Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowlings, dan Vampire Knight milik Hino Matshuri
Warning: Slash, Au, OOC, Mpreg, typo
Pairing: HarryxDraco, KanamexDraco
Rating: T
THE POMME DE SANG
By
Sky
Sudah dua bulan lamanya semenjak peperangan antara Harry dengan Voldemort berakhir dan diakhiri dengan kemenangan di pihak Harry, pada saat itu pula peperangan yang telah dimulai sejak beberapa tahun yang lalu akhirnya berakhir. Secara berangsur-angsur kerusakan yang disebabkan karena peperangan pun mulai diperbaiki, Hogwarts yang menjadi medan pertempuran itu juga telah kembali menjadi semula, dan tahun ajaran baru pun akan dimulai untuk tahun ini.
Meskipun orang-orang ingin menganggap semuanya telah berakhir, tetapi hal itu sangat mustahil untuk dilakukan. Banyak manusia yang menjadi korban dari peperangan ini, baik itu dari pihak putih maupun dari pihak hitam. Banyak anak-anak yang menjadi yatim piatu karena kedua orangtuanya telah tewas dalam peperangan, dan banyak pula orang yang kehilangan sanak saudaranya atau orang-orang yang mereka cintai karena itu. Dan rasa kehilangan terbesar bagi dunia sihir adalah ketika pahlawan terbesar yang telah berjasa untuk mengakhiri perang yang berkepanjangan ini telah tiada, benar... Harry Potter mengorbankan jiwanya untuk mengalahkan Voldemort.
Banyak orang yang merasa sedih karena kehilangan sosok seorang Harry Potter. Teman-temannya dan orang-orang yang mengenalnya merasa sangat kehilangan, mereka tidak pernah menyangka kalau Harry akan meninggalkan mereka dalam usia yang masih sangat belia.
Draco menatap nisan Harry yang ada di hadapannya itu dengan tatapan begitu sayu, kedua mata silver kebiruannya terasa ingin menitikkan air mata ketika ia melihat ukiran nama suaminya berada di sana. Draco tidak pernah menyangka kalau ucapan selamat tinggal yang Harry ucapkan pada waktu itu adalah sebuah firasat kalau ia akan meninggalkan dunia dengan secepat ini, dan Draco menyesalkan semua itu karena ia tidak bisa berada di samping Harry untuk selamanya seperti janji yang telah mereka ucapkan. Benar, Draco Malfoy dan Harry Potter mengikat jiwa mereka untuk satu sama lain saat Draco menginjak usia 16 tahun di mana ia mendapatkan Heritage-nya sebagai seorang high elven dan juga seorang veela. Dalam pandangan dunia elven, keduanya adalah sepasang sejoli yang telah menikah, dan hal ini menjadi sebuah ironis ketika Harry meninggalkan Draco sendirian di dunia ini.
Draco tidak menyalahkan Harry, ia juga tidak menyalahkan Voldemort yang telah merebut nyawa suaminya, Draco tidak menyalahkan siapapun. Ia sudah mempunyai firasat ini sebelumnya, dan ketika ia memberitahukan hal ini kepada suaminya, Harry hanya tertawa dan memeluknya. Harry mengatakan kalau kematian itu suatu saat akan menjemputnya, apalagi Harry itu hanya seorang penyihir dengan darah manusia biasa, bukan seperti Draco yang memiliki darah Elven dan veela di dalam tubuhnya yang membuatnya untuk hidup sangat lama. Draco menghormati perkataan Harry, dan ia merelakan kepergian Harry dari sisinya untuk selama-lamanya.
Remaja bertubuh langsing yang berusia 17 tahun tersebut memejamkan kedua matanya, ia membiarkan air matanya berlinang dan membasahi kedua pipinya. Munkin ini bukan pertama kalinya Draco menangis, dan ia sangat yakin kalau ini bukanlah untuk terakhir kalinya. Draco harap suaminya itu mendapat ketenangan di dalam tidur abadinya.
"Apapun yang terjadi padamu, 'Ry, aku akan selalu mencintaimu seumur hidupku." Gumam Draco, remaja itu berjalan menghampiri nisan Harry dan duduk di sampingnya.
Draco mengecupnya secara perlahan, ia memfokuskan sihirnya pada tangan kanannya dan tidak lama kemudian setangkai bunga mawar bermahkota kristal emerald muncul di sana. Remaja berwajah manis tersebut meletakkan bunga yang langka tersebut di atas makam suami tercintanya secara perlahan.
"Beristirahatlah dengan tenang, 'Ry. Aku akan selalu mendoakanmu." Kata Draco lagi, remaja itu berdiri dari tempat duduknya di samping makam Harry. Untuk terakhir kalinya Draco memandang nisan itu sebelum ia ber-apparate pergi dari sana, dan ia pun meninggalkan Inggris entah sampai kapan lamanya.
"Cross Academy? Apa ibu tidak salah dengan keputusan ini?" tanya Draco pelan kepada Narcissa, remaja itu mengamati selembar surat yang saat ini tengah ia baca.
Narcissa Malfoy nee Black, ibu dari Draco Potter Nee Malfoy, tersebut memberikan senyuman kecil kepada putra semata wayangnya itu. Tiga bulan telah berlalu semenjak peperangan besar di dunia sihir berakhir, Narcissa tahu kalau putranya itu tengah mengalami luka yang sangat berat di hatinya semenjak Harry meninggal, tapi Narcissa bangga karena sedikit demi sedikit Draco mampu mengobatinya. Kedua memutuskan untuk meninggalkan Inggris, mereka menilai kalau banyak kenangan buruk berada di negara tersebut, dan akhirnya mereka memutuskan untuk pindah ke Jepang sebulan yang lalu untuk mencari ketenangan di sana.
Di kota kecil ini mereka berdua tinggal di sebuah manor milik keluarga Malfoy yang sangat tersembunyi, jauh dari keramaian perkotaan dan berada di tengah hutan itulah di mana letak manor tersebut. Draco telah menambahkan sihirnya sebagai perlindungan di sekitar rumah mereka, dengan itu tidak akan ada seorang pun yang akan menemukan tempat itu tanpa seizin Draco, Draco melakukan itu hanya demi keamanan sebab ia tahu kalau masih banyak pelahap maut yang lolos dari Azkaban dan mereka menuntut balas kepada Draco sebab remaja manis itu adalah suami dan partner dari Harry Potter yang telah membunuh master mereka.
