggak ada cewek lain aja kecebong sawah begitu malah dinikahi. Yang kena apesnya gue juga, kuso oyaji[2]! Sekarang malah mati terlindas andong, dasar jenggot tukang kawin sialan!"
Cengiran nestapa Aizawa seperti sedang meledek perasaan suci anaknya via foto usang itu, membuat Katsuki menderita darah tinggi diusia belia. Acap kali ia hendak membakar koleksi foto ayahnya namun selalu saja niatannya seperti dihapus. Mungkin Aizawa telah mengguna-guna fotonya dari alam kubur. Dan kalau bukan diiming-imingi harta warisan, sudah dari jaman cabai harganya belum melejit Katsuki angkat kaki dari rumah. Lihat saja nanti kalau usianya sudah nembus duapuluh, ia akan memulangkan ibu beserta saudara-saudara tirinya itu ke pinggiran sawah tempat asal habitat mereka.
Katsuki buru-buru mengantongi foto di tangan saat mendengar pintu kamarnya terbuka sendiri, menemukan remaja rambut hijau yang menatapnya prihatin dari celah pintu.
"I—ibunda marah-marah lagi sama kamu, ya?"
Wajah Katsuki mengerut tragis. "Malah tanya, lo pikir gara-gara siapa, huh?"
"Eh?" Izuku di pagi hari telminya empat kali lipat hingga ia pucat sendiri melihat onggokan dress familiar di atas lantai yang warnanya sungguh menyakitkan kornea. "Ga—gara-gara aku yang cuci baju ibunda, ya!"
"Makanya gue bilang ga usah bantu, dasar kepala batu! Bikin susah gue terus!"
"Ma—maaf, Kacchan! Maaf! Salahku waktu itu cucinya dicampur bareng sarungnya kak Aoyama! Aku nggak tau bakal kelunturan, maaaaf!" Izuku headbang menyembah Katsuki seperti orang kesurupan. Kejadian begini sudah makanan sehari-hari. Paginya dihina-dina ibu tiri, habis itu adik tirinya yang sumber malapetaka ber-dogeza[3] seperti remot yang tombol replaynya rusak. "Habis aku betul-betul nggak tega lihat Kacchan kerja sendirian. Aku cuma mau bantu sedikit tapi ternyata selalu menyusahkanmu.."
Ini dia. Jurus pelet puppy-eyes adiknya. Katsuki lemah syahwat kalau Izuku mulai melas.
"Sekali Deku lo tetap 'Deku', dasar sial!" Secara tidak berperikesaudaratirian Katsuki menampoli adiknya di ubun-ubun. "Sana pergi! Jangan ganggu, gue gigit tahu rasa kau!"
"Hiiiie!"
Pintu malang dibanting part xxx di depan hidung Izuku. Kalau boleh jujur Katsuki sungguh tersentuh tiap kali Izuku datang dengan senyuman malaikat menawarkan uluran tangan—sekaligus iritasi karena apapun yang adiknya itu lakukan tidak pernah becus.
Kemudian si pirang pun serirosa di loteng kamar mengaisi balada hidupnya yang penuh chapter angst.
.
Sebelum ditinggal pergi arisan oleh nenek lampir—maksudnya ibu tiri, Katsuki dihibah tiga kali lipat agenda menjongos di rumah. Midnight masih dongkol rupanya. Mulai dari nyapu, ngepel, masak, menyikat loteng, cuci-cuci-jemu-jemur baju, cocok tanam ganja, menjahit, melaut, cabut rumput, bajak sawah, ngecor jalan, de es be semua Katsuki kerjakan sebatang kara. Izuku sudah mantap membolos sekolah demi membantu abangnya itu kerja romusha sebelum matahari tenggelam, tapi nyatanya ia malah disiram air bekas cuci kaki oleh Katsuki. Dia memang tidak kenal rasa syukur sudah diberkahi adik tiri perhatian yang punya hati sebening air mata perawan, tapi bisa-bisa kerjaannya jadi lima kali lebih berat kalau Izuku turun tangan. Belum lagi kalau ketahuan anak kesayangan ibunya itu nolong kerja, dia bisa dijadikan lontong cocol sambal.
