ONE DAY LOVE

Main Cast:

OH SEHUN

XI LUHAN

WU YIFAN

Support Cast:

PARK CHANYEOL

BYUN BAEKHYUN

KIM JONMYUN

ZHANG YI XING

KIM JONGIN

DO KYUNG SOO

RATING:

T

.

.

.

Chapter 1

.

..

"Aku tidak membenci cinta, hanya saja terlibat dalam hal yang memuakkan, aku tak suka. Aku senang berada di duniaku, sekalipun tak ada orang lain"—Sehun

"Segala hal yang ada akan disentuh oleh cinta. Bahkan saat melakukan sebuah dosa, hakiki cinta melekat padanya"—Luhan

"Cinta mengajarkanku untuk melihat. Aku tidak peduli yang lain selama aku bisa melihat apa yang cinta ajarkan"—Yifan

.

Suatu pagi di Haidian, Beijing, China.

Bumi belum menghangat, cahaya mentari masih samar-samar menyapu permukaan bumi. Hari itu sebentar lagi dimulai, aktivitas jutaan manusia sebentar lagi akan nampak. Gedung-gedung pencakar langit mulai nampak megah saat mentari mulai menyentuh setiap sisinya, jalan raya belum nampak ramai, tapi beberapa orang sudah mulai berlalu lalang di jalan setapak, begitupun dengan kendaraan. Oh hari ini Senin. Pantas saja.

Angin pagi sepertinya mendominasi, hampir tidak bersahabat karena sejak tadi seorang pria yang bertubuh mungil itu beberapa kali mengumpat hanya karena rambutnya diajak bermain oleh sang angin. Sudah lupa disisir, belum keramas, astaga menyebalkan sekali. Umpatnya keras dalam hati. Ujung bibirnya tidak melengkung ke bawah, tidak ada senyum ramah kali ini. Buru-buru dan dengan susah payah, ia menggendong keranjang kayu tua yang cukup besar untuk segera diserahkan ke kios langganannya. Dalam keranjang kayu itu—sebenarnya itu keranjang anyaman dari bambu, dipenuhi bungkusan kerupuk udang kering yang siap dijual. Keranjang itu tidak hanya penuh, tapi sudah penuh sekali. Lelaki itu mendesah lega saat pederitaannya mengangkat keranjang kerupuk akhirnya berakhir, ya..untuk pagi ini.

"Totalnya ada 45 bungkus bibi Nam" teriaknya penuh semangat, tapi juga lelah.

"Aku akan mengambilnya sore nanti, terima kasih bibi" imbuhnya sebelum benar-benar meninggalkan kios itu.

Namanya Xi Luhan, akrab disapa Luhan. Usia 24 tahun. Tinggi 170 cm dengan berat badan 60 kg. Sehari-hari pekerjaanya adalah penjual kerupuk udang kering, namun ia hanya meninggalkan jualannya pada kios langganannya, setelah itu ia akan kembali ke rumah memberi makan sang ibu yang sudah 2 bulan terakhir ini hanya bisa berbaring di tempat tidur tuanya, dengan selimut lusuh yang Luhan sudah hapal aromanya. Selesai dengan memberi makan sang ibu dan menyiapkan obatnya, Luhan akan menuju pasar dengan sepedanya—sepeda itu sudah sangat tua, bekas ayahnya yang sudah tiada, entah sudah berapa kali dilas. Pikirmu Luhan malu dengan sepeda itu? Tidak pernah. Ia sangat bangga dengan sepedanya, kebanggannya itu tak pernah berkurang, sedikitpun. Sebelum meninggal ayahnya adalah seorang guru, namun kanker otak yang diidapnya dari usia 20 tahun memaksa ayahnya untuk pergi—Luhan tak pernah sedih ketika ia mengingat ayahnya lagi, karena ia tahu ayahnya seorang yang kuat, berhasil melewati semua masa kritisnya, namun ya...berada di sisi Tuhan adalah yang terbaik bagi ayahnya, setidaknya ia tenang karena ayahnya meninggal tanpa merasa sakit sedikitpun saat itu.

