Title : Wound.

Genre : Hurt/Comfort, Romance.

Main cast : Siwon, Kibum.

Cast : Siwon, Kibum, Jaejoong, Changmin.

Warning : Yaoi, gaje, abal.

Happy ending yang diharapkan. Muara cinta dan ketulusan yang tak tergerus jaman. Mungkin mustahil, lelah dengan asa yang tak lagi sempurna. Dan kini, ketiganya dipertemukan lagi. Sebandingkah akhir kisah ini dengan khayal kebahagiaan yang dahulu pernah menghinggapinya?

.


.

.

Sepi..
Bukan tentang siapa yang tak menemani, melainkan jauh didalam hati, rasa kehilangan yang tak kunjung terobati, seakan mengirimnya dalam dunia tanpa masa depan, tanpa harapan, dan tanpa belas kasihan.

Takdir, mungkin ia patut menyalahkannya. Mencemoohnya dengan umpatan yang tak perlu ditahan, meski itu hanya sia-sia belaka. Karena benang merah tak mengikat mereka, jalan cinta tak berpihak padanya, apa lagi yang diharapkannya?

Tiga tahun berlalu begitu saja. Terasa begitu lambat, saat hampa yang setiap hari

menyelimutinya. Menemaninya menghabiskan tenaga.
Waktu memang tak berhenti, tapi dunianya kini seakan mati.
Andai ia tahu, cinta, kasih sayang, dan ketulusan tak pernah hilang dari sisinya. Mungkin dia akan mengerti, dunianya tak semestinya terhenti, meski sosok yang dicintainya meninggalkan dirinya begitu saja.

Sekali saja, pejamkan mata, rasakan ketulusannya. Nikmati kehangatan yang menguar darinya. Maka duniamu akan jauh lebih indah dari apa yang pernah kau bayangkan sebelumnya.

.

.

"Siwon hyung, aku membawakanmu makanan. Kita makan malam bersama, ne?"

Tak ada jawaban. Kim Kibum menghela nafas, meletakkan kantung plastik di meja kayu ruang tamu.
Kembali menatap namja tampan dengan penampilan acak-acakan yang tak merespon kalimatnya.

"Hyung…" panggilnya lagi, diusapnya surai hitam sosok itu. Tersenyum tulus, mengais isi kantung plastik yang tadi dibawanya.

"Ayo kita makan" menyodorkan kotak mika itu, Kibum dikejutkan dengan gerak tangan Siwon yang menolak kebaikannya. Menjatuhkan makan malam yang sengaja namja manis itu bawa, berserakan tanpa dapat Kibum selamatkan.

Hening menelan sakit yang hati itu rasa, bola mata beningnya berkaca-kaca, menatap nanar isi makan malam yang tak sempat menjadi asupan tenaga.

"Harus sampai kapan kau seperti ini hyung?"

Kibum berucap lirih, meremas jeans yang membelit paha miliknya, mencoba mengalihkan rasa sakit yang ia rasa. Meski nyatanya hal itu tak mengurangi sesak yang mendera.

"Kumohon hyung… kembalilah, kembalilah seperti dulu lagi"

Tetes kesedihan yang tak sanggup Kibum tahan menghilang dibalik kain biru gelap yang ia kenakan. Tak terisak, tapi bulir bening yang menjejaki paras manisnya tak kunjung reda. Kembali menatap Siwon, Kibum tahu namja tampan itu sama sekali tak bersalah. Satu-satunya sosok yang patut dipersalahkan hanyalah dirinya sendiri. Kefrustasian yang Siwon alami adalah satu dari beberapa hal yang berjalan tak sesuai dengan rencana. Sejak Jaejoong menghilang sesaat sebelum pernikahan itu dijalani, meninggalkan Choi Siwon seorang diri tersedu diatas altar, menjadikan sosok tampan itu deperesi setengah mati. Keberadaan namja cantik itu sampai saat ini tak Kibum ketahui, Jaejoong menghilang tanpa alasan, tanpa penjelasan, dan tanpa pesan.

Hnn…

Menarik nafas panjang, jemari kibum mengusap kedua kelopak mata indahnya, menyingkirkan bulir permata yang tak juga sirna.

"Aku akan mencuci pakaiannmu hyung, panggillah aku jika kau membutuhkan sesuatu" berujar lembut, Kibum melengkungkan seulas senyum tulus. Merapikan ceceran nasi yang teronggok di lantai kayu.