"Kerja yang benar, brother! Cabut dulu, ah. Adieu!" Aoyama melambai cantik dari atas andong pada saudara tirinya yang sedang berjibaku di kandang ternak.
"Baguslah, sana pergi! Ga usah balik-balik lagi sekalian!" Katsuki bersorak di kolong kandang. Saudara tirinya yang paling tua itu memang tidak bengis seperti ibunya. Tapi cukup terkena radiasi eksistensinya saja sudah membuat Katsuki mulas dan sakit mata tak tertahan.
Pukul setengah dua siang saat matahari sedang membakar jahanam, Katsuki memutuskan menyerah. Ia membuang begitu saja sapu lidi di sekitar halaman lalu menyeloyor masuk ke rumah. Toples kacang dan soda camilan ibunya bersemayam di atas pangkuan, kemudian ia berselonjor santai. Telenovela langganannya sudah mau mulai.
Tak lama pintu rumah di ketuk saat Anjali dan Rahul sengit adu tanding basket. Katsuki yang mendadak tuli temporer terus saja mengosongkan toples kacang mete dengan mata menempeli layar kaca. Tapi tersangka di balik pintu tetap ngotot dan pantang mundur.
"Tck, nggak dikunci!" Si remaja pirang menyahut sekenanya dengan mulut penuh. Paling juga si Deku. Karena cuma dia makhluk Tuhan yang kalau mau masuk rumah sendiri ketuk pintu dulu, masih saja sikapnya kaku seperti karet kolor baru walau sudah tinggal di rumah itu sejak jaman ia masih pakai pempers.
Pintu terus digedor, lama-lama Katsuki dongkol. Dibantinglah toples kacang separuh habis di atas karpet.
"NGGAK DIKUNCI, DEKU KAMPRET!"
"Punteeeen!"
Lah, bukan suara cempreng adeknya ternyata. Mau tidak mau Katsuki mengangkat bokong, membuka secuil daun pintu tebal rumahnya saat ia melongokkan kepala. Mata kemerahan remaja itu memindai pada tubuh bersetelan rapi seorang berkacamata yang berdiri tegap di atas keset rumahnya.
Katsuki menggaruk ubun-ubun secara jengah. "Sori, perabot dapur kami masih bagus-bagus jadi—"
"Saya bukan sales panci!"
Katsuki mengangkat sebelah alisnya pada si kacamata yang tersinggung.
Yang di seberang pintu berdehem sembari menyodok bingkai kacamata. "Perkenalkan, saya Iida Tenya utusan dari istana UA. Saya ke sini untuk menyampaikan undangan resmi dari Raja." Ia menyodorkan gulungan kertas yang dililit pita emas.
Katsuki menerimanya, menatapnya lima detik di tangan, kemudian menggoyang-goyangkan gulungan di depan wajah dengan santai. Ekspresi bosannya menodong Iida untuk segera merangkum kilat isi undangan, malas membaca.
Si Iida menurut. "Lusa akan diadakan pesta agung di istana dalam rangka perayaan ulang tahun putra mahkota yang ke delapan belas, sekaligus pesta dansa untuk mencarikan jodoh untuk sang pangeran." Ia menyerocos dalam satu tarikan napas.
Katsuki mengangkat bahu. "Percuma, di rumah ini lelaki semua dan satu janda keriput."
"Semua tetap diwajib datang untuk perjodohan!"
"Yang laki-laki juga?"
"Cinta tidak memandang kelamin!"
"Buset, Gusti!" Si pirang sweatdrops menepuk wajah.