"Aku sangat yakin, Sweetie. Meskipun Cross Academy adalah sekolah muggle, tapi tempat itu adalah yang terbaik di kota ini." Ujar Narcissa, "Terlebih lagi kau tidak bisa bersekolah di sekolah sihir kalau kau tidak ingin identitasmu terbongkar."
Draco menatap Narcissa yang duduk di sampingnya, mereka berdua tengah berada di kebun belakang manor mereka. Di tempat itu sangat rindang, banyak tanaman bunga yang bermekaran di sana, Draco sangat yakin kalau semua itu adalah pekerjaan dari ibunya. Remaja itu mengamati tempat mereka untuk sejenak, Malfoy manor yang mereka tempati ini memang sedikit lebih kecil dari beberapa Manor mereka yang ada di Inggris, tapi tempat ini tidak kalah indah dengan yang ada di Inggris, Draco tidak meragukannya apalagi kalau ibunya yang merawatnya.
"Aku tahu, terlebih lagi aku sudah menguasai sihir yang ada ada di sini." Kata Draco
"Aku tidak meragukanmu, Draco, kau adalah seorang pureblood dan High elven, sihir akan selalu berpihak padamu."
"Lalu mengapa ibu menyarankan aku bersekolah di sini? Kurasa sekolah muggle tidak akan banyak memberiku pelajaran, hampir semuanya aku sudah tahu."
"Ibu tahu akan hal itu." Di sini Narcissa mengambil nafas panjang sebelum ia menatap mata putranya, "Aku hanya ingin kau kembali seperti dirimu yang dulu, sebelum tragedi ini terjadi. Ibu ingin kau dikelilingi oleh anak-anak seusiamu, merasa gembira layaknya manusia pada normalnya."
Draco menatap ibunya dengan tatapan penuh kasih sayang, ia mengerti dengan maksud Narcissa tersebut, tetapi apa ibunya lupa kalau Draco bukanlah manusia pada umumnya, dan kalaupun ia seorang manusia maka Draco bukanlah orang normal seperti yang Narcissa katakan. Draco adalah seorang penyihir dan di dalam tubuhnya sama sekali tidak mengalir darah seorang manusia sedikitpun, ia terlahir sebagai seorang High elven yang memiliki kecantikan dan sihir yang luar biasa, apalagi kalau hal itu ditunjang dengan darah veela-nya. Dan terkadang Draco sendiri benci dengan hal itu, Heritage-nya itu membuat Draco terlihat seperti seorang wanita. Bagaimana tidak? Bila remaja laki-laki seusianya harusnya memiliki badan yang tinggi, kekar, dan penampilan yang begitu maskulin seperti Harry, hal ini sangat berbeda dengan Draco. Tinggi tubuhnya hanya 5'4 saja, bahkan Pansy saja lebih tinggi dari Draco, cukup untuk membuat Draco benci pada dirinya. Tubuhnya juga jauh lebih feminim seperti seorang wanita, dengan tubuh langsing dan kurva yang mampu membuat para gadis iri padanya, bahkan wajahnya saja sangat manis dan rambutnya yang berwarna pirang platinum itu membuat penampilannya seperti seorang malaikat. Kalau saja Draco tidak tahu dirinya adalah laki-laki, maka ia akan menganggap ia terlahir sebagai seorang wanita, dan thanks Merlin, ia tidak memiliki aset milik wanita.
Memikirkan fisiknya saja mampu membuat Draco depresi lagi, tidak heran kalau Harry sering sekali menggodanya seperti itu. Harry? memikirkan nama suaminya saja mampu membuat Draco ingin menitikkan air matanya.
"Draco." panggil Narcissa lagi, suaranya begitu khawatir.
Draco terbangun dari lamunannya, ia memberikan senyuman tipis kepada ibunya tersebut, ia tidak ingin membuat wanita yang ada di sampingnya ini terlalu khawatir padanya. Hanya Narcissa-lah yang Draco miliki di dunia ini, ayahnya sudah meninggal untuk melindungi mereka dan Harry juga meninggal karena melindungi mereka, dan saat ini Draco yang akan melindungi ibunya.
"Baiklah, aku akan mencobanya untuk bersekolah di sana." Ujar Draco pelan.
Sebuah senyuman lembut muncul di wajah Narcissa sebelum ia memeluk Draco dengan erat, ia harap keputusan yang telah ia buat bukanlah keputusan yang salah.
"Kau tidak akan rugi mengambil keputusan itu, sayang. Ibu yakin kau akan menemukan sesuatu yang menarik di sana."
"Apa maksud, ibu?" tanya Draco sedikit penasaran.
Sebuah seringai penuh kepuasan muncul di wajah cantik Narcissa, "Kau akan mengetahuinya sendiri, sayang. Dan ibu jamin kalau kau tidak akan bosan di sana, Cross Academy tidah hanya sekedar sekolah muggle biasa saja."
Dan itulah yang terjadi dua hari yang lalu, Draco tidak tahu ia harus tertawa atau malah menangis karena keputusan yang ibunya buat ini, ia baru menemukan kalau murid-murid yang bersekolah di Cross Academy tidak hanyalah muggle saja, namun juga segerombolah vampire penghisap darah. Dan di sinilah sang penyihir muda itu berada, ia tengah duduk di kursi belakang mobil limo yang akan mengantarkannya ke Cross Academy. Ibunya sangat antusia ketika mengetahui Draco setuju dengan hal itu, Narcissa telah mempersiapkan segalanya, ia bahkan menghubungi sang kepala sekolah untuk memesankan kamar khusus untuk Draco, dan Draco sangat berterima kasih karena itu. Kalau ia akan tinggal di dalam asrama, setidaknya ia ingin mendapatkan kamarnya sendiri untuk ketenangannya. Alasan yang diberikan ibunya sangat singkat, Draco memiliki sakit yang parah dan ia tengah menjalani pengobatan, oleh karena itu ia harus mendapatkan ketenangan di sana, dan apa yang terjadi? Kepala sekolah Cross mempercayai omong kosong itu.