Pelan ia melangkah pergi, menatap sekilas sang namja tampan yang tak juga memberinya respon berarti. Tak apa, mungkin ini balasan yang setimpal baginya. Kalimat semacam itu terus berputar dalam kepala, seakan menyadarkan Kibum pada kesalahan fatal yang telah diperbuatnya.

.

.

Kala detak jarum jam tepat menandakan tengah malam, Kibum berjalan pelan menyusuri kamar yang Siwon tempati. Menatap dalam diam mata elang Siwon yang terpejam. Lengannya terulur ragu, hendak mengusap surai hitam namja tampan itu. Hanya tinggal sejengkal jarak ia dapat menyentuhnya, gerak lengan ramping itu terhenti begitu saja.

Tanpa katapun siapapun tahu, namja manis ini teramat mencintainya. Rasa yang dimilikinya sungguh membutakan mata, mengaburkan luka yang selama ini direndanya, menenggelamkan kepahitan dalam bisu yang membekap pekik pilu penuh kekecewaan.

Lagi, lengan Kibum terulur maju. Menggenggam selimut tebal yang tak sepenuhnya menutupi tubuh tegap sosok itu. Hal yang acap kali Kibum lakukan, memastikan dinginnya malam tak melukai sang namja tampan.

"Aku menyayangimu hyung, nice dream…" bisikan lirih dan satu kecupan lembut jatuh dari bibir ranum Kibum. Menekan kening Siwon dengan cherry merahnya, sekali lagi ia menebar senyum tanpa balas yang seharusnya Kibum terima. Terlalu terbiasa, sampai sayatan yang menggores lukanya seolah tak lagi terasa.

.

.

Musim semi kembali datang. Musim penuh cinta, dengan pekik kebahagiaan yang acap kali memasuki gendang telinga. Dalam usia yang tak lagi menjadikannya seorang pemuda, seharusnya ada sosok yang menggenggam jemarinya, mengucap kata cinta yang dapat membuat Kibum kita tergelak bahagia. Bukannya meratapi nasib dengan lily putih yang tengah ia genggam, memandang birunya lautan yang tak seluruhnya terjangkau jarak pandang.

Ini adalah tahun ketiga, saat dimana sosok yang amat dihormatinya pergi meninggalkan dunia untuk selamanya. Jung Yunho, masih ingatkah kalian pada sosok tampan berjiwa besar itu? Namja yang rela mengorbankan segalanya hanya demi hembus nafas sosok yang dicintainya, namja yang rela dipandang rendah dengan belenggu kepalsuan yang mati-matian ditutupinya, dan namja yang kenyataan hidupnya Kibum koyak begitu saja.

Kibum tak pernah melewatkan saat-saat seperti ini, masa dimana ia dapat berbagi celoteh cerita. Mengadu, meminta kekuatan dan harap pengampunan. Tentu Kibum tak dapat melupakannya, musim semi dengan balut sengsara yang telah keduanya lalui bersama.

"Maafkan aku hyung…" gumaman lirih yang namja manis itu lontarkan tertelan gemerisik palem yang menaunginya dari sengat sang surya.

Kibum memejamkan mata, merasakan hembus sang bayu yang merasuki jiwa kesepiannya. Seakan mendapat balasan segala racauan yang hendak ia jatuhkan.

"Jaejoong hyung masih belum kutemukan, aku tahu ini semua salahku. Jika saja aku tak memberitahu kenyataan itu, dia pasti tak kan menghilang begitu saja"

Menunduk, Kibum mengamati pasir pantai yang tengah ia pijak. Menarik nafas panjang, kembali menatap birunya lautan.

"Aku tidak akan menyerah untuk mencarinya hyung, kau tenang saja. Aku pasti menemukannya, aku juga berharap Jaejoong hyung mau menghubungiku. Karena itulah, tolong kau katakan padanya, minta dia untuk menghubungiku. Sekali saja tak masalah, setidaknya itu akan menenangkanku"

Apa yang Kibum ucap setulusnya bukanlah dusta. Baginya mendengar suara Jaejoong adalah satu hal yang amat ditunggunya. Setidaknya ia tahu, namja cantik itu masih ada di dunia, tak nekat menyusul sosok yang menghindarkannya dari regangan nyawa.