Luhan tidak memiliki saudara. Ia anak satu-satunya yang saat ini Ny. Xi miliki. Ibu Luhan dulunya adalah seorang pedagang ikan di pasar. Namun sekarang sudah digantikan Luhan, karena kondisi fisiknya yang mulai lemah. Dua bulan terakhir ia sudah berapa kali keluar masuk rumah sakit, karena didiagnosa memiliki gejala TBC. Usahanya mengalami kemunduran dan berujung pada hutang piutang yang semakin menggunung. Semuanya terasa semakin berat bagi Luhan, namun tidak ada jalan lain selain merelakan tubuhnya benar-benar terkuras energinya untuk membiayai semua itu. Terdengar sulit tapi Luhan tidak mau mengeluh banyak lagi. Dan terima kasihnya tak pernah berujung karena ia memiliki teman sebaik Yixing.

"Mama..aku pergi sekarang ya, jangan lupa minum obatnya" Pamit Luhan pada ibunya, berjalan mendekati sang ibu dan meberinya sebuah kecupan di kening, Luhan menarik ujung bibirnya untuk tersenyum sebelum membalikkan badannya. Tangan sang ibu bergerak menahan lengan kanan Luhan, wanita paru baya itu nampak menarik nafasnya dalam dan membuka bibirnya, ujung matanya berair. "Maafkan mama, Lu..kau jadi bekerja sangat keras..un..uhuk!" Luhan seperti melompati ibunya, cepat-cepat ia menarik ibunya dalam sebuah pelukan. Oh Tuhan...Luhan sangat merasakan lemahnya sang ibu, sangat tipis untuk dipeluk. Luhan tidak akan menangis! Itu janjinya.

"Mama..aku tidak apa. Ini giliranku untuk bekerja. Mama istirahat saja. Jangan khawatir, aku bisa" Susah payah Luhan menahan dirinya agar tidak beradu emosi dengan batinnya yang merajuk untuk menangis. Ia suguhkan kembali senyuman terbaiknya, berharap sang ibu tidak merasa keberatan agar Luhan segera pergi. "Aku akan segera pulang, mendapatkan uang dan menemani Mama. Dan Yixing akan datang sore nanti. Mama tidak akan lama sendiri di rumah" Luhan membelai wajah sang ibu. Garis-garis kerutan yang nyata itu kembali mengingatkan Luhan jika ibunya sudah benar-benar tua. Sang ibu tahu jika anaknya sudah sangat bekerja keras, ia tak mungkin merengek dan menampakkan semua pedih yang ia rasakan. Dalam hati ia berbisik dengan kuat jika ia harus bertahan dan menjadi ibu yang tegar, sang ibu menyimpulkan sebuah senyuman, matanya menyipit hingga sebuah tetesan air mata mengalir lagi. Luhan dengan lembut menghapusnya. "Aku pergi..Mama. Istirahatlah" Pamit Luhan dan ia mengulangi lagi kecupan kening untuk sang ibu..lebih lama.

Berada di ambang pintu, kaki Luhan berhenti sejenak. Namja itu menunduk hingga uraian rambut halus depannya ikut terjulur ke depan, ia menatap tanpa arti pada kedua ujung kakinya yang dibalut sepatu karet longgar milik ayahnya dulu. Luhan hanya menerka-nerka apakah ia akan mengenakan sepatu ini atau sepatunya yang biasa ia gunakan? Tapi pilihan untuk menggunakan miliknya semakin ditepisnya, mengingat sepatu itu sudah sempit dan sobek. Sepatu 4 tahun yang lalu, waktu dimana Luhan terakhir ke toko sepatu.

Sepanjang jalan yang ia lewati, setiap bertemu dengan pasang mata, Luhan akan menguraikan senyumannya, kadang-kadang senyuman yang menampakkan deretan gigi putihnya yang kecil-kecil dan mata yang menyipit. Kadang pula Luhan akan berdiri dari sadel sepedanya dan meneriaki beberapa tetangganya, entah yang menjemur atau menyapu. Luhan juga akan melewati sekolah. Perasaan aneh yang ia rasakan setiap melihat anak sekolah atau beberapa pemuda yang menggendong buku—tebak Luhan mereka akan berangkat kuliah atau pulang kuliah. Ada cemburu, sedih, dan marah. Ia juga ingin merasakan bangku kuliah, tapi keinginannya itu harus ia kubur dalam-dalam, karena mana ada tulang punggung keluarga yang berleha-leha untuk ke sekolah? Untuk makan saja harus rela bangun jam 4 pagi dan pulang 11 malam. Jangan kira Luhan hanya menjual ikan di pasar. Oh Tidak, pasar hanya sampai jam 2 siang, setelah itu Luhan akan bekerja di sebuah kedai makan pukul 3 hingga 5, ia menawarkan jasa cuci piring, jam 6 Luhan akan menuju ke pusat pelelangan ikan, menyetorkan penghasilannya dan mempersiapkan ikan untuk dijualnya besok. Terdengar sederhana, tapi prosesnya cukup lama, karena Luhan harus bertanding mengantri dengan pedagang-pedagang lainnya. Tidak selesai di situ, Luhan akan menuju beberapa rumah tetangganya untuk mengambil pakaian kotor untuk dicucikan, kadang pula Luhan tinggal hingga pagi agar bisa mencucinya lebih pagi. Begitu seterusnya.

