Disclaimer: Yuri! On Ice adalah milik MAPPA. Desain karakter oleh Tadashi Hiramatsu, cerita oleh Mitsuro Kubo. Tidak ada keuntungan finansial diambil dari fanfiksi ini. ide cerita adalah milik penulis dan penulis berhak mempublikasikannya sebagai fiksi original tanpa melibatkan tokoh dan penokohan dari Yuri! on Ice.

Summary: Victor, Yuuri, dan kisah mereka dalam mendalami seni menjadi orangtua.

Warning: MPREG.


"Viktor."

"Mmhm …."

"Viktor!"

"Ngh … L-lebih dalam, Yuurii …."

"Mimpi apa sih orang ini. VIKTOR!"

Pria berambut pirang itu terlonjak bangun, segala visualisasi mimpi menghilang dari balik mata seperti balon yang meletus. Ia mengerjap-ngerjap, menghilangkan kantuk sekaligus memfokuskan pandangan pada pria yang menunduk menatapnya sambil cemberut manis.

"Mmm, Yuuriko," sapanya mengantuk, tersenyum miring sambil mencubit pipi gembul sang pasangan. "Ada apa, Sayang? Kau 'lapar'?" Ia terkekeh sendiri teringat mimpinya barusan. Yuuri merengut makin dalam.

"Simpan pikiran jorokmu sendiri," gerutunya. Belakangan suasana hatinya gampang memburuk. "Si Kecil ingin menontonmu lagi."

Sambil berkata demikian, ia mengelus perutnya yang membulat di balik piyama. Kantuk Viktor langsung hilang, digantikan perasaan lelah dan putus asa.

"Lagi?!" Tanyanya, terdengar hampir menangis. "Tapi—jam berapa ini, Sayang?" Ia melirik jam weker digital di samping tempat tidur. Pukul dua lima belas dinihari. "Ring masih tutup!"

"Nnn … Tidak juga. Yuuko dan Takeshi memberiku kunci pintu belakang. Mereka bilang kita bisa meminjam ring kapan saja kalau Si Kecil sedang rewel." Ia menepuk-nepuk perutnya dengan sayang. Viktor menutup mata dengan kedua tangan, mengerang penuh rajuk.

"Tidak bisakah kau menonton video saja?" Apa gunanya merekam semua performansinya dari usia lima belas kalau tidak bisa dimanfaatkan dalam situasi seperti ini?

"Yah, aku sih bisa," kini alih-alih jengkel Yuuri mulai terdengar geli. Oh, dia menikmati penderitaan Viktor, 'kan? Si brengsek ini! "Tapi aku ragu dengan Si Kecil. Kau tahu dia banyak maunya, dan sangat keras kepala. Menurun dari siapa, coba." Ia menyentil pipi Viktor penuh canda sembari beringsut turun dari tempat tidur.

Viktor masih menatapnya dengan tatapan anak anjing memelas, tapi Yuuri yang sedang ngidam adalah Yuuri yang dikendalikan oleh janin dalam perutnya, dan janin itu, tidak seperti sang ayah, rupanya tidak mempan dibujuk rayu.

"Ayo, Viktor. Jangan lama-lama, keburu Si Kecil makin mengada-ada," Yuuri mengedikkan kepala, mengenakan mantelnya. "Kau tidak mau dia minta menontonmu sepuluh kali, 'kan?"

Viktor langsung meloncat bangun.

.

.

.

Bukannya Viktor melabeli jabang bayi yang belum lahir dengan julukan buruk, tapi kadang dia merasa calon anak pertamanya itu agak kurang ajar.

"Woohoo! Luar biasa! Sekali lagi, Viktor!"

"Se … sebentar, Yuuri. Tarik napas dulu."

Viktor merapat pada pinggiran ring, membungkuk terengah-engah. Yuuri bangkit dari bangku penonton, berjalan susah payah seperti penguin, membawakan setermos air mineral bagi suaminya yang lelah. Viktor langsung mereguk cairan itu dalam teguk-teguk besar penuh gairah.

Yuuri menepuk-nepuk bahunya penuh simpati. "Masih seindah yang kuingat, Viktor," pujinya tulus. Dalam satu jam terakhir, Viktor telah mempersembahkan baginya (atau bagi Si Kecil, lebih tepatnya) lima rutin yang pernah dibawakannya dalam Senior Grand Prix Final. Dimulai dari The Bohemian Song, lagu dari opera musikal The Hunchback of The Notre Dame yang menghantarkan Viktor pada medali emas senior pertamanya; dan diakhiri dengan Aria: Stay Close to Me, rutin legendaris yang ditarikan oleh Yuuri dan membawa Viktor kepadanya.

Viktor tertawa sambil tersengal. "Tentu saja. Walaupun dulu aku punya stamina yang jauh lebih bagus."

Astaga, sulit dipercaya bahwa beberapa tahun lalu ia bisa menarikan berbagai program secara non-stop dan masih sanggup membawa Makkachin jalan-jalan di sore harinya. Sekarang mengenang hal itu saja sudah membuatnya capek. Dia memijat-mijat punggung, yakin bahwa setelah ini ia akan butuh koyo pegal dan kompres air panas.

