SEKAI NO UTA

Chapter 1

Disclaimer: Tsubasa Reservoir Chronicle © CLAMP

(Satu adegan di sini juga diambil dari video klip Korea yang saya lupa judulnya)

Angin bertiup perlahan. Udara terasa sangat segar. Tercium bau rumput yang menyejukkan. Samar-samar aku bisa merasakan sinar matahari yang cerah menerangi bumi. Samar-samar?

Karena aku tak bisa melihatnya. Aku tak bisa melihat rerumputan maupun pohon yang bergoyang tertiup angin. Aku tak bisa melihat tanah dan bunga-bunga yang tumbuh di atasnya. Aku tak bisa melihat sinar matahari yang cerah. Aku tak bisa melihat apa-apa.

"Ayah…ayah!" Waktu itu umurku sepuluh tahun. Aku, ayah dan kakakku berada di rumah. Penglihatanku masih sangat jelas. Aku biasa melihat tanah, langit, rumput, pohon, bunga dan matahari. Kadang aku bermain di halaman rumahku bersama kupu-kupu yang cantik.

"Ayah!" Aku memanggil ayahku.

Aku tinggal bertiga dengan ayah dan kakak laki-lakiku yang berumur tujuh tahun lebih tua dariku. Rumahku sebenarnya terlalu besar untuk ditempati tiga orang. Tapi karena rumah ini adalah rumah yang diidam-idamkan oleh mendiang ibuku, kami tak berniat pindah dari sini.

Ayahku adalah seorang fotografer profesional. Ayah sering keluar rumah bahkan menerima pekerjaan di luar kota. Ayah memotret untuk berbagai acara. Kadang-kadang majalah memberi tawaran untuk ayah. Kalau tak ada pekerjaan, seharian ayah akan berada di rumah menyusun proyek-proyek pribadinya.

Kakakku, Kak Touya, adalah seorang murid SMA yang sibuk. Ia selalu sibuk dengan berbagai kegiatan sekolah.

Aku? Waktu itu, tentu saja aku juga adalah seorang murid SD yang aktif. Aku ikut kegiatan klub cheerleader. Hampir setiap hari aku berlatih di sekolah. Dan aku juga tergabung dalam klub pecinta alam. Aku paling menyukai klub ini. Kami diajak untuk mengenal berbagai hal. Kami mengamati metamorfosa serangga, perkembangan kelinci, juga menanam pohon. Di waktu tertentu guru pembimbing juga mengajak kami ke kebun binatang, pantai dan pegunungan. Aku sangat menyukai suasana alam bebas.

Hari libur adalah hari yang berharga bagi keluargaku. Kami akan seharian di rumah. Walau ada saja hal yang kami kerjakan, kami menikmati setiap kebersamaan.

Dan libur pada hari itu mengubah hidupku selamanya.

Ayahku mendapat libur sehari. Tapi ayah tetap sibuk menyusun foto-foto yang kemarin dipotretnya. Ayah bermaksud menyerahkan foto-foto itu ke kliennya dalam keadaan yang sudah tertata rapi di dalam sebuah album. Ayah terkadang bekerja di studionya, di kamar atau di ruang tamu. Hari itu aku tak tahu dimana ayahku bekerja.

"Kakak!" Kali ini aku memanggil kakakku untuk menanyakan keberadaan ayah.

Tak ada jawaban. Entah dimana kakak. Aku merengut kesal. Kakak memang sering mengusiliku. Dia sering pura-pura menghilang lalu muncul dan mengagetkanku. Aku memutuskan tak memanggil-manggil kakak lagi.

"Ayah!" Aku kembali memanggil ayah. Tadi aku asyik bermain di halaman. Lalu aku melihat hal menarik. Bibit mawar yang kutanam di halaman mulai mengeluarkan kuncupnya. Sudah lama sekali aku menantinya berbunga. Aku sangat senang melihatnya. Aku pun ingin mengabadikan hal indah itu ke dalam sebuah gambar. Jadi aku mencari ayah, ingin meminjam kamera.

Tapi… Hmh… Dimana ayahku?