Setelah itu Iida memberi gestur menghormat, entah apa motifnya. "Kalau begitu saya permisi dulu. Tolong disampaikan pada orang rumah Anda, ya. Hatur nuhun!" Si pengantar berita istana langsung ngepot angkat kaki ke rumah-rumah selanjutnya. Tidak naik kereta kuda, sepertinya dia lari-lari dari istana. Kasihan sekali jangan-jangan UA mau gulung tikar sampai tidak mampu bayar sewa transport, Katsuki mikir kejauhan.
Ia menatap gulungan perkamen di tangan sambil menyeringai, sebelum diremat tangannya karena dia orangnya terlalu napsuan. "Makan prasmanan!"
Katsuki sudah muak santapan sayur lodeh rumahan tiap hari.
.
Sementara itu, istana tengah heboh dengan segala persiapan h-2 acara. Sang pangeran muda menatap dingin kesibukan dari puncak anak tangga sebelum ia beralih untuk menemui ayahnya. Ia mengetuk sekali pintu raksasa ruangan sang raja dan membukanya tanpa permisi.
"Babeh." Shouto memanggil dengan raut sedatar dinding beton istana.
"Kyaaa Shouto! Ningrat dikit manggilnya jangan kampungan!" All Might yang saat itu hanya mengenakan oblong pun uring-uringan.
Si pangeran yang sebentar lagi berulang tahun menghela napas. "Dad."
"Iya, anak kandungku?"
Shouto menghiraukan sembelit yang datang tiba-tiba. Ia pun menghampiri ayahnya.
"Kurasa semua persiapan ini terlalu berlebihan. Kau tahu, pestanya."
Jari telunjuk sang raja berkibas. "Of course not, Shouto my boy. Kau anak babe—daddy satu-satunya, tentu saja perayaan besar-besaran itu perlu, lebih-lebih kau akan menginjak usia kedewasaan!" All Might berujar penuh bangga. Dua tangan besarnya menepuk-tepuk bahu anaknya yang nampak ringkih memikul nasib. Cengiran di wajah ayahnya pun melebar. "Halah, iya aku tahu kok apa yang benar-benar mau kau katakan, nak. Soal sesi perjodohannya, kan?"
Nah itu dia ngerti, Shouto membatin frustasi.
"Don't worry, son! Setelah acara itu kau mau istri limabelas pun pasti semudah mengupil, percaya padaku!" Ayahnya penganut paham poligami ternyata.
"Bukan itu. Maksudku, pernikahan, ini terlalu cepat buatku. Aku masih delapan belas tahun."
"Kau sudah delapan belas tahun! Shouto, dengar—." Bahu anaknya digenggam kuat.
"Masaku sebagai raja tidak akan lama lagi. Dan kau, sebagai anak tunggalku, akan meneruskan kejayaanku. Kau selanjutnya, nak. You're next!" Shouto memajukan bibir lima senti menirukan dialog legendais ayahnya.
"Nah, itu kau tahu!"
Sepasang bola mata beda warna berputar. "Kau pasti akan bilang begitu. Dan itu akan jadi ucapanmu yang ke enam ratus lima puluh tujuh kali, aku mahfum." Secara ghaib ia selalu menghitung ceramah tunggal babehnya.
"Sudahlah, masalah ini biar aku yang urus. Kau duduk tenang saja menunggu istri, oke!" Punggung anaknya ia tampar dengan kekuatan kuli angkut beras. "Lagipula, nak, menikah itu enak, loh. Nanti 'kan kau jadi bisa—"
Shouto langsung angkat kaki tanpa permisi. Datang tak dijemput, pulang tak diantar.
.
Setelah mendengar undangan kerajaan, esoknya Midnight membawa seperangkat anak-anaknya pergi untuk belanja besar, termasuk Katsuki. Selain bisa menjadi media kuli angkut, membawa Katsuki niscaya mereka akan dijauhi tukang copet pasar. Terkadang punya wajah antagonis tidak selalu mendatangkan hal buruk semata.