Luhan sudah sampai di pasar. Ia sudah ahli dan dengan gerakan cepat memarkirkan sepedanya di samping pot besar dekat stan jualannya. Mulai memasang kaos tangan plastiknya dan sepatu botnya. Luhan mulai mengambil beberapa rak yang berisi es batu untuk dijejalkan pada wadah-wadah ikannya. Dan ya, aktivitasnya di pasar mulai hari itu. Perasaanya cukup bersemangat, ia yakin dagangannya hari ini akan menghasilkan banyak, karena lusa akan ada hari perayaan besar di desanya.

"Luhan.." sebuah suara menginterupsi gerakannya yang hendak mengahtur wadah ikan yang sudah kosong, sebuah senyuman Luhan suguhkan sebelum angkat suara.

"Bibi Ling, apa ada yang bisa ku bantu?" Luhan kemudian melanjutkan aktivitas tertundanya sambil menunggu Bibi Ling yang hendak menjawab.

"Bagaimana keadaan mamamu nak? Ku dengar ia semakin parah?" Bibi Ling terdengar was-was menyodorkan pertanyaan bagi Luhan, itu pertanyaan yang sensitif dan tentunya memaksa Luhan untuk melawan batinnya yang melemah.

"Mama cukup baik hari ini, Bibi...Mama selalu menolak untuk ke rumah sakit.."Bibi Ling menatap Luhan iba, ada perasaan menyesal mergeapnya saat mendengar jawaban Luhan. Tapi ia benar-benar ingin tahu keadaan ibu Luhan.

"Kenapa menolak? Bukannya lebih baik ke rumah sakit nak?" Bibi Ling mendekatkan dirinya dengan stand Luhan. Luhan yang mendapat pertanyaan lagi menarik nafasnya dan senyuman masih menghiasi wajah kecilnya yang cantik.

"Bibi tau kan..Mama tidak mau merepotkanku, menurutnya di rumah sakit akan sangat mahal dan ia tidak mau jika aku terbebani, padahal kan tidak" . Bibi Ling yang berdiri menghadap Luhan mampu membaca kesedihan dan kerapuhan Luhan.

Ya memang benar Luhan tidak terbebani, tapi biaya yang mahal yang dipikirkan ibunya akan menyiksanya juga jika ia tidak mampu memenuhinya. Kadang, terlahir di dunia ini dengan nasib tidak beruntung membuat Luhan merasa lelah dan hampir-hampir putus asa juga.

"Kau anak yang kuat anakku. Mamamu pasti bangga memiliki anak sehebat dirimu. Malam nanti bibi akan menjenguk mamamu" Bibi Ling menatap Luhan dengan sorot mata kagum, Luhan yang melihatnya menarik ujung bibirnya tersenyum binar.

..tapi tidak terlalu buruk bernasib seperti ini..karena akan ada yang selalu menguatkan. Bisik Luhan.

.

.

.

.

.

Langit telah berganti menjadi lapangan gemerlap bintang. Luhan sudah pulang dan saatnya menyiapkan makan malam serta obat untuk ibunya. Saat hendak mengambil pil ibunya, ia menarik nafas panjang, sisa 3 biji lagi. Itu artinya, lusa ibunya tidak bisa minum obat dan sama saja, batuknya akan semakin parah. Kepala Luhan rasanya terhimpit, terbayang-bayang di kepalanya bagaimana cara agar dia bisa mendapatkan obatnya. Sebenarnya ia punya tabungan, tapi sang ibu tidak pernah mengizinkan Luhan untuk menggunakannya membeli obat. Mungkin Luhan harus berbohong, toh ibunya juga tidak akan tahu?