"Ayah!" Kubuka ruang kerja ayah. Ternyata ayah tak ada juga di sana. Aku menghela nafas. "Kemana sih ayah?" tanyaku dalam hati. Sudah kucari di ruang tamu, di dapur, di kamar…

Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah benda pada rak milik ayah. Itu kamera digital milik ayah! Hoeee… Kalau begini aku tak usah susah-susah mencari ayah lagi, khan?

Aku mendekati rak yang penuh dengan berbagai barang itu. Yah… sudah kuduga. Rak itu terlalu tinggi untukku. Tanganku tak bisa mencapai kamera digital itu.

"Pendek!" Kuingat ejekan kakak padaku. "Cebol!"

"Huuh…memang kenapa kalau pendek?" Kutepis ingatan itu dari pikiranku. "Aku khan masih SD, masih dalam masa pertumbuhan. Beda dengan kakak yang sudah SMA"

Kutatap kamera di atas rak itu dengan kesal. Kucoba mengangkat tangan kananku. Hei, ternyata rak itu tak setinggi dugaanku! Kudekatkan lagi tubuhku. Aku berhasil mencapai rak itu.

Sebenarnya bisa saja aku mengambil kursi dan menaikinya untuk mengambil kamera itu dengan mudah. Tapi aku terlalu gembira karena merasa bisa mencapai rak itu dengan tanganku sendiri.

"Seandainya saja kakak melihat hal ini!" sorakku dalam hati. Aku tidak pendek ataupun cebol! Aku bisa meraih rak ini!

Aku segera mencoba meraih kamera digital ayah. Kujinjitkan kedua kakiku. Badanku sedikit gemetar. Tanganku tadi baru mencapai papan bagian bawah rak. Perlu sedikit usaha untuk meraih kamera yang ada di atasnya. Tapi akan kubuktikan bahwa aku bisa!

'Tap' Berhasil! Kamera itu sudah berada dalam genggamanku! Kutarik tangan kananku untuk menurunkannya. Namun tali kamera itu tersangkut pada sebuah botol plastik. Dan terlambat untukku menyadari bahwa plastik itu ikut tertarik ke bawah.

Sebentar lagi aku akan bersorak kegirangan dengan kamera di genggaman kedua tanganku. Kubuka kedua mataku lebar-lebar. Sebentar lagi aku bisa membalas ejekan kakak. Aku bisa meraih kamera itu sendiri. Sebentar lagi…

Botol plastik itu jatuh lebih dulu, tepat saat aku menurunkan kamera ayah. Botol itu tidak tertutup. Sesuatu yang berwujud cair tercurah keluar darinya dan menyiram wajahku.

Aku menutup kedua mataku. Terlambat. Mataku terasa perih. Air yang aneh itu mengenai mataku. Aku terduduk di lantai sambil menutup wajahku dengan kedua tanganku.

"A…ayah…" Aku merintih. Kedua mataku mulai terasa sakit. Semakin lama semakin perih. Bahkan rasa sakit itu mulai tak tertahankan.

"Ayaaahhh!" Aku menjerit.

Mataku…Mataku….Kenapa bisa sesakit ini? Aku memejamkan mata erat-erat. Kujatuhkan tubuhku hingga kepalaku menyentuh lantai. Aku mulai menangis dan menjerit. Kupanggil-panggil ayah dan kakak.

"Ayah! Kakak! Tolooonggg! Mataku… mataku sakit!" seruku.

Terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru. Kudengar pintu ruangan yang tadinya hampirtertutup mendadak terbuka dengan keras.

"Sakura!" Kudengar kakak berseru terkejut.

Aku hanya bisa menangis dan menjerit sakit. Kudengar seorang yang lain masuk ke ruangan itu.

"Ada apa? Ada apa dengan Sakura?" Kudengar suara ayah.

Aku tak ingat dengan jelas lagi apa yang terjadi setelahnya. Aku hanya memeluk ayah dan terus menangis. Yang kutahu ayah dan kakak buru-buru membawaku ke rumah sakit.