"Tapi aku tak dapat membuat Siwon hyung kembali seperti dulu, sekarang dia teramat membenciku hyung. Kau tahu? Rasanya bahkan jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan yang ia lakukan." Kembali berceloteh, Kibum mulai merasakan kelopak matanya memberat. Mencoba menahannya, namja manis itu memandang cerahnya cakrawala. Menutup rapat mulutnya sejenak, menenangkan diri dengan caranya sendiri.

"Aku memang tak setegar kau hyung, apa yang aku lalui sama sekali tak berarti daripada apa yang telah kau lakukan selama ini. Aku tahu kau mengawasiku, aku tak kan berbuat nekat, aku akan menjaga diriku sendiri, kau hanya perlu menemani Jae hyung. Dimanapun dia berada, semoga kebahagiaan selalu didapatkannya"

Kaki jenjang namja manis itu memecah riak asin yang terhampar luas tepat dihadapannya, menebar lily putih yang tadi digenggamnya. Menarik sudut bibir indahnya, kala gelombang menggelung lembut apa yang hendak Kibum berikan pada hyung kesayangannya. Seakan debur ombak yang menyapu bibir pantai mengerti akan perasaannya, Kibum kembali memejamkan mata. Mendengar sayup kepak camar yang bergembira diatas birunya samudera.

.

.

Senja merah memperlihatkan dengan jelas apa yang tampak dihadapannya. Pecahan kaca, vas bunga, serta serakan selambu cerah yang tak lagi berada ditempatnya. Kacau, teramat kacau. Tentengan belanja yang tengah ia bawa jatuh begitu saja. Berderap dengan jenjang kaki yang menapak lantai.

Membeku, dengan debar dada yang tak dapat terjelaskan dengan kata. Ketakutan pada apa yang tengah melintas dalam benaknya.

"Hyung! Siwon hyung!" bibir mungilnya kian memucat, menekan lolongan yang mengganjal kewarasan.

Manik matanya berpendar kesegala penjuru, menjeblak lebar pada tiap sudut yang dituju. Menggigit bibir bawahnya, Kim Kibum dikejutkan dengan keberadaan sosok yang nyaris membuatnya gila.

Lelaki tampan itu, Choi Siwon, tengah tergolek lesu. Tetesan shower yang menebah tubuhnya menyelubungi raga itu dengan dingin yang tak ia rasa. Balutan kain yang membungkus raganya melekat erat dengan tubuh miliknya.

Memandang apa yang tampak dihadapannya, menjadikan lapisan kaca menutupi keindahan manik mata itu. Berkelip sendu, dengan pendar kekelaman yang sontak Kibum tunjukkan.

"Siwonnie hyung… apa yang sedang hyung lakukan?" mengusap bahu lebar namja tampan itu, Kibum menyambar begitu saja handuk kering yang menggantung tak jauh dari tempatnya berada. Menyelimuti tubuh basah Siwon yang tampak tak baik-baik saja.

"Ber—henti…"

Terkejut sesaat, Kibum menajamkan indera pendengarannya. Gumaman lirih dengan bibir bergetar yang Siwon lontarkan membuat namja manis itu tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Choi Siwon berbicara padanya setelah sekian lama. Belum genap kebahagiaannya, ia kembali dikejutkan dengan hempasan lengan Siwon yang memutus tautan keduanya, membuat tubuh mungil Kibum menghantam kerasnya ubin kamar mandi.

Memandangnya tak mengerti, kelopak mata namja manis itu melebar kala mata elang Siwon tengah mengintimidasi. Menatap tajam dengan bengis terkejam. Bergidik, Kibum menunduk begitu saja. Menghindari hujaman kebencian yang tertuju padanya.

"Berhenti muncul dihadapanku! Jangan pernah menyentuhku, menghilanglah dari pandanganku. Kau benar-benar benalu"

Terhenti…

Detak dalam dada itu seakan mati. Bola matanya berpendar tak percaya. Hanya meluluhkan bulir permata, tak beranjak meski namja tampan itu tak lagi tampak, mengukir sekelumit jejak diantara genangan bening yang telah ia pijak.

Tersedu, Kibum membekap keras cherry mungilnya yang memucat. Terisak lirih diantara tebahan tiap tetes air yang berdebam kuat. Seakan berada dalam keadaan slow motion yang teramat lambat, rajutan luka yang diterimanya kian merumbai berangkai-rangkai. Membelit hati itu dengan batang penuh duri sang mawar hitam.