"Mama..ayo makan dulu" Luhan meletakkan nampan yang berisi semangkuk nasi tidak penuh dan sop kacang merah serta segelas air itu. Tangan Luhan bergerak membelai wajah ibunya yang nampak sendu diterpa cahaya lampu minim cahaya. Luhan membantu ibunya yang bergerak hendak bangun dan segera menyandarkan tubuh sang ibu di sandaran ranjangnya. Luhan tak pernah berhenti membubuhkan senyuman di wajahnya.

"Apa kau sudah makan nak?" Ibu Luhan mencegah suapan yang sudah berada di depannya.

"Aku sudah mama. Sekarang giliranmu" jawab Luhan lembut dan kembali menggerakkan tangannya, memberikan efek pada ibunya untuk segera menerima suapa tersebut.

"Kapan, Lu?" suara wanita paruh baya itu membuat Luhan cepat-cepat menenangkan air wajahnya agar nampak wajar. Luhan tertawa kecil.

"Tadi aku beli makanan di pasar, roti kasur coklat dan aku beli susu pisang dua. Setelah itu Bibi Ling memberikanku sup kerang waktu di pasar. Aku masih kenyang..Mama" Batin Luhan bersorak gembira karena berhasil berbohong, namun tetap saja ada rasa bersalah yang menekuk sisi hatinya, karena telah berbohong. Luhan juga menyempatkan dirinya berdoa agar lambung dan ususnya mau bekerja sama beberapa menit ke depan, setidaknya ibu tidak akan mendengar rengekan perutnya yang sebenarnya sangat lapar.

Mama Luhan mencerna dengan baik penjelasan anaknya. Terbukti ia membuka mulutnya lebar-lebar untuk menerima suapan dari sang anak. Luhan bernafas lega saat ibunya mulai mengunyah makanan yang disuapkannya. Luhan nampak telaten menyuapi sang ibu dan juga sangat rapi. Walaupun hanya ada nasi dan sup kacang merah, namun Ibu Luhan merasa makanan ini sudah sangat lezat dan membuatnya kenyang. Luhan ada disini dan menyuapinya dan membuatnya tersenyum semakin membuat dadanya meringan ketika bernafas. Setelah menyodorkan beberapa biji tablet obat sang Ibu, Luhan memberikan minum dan membantu ibunya meminum obat tersebut. Dengan pelan dan penuh kasih sayang, Luhan membersihkan ujung bibir Ibunya yang terdapat sisa makan. Baru hendak mengangkat nampan kembali ke dapur, suara ketukan pintu mengalihkan tujuan awal Luhan tersebut.

"Tunggu sebentar, Ma".

Itu Bibi Ling yang berada di balik pintu. Luhan menyambutnya dengan senyuman dan mempersilahkan wanita itu masuk ke rumahnya. Luhan yang sudah tau niat wanita itu tanpa perintah langsung mengantarkannya ke kamar ibunya. Lagi pula Bibi Ling memang termasuk kerabat yang cukup dekat dengan mereka.

"Mama..ada Bibi Ling. Bibi..duduklah, aku akan menyiapkan minuman dulu"

"Tidak perlu repot sayang, aku hanya akan menjenguk ibumu"

Ibu Luhan menampakkan senyumnya, namun tetap saja, senyumannya menandakan jika ia sedang sakit. Bibi Ling sudah duduk di tepi ranjang dan Luhan mengambil nampan tadi untuk disimpan di dapur. Luhan tentunya tidak akan menggubris penolakan Bibi Ling, biar bagaiamanapun ia adalah tamu di rumahnya. Segera Luhan menyiapkan sebuah teh untuknya. Beberapa menit kemudian, Luhan telah siap dengan nampan yang berisi secangkir teh, langkahnya menuju kamar Ibunya. Sudah mulai terdengar ciri khas suara ibu-ibu yang sedang mengobrol dan semakin jelas perbincangan itu menempa daun telinga Luhan..

"Tidak, Ling. Aku tidak mungkin mengizinkan Luhan untuk ke Seoul. Apalagi..u-Huk—seorang diri"

Luhan mendengarnya dengan jelas. Langkahnya berhenti dan refleks ia mematungkan dirinya tanpa alasan.