Terkadang Draco heran, ibunya itu pandai sekali berakting dan pernah terbesit ke dalam pikirannya tentang mengapa tidak ibunya memulai berkarir menjadi seorang artis film, aktingnya sangat bagus. Kembali pada situasi sebenarnya, di sepanjang perjalanan menuju Cross Academy Draco hanya melihat pohon-pohon tinggi yang menjulang di sana, tempat yang akan ia tuju itu kelihatannya sangat jauh dari area perkotaannya, tetapi Draco tidak keberatan dengan hal itu. Buku kecil yang sedari tadi menemani perjalannya hanya terbukan tidak terbaca di atas pangkuannya, perhatian dari Draco beralih pada pemandangan indah yang ada di luar jendela mobilnya.
"Tuan muda, kita sudah sampai." Ujar sopirnya.
Draco mengangguk pelan, ia menunggu sopir mobilnya membuka pintu mobil untuk Draco. tidak lama kemudian Draco turun dari sana dan untuk pertama kalinya ia melihat secara langsung seperti apa bangunan yang akan menjadi tempat tinggal sementaranya. Cross academy sangat besar meskipun tidak sebesar dan semegah Hogwarts, bangunannya bergaya arsitektur barat pada beberapa abad yang lalu, dan suasana yang menyelimutinya sangat tenang. Draco tahu kalau sekolah ini bukanlah sekolah penyihir, tetapi ia bisa merasakan aura yang menyelimuti bangunan ini memiliki sebuah misteri tersendiri.
"Apakah semuanya sudah siap, tuan muda?" tanya sang sopir setelah ia menurunkan sebuah koper milik Draco.
"Sepertinya sudah cukup. Kau bisa kembali ke manor, Richard." Jawab Draco dengan suara halus, ia memberikan senyum kepada Richard, membuat sang sopir merona merah. "Katakan pada ibu kalau aku akan baik-baik saja."
Richard mengangguk singkat, dan dengan senyum kecil ia masuk kembali ke dalam mobil sebelum beranjak dari sana, meninggalkan Draco sendirian di depan pintu masuk menuju Cross Academy.
Draco mengamati koper yang ada di sampingnya, ia hanya membawa satu koper sebab hal itu ia gunakan untuk kedok. Barang-barang yang ia bawa terbilang cukup banyak, dan untuk menyembunyikannya ia menggunakan sihir untuk mengecilkan mereka dan memasukkannya ke dalam koper. Kalau saja ia tidak menggunakan sihir, pasti ia akan membawa koper lebih dari satu buah dan Draco tidak menginginkan hal itu untuk terjadi.
Dengan langkah berat namun tetap begitu anggun seperti seorang model, Draco masuk ke dalam Cross Academy untuk menuju ke kantor kepala sekolah. Di sepanjang ia berjalan, Draco merasakan emosinya ingin pecah karena tatapan yang diberikan oleh mereka. Bagaimana tidak? Mereka terus menatapnya seolah-olah Draco ini adalah seekor buruan di kandang harimau.
"Wah, dia manis sekali!"
"Kya... apa dia murid baru di kelas malam! Oh My God, dia manis sekali."
Hal itu sudah biasa ia dengarkan, tapi yang membuatnya ingin memukul mereka adalah:
"Ughh... gadis ini cantik sekali, aku sampai iri padanya."
Alis kiri Draco berkedut, lancang sekali mereka menganggapnya seorang wanita. Meskipun ia mirip sekali dengan hal itu, tapi Draco masih seorang laki-laki damn it! Sebuah mantra sudah berada di bibir Draco, tinggal ia ucapkan saja untuk mengutuk mereka yang berani menghinanya. Namun konsentrasinya buyar saat ia merasakan tubuhnya terpental ke tanah, seseuatu menabraknya dan sesuatu itu pula tengah meringis kesakitan. Draco membuka matanya untuk melihat apa yang tadi menabraknya, dan ia sedikit terkejut menemukan seorang gadis muda mengenakan seragam berwarna hitam, gadis itu memiliki rambut pendek berwarna kecoklatan dan sepasang mata berwarna marun yang indah, dan Draco bisa melihat kepolosan di sana.
"Ah, maafkan aku. Aku begitu ceroboh." Ujar gadis itu, ia menatap ke arah Draco dan remaja membelalakkan matanya ketika ia melihat makhluk rupawan yang ada di sana. Untuk sesaat Yuuki mengira kalau sang malaikat telah turun ke bumi dan muncul di hadapannya. "Ah, kau pasti murid baru yang kepala sekolah katakan." Katanya lagi saat ia teringat akan perkataan ayahnya kalau mereka akan mendapat murid baru, Yuuki yakin pasti remaja yang ada di hadapannya ini adalah murid baru dari kelas malam.
"Iya," jawab Draco singkat.
"Hai, aku Yuuki Cross, prefect di Cross Academy. Maafkan aku, seharusnya aku berada di depan pintu masuk untuk menunggumu, tetapi aku tadi mendapat detensi dari guru sehingga aku telat." Kata Yuuki.
Draco menemukan dirinya memberikan senyum kepada gadis itu, dan cukup untuk menghibur dirinya sendiri ia mendapati wajah Yuuki merona merah karena senyuman yang Draco berikan padanya.
"Tidak apa, Cross-san." Balas Draco.
"Tapi tetap saja aku merasa tidak enak." Ujar Yuuki, ia membantu Draco berdiri. "Oh, apa kau murid baru di sini? Kepala sekolah tidak memberi tahuku mengenai hal itu, beliau cuma mengatakan kalau akau haru menunggu seseorang di sini."
"Iya, aku murid baru di Cross Academy, salam kenal." Jawab Draco dengan santai sambil memberikan senyuman kecil pada gadis itu.
"Oh, aku senang sekali. Akhirnya ada wajah baru di tempat ini juga, aku tidak sabar bisa mengenalmu lebih jauh lagi." Kata Yuuki, ia mengamati Draco sebelum sebuah semburat merah muncul di wajahnya, "Dan kelihatannya seragam murid perempuan di Cross Academy sangat cocok untukmu, kau akan kelihatan begitu cute."
Alis Draco berkedut lagi, apalagi setelah Yuuki mengatakan hal yang sangat sensitif mengenai dirinya. dalam hati ia menyalahkan kedua orang tuanya, mengapa juga ayahnya harus menjadi seorang High elven sementara ibunya adalah seorang veela, dan hal ini sangat mempengaruhi penampilannya dan membuat Draco sangat mirip dengan anak perempuan yang sangat cantik. Kalau saja Draco perempuan maka hal itu tidak akan membuatnya keberatan, hanya saja Draco itu laki-laki dan laki-laki mana yang tidak kesal bila mereka selalu disamakan dengan perempuan.