Berkat acara kerajaan, kepadatan pasar lebih mengenaskan daripada saat Idul Fitri menjelang. Izuku tidak jauh-jauh dari kepitan abang tirinya alih-alih takut terhanyut lautan ibu-ibu pemburu harga miring.
"Bukan maksudnya gue peduli, ya! Tapi kalau lo hilang ujung-ujungnya gue juga yang disuruh nyari sama nyokap lo!" Katsuki terus saja mencecar untuk mengupas kesalahpahaman. Genggaman di tangan Izuku ditarik merapat tiap mereka menerobos keramaian. Ia menoleh pada adiknya. "Tck, minumnya hati-hati dan cepat habisin! Awas jangan sampai ngotorin baju orang lain." Katsuki menggunakan ujung kaosnya untuk menyeka sisa minuman di tepian bibir Izuku. Yang mana si rambut kehijauan terus menyebar senyum sumringah sepanjang langkah.
Bohong kalau Katsuki bilang ia benci dengan saudara tirinya. Iya banget dia jijay dengan Aoyama, tapi berbeda dengan Izuku. Walau ia menyebutnya adik tapi Katsuki hanya lahir tiga bulan lebih cepat dari Izuku. Adiknya yang selalu ia sebut Deku itu selalu ada untuk berusaha menariknya keluar dari masalah, walau tidak semua bisa dibilang lancar. Terkadang ia berpikir bahwa Izuku-lah satu-satunya hal yang membuat Katsuki bisa bertahan sejauh ini di rumah itu(alasan kedua setelah harta warisan).
Dan baru disadari objek lamunanya sudah hilang dari genggaman.
"BOCAH SIALAAN!"
Katsuki yang meledak pun putar badan untuk terjejal lagi arus manusia.
.
"Ma—maaf! Saya nggak sengaja, Anda nggak apa-apa?" Izuku panik di tepian toko kelontang yang tidak begitu padat sambil membungkuk di hadapan korbannya yang bertudung gelap.
"Tidak, aku yang menabrak duluan jadi—."
"DARAH!"
Pekikan Izuku menyelak. Si pemuda bertudung kaget saat dirinya ditunjuk pakai histeria.
Secara santai ia mengusap syal kremnya yang bernoda merah. "Bukan, ini tadi ketumpah minuman kalengmu."
"ASTAGA MAAFKAN SAYA!" Izuku menyembah season tiga. Tidak salah kalau selama ini Katsuki selalu memanggilnya Deku. Apapun yang ia lakukan selalu payah. Bahkan korban apesnya pun tidak pandang bulu.
Izuku takut-takuk melirik wajah di balik bayang-bayang penutup kepala si pemuda. Terlihat bekas luka di sisi kiri wajah yang melegenda, membuat matanya nyaris melompat.
"Eh.. loh, INI PANGERAN, YA!"
Mulut mercon Izuku langsung kena bekapan dari yang bersangkutan. Shouto gugup kala orang sekeliling mulai menaruh perhatian padanya.
"Hey, ssst! Ulangi setelahku, 'aku salah orang', paham?"
Begitu mengerti Izuku mengangguk panik. "Oh, a—aku salah oraaang!"
Merasakan kecurigaan di sekitar mereka memudar keduanya baru bernapas lega.
"Saya sungguh-sungguh minta maaf, Pangeran!" Sesembahan Izuku masih bersambung kalau tidak diminta berhenti. Anak itu canggung menggaruk kepalanya. "Tapi apa yang Anda lakukan di sini?"
Tanpa sadar putra mahkota melepas senyum samar. "Tidak perlu formal, kita kelihatan seusia." Shouto mengangkat bahu. "Aku hanya sedang mengamati aktivitas masyarakat hari ini."
Si rambut hijau menelengkan kepala. "Tanpa pengawalan?"
"Aku kabur."
"Eeh!?" Izuku buru-buru bungkam kalau tidak mau memancing massa lagi. "O—omong-omong, syal Anda, saya akan menggantinya!" Izuku siap menyembah lagi setelah ini, opsi terakhir adalah harakiri kalau tidak juga mendapat pengampunan.