"Aku juga jika menjadi dirimu tidak akan mengizinkan. Luhan adalah satu-satunya yang kau miliki"

Kembali Luhan dengan sangat jelas mendengar suara mendayu milik Bibi Ling. Alisnya sedikit berkerut namun cepat melonggar lagi.

'Tapi...yang ku katakan tadi bisa menjadi pertimbanganmu. Putri Dong Hae sudah berkuliah di Seoul dengan biayanya sendiri karena ia ikut dengan Seo Hyuk bekerja di kafenya. Ku dengar-dengar kafenya di sana juga cukup terkenal di kawasan itu. Jika Luhan berniat dan kau izinkan, aku yakin Seo Hyuk mau membantu. Dia kan teman SMA kita."

Tak ada sahutan lagi yang Luhan dengar setelah itu, ia pun memutuskan untuk memutar knop pintu dan masuk ke kamar ibunya. Bibi Ling mengulaskan sebuah senyuman ketika melihat Luhan dan sedikit mengeluhkan tindakan Luhan yang dianggapnya telah merepotkan gadis itu. Luhan menanggapinya dengan gelengan kepala dan meminta Bibi Ling untuk segera mencicipi tehnya.

"Maaf Mama..tadi..aku tidak sengaja mendengar pemicaraan kalian" Luhan agak kikuk dengan ucapannya sendiri, tapi ia merasa ini tepat dilakukannya. Toh tadi yang dibicarakan juga dirinya. Bibi Ling menyorot Luhan dengan tatapan serius.

"Mama..tidak.."

"Aku ingin ke Seoul..Mama"

Wanita yang dipanggil Luhan "Mama" mengatupkan bibirnya setelah mendengar Luhan. Genggaman tangan Luhan yang tertaut jemari ibunya membuat wanita itu memilih diam dan menunggu kelanjutan ucapan anak semata wayangnya. Bibi Ling tahu posisinya, sedikit senyum terpatri di wajahnya. Bukan karena Luhan yang memotong ucapan sang ibu, namun melihat sinar mata Luhan, ia sangat yakin jika namja itu sagat menyayangi ibunya.

"Aku tahu Mama tidak akan megizinkanku. Tapi Mama, aku sudah besar. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Seoul juga rumah kita, aku lahir di sana. Mama juga berasal dari sana. Mama tak perlu khawatir.." Luhan menatap manik mata ibunya yang terpatri khawatir. Luhan juga merasakan tautan tangannya dan sang ibu semakin erat.

"Hanya kau yang ku miliki, Lu" suara ibunya melemah. Raut wajah wanita itu menandakan ia bersedih. Kepalanya tertekuk menunduk dan setelahnya ada isakan. Luhan sigap dan memeluk sang ibu. Bibi Ling yang menyaksikan ibu dan anak tersebut tak luput dari perasaan iba dan terharu. Dalam diamnya, ia juga meloloskan air mata.

"Aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku akan selalu ada untuk Mama..Percaya padaku Mama, aku bisa berbuat lebih baik, aku masih kuat untuk bekerja keras. Seoul bukanlah tempat yang menakutkan Mama" Luhan menepuk dan membelai punggung ibunya. Lengan kirinya sudah dirasanya lembab karena tangisan ibunya.

"Semua akan berjalan lancar..Mama..dan aku akan segera pulang, dengan begitu Mama akan cepat sembuh dan semua hutang kita bisa ditebus" Luhan tidak menahan apapun lagi. Apa yang dikatakannya murni terkuak karena kesadarannya. Pekerjaan yang dilakukannya sehari-hari masih sangat jauh untuk menutupi semua hutang ibunya. Sejak mendengar pembicaraan Bibi Ling dan ibunya tadi, membuatnya optimis dan meyakinkan dirinya jika semua masalahnya selama ini telah mendapatkan titik terang. Bahkan ia tak sungkan lagi mengatakan jika keluarganya dijerat hutang ang sangat banyak di depan Bibi Ling. Toh itu memang faktanya.

"Min..Luhan..aku pergi dulu. Aku tidak bermaksud memaksa atau menghasut Luhan untuk meninggalkanmu dan ke Seoul.. Kebetulan perbincangan tadi mengarah ke sana..Kalian berbincanglah dan istirahatlah Min.." Bibi Ling menyudahi duduknya dan membungkukkan badannya. Luhan segera bangkit dan berdiri menghadap Bibi Ling.