"Cross-san, aku ini bukan perempuan tapi aku ini laki-laki." Kata Draco, mencoba untuk menahak perasaan dongkol di dada.
"Eh..." Yuuki mengamati Draco untuk sekali lagi, "Tidak mungkin. Apa kau tidak salah? Maksudku kau itu sangat manis."
Draco mengangguk dengan mantapnya.
"Aww... kau jauh lebih manis dariku." Ujar Yuuki kecewa. "Itu tidak adil."
Dan rasa kesal Draco semakin memuncak saat ia mendengar suara tawa kecil dari belakang, remaja itu menoleh ke belakang dan mendapati seorang pemuda bertubuh tinggi, jauh lebih tinggi dari Draco yang cukup untuk membuatnya sangat kesal, berkulit pucat, berambut silver dan memilik sepasang mata yang berwarna lavender. Pemuda itu mengenakan seragam laki-laki berwarna hitam, sedikit berantakan memang namun itu memberikan kesan yang sangat seksi. Dan pemuda itu memberikan seringai tipis kepada Draco.
"Zero... kau mengagetkan aku saja." Ujar Yuuki dengan sedikit cemberut. "Jangan muncul secara tiba-tiba seperti itu!"
Pemuda yang bernama Zero itu menghiraukan Yuuki, kedua mata lavendernya tertuju pada sosok Draco yang balas menatapnya dengan tajam, aura remaja yang ada di hadapannya itu sangat berbeda, namun bukan berarti tidak menyenangkan seperti para vampire dari kelas malam. Remaja itu memiliki aura yang sangat berbeda dari manusia biasanya, Zero tidak tahu apa itu, namun Zero tidak menemukan kalau remaja itu adalah seorang vampire, seorang manusia dengan aura yang sangat kuat, menarik.
"Apa kita bisa ke kantor kepala sekolah sekarang?" tanya Draco dengan suara kecil.
Kalimat itu menyadarkan mereka berdua dari lamunan mereka, keduanya mengangguk dan mereka bertiga melanjutkan perjalannya menuju kantor kepala sekolah. Yuuki menuntun Draco, mencoba untuk mengajaknya mengobrol atau lebih tepatnya Yuuki yang berbicara sementara Draco yang mendengarkannya, sementara itu Zero yang berjalan di belakang Draco hanya mengamati remaja itu, sama sekali tidak memberikan pendapatnya ataupun bersuara.
Draco tahu kalau Zero terus menatapnya dari belakang, mencoba untuk membuat lubang di belakang kepalanya, namun Draco berusaha untuk menghiraukan tatapan itu. Seperti kata ibunya, Cross Academy memang sedikit aneh, aura yang dikeluarkan dari sekolah ini mengatakan kalau tempat itu tidak hanya dihuni oleh manusia saja, namun ada sesuatu yang lain. Dan pemuda yang mengikutinya dari belakang adalah salah satu contohnya, saat kedua mata mereka bertemu beberapa saat yang lalu Draco dapat menyimpulkan kalau Zero bukanlah manusia. Di dalam tubuhnya terdapat dua aura yang berusaha untuk saling mendominasi diri Zero, satunya adalah manusia sementara yang lainnya adalah sesuatu yang tidak ia tahu. Tapi kalau melihat semburat warna merah yang terlintas di mata Zero, hal itu mirip simptom vampire yang pernah Draco baca di buku pertahanan terhadap ilmu sihir. Draco memang belum pernah bertemu dengan vampire secara langsung saat perang, namun ia tahu apakah seseorang vampire atau bukan setelah ia melihat aura dari orang itu, dan saat ini Draco bisa merasakannya, apakah ini artinya Zero adalah seorang vampire? Kalaupun iya, lalu apa yang ia lakukan di tempat yang banyak akan manusianya?
Beribu pertanyaan muncul di kepala Draco, namun ia tidak menemukan jawaban untuk semua pertanyaan itu, dan hal itu cukup untuk membuatnya depresi. Mungkin ia bisa menanyakannya pada Severus, ia baru teringat kalau ayah baptisnya itu mengajar di Cross Academy, ibunya yang memberitahukan hal itu pada Draco beberapa hari yang lalu. Kelihatannya sedikit lucu juga, mengingat Severus pernah mengatakan kalau ia tidak akan pernah mengajar apapun di sekolah manapun, dan di sini Draco menemukan Severus sebagai salah satu dari staff pengajar. Tapi bukan berarti Draco akan protes, ia justru senang bisa menemukan wajah yang sangat familiar dengannya.
"Kita sudah sampai di kantor kepala sekolah." Ujar Yuuki, ia mengetuk pintu yang ada di hadapannya dengan pelan sebelum membukanya, "Kepala sekolah, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."
"Oh, silakan masuk." Ujar sebuah suara dari balik pintu.
Draco sedikit meringis ketika suara yang terlampau ceria itu terdengar dari balik pintu, ia hanya berharap pada apapun kalau sang kepala sekolah bukan orang yang aneh, atau setidaknya tidak seperti Dumbledore saja. Draco sudah muak dengan sifat Dumbledore, dia selalu bertingkah layaknya seperti seorang dewa dan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya, bahkan ia tidak segan-segan untuk mengorbankan siapapun, Harry adalah salah satu korban dari dumbledore dan dengan itu Draco tidak bisa memaafkan sang kepala sekolah Hogwarts itu. Memikirkan mantan kepala sekolahnya saja membuat mood Draco menjadi gelap, Yuuki dan anak laki-laki yang berada di belakangnya itu menatap Draco dengan diam, berpikir keras tentang apa yang dipikirkan oleh Draco sampai membuat moodnya seperti itu.
Pintu kantor kepala sekolah itu terbuka, dan mereka bertiga masuk.
"Oohhh... putri dan putraku yang imut, apa kalian ke sini untuk mengunjungi ayah kalian!" teriak seorang laki-laki setengah baya dengan rambut pirang panajng yang dikuncir satu, ia mengenakan kemeja dengan sweeter berwarna hijau. Dan penampilannya terlampau ceria seperti yang Draco pikirkan.
Draco menemukan dua reaksi yang berbeda dari Yuuki dan Zero, Yuuki menatap kepala sekolah dengan pandangan lugu sementara Zero malah memberikan glare ganas kepada sang kepala sekolah, kalau saja tatapan bisa membunuh pasti laki-laki berambut pirang itu sudah tewas terkapar di atas lantai.