Andai namja tampan itu tahu, seberapa besar Kibum menekan segala beban yang ada, gores luka itu tak kan sedalam lubang hitam di antariksa.

.

.

Memandang kerlip bintang yang bertabur luas di angkasa, Kibum terpaku dibawah pendar bohlam lampu. Mengabaikan guguran kelopak bunga sakura yang hinggap ditubuhnya.

Menghela nafas, dari awal ia tahu, kasih yang senantiasa ia beri tak kan meluluhkan hati. Terjalnya bebatuan tak kasat mata yang tersimpan dalam dada mengalahkan segala bentuk ketulusannya. Kini, saat tuturan kata kembali Kibum terima, ia justru diminta meninggalkannya.

Tak sadarkah namja tampan itu bahwa tiga tahun ini dialah sumber kekuatannya? alasan kuat yang membuat Kibum bertahan setelah sayatan demi sayatan mencabik dagingnya, meremukkan tulangnya, dan memenjaranya dalam penyesalan tak terkira. Harus seperti apa Kibum menyampaikannya? Dengan berbait kata, dendang tangis dan simpuh yang pernah Kibum lakukan, tak cukupkah itu? Hanya dengan jalan kematiankah yang dapat membuat namja tampan satu itu mengerti seberapa sulit posisi Kibum saat ini?

Ia terlalu lelah, jengah dengan guyur air mata yang tak kunjung pergi dari hidupnya. Haruskah ia menyerah, mengalah pada takdir yang tak pernah berpihak padanya?

'Kibummiee…'

Dalam sekejap kelopak mata sipit itu melebar sempurna. Secepat kilat menolehkan kepala mencari sang pemilik suara. Kaki jenjangnya mulai melangkah, menyusuri jalanan sempit dengan keremangan temaram. Berdebar, ia jelas-jelas mendengarnya. Mana mungkin ia melupakan suara lembut itu begitu saja.

Kala Kibum tak mendapati sosok yang tengah dicarinya, tangis itu pecah diantara deru nafas yang terengah. Frustasi pada apa yang tak ditemui.

Menjatuhkan kedua lututnya begitu saja, Kibum menangis sejadinya. Tak peduli pada tanggapan tiap mata yang memandangnya, serasa tak kuat lagi menahan gumpalan lara yang hidup dalam dada.

Saat angin malam menyibak rimbunnya dedaunan, alunan melodi turut memecah keheningan. Namja manis itu mengais kantung cardigan tipis yang dikenakannya, menatap sekilas layar ponsel yang tengah digenggamnya. Menyeka bulir air mata yang menjejaki kulit mulusnya, Kim Kibum menerima panggilan dari nomor yang tak ia kenal sebelumnya.

"Yobosseo…"

"…"

"Yobb—"

"Kibummiee…"

Percayakah ia pada apa yang terjadi kali ini? Membeku dengan bibir terkunci rapat dan nafas yang tercekat. Kibum tak dapat menghentikan debaman bulir permata yang kembali menghantam tumpukan debu taman kota.

"Kibummie?"

suara itu kembali menyapanya, menarik Kibum dari kenyataan yang hanya ia anggap mimpi belaka.

"Hyung… J-Jae hyung…"

"Ne… ini aku, Kibummie…"

"H-hyung… Jaejoong hyuung… Jaejoong hyuung… Hikss… Jae hyuuung…"

"Kibummie, kau kenapa?"

"Huksss… hyuung… hyuuung…"

Seolah tak mendengar apa yang Jaejoong tanyakan, Kibum tenggelam dalam tangisnya seeorang diri. Menulikan diri dari pekik kekhawatiran yang Jaejoong ungkapkan. Ia hanya menangis, melebur kebahagiaan yang mendatanginya ditengah asa yang nyaris tak tersisa.

.

.

Wangi khas ini adalah harum yang teramat jarang Kibum jumpai. Sekali ia memejamkan mata, ia bisa mendengar kicauan camar yang tersamar gulungan ombak samudera. Bibir cherrynya menyunggingkan seutas senyum indah, memandang satu titik fokus yang tampak cantik dimatanya.

Namja manis ini tak pernah mengira ia akan berada di tempat seperti ini. Tak lagi Seoul, kini kaki jenjangnya menapak tanah Gangwon, kawasan yang terkenal dengan keindahan pantainya.