"Tidak bibi..aku tidak berpikir seperti itu..Aku juga yakin Mama tidak, iyakan?" Anggukan kepala sang Ibu membuat Luhan dan Bibi Ling sama-sama tersenyum.

"Aku akan mengantar Bibi..dan terima kasih sudah mengunjugi Mama..Bibi". Keduanya, Luhan dan Bibi Ling menghilang dibalik pintu kamar itu. Luhan memeluk tubuh wanita paruh baya itu sebelum pergi.

"Luhan...jika kau butuh bantuan, katakan saja padaku nak. Sebisaku aku akan membantumu" Bibi Ling mengusap jejak air mata di wajah mungil Luhan, membuat Luhan merasa hangat dan berhasil membuat dirinya tersenyum lagi.

"Terima kasih banyak, Bibi..jika Mama mengizinkanku, aku akan butuh penjelasan alamatnya dari Bibi". Wanita itu mengangguk dengan cepat. Setelahnya, ia pun berbalik dan berjalan menjauhi Luhan.

.

.

.

"Kau serius, ge? Seoul?!"

"Iya, Yixing. Aku serius"

Yang dipanggil Yixing batal mengangkat sendok yang tadinya hendak ia jejalkan ke mulutnya. Tadi sungguh, rasa laparnya di ubun-ubun, namun mengetahui fakta jika Luhan akan ke Seoul, seperti mematahkan rasa laparnya, bahkan sendok yang ditangannya pun jatuh begitu saja, menimbulkan bunyi khas yang cukup memekakan telinga.

"Haruskah? M-maksudku..mengapa gege harus kesana? Bibi Min bagaimana?" Sorot mata Yixing menyeret Luhan untuk segera duduk di hadapannya. Luhan menilik tatapan mata gadis di hadapannya ini yang berusaha mendominasi. Tatapan mata yang seakan berusaha membuat Luhan tak bicara banyak.

"Mama mengizinkanku"

"APA?!"

Yixing menegakkan tubuhnya. Alisnya yang panjang dan tipis namun tegas itu hampir saling bertemu. Kerongkongan dan tenggorokannya sama-sama rasa pahit. Tubuhnya bereaksi penolakan atas ungkapan Luhan. Di kepalanya seperti telah terbentur dan masih meninggalkan nyeri sepihak. Seluruh rasa laparnya tadi benar-benar menguap.

"Yixing..kau berlebihan..tenanglah dulu..biarkan aku menjelaskannya". Luhan agak panik mendapati reaksi Yixing yang mengejutkan. Sama sekali tak terbayangkan olehnya jika Yixing akan menjadi seperti ini. Tak ada sahutan dari pihak lawan bicara, namun Luhan yang telah mengenal Yixing 7 tahun, tahu betul jika pria dihadapnnya itu sangat butuh penjelasan. Sebuah tarikan nafas yang panjang Luhan lakukan sebelum menjelaskan apa yang terjadi pada Yixing, seorang teman yang sudah seperti adiknya sendiri.

.

.

.

"Kau benar, aku jahat sekali jika harus meninggalkan Mama"

"Oh dunia, apa yang terjadi—"

Yixing mengakhiri duduknya dan memijat pelipisnya. Pikirannya berkalut hampir menjadi rumit karena pembicaraan Luhan yang sangat tidak dimengertinya. Belum 30 menit yang lalu Luhan menjelaskan alasannya akan meninggalkan China dan ke Seoul, namun Yixing yang bersikeras menolak ide itu berefek pada Luhan. Pria mungil itu merenung dan menjadi banyak diam setelah mendengar alasan-alasan Yixing. Pertama, Yixing mengatakan jika Seoul sangat jauh dari China dan tidak ada jaminan jika ia akan benar-benar bekerja di sana. Masuk di akal memang, tapi Luhan menanggapinya dengan mengatakan jika ia masih ingat Seoul setelah 10 tahun ia tidak ke sana, rencananya ia akan melamar pekerjaan apapun jika di sana tidak berjalan sesuai rencana atau kembali pulang ke China. Kedua, Yixing tanpa ragu mengatakan pada Luhan jika ibunya masih sakit. Faktanya memang demikian. Luhan tahu ibunya sakit dan kadang-kadang ia benar-benar tidak bisa bangkit dari tempat tidur, batuknya semakin parah..dan itu seperti mengubur niatnya untuk ke Seoul. Pertanyaan demi pertanyaan memaksa Luhan untuk berpikir kembali akan keputusannya. Siapa yang akan menjaga ibunya? Menemani ibunya? Menyiapkan makan dan obat? Astaga Luhan memaki dirinya yang begitu mudah mengabaikan kondisi ibunya.