"Hai!" Suara seseorang membuyarkan lamunanku.

"Ah…siapa?" tanyaku. Sejak hari itu aku kehilangan seluruh penglihatanku. Air yang menyiramku itu adalah bahan kimia untuk proses pencucian foto milik ayah. Air itu merusak kedua mataku dan membuatku kehilangan cahaya untuk selamanya.

Ayah sempat terus menerus menyalahkan diri, kenapa sampai lupa menutup botol plastik itu dan meletakkannya begitu saja. Kakak juga merasa lalai karena tak menjagaku. Mereka berkali-kali memohon maaf padaku. Tapi aku tahu, semua ini salahku juga. Kalau saja aku tak mencoba meraih kamera itu sendirian, tentu semua tak akan terjadi.

Lima tahun berlalu dan perlahan kami semua mulai menerima semua kenyataan ini.

"Melamun saja dari tadi!" Suara itu terdengar lagi. Suara laki-laki. Kedengarannya orang itu masih remaja juga, sepertiku. Suaranya terdengar agak jauh. Mungkin ia berada di luar pagar rumahku. Pagar itu tak terlalu tinggi, jadi orang-orang bisa melihat ke halaman rumahku dengan bebas.

Aku tersenyum. "Siapa ya?" tanyaku. Seingatku, aku belum pernah mendengar suaranya.

"Aku Li Syaoran. Aku baru saja pindah ke sebelah rumahmu" sahut orang itu.

"Ooh," sahutku. Pantas saja kemarin aku mendengar suara yang heboh di sebelah rumah. Beberapa kali mobil lalu lalang dan berhenti di dekat rumahku, lalu suara barang-barang berat yang diturunkan.

"Namamu siapa?" tanya Syaoran.

"Aku Sakura Kinomoto" jawabku. "Senang berkenalan denganmu!"

"Sama-sama," sahutnya. "Boleh aku memanggilmu Sakura saja?" tanyanya kemudian.

"Tentu!" jawabku. "Kalau begitu, bolehkah aku memanggilmu Syaoran?"

"Ya, tentu saja boleh" jawab Syaoran.

Mendadak aku merasa sangat senang. Sudah lama tak ada yang menyapaku. Ayah dan kakak memang selalu mengobrol denganku kalau mereka sudah tak sibuk. Tomoyo, sahabatku sejak SD juga sering datang berkunjung. Tapi aku tak pernah bicara dengan orang lain selain mereka. Sejak peristiwa itu, aku berhenti dari sekolahku yang lama. Aku mengikuti program belajar untuk orang-orang yang tak bisa melihat. Guruku, Kurogane-sensei akan datang ke rumah seminggu tiga kali dan akan mengajar pelajaran-pelajaran seperti di sekolah umum. Tapi karena belajar di rumah, aku jadi tak punya teman lain lagi.

"Kemarin aku mengobrol dengan ayahmu" Kudengar Syaoran membuka pintu pagar. Lalu kudengar suaranya semakin jelas. Sepertinya ia mendekatiku. "Ayahmu bercerita banyak tentangmu" lanjutnya.

Hm… Kalau begitu, pasti ia sudah tahu tentang mataku. Kalau dia berada di sini, kurasa ia bisa mengerti keadaanku…

"Aku suka halaman rumahmu ini," kata Syaoran. Kudengar suara kursi yang digeser. Mungkin ia duduk di kursi sebelahku. "Banyak bunga yang indah"

"Ya…" jawabku singkat. Sampai lima tahun lalu aku sangat menyukai bunga. Aku menanam banyak bunga di halaman rumahku. Pasti ayah dan kakak yang meneruskan merawat bunga-bunga itu.

"Kamu selalu duduk di sini, ya?" tanya Syaoran kemudian.

"Ya. Aku selalu duduk di teras rumah seperti ini. Aku menikmati udara segar, sambil mengingat pelajaran dari guruku" jawabku.

Syaoran tak bertanya atau berkata apa-apa lagi. Apa dia canggung berbicara padaku? Aku bisa mengerti. Kami baru saja bertemu, apalagi keterbatasan yang kumiliki ini pasti membuatnya sangat berhati-hati.