Jemari lentik itu meremas keras tali tas yang menyampir dibahunya, kala satu pondok yang ia tuju kini tampak dalam kedua bola matanya.

Langkahnya terhenti sejenak, sekedar menajamkan indera penglihatan miliknya. Seakan tak percaya, siluet sosok yang berdiri agak jauh darinyalah yang selama ini Kibum cari. Menjatuhkan barang bawaannya begitu saja, namja manis itu berhambur dalam dekap yang teramat dirindukannya. Mengejutkan Jaejoong dalam terjangan tiba-tiba.

Tak mengucapkan apapun, Kibum kian mengeratkan pelukannya. Menyembunyikan paras manisnya dileher jenjang namja cantik ini. Kembali menyemburkan air mata. Bukan duka, tapi tangis bahagia.

Jaejoong yang mengerti luap kegembiraan namja manis ini membiarkan hangat tubuhnya mencandu sosok rapuh itu dalam kasih yang telah lama tak Kibum rasa. Mengusap punggung Kibum berkali-kali, dengan senyum hangat yang tak sekalipun pudar dari bibir merahnya.

"—mma… mmaa…"

Celoteh cadel disertai tarikan pada celana panjang yang Jaejoong kenakan membuat pelukan Kibum merenggang. Namja manis itu menundukkan kepala, menatap balita yang balas memandangnya polos. Sedikit bergeser dibelakang tubuh Jaejoong, sang namja cilik menghindari tatapan Kibum yang tak lepas darinya.

"Minniiee sudah bangun eoh?" lengan Jaejoong terulur begitu saja, merangsek lembut diantara sela kedua lengan sang bocah. Memeluknya sesaat sebelum menghujani namja cilik itu dengan kecupan-kecupan sayang.

"Hyung, s-siapa bocah ini?" terabaikan selama beberapa saat, Kibum kembali membuat perhatian Jaejoong teralih padanya.

Namja cantik itu membawa tubuh mungil bocah yang ia panggil Minnie dalam gendongannya, tersenyum hangat dengan paras cantik yang kian membuatnya tampak mempesona.

"Dia malaikat kecilku, Kibummie"

"Mwo?"

"Kau lupa? Sebelum aku meninggalkan Seoul, aku mengatakan padamu bahwa aku sedang hamil bukan?"

Diam… ingatan Kibum kembali pada rentetan peristiwa yang telah dilaluinya. Malam itu Jaejoong memang mengejutkannya pada apa yang tak pernah Kibum sangka sebelumnya. Dan kini, setelah tiga tahun mereka tak saling bertatap muka, Kibum kembali dikejutkan pada apa yang tampak dihadapannya.

Bocah dalam buai kasih sayang yang Jaejoong tunjukkan itu adalah darah daging Jung Yunho, kelegaan menyergapnya begitu saja. Kibum percaya Jaejoong tak kan mengakhiri hidupnya seperti apa yang ia takutkan. Kini ia bahkan melihat dengan mata kepalanya sendiri buah cinta yang Jaejoong jaga dengan segenap hatinya.

Tergelak manis hingga membuat kerutan tak mengerti di dahi sang namja cantik, Kibum menyambar begitu saja tubuh mungil balita itu. Memutarnya berkali-kali dengan derai tawa bahagia.

"Anakmu manis sekali hyung, siapa namanya?" masih sibuk menggoda bocah yang ada dalam gendongannya, Kibum bertanya disela pekik kegelian yang putra Jaejoong celotehkan.

"Changmin, Jung Changmin"

Gerak lengan Kibum terhenti sesaat, memandang Jaejoong dengan binar matanya yang berkilau haru. Tersenyum dalam pahat ketulusan yang tak sanggup ia jabarkan.

"Nama yang indah…"

.

.

TBC

.

.

Karena banyak yang minta sekuel, saya berusaha untuk membuatnya. Terimakasih banyak buat readers macam 'Mrs. Atsukawa, Kiki, Miss Choi, Irengiovanny, Vivii-ken, DarkLordVi, Tinaff359, HaerinAhn, nobody, Cho97, Rivisofayy, Meirah.1111, Mimit, Yolyol, Nara-chan, Shim Yeonhae, Aista vangelia, DewiDestriaPutri, HarunoZuka, DongDonghaeyang sudah nyempetin review.

Beri tanggapan kalian tentang sekuel ini ya? Hehee…