"Gege..jawab aku"

Yixing memang menuntut dan Luhan sudah tidak berpikir jernih lagi. Baginya, apa yang dikatakannya untuk ke Seoul sudah tak berarti lagi. Sekalipun sang ibu mengizinkan, tapi ia tak akan benar-benar pergi. Jahat sekali. Ungkap Luhan dalam hati kecilnya.

"Tidak Yixing...aku tidak akan pergi, yang kau katakan memang benar"

Hebat sekali Luhan! Yixing mematung dan rasanya agak sulit mencerna apa yang baru saja Luhan katakan. Dua tangannya sudah menyangga kepalanya yang berdenyut. Bukan sakit, tapi ini membuatnya cukup pusing. Yixing bisa merasakan jika otaknya sedang bekerja keras untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Pikirannya menjadi berbalik setelah mendengar penjelasan Luhan. Perasaan bersalah hinggap dalam batinnya yang mengungkit kondisi sakit ibu Luhan. Mempertimbangkan alasan Luhan yang dijelaskan lebih dulu membuatnya justru lebih bersemnagat agar Luhan menyegerakan keberangkatannya ke Seoul. Ia menepis pikiran pesimis Luhan tentang ibunya. Yixing juga sudah menobatkan dirinya sebagai pengganti Luhan selama ia ke Seoul. Namun Luhan tetaplah Luhan, ia tidak bisa dengan mudah memberikan tanggung jawabnya pada Yixing. Bukan karena tidak percaya pada pria itu—Demi Tuhan, Luhan sudah menganggap Yixing seperti adiknya, tapi Yixing sedang kuliah, ia juga memiliki keluarga dan kewajiban lain. Tugas itu akan sangat memberatkan Yixing...ya begitu pikir Luhan.

"Percaya padaku gege, aku akan menjaga Bibi Min..ia sudah seperti ibuku. Kalau perlu, Bibi akan ku bawa ke rumah, biar Mama ku juga bisa memb—"

"Tidak, Yixing. Tidak lagi. Kau berlebihan. Aku tidak akan pergi"

"Tapi..ge.."

Luhan runtuh. Air matanya seperti berlomba di sisi pipinya. Batinnya berkecamuk dan meraung. Nafasnya yang rancu memaksa dirinya merasakan sakit yang lebih pada dadanya. Kenyataan hidup di dunia dan menjadi miskin membuatnya merasakan pilu yang amat sangat. Pemandangan itu bukan yang Yixing ingin lihat hingga menit berikutnya. Tangannya telah terjulur membelai punggung Luhan yang sedang berbalik dan menangis. Yixing tanpa ragu lagi memeluk sosok rapuh itu dan berusaha menenangkannya.

"Gege...jika kondisi Bibi yang membebanimu, jangan kau pikirkan. Sungguh, aku bisa merawatnya. Aku akan libur untuk 3 minggu ke depan. Aku punya banyak waktu dan akan menjaga Bibi.. aku yakin itu waktu yang juga cukup untukmu untuk mendapatkan pekerjaan di Seoul. Kau akan dapat pekerjaan..dan setelah itu kau bisa kembali..dan jika memang benar Paman Seo Hyuk baik hati, tentu saja ia akan mau membantumu. Mungkin juga gege bisa membawa Bibi kembali ke Seoul untuk berobat? Aku punya firasat yang baik.."

Walaupun Luhan sedang menangis, namun apa yang dikatakan Yixing menarik perhatiannya. Luhan menegakkan badannya dan menghadap Yixing. Matanya berair, ujung hidungnya memerah, Luhan nampak kacau. Jemari kanannya menghapus jejak air matanya begitu saja. Yixing kembali memeluk pria itu dan membelai punggungnya.