"Syaoran pindahan darimana?" Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya, memecah keheningan.

"Aku? Eng… Aku dari Hongkong. Aku berasal dari sana. Ibuku seorang fotografer yang sering berpindah-pindah tempat tinggal. Ibu sering mengajakku ke Jepang, jadi aku bisa berbahasa Jepang" jawab Syaoran.

Ooh, pantas bahasa Jepangnya lancar. Hei, ternyata ibunya juga seorang fotografer seperti ayah.

"Ibu mendapat pekerjaan di sini. Karena akan lama, jadi kami sekalian pindah. Begitulah" sahut Syaoran lagi.

"Kamu pindah sekolah juga?' tanyaku.

"Ya, tentu saja aku harus pindah. Tak mungkin khan setiap hari aku pergi pulang Hongkong-Jepang untuk ke sekolah?" sahut Syaoran. "Aku akan masuk ke SMA di dekat sini.

Aku tertawa kecil membayangkan kalau aku harus pergi pulang luar negeri setiap hari hanya untuk sekolah.

"Hongkong memang negara yang menyenangkan. Tapi Jepang juga sangat menarik" kata Syaoran. "Dari beberapa negara yang kukunjungi, aku paling suka Jepang"

"Oh, ya? Kamu sudah mendatangi beberapa negara?" tanyaku, terkejut kagum.

"Ibu yang mengajakku, sambil bekerja" jawab Syaoran. "Kami sudah pergi ke negara Australia, Indonesia, Italia, Inggris dan Jepang"

"Sepertinya menyenangkan" sahutku. Dulu aku sangat suka membaca buku-buku tentang negara lain. Aku ingin sekali bisa keliling dunia dan melihat berbagai pemandangan alam yang mengagumkan.

"Ya, senang sekali bisa melihat berbagai pemandangan di banyak negara. Di Australia aku dan ibu mengunjungi peternakan. Ada pasangan yang akan menikah di sana. Jadi ibu mengambil banyak foto mereka. Lalu Indonesia… aku ke daerah ibukota, lalu ke kota yang sejuk bernama Bandung, kemudian ke Bali. Indonesia adalah negara tropis. Udaranya agak panas. Tapi pemandangan alamnya indah" cerita Syaoran.

Pikiranku kembali melayang ke enam tahun yang lalu, saat aku masih bisa melihat dunia. Saat itu ayah sering mengajakku jalan-jalan. Kami mengunjungi Kyoto, Yokohama, Osaka, Hokkaido… Ayah tahu aku sangat menyukai alam. Ayah akan membiarkanku bebas berlarian dan bermain selagi ia memotret. Ingin sekali rasanya kembali ke saat-saat seperti itu.

"Ngomong-ngomong panas, katanya sebentar lagi ada festival musim panas di dekat sini, ya?" tanya Syaoran.

"Eh? Aku tak tahu" jawabku. Festival musim panas adalah acara rutin yang diadakan setiap tahunnya di Jepang. Orang-orang akan mendirikan berbagai stand permainan dan makanan. Tapi aku tak pernah datang lagi ke acara festival sejak lima tahun yang lalu.

"Nanti aku akan tanya-tanya dan mencari tempat acaranya. Kalau sudah pasti, aku ingin ke sana" kata Syaoran. "Dan… apakah aku boleh mengajakmu?"

"Eh?" Aku terkejut. "Ikut ke festival? Tapi… nanti aku hanya menyusahkan saja!" sahutku.

"Tidak, kok! Kamu tak akan menyusahkan. Aku tak ingin pergi sendirian. Rasanya pasti tak menyenangkan. Ibuku sibuk bekerja beberapa hari ini. Dan aku belum mengenal orang lain lagi" kata Syaoran.

"Tapi kamu tahu, kan? Mataku tak bisa melihat. Aku pasti akan merepotkanmu saja. Nanti kamu malah tak menikmati acaranya" kataku.