"Siapa yang kau bilang 'imut'? dan aku bukan anakmu, idiot?" desis Zero dengan nada berbahaya di sana.
"Zero... teganya kau pada ayahmu ini?" teriak kepala sekolah dengan histeris, air mata buaya mengalir deras dari mata kepala sekolah dan hal itu malah membuat Draco semakin bingung, apakah ini normal?
Melihat ekspresi yang diberikan oleh Draco, Yuuki pun akhirnya berkata, "Kepala sekolah, kita kedatangan murid baru seperti yang anda harapkan." Kata Yuuki dengan sopan.
Drama singkat yang ada di kepala sekolahpun akhirnya berhenti juga saat Yuuki mengatakan anak baru, sang kepala sekolah mengakhiri aktingnya dan kembali duduk di kursinya sambil mengamati Draco.
"Ah, selamat datang di Cross Academy, kau pasti adalah Kei Suzumiya. Suzumiya-sama telah memberitahukanmu tentang kedatanganmu, Kei-chan. Aku tidak menduga kalau kau jauh lebih cantik dari bayanganku, aku pikir seragam murid perempuan Cross Academy yang imut itu akan cocok untukmu." Ujar Kaien dengan pandangan mata berbinar-binar.
Alis kiri Draco berkedut, ini adalah kesekian kalinya orang mengira gendernya sebagai perempuan. Meski pada awalnya sangat menghibur, namun lama kelamaan hal ini sangat mengganggu. Draco bisa mendengar Yuuki dan Zero mencoba untuk menahan tawanya.
"Kepala sekolah, sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih atas sambutannya, tapi saya ingin mengatakan kalau saya ini adalah laki-laki dan bukannya perempuan seperti yang anda bayangkan." Kata Draco.
"Eh, apa kau yakin? Maksudku kau sangat manis seperti anak perempuan." Ujar Kaien merasa tidak percaya kalau makhluk manis yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang laki-laki.
Draco mengangguk dengan mantap, "Saya sangat yakin 100 persen." Jawab Draco dengan mantap.
Sepertinya Draco melihat kalau kepala sekolah sedikit kecewa setelah tahu Draco adalah laki-laki, remaja berambut pirang platinum itu menghiraukan tatapan yang diberikan oleh kepala sekolah, terkadang Draco ingin protes kepada ayah dan ibunya tentang mengapa Draco harus memiliki penampilan yang sangat mirip dengan perempuan.
"Ah, maaf Kei-chan. Ok, kau adalah murid baru di kelas siang. Di Cross Academy terdapat dua kelas yaitu kelas siang dan kelas malam..." Kaien menjelaskan antara kelas siang dan malam, membuat Draco bosan sehingga anak itu tidak mendengarkan semuanya dan berharap kalau semua ini akan berakhir.
Selama di Jepang Draco Malfoy akan berubah menjadi Kei Suzumiya, murid pindahan dari London. Draco tidak mengerti mengapa ibunya memilih nama keluarga Suzumiya untuk nama palsu keluarga mereka, Draco tidak keberatan kalau ia menggunakan nama Malfoy ataupu Black, Draco sangat bangga dengan itu. Namun sayangnya ia tidak bisa menggunakan nama aslinya karena mereka berdua (Draco dan Narcissa) tengah berada dalam persembunyian, dan kalau menggunakan nama asli maka artinya sama saja dengan bunuh diri. Terlebih lagi nama Draco dan Malfoy akan terdengar sangat asing, bahkan di dalam dunia muggle saja hal itu juga aneh, oleh karena itu ibunya membuat nama Suzumiya sebagai nama keluarga sementara Draco sendiri memilih nama Kei sebagai nama pertamanya.
Dan di sinilah Draco atau Kei berada sekarang, setelah Kaien selesai menjelaskan peraturan panjang yang Kei tidak keberatan untuk tidak mendengarkannya, ia menyuruh Zero untuk mengantar Kei menuju kamar asramanya. Selama perjalanan menuju asrama, keduanya tidak banyak bicara. Dari sudut matanya Kei melihat Zero memiliki ekspresi yang mengatakan kalau ia tengah kesakitan, namun Kei sendiri tidak tahu itu. Kei mengamati Zero untuk beberapa saat sebelum ia mendapat ide, Zero tengah membutuhkan darah pada saat ini, apalagi dengan Kei yang berada di sampingnya. Kei tahu kalau darah yang dirinya miliki bukan darah manusia pada normalnya, ia adalah seorang hybrid dari high elven dengan veela yang menjadikan darahnya memiliki aroma serta rasa yang jauh lebih nikmat dari darah manusia ataupun pureblood pada umumnya, hal ini sering membuatnya menjadi 'calon' santapan bagi makhluk sihir penghisap darah.
Kei tahu kalau datang ke sini sangat berbahaya, apalagi Zero adalah seorang vampire yang mungkin saja ingin menghisap darahnya sampai habis. Tapi Kei tidak takut akan kemungkinan itu, sebab bagaimanapun juga Kei memiliki sihir yang sangat kuat dan ia bisa melindungi dirinya.
"Kita sampai." Kata Zero yang cukup mengagetkan Kei.
Zero mengambil sebuah kunci dari saku celananya dan segera membuka kunci pintu kamar baru Kei. Di sana terlihat kamar yang cukup besar, meskipun tidak sebesar kamar Kei yang ada di Malfoy Manor tapi itu saja sudah cukup, Kei menyukai kamar barunya apalagi di sana ada jendela besar yang menghadap ke arah hutan lebat di Cross Academy.
"Terima kasih, Kiryuu-kun." Ujar Kei dengan senyum manis di wajahnya.
"Hn." Hanya itu kata Zero sebelum ia pergi meninggalkan Kei sendirian di dalam kamar barunya.
Di sana ada sebuah tempat tidur yang cukup besar dengan empat tiang penyangganya, begitu mewah seperti versi kecil tempat tidurnya. Kei hanya berterima kasih pada ibunya yang menyediakan kamar ini hanya untuk dirinya, ibunya melakukan semua ini karena ia tahu Kei sangat menyukai privasi. Remaja manis berambut pirang platinum itu menutup pintu kamarnya sebelum ia berbaring di atas tempat tidurnya, Kei menggunakan sihirnya untuk menata semua barang-barangnya dengan rapi sementara ia masih tiduran di sana.