"Maafkan aku gege..yaa tadi aku sempat menolak idemu itu, karena aku khawatir padamu. Seoul sangat jauh...tapi...yang kau katakan memang benar. Ini bisa menjadi kesempatanmu untuk pergi dan mengubah semuanya. Aku lupa kau sudah dewasa..mungkin yang salah adalah wajahmu ya? Kau masih seperti anak laki-laki 10 tahun.. Hahaha"

Candaan Yixing seperti penyedot kesedihan Luhan. Lelaki itu langsung membuka mulutnya karena tertawa. Keduanya berbalas pelukan dan Yixing menguatkan pelukannya pada Luhan. Pikir Yixing, dua hari yang lalu ia memeluk Luhan dan rasanya tubuhnya semakin menipis saja. Perasaan iba dan juga khawatir membuncah dalam hatinya. Bagi Yixing, Luhan adalah kakaknya, keluarganya dan orang yang disayangnya.

"Aku akan bicara pada Mama lagi, jika benar-benar diizinkan, aku akan mempertimbangkannya lagi" Senyuman Luhan membuat Yixing mengangguk tenang. Entahlah, malam itu rasanya cukup panjang dan meletihkan. Namun Luhan berpikir jika dirinya tidak boleh menyerah dan berhenti sampai di sini saja, ia punya keyakinan yang besar jika Seoul bisa mengubah nasibnya. Mungkin hari esok akan lebih baik?

.

.

.

.

.

Ini adalah hari ketiga setelah perbincangan malam itu. Faktanya, besok pagi Luhan akan berangkat ke Seoul. Persiapan administrasi untuk ke Seoul pun sudah Luhan bereskan, tentu saja pria itu dibantu oleh Yixing yang setia untuk menemani menyelesaikan semuanya. Posisi Ayah Yixing yang ada di Pemerintahan semakin membuatnya terbantu untuk mengurus kepergiannya. Hari sudah siang, teriknya cukup menyilaukan mata dan membuat kerongkongan kedua namja itu kemarau. Karena masih berada di luar, Luhan dan Yixing memutuskan untuk memanjakan lidahnya dengan minuman dingin yang ada di kedai minum ujung jalan.

"Apa gegesenang?"

Luhan menyudahi hisapannya pada jus melon yang rasanya manis. Gadis itu menarik dirinya dari gelas ramping itu dan menatap Yixing tanpa makna. Pertanyaan sederhana yang membuat Luhan merasa rumit untuk menjawab.

"Entahlah..Yixing. Aku tidak tahu jika aku senang, aku juga tidak yakin sedang bersedih...aku masih memikirkan Mama.."

Jawaban Luhan membuat sudut hati Yixing merasa tak enak. Yixing paham, pembahasan yang berujung pada Mama Luhan akan selalu menjadi kekhawatiran besar bagi Luhan, akan menjadi alasan wajahnya selalu tertekuk sedih. Dan pada dasarnya, alasan utama Luhan melakukan ini memang karena ibunya. Kembali ke Seoul setelah 10 tahun rasanya sulit dijabarkan oleh Luhan. Seoul telah menjadi album tua dalam gudang berdebu ingatan Luhan, album yang fotonya tak banyak, namun di sana ada foto ketika ia diajari bersepeda oleh ayahnya, ketika ia memilih baju kesukaannya, ketika ibunya menyisir rambutnya, dan ketika Luhan mendapati boneka rusa besar dari ayahnya sebagai hadiah ulang tahunnya. Ingatan itu mendominasi Luhan, sesekali membuat lamunannya bersanding senyum. Faktanya, Luhan besar dan lahir di Seoul. Saat itu ibunya bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan radio dan ayahnya sebagai guru bahasa Mandarin. Walaupun besar di Seoul, namun Luhan sangat akrab dengan budaya Mandarin, sapaan untuk orang tua dan keluarganya adalah Mandarin. Dan ketika umur 14 tahun, Luhan harus meninggalkan Seoul dan pindah ke Beijing.

Luhan menatap jus melon yang entah kenapa tak menarik lagi baginya. Berdiam seperti ini sedikit membuatnya menyesal. Seoul..Seoul...dan Seoul... Luhan masih tak percaya jika esok ia akan benar-benar kembali ke Seoul. Kepingan memorinya ketika berada di Seoul seperti memompa jantungnya sekaligus menjeda nafasnya..menjeda nafasnya karena di Seoul ia mengenal …Wu Yifan.

.

.

.

.

.

TO BE CONTINUED…..

~Deerwind.