Shouto menahan senyum yang nyaris lolos di bibir. "Tidak usah, sudah kubilang bukan salahmu," jawabnya seringan dan sehalus angin musim panas. Anget. Tapi melihat sorot mata keberatan yang sangat memelas, perasaan sang pangeran jadi timpang sebelah. "Siapa namamu?"
"I—Izuku, Yang Mulia!"
Menggemaskan.
"Izuku..." Shouto berbisik, mulai suka nama itu keluar dari mulutnya. Ia melepas syal bernodanya untuk dipindahtangankan pada Izuku yang patuh. "Kau akan datang ke pestaku besok. Kembalikan ini setelah kau bersihkan, mengerti?"
Wajah Izuku langsung cerah sambil mendekap bahan sutra di tangannya. "Dengan senang hati!"
Secara misteri Shouto merasakan hatinya menghangat menatap sumringah pemuda yang baru ia temui itu. Ia merasa aneh pada jantungnya yang memukul keras, seperti perasaan nervous yang melanda kala membuka hadiah natal pertama. Matanya jadi sulit lepas dari figur Izuku. Mungkinkah ia terkena pelet?
Sang pangeran pura-pura batuk. "Soal acara perjodohan—"
"Di sini rupanya, Deku sialan!" Muncul entah dari mana Katsuki langsung menggamit tangan Izuku. "Jangan jauh-jauh dari gue, kalau perlu gue ikat tangan lo."
"Kacchan!" Izuku panik memandang Katsuki dan Shouto bergantian. "Anu, Kacchan, ini—"
Shouto merapatkan pelindung kepalanya. "Kutunggu kedatanganmu, Izuku." Dengan mudah pemuda itu lenyap di antara tubuh tambun pejalan kaki.
"Siapa?" Katsuki memandang sinis. Bro-con[4]nya kumat. Dia ingat pernah mewanti Izuku untuk tidak sembarangan bicara dengan orang random.
"Pa—pangeran Shouto."
"Demi janggut Endeavor, masa?!"
Pinggang abangnya kena sikutan halus. "Dia di sini untuk melihat kegiatan rakyatnya secara langsung. Hebat sekali diusia semuda itu. Benar-benar rendah diri, ya, Kacchan!"
"Biasa aja kali. Lebay." Katsuki memble sambil buang muka. Tangannya menarik Izuku sebagai isyarat untuk melanjutkan perjalanan mereka, sampai kemudian mata merahnya menangkap sesuatu. "Itu apa yang daritadi lo bawa?" Katsuki hapal itu bukan syal milik siapapun dalam rumahnya secara dia yang tiap hari cuci baju.
"Oh? Ini, punya pangeran Shouto. Ngga sengaja kukotori, jadi akan kukembalikan besok setelah dibersihkan. Hehehe."
Radar siaga di kepala pirang Katsuki berjeritan. Sepanjang jalan Izuku tidak henti-hentinya memandangi syal di tangan sambil cengengesan, Katsuki merasa adiknya sudah diguna-guna dukun istana. Atau Izuku mulai sawan gara-gara sering kesandung. Yang jelas, Katsuki tidak sudi sembarang orang mempermainkan perasaan adiknya yang suci polos.
Tanpa sadar kepalanya terus menyusun rencana kotor yang bagaimana pun bunyinya Izuku dilarang main ke pesta istana esok hari.
.
Dan sesampainya di istana kediaman, Shouto uring-uringan minta dikawin segera pada ayahnya.
tbc
[1] Nenek sialan
[2] Bokap sialan
[3] Membungkuk/bersimpuh memohon pengampunan
[4] Brother complex
a/n : Maaf banget humornya garing. Niatnya bikin oneshot tapi ternyata kepanjangan..
Anw thanks for reading! Ditunggu kritik sarannya :3
