Disclaimer : One Piece milik Eiichiro Oda. Saya hanya fans, tidak mengambil keuntungan materiil atas pembuatan fanfiksi ini.
Note : Didedikasikan untuk Bebobobo. Selamat bertambah usia! Semi-canon, Alternate Timeline. Merupakan double-fiction yang dapat dibaca dari paragraf pertama ke paragraf akhir, maupun dapat dibaca dari paragraf akhir ke paragraf pertama, keduanya sama-sama membentuk dua cerita (yang mungkin) berbeda plot dan ending. Got it?


The Scars
plot by:kuroliv; october 2010.


"Okaasan—"

Nico Robin tetap termenung seperti biasanya, seraya membuka buku arkeologi milik perpustakaan. Dirinya tidak mengerti alasan sebenarnya mengapa Nico Olvia meninggalkan bocah kecil itu. Dan semua ini—membuatnya resah berkepanjangan.

Bocah perempuan itu menghela nafas, kemudian menatap seorang profesor bidang arkeologi di hadapannya lekat-lekat, seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tidak dapat ia katakan secara matang. Lalu—

"Tenanglah.. ia hanya meninggalkanmu sebentar, Robin," sahut Profesor Clover yang telah lama mendukung batin bocah kecil itu.

Tidak, tidak, walaupun ia tahu kalau orang tua satu-satunya itu pergi demi kebenaran, ia tetap saja merindukannya. Rasanya... benar-benar menyakitkan.

"Aku merindukan Okaasan, Profesor Clover, aku ingin memeluknya, aku ingin tertawa bersamanya, aku ingin belajar arkeologi darinya." Robin menguatkan genggamannya pada buku arkeologi yang baru saja ia pilih dari perpustakaan, kemudian menduduki salah satu bangku terdekat.

"Kau masih punya kami, para arkeolog Ohara, buku-buku perpustakaan, serta keluarga yang mengasuhmu walau mereka terlihat mendiskriminasikanmu, tentu saja," ujar profesor paruh baya yang terlihat bijaksana tersebut.

Sama saja. Robin yang berumur delapan tahun itu tidak akan mengerti. Dan Profesor Clover juga tidak mengerti apa yang sedang melanda batin Robin.

"Aku membenci Ojisan, Obasan dan anaknya, Profesor. Mereka terus saja mengataiku anak setan, padahal aku kan mempunyai hubungan darah dengan mereka. Terlebih lagi anak-anak desa, mereka juga menjauhiku."

Profesor paruh baya tersebut melangkah. Derapnya menimbulkan suara berdecit di lantai, serta menjadi alunan musik bagi telinga Robin yang sepi.

Derai hati yang merasakan kemuraman.

"Kau tahu apa artinya berkata begitu?" tanya sang profesor dengan cerdas. Tangannya menautkan diri pada buku-buku usang di rak, matanya sibuk memindai judul demi judul, dan akhirnya berhenti pada satu buku.

"Aku tahu, sangat tahu, karena aku dapat merasakan apa yang terjadi pada diriku sendiri."

Namun Robin tetaplah Robin. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi tentang Okaasan-nya, tentang mengapa Obasan-nya sangat mendiskriminasikannya, bahkan tentang alasan mengapa Robin menerima surat bahwa ia diterima di perpustakaan Ohara.

Profesor Clover terdiam, mungkin terkejut dengan pendapat yang dilontarkan bocah sekecil Robin. Penderitaan bocah itu akan terus berlanjut, selama ia masih tinggal dengan Obasan-nya, dan tinggal di Ohara.

"Begitu?" tanya profesor tersebut. Meyakinkan kembali apa yang dikatakan oleh Robin.

"Aku benar-benar ingin Okaasan kembali ke Ohara, Profesor."

Sang profesor tersenyum getir, meski bocah di dekatnya ini mengeluarkan bulir air mata kerinduan.


(silahkan baca dari paragraf terakhir ke paragraf pertama)

FIN.


Terima kasih untuk mami Thiea (Psychochiatrist) yang telah menularkan inspirasi tentang double-fiction pada saya. Your idea is rawk. B")