Ugh, dia sudah terlalu tua untuk ini.

Yuuri terkekeh, mengelap keringat yang berleleran di pipi Viktor dengan tisu. "Kau tahu, selama kau menari tadi Si Kecil terus menendang dengan penuh semangat. Dia pasti sangat mengagumimu."

Mata Viktor melembut. Ah, bagaimana dia bisa kesal kalau Yuuri sudah bilang begitu? Tarik ucapannya tadi, anaknya bukan agak kurang ajar. Mungkin dia hanya terlalu bersemangat menonton papanya, dan bukankah itu pujian terbaik yang bisa diperoleh seorang papa? Ia meraih perut Yuuri, mengusap penuh kasih sayang, berbinar ketika Si Kecil membalasnya dengan tendangan.

"Viktor, kau menangis," Yuuri berkomentar, setengah geli setengah gemas pada suaminya yang selalu dramatis. Mata Viktor besar berkaca-kaca, bibirnya membentuk hati saat ia mengeluarkan suara-suara gemas.

"Yuuri, mana mungkin aku tidak terharu? Ah, aku sudah tidak sabar ingin bertemu Si Kecil!" Terbayang dia akan menjadi bayi super imut, dengan pipi tembem seperti Yuuri dan matanya yang berkilau polos dan mulut mungilnya yang mengiler sambil mencuap Papa~ dan jemari-jemari kecilnya yang lucu, hangat dan penuh kepercayaan dalam genggaman Viktor saat ia mencoba sepatu luncur pertamanya dan—

"Viktor, tenanglah. Kau hampir hiperventilasi."

Viktor menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya lewat mulut. Oke, oke. Dia tenang sekarang.

"Nah, sudah siap untuk rutin selanjutnya?" Yuuri tersenyum sangaaaat manis, sampai Viktor hampir hiperventilasi lagi. Tuhan, perbuatan baik apa yang dilakukannya di kehidupan sebelumnya sampai mendapatkan anugerah seindah ini? Mungkin dia dulu salah satu pemberi makan para apostel.

Viktor menangkup wajah Yuuri dan mencium bibirnya lekat lagi cepat. "Aku butuh suntikan tenaga," katanya pura-pura polos, mengedipkan satu mata. Yuuri terkekeh sambil menggeleng-geleng kepala, menarik kerah Viktor sampai kepala suaminya itu menunduk, lalu menyentuh ubun-ubunnya yang mulai membotak.

"Mantra keberuntungan. Supaya Papa tidak cepat capek."

Biasanya topik rambut adalah hal sensitif, kali ini Viktor bahkan tak bisa merajuk. Ia meluncur kembali ke atas es, hati berbunga-bunga, tangan terangkat tubuh bersiap untuk menarikan satu lagi rutin untuk kekasih kesayangan dan buah hati mereka yang bertumbuh dalam rahimnya.

Siapa peduli kalau besok pagi badan Viktor pegal dan kaku macam diinjak-injak gajah? Itu adalah bayaran setimpal untuk membuat dua orang tercintanya bahagia.

.

.

.

.

.

.

.

.

OMAKE

"VIKTOR! Dasar licik, kenapa beratmu turun sepuluh kilo sementara aku naik sepuluh?!"

"Eeeh Yuuriii, aku 'kan harus menarikan program-programku untukmu setiap hari. Tentu saja beratku jadi turun. Dan kau ngidam makan katsudon tiap hari—"

"JADI KAU BILANG INI SEMUA SALAHKU?!"

"B—bukan begitu, Sayang! Ah, kau 'kan sedang hamil, tentu saja kau tidak bisa mengontrol keinginanmu—"

"Maksudmu, aku tidak bisa mengontrol diri?! Aku makan rakus seperti babi, begitu?!"

"Aku tidak bilang begitu, Sayang!"

"VIKTOR BODOH!"

Butir-butir besar airmata berjatuhan di pipinya, Yuuri berjalan keluar dari dapur secepat yang ia bisa, terlihat seperti penguin gembul yang manis dan sangat marah. Viktor menahan dorongan untuk memeluknya gemas, dan menoleh putus asa pada ibu mertuanya yang tersenyum geli.

"Begini salah, begitu salah. Harus bagaimana lagi aku, Ma?"

Wanita itu tertawa, menepuk-nepuk kepala menantunya yang sudah seperti anak sendiri.

"Orang hamil jangan dilawan, Nak," nasehatnya bijak, "Biarkan Yuuri sendiri dulu. Kau tunggu di sini, Mama buatkan katsudon. Nanti kau bawakan ke kamarnya. Yuuri selalu luluh dengan masakan enak."

Viktor meletakkan kepala di atas meja makan dan mengerang. "Kuharap Si Kecil cepat lahir! Aku kangen Yuuri-ku yang manis!"

Ibu mertuanya terkikik geli. "Oh, Nak. Ini baru permulaan," gumamnya pada diri sendiri, menyenandungkan lagu anak-anak pengantar tidur sementara tangannya sibuk meracik bumbu.

tbc

.

.

.