"Kelihatannya semua ini akan menarik, ada kelas siang yang diperuntukkan untuk manusia dan kelas malam untuk vampire. Kalau saja kau masih di sini, Harry, aku yakin kalau kau pasti sangat antusias melihatnya, bukankah semua itu sangat menarik?" gumam Kei pada dirinya sendiri.
Meskipun baru dua bulan, Kei sangat merindukan suaminya. Ia rindu pelukan Harry, ia rindu ciumannya, ia rindu perhatian yang selalu Harry berikan padanya, ia rindu perlindungan dari Harry, dan yang paling ia rindukan dari Harry adalah Harry selalu mencintai Kei, tidak peduli dengan apapun yang ada. Bahkan saat Harry mengucapkan perpisahan dengan Kei pun ia masih sempatnya mengucapkan itu.
'Harry bodoh.' Pikir Kei dengan sedih, ia tidak sadar kalau ia menitikkan air matanya. Memikirkan Harry tidak pernah gagal untuk membuatnya menangis.
Kei benar-benar merindukan Harry dan berharap Harry berada di sini untuk menemaninya. Harry dan Kei adalah dua orang yang berbeda, bagaikan siang dan malam, namun mereka berdua slaing melengkapi. Kei tersenyum getir ketika mengenang mendiang suaminya, remaja itu melambaikan tangan kanannya yang membuat sebuah foto yang berada di dalam tas Kei keluar dari sana, ia menangkapnya dengan muda.
Sepasang mata silver kebiruan itu menatap kedua sosok yang ada di foto itu, itu adalah foto Kei dengan Harry. mereka berfoto di halaman luar Hogwarts, Kei bisa melihat keindahan kastil yang megah itu terlihat begitu luar biasa. Kei masih ingat foto itu diambil tiga bulan sebelum perang utama meletus, saat itu baik Kei maupun Harry masih menjadi murid Hogwarts, Harry masih mengenakan seragam Hogwarts dengan emblem Gryffindor sementara dirinya dengan emblem Slytherin. Dalam foto bergerak itu Kei bisa melihat kalau keduanya terlihat begitu bahagia, senyum lebar yang muncul di wajah manis Kei itu adalah buktinya.
Harry memeluk tubuh kecil Kei, sementara Kei tersenyum lebar karena merasakan cinta yang Harry tunjukkan padanya.
"Merlin, aku sangat merindukan Harry." ujar Kei, ia membelai wajah Harry yang ada di foto itu. "Suatu saat kita akan bertemu lagi. Blinky." Panggil Kei.
Seekor peri rumah muncul di samping tempat tidur Kei, peri rumah itu membungkuk rendah untuk memberikan hormat kepada Kei.
"Master Malfoy memanggil Blinky, apa ada yang bisa Blinky lakukan untuk master Malfoy?"
"Iya, aku ingin kau mengambilkan cermin dua arahku di Malfoy manor. Aku lupa untuk mengepaknya tadi, bisakah kau mengambilkannya untukku, Blinky?" tanya Kei dengan suara lembut.
Blinky terlihat begitu senang, ia membungkuk begitu rendah dari yang pertama kali. Ini pertama kalinya master Malfoy memanggil dirinya, dan ini juga pertama kalinya Blinky melihat senyuman indah itu muncul di wajah master Malfoy semenjak master Harry meninggal, dan Blinky merasa senang sekali karena itu.
"Baik, Blinky akan mengambilkan cermin dua arah milik master Malfoy." Dengan itu Blinky pun menghilang dari sana.
Kei tersenyum kecil, meskipun ia sudah memakai nama Jepangnya seperti sekarang ini, tetap saja ia tidak bisa lepas dari sosok Draco Malfoy. Kei tidak keberatan akan hal itu, sebab bagaimana pun juga Kei dan Draco adalah orang yang sama. Remaja manis itu bangkit dari tempat tidurnya, ia mengambil sebuah buku catatan kecil berwarna hitam dari dalam tasnya, Kei meletakkan foto dirinya dengan Harry di dalam buku tebal bersampul hitam tersebut sebelum ia menguncinya dengan sihir dan menyimpannya di dalam liontin yang ia kenakan, tentu saja hal itu ia masukkan ke dalam kristal kecil berwarna emerald dengan sihir.
'Sekarang saatnya melihat Cross Academy, tidak ada salahnya juga aku keluar.' Pikir Kei, ia keluar dari dalam kamar asramanya dan berjalan menelusuri sekolah ini.
"Kyaa..." teriakan yang superkencang itu membuat perhatian Kei tertuju pada antrian murid-murid di depan gerbang suatu bangunan.
Kei yang sebagai murid baru memang tidak mengerti dengan semua itu, tapi ia paham kalau kerumuman dari anak-anak perempuan tersebut adalah keruman dari para fangirls, Kei sama sekali tidak merasa asing sebab saat ia masih berada di Inggris ia sendiri juga memiliki fangirls atau lebih tepatnya adalah fanboys. Mengingat masa-masa itu membuat Kei berterima kasih ibunya membuat keputusan untuk pindah ke Jepang, setidaknya di tempat ini tidak ada yang mengenali dirinya.
Di depan kerumunan itu Kei melihat Yuuki, gadis itu kelihatan begitu kesulitan untuk mengontrol para fangirls yang sepertinya begitu brutal, mungkin jauh lebih parah dari mereka yang ada di Inggris. Dari sudut matanya Kei melihat Zero hanya berdiri bersandar di samping pohon, ia tidak melakukan apapun untuk membantu Yuuki, hanya berdiri di sana dan kelihatan bosan seperti biasanya. Namun Kei tidak bodoh, Zero mengontrol kerumunan itu dengan tatapan matanya saja, dengan glare milikanya saja hampir semuanya langsung kembali ke barisan. Wow, mungkin tatapan Zero tidak semengerikannya seperti milik Severus, tapi keduanya itu sama-sama efektifnya.
Berbicara mengenai Severus Snape, Kei berencana untuk menemui ayah baptisnya itu di sini. Ia merasakan aura sihir milik Severus dan Kei memutuskan untuk mengikutinya, ia sama sekali tidak peduli dengan kerumunan yang ada di sana. Kei berjalan meninggalkan tempat itu untuk masuk ke dalam Academy, ia berjalan terus dan sampailah ia di depan sebuah ruangan kelas, ia tahu kalau Severus berada di sana. Kei bingung apakah ia harus mengetuk pintu atau langsung masuk ke dalam kelas, tapi ia memutuskan untuk mengetuk dulu. Saat ia mendengar suara dari dalam ruangan itu mengijinkannya untuk masuk, akhirnya Kei membuka pintu dan masuk ke dalamnya.