Kudengar Syaoran malah menjauh. Sepertinya ia tak ingin mendengar protesku. "Oh, aku harus kembali!" katanya.

"Syaoran, dengarkan aku…" Aku hendak protes lagi. Kalau keadaanku normal, aku pasti akan ikut dengan senang hati. Tapi kalau sekarang, aku pasti menyusahkan!

"Tunggu kabarku nanti, ya! Aku pasti akan menjemputmu!" seru Syaoran. Terdengar suara langkah kaki yang menjauh, lalu suara pagar yang dibuka dan ditutup.

"Ah, Syaoran!" panggilku.

Tapi tak ada jawaban. Sepertinya Syaoran sudah keluar.

Aku menghela nafas. Kenapa sih Syaoran memaksaku ikut dengannya?" tanyaku dalam hati.

"Eh, ke festival?" Tomoyo terkejut mendengar ceritaku.

Sore itu, Tomoyo datang berkunjung. Aku dan Tomoyo sudah sangat dekat sejak kelas satu SD. Dari semua teman-temanku dulu, hanya Tomoyo yang sering datang ke rumahku. Dia akan bercerita banyak hal tentang dunia luar padaku, dan aku akan menceritakan hal yang kualami padanya. Tadi aku menceritakan pertemuan dengan Syaoran.

"Iya! Syaoran memaksaku ikut. Padahal dia kan tahu aku tak bisa melihat!" Aku menumpahkan protesku pada Tomoyo.

"Hm…terus kamu terima atau menolak ajakannya?" tanya Tomoyo.

"Kutolak. Tapi ia tak mau mendengarkan," jawabku. "Dia malah berkata akan menjemputku." Aku pun menjadi gelisah mengingatnya. Seandainya aku orang normal. Seandainya saja aku bisa melihat, walau hanya sedikit. Seandainya…

"Wah, bagus itu!" Reaksi Tomoyo membuatku heran.

"Bagus apanya? Hh….Aku tak akan pergi bersamanya. Bagaimana kalau Tomoyo saja yang pergi menemaninya? Kalau kakak, kurasa ia akan menolak. Kakak pasti pergi dengan Kak Yukito, sahabatnya," kataku.

"Tidak, ah!" Kudengar Tomoyo tertawa kecil. "Aku sibuk dengan banyak hal untuk beberapa hari ke depan. Tapi kebetulan sekali… Hari ini aku membawakan baju istimewa untukmu" katanya.

Ya, aku tahu Tomoyo juga pasti akan menolak. Hm… dan ternyata ia membawakanku baju lagi, ya? Tomoyo sangat suka membuatkanku baju. Baju yang ia buat pasti sangat bagus dan menarik. Ia tak pernah bosan membuatkanku. Setiap ia datang, ia pasti membawakanku baju buatannya.

Aku mendengar suara plastik yang dibuka.

"Kamu tahu, Sakura…hari ini aku membawakanmu…" Kudengar dari suaranya, Tomoyo mengeluarkan baju yang dibawanya dan membiarkanku memegangnya. "…aku membawakanmu sebuah yukata. Kamu bisa memakainya ke festival nanti!" lanjut Tomoyo.

"Eeeh?" Aku tambah kaget.

"Kebetulan sekali, ya?" Tomoyo terdengar gembira. "Jadi kamu bisa pergi ke festival bersama Sayoran dan kamu bisa memakai Yukata ini!"

"Tomoyo…" Rasanya ingin sekali aku protes.

"Tenang saja, nanti aku akan mampir sebentar untuk membantumu memakai yukata ini," kata Tomoyo.

Duh…bukan itu yang membuatku gelisah…

"Aku tidak terima protes lagi!" Tomoyo menempelkan jari telunjuknya di bibirku. "Sakura harus pergi ke festival itu. Aku ingin melihat Sakura bersenang-senang dan memakai yukata dariku"

Aku terdiam, berhenti protes. Sudah kukatakan berkali-kali kan? Bukannya aku tak mau pergi. Tapi seandainya saja aku bisa melihat…

Kali ini aku pasrah dan berharap, semoga berita tentang festival di dekat sini itu salah