Dan disinilah Severus, ia duduk di atas kursi mejanya dengan sikap seperti seorang raja. Kedua mata hitamnya fokus pada lembaran yang tengah ia kerjakan, namun saat ia merasakan aura yang sangat tidak asing ia pun menghentikan gerakan penanya dan menatap ke arah pintu masuk. Kedua mata Severus terbelalak lebar saat ia melihat sosok putra baptisnya berdiri di sana, dengan senyum polos layaknya seorang malaikat ia menatap Severus dengan perasaan senang.
"Draco." kata Severus yang masih terkejut.
"Kei, Severus. Aku akan sangat senang bila kau memanggilku dengan nama Kei." Ujar Kei dengan lembut, ia menutup pintu kelas Severus dan berjalan menghampiri ayah baptisnya.
"Apa yang kau lakukan di Jepang, Dra.. Kei." Severus mengoreksi dirinya.
Kei berdiri di samping Severus dan dengan cepat ia memeluk tubuh besar ayah baptisnya, cukup untuk membuat Severus shock di sana, namun hal itu tidak lama sebab ia merasakan kedua tangan Severus memeluk tubuhnya juga. Oh.. betapa Kei merindukan Severus, mereka berdua tidak bertemu lebih dari tiga bulan semenjak perang berakhir, dan Kei tidak peduli lagi dengan itu sebab ia telah menemukan anggota keluarganya yang lain di samping ibunya.
"Aku di sini dengan alasan sama seperti yang kau miliki, Sev. Aku ingin mendapat ketenangan di tempat ini." Jawab Kei dengan lembut saat ia melepaskan pelukannya dari tubuh ayah baptisnya.
Severus masih tidak percaya kalau putra baptisnya berada di hadapannya dan Kei terlihat begitu tegar seperti dewasa dari sebelumnya. Terakhir ia melihat Kei, anak itu terus bersedih atas tragedy yang terus menimpanya, tidak hanya Kei kehilangan Lucius sebagai ayahnya namun ia juga kehilangan Harry yang terus berada di sampingnya, dan severus sangat mengerti akan perasaan Kei, sebagai makhluk sihir yang kehilangan mate mereka adalah hal yang sangat menyakitkan. Dan melihat Kei setegar ini adalah suatu keajaiban, sebab dari apa yang Severus ketahui kalau veela kehilangan mate mereka maka mereka merasa hidup sudah tidak ada gunanya dan tidak lama kemudian mereka tewas karena kesedihan yang mendalam.
"Aku senang kau berada di sini Kei, aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kalimat. Apa kau di Jepang bersama Narcissa atau kau datang sendirian?" tanya Severus, ia kembali duduk di atas kursinya.
"Iya, aku datang bersama ibu. Ibu sendiri yang menyuruhku untuk pindah ke Jepang, kurasa ibu tahu akan bagaimana perasaanku tentang Inggris kembali. Mungkin ini adalah yang terbaik untuk sementara ini." Ujar Kei, ia menatap ayah baptisnya dengan sedih.
Severus mengangguk, "Aku bisa mengerti, meskipun aku masih tidak suka dengan Potter tapi aku jauh lebih tidak suka melihatmu bersedih seperti ini."
"Aku tidak sedih, Sev." Kei mencoba untuk berbohong, namun tatapan Severus mengatakan lain. "Ok, mungkin aku memang bersedih, tapi hal ini bukan berarti aku harus menghancurkan diriku sendiri. Aku sangat mencintai Harry dengan seluruh hidupku, dan rasanya seperti jiwamu terkoyak-koyak saat tahu Harry telah pergi. Pada awalnya aku ingin menyusulnya, tapi aku berpikir kalau Harry tidak akan gembira kalau ia tahu aku menyia-nyiakan hidup ini, oleh karena itu aku masih bisa bertahan sampai saat ini.
"Harry memang telah pergi, tapi aku akan terus mencintainya."
Severus menatap putra baptisya, ia begitu cantik namun dengan kesedihan yang tercermin di wajahnya itu malah membuatnya seperti seorang malaikat yang butuh akan perlindungan. Dan sebagai ayah baptisnya itu Severus tidak akan menyerah untuk melindungi Kei, Severus sangat mencintai Kei seperti Kei adalah anak kandungnya sendiri. Ia tahu kalau Kei bisa melindungi dirinya sendiri dengan baik, namun Severus akan tetap berada di sampingnya. Dengan perlindungan darinya dan Narcissa, ia harap Kei bisa kembali ke dirinya seperti dulu meskipun itu adalah hal yang mungkin sangat mustahil.
"Severus." Panggil Kei. "Aku tidak mengerti mengapa kau memutuskan untuk mengajar di sekolah lagi setelah Hogwarts, bukankah kau pernah mengatakan kalau kau tidak ingin berurusan dengan para idiot yang kau panggil sebagai murid." Kei tertawa kecil karena itu.
Mendengar suara tawa dari putra baptisnya itu membuat Severus ikut tersenyum, "Meskipun aku pernah mengatakan demikian, tapi kelihatannya aku merindukan untuk memberikan terror kepada para idiot itu. Dan saat Cross menawarkan pekerjaan ini aku langsung menyetujuinya, tapi bukan berarti aku tidak merasa kesal juga, si idiot yang menyebut dirinya kepala sekolah itu jauh lebih parah dari dumbledore." Severus menggeram kesal.
"Tapi, bukankah hal itu jauh lebih menyenangkan, Sev." Ujar Kei.
"Apa maksudmu?"
"Kau mengajar sekumpulan vampire di kelas malam, setidaknya kau tidak jauh dari dunia sihir seperti yang kubayangkan sebelumnya."
Severus mengangguk setuju dengan putra baptisnya, vampire adalah makhluk gaib dan keberadaannya tidak jauh dari dunia sihir, mungkin karena itulah Severus memilih untuk mengajar di Cross Academy daripada di sekolah biasa. Makhluk sihir lebih mengingatkannya pada siapa dirinya, dan di sinilah Severus sekarang. Severus melihat putra baptisnya tersenyum kecil, ia menarik tangan Kei dan memeluk tubuh kecilnya lagi.
"Kau benar, Kei, kau selalu benar dengan semua yang kau katakan. Aku senang kita bisa bertemu lagi." Ujar Severus.
"Aku juga senang, Sev, bisa menemukan wajah familiar di tempat asing seperti ini rasanya seperti surga. Mungkin aku harus mengingatkanmu untuk berhati-hati, mereka itu para vampire yang menghisap darah."
Severus melepaskan pelukannya, ia berdiri dari tempat duduknya. Untuk sementara ia menatap pada sepasang mata silver kebiruan milik putra baptisnya, Kei benar-benar tidak berubah sedikitpun, putra baptisnya memang sedikit paranoid namun ia senang sebab Kei masih mengkhawatirkannya.
"Mungkin aku yang harus mengatakan itu padamu, Kei. Kau tahu, keberadaanmu itu bisa membuat pureblood vampire menjadi gila akan darahmu, kau seperti pomme de sang bagi para vampire. Sisi high elven milikmu akan sangat menggoda dan sulit untuk dihindari." Kata Severus, ia tidak melupakan akan siapa putra baptisnya itu.
"Apa kau lupa, Sev, kalau aku seorang penyihir juga. Aku bisa menjaga diriku sendiri, dan terlebih lagi kau ada di sini untuk melindungiku juga." Balas Kei dengan senyum manis di wajahnya, ia menyentuh bahu Severus yang terlihat begitu tegang itu.
Sentuhan dari tangan kecil milik Kei membuyarkan kekhawatiran dari tubuh Severus, ia tahu kalau Kei bisa menjaga dirinya namun bagaimanapun juga Severus masih khawatir. Kei memang kuat, namun pada saat-saat seperti ini remaja itu masih berada dalam posisi terlemahnya, ditambah lagi Kei juga kehilangan Harry sebagai mate- nya sehingga menyebabkan kondisi Kei belum seratus persen normal seperti biasanya.
"Tapi aku tidak bisa terus-terusan melindungimu, Kei. Berjanjilah padaku kalau kau tidak akan mendekati para vampire di sini, meskipun Cross memprogandakan perdamaian antara bangsa vampire dengan manusia tapi tetap saja kalau itu adalah mustahil. Kita sudah banyak melihat semua ilusi yang sama saat perang." Kata Severus dengan serius. "Jauhi pureblood seperti Kaname Kuran yang berada di sini, dan yang terpenting adalah jangan sampai terlibat dalam masalah lagi."
Kei tidak tahu harus mengatakan apa, ia ingin memprotes perkataan Severus namun ia menemukan dirinya tidak bisa membantah ayah baptisnya. Jadi yang bisa ia lakukan adalah menganggukkan kepalanya, kedua matanya berkilat bahagia saat Severus memberikan senyum di wajahnya, meskipun itu sangat kecil. Kei menoleh ke arah pintu saat ia merasakan para vampire dari kelas malam telah dekat dan akan masuk ke dalam kelas, ia memutuskan untuk kembali ke dalam asramanya. Kei menemukan Severus juga menyadarinya.
Remaja itu merasakan kedua tangan Severus berada di bahunya, membuat Kei menatap kedua mata hitam milik ayah baptisnya.
"Oh, kau harus memanggilku Arashi-sensei di sini."
Kei memutar kedua bola matanya di sini, "Arashi? How very original of you my darling Godfather."
"Shut up, brat." Ujar Severus atau Arashi dengan senyum kecil di wajahnya.
Arashi mencium kening Kei dengan perlahan, dan pada saat yang sama pintu kelas terbuka dan para vampire telah datang. Murid-murid dari kelas malam mersasa tubuh mereka membeku karena melihat pemandangan di hadapan mereka, mereka melihat guru mereka yang sangat galak, dingin, dan menyeramkan itu tengah mengecup kening seorang gadis berwajah manis di sana. Dan untuk pertama kalinya mereka semua mengetahui sisi Arashi-sensei yang seperti ini.
"Jaga dirimu, Kei. Aku ada kelas yang harus aku ajar." Kata Arashi, ia memberikan glare kepada murid-murid kelas malam yang hanya berdiri melihat mereka berdua. "Kembalilah ke asrama, berikan salamku untuk ibumu."
Kei menganggukkan kepalanya, ia menoleh ke arah para vampire yang masih tercengang dengan pemandangan yang ia dan Arashi buat. Kedua mata silver kebiruan Kei berkilat penuh humor.
"Baiklah. Selamat malam, Arashi-sensei." Kata Kei sebelum ia beranjak dari sana.
"Selamat malam juga untukmu, Kei." Sahut Arashi dengan pelan.
Kei berjalan menjauhi Arashi, kedua matanya menatap para vampire yang ada di sana. Dan untuk sesaat suasana ruang kelas milik Arashi berubah lenggang saat sepasang mata silver kebiruan milik Kei bertemu dengan sepasang mata merah marron milik sang pureblood vampire Kaname Kuran, waktu serasa begitu berhenti saat keduanya bertatapan. Para vampire yang berada di belakang Kaname bisa merasakan ketegangan di antara mereka berdua, sementara Arashi sendiri menatap belakang kepala putra baptisnya dengan tatapan yang menyuruhnya untuk segera keluar dari sana. Kei memutuskan kontak mata di antara mereka berdua saat menyadari pesan yang disampaikan Arashi melalui Legilimency, ia mengangguk kecil dan memberi Kaname senyum kecil di wajah cantiknya.
"Maaf telah mengangganggu." Kata Kei pelan di telinga Kaname saat mereka berpapasan sebelum Kei keluar dari dalam kelas.
Kaname menoleh ke arah Kei yang berjalan menjauh dari ruang kelas dengan tatapan yang tidak terbaca, untuk sesaat yang lalu Kaname merasakan sesuatu yang aneh muncul dari diri 'gadis' itu namun dengan sangat cepat aura yang ia keluarkan tidak bisa Kaname rasakan lagi. Kaname tahu kalau 'gadis' yang sangat akrab dengan Arashi itu bukanlah manusia biasa, munkin ia harus menyelidiki semua ini agar rencana yang telah ia susun tidak berantakan.
"Apa yang kalian lakukan berdiri di depan pintu seperti orang bodoh? Cepat masuk sekarang juga?" ujar sebuah suara dingin milik Arashi yang membuat murid-murid kelas malam langsung beranjak untuk menuju tempat duduk mereka.
Author: Sky
