JaeDo-JohnTen
Yaoi/Boyslove, OOC, absurd dan random/?
Enjoy!
.
.
.
Kebahagiaan itu semu. Tidak bertahan lama. Selalu ada kesedihan menanti di baliknya. Lebih baik tidak bahagia dari awal daripada bahagia lalu kesakitan setelahnya. Setidaknya itu yang ada di pikiran sempit Kim Doyoung.
Doyoung pernah bahagia, sekali. Saat itu Doyoung berumur 10 tahun, dia hanya tinggal berdua dengan ibunya di rumah kecil di pinggiran kota Seoul. Dia lahir di luar ikatan pernikahan. Keluarga ayahnya menentang hubungan ayah dan ibunya karena ibunya memiliki latar belakang pendidikan yang rendah. Dengan penuh ketegaran, ibunya melahirkan dan membesarkan Doyoung seorang diri. Menahan cemooh dan pandangan jijik masyarakat. Tapi walaupun begitu, ibunya tetap tersenyum dan memperlakukan Doyoung dengan baik. Doyoung mencintai ibunya, sangat. Dan Doyoung bahagia memiliki ibu seperti ibunya.
Tapi Tuhan juga mencintai ibunya. Di siang hari yang gerimis, mereka berjalan berdua di bawah payung. Ibunya menyempatkan diri menjemput Doyoung di sekolah walaupun Doyoung berkata dia sudah terlalu tua untuk dijemput. Saat mereka ingin menyebrang, sebuah mobil kehilangan kendali dan melaju kencang ke arah mereka. Sadar tidak sempat mengelak, ibunya segera memeluk Doyoung. Mereka terlempar lumayan jauh.
"Tetaplah hidup Doyoung."
Bisikan ibunya adalah hal terakhir yang Doyoung ingat sebelum dia hilang kesadaran.
.
.
.
Doyoung terbangun. Hal pertama yang dia lihat hanyalah kegelapan. Kegelapan total. Sempat terbersit di pikirannya bahwa dia sudah mati, tapi dia masih mendengar suara berisik langkah kaki, suara dahan yang tertiup angin dan suara lainnya.
Terdengar suara langkah kaki mendekat, Doyoung menoleh ke arah datangnya suara. Doyoung bertanya dengan suara serak dan lirih, "S-Siapa?"
"Ah- kau sudah bangun? Aku Park Jungsoo, dokter yang merawatmu. Bagaimana keadaanmu Doyoung?"
Suaranya berat, khas laki-laki berumur tiga puluh tahunan. Dia menggenggam tangan Doyoung dan mengusapnya pelan, menyalurkan kehangatan ke seluruh tubuh Doyoung.
"M-Masih sedikit pusing dan aku hanya melihat kegelapan- Sebenarnya apa yang terjadi? Dimana eomma?" Doyoung menjawab dengan sedikit terbata dan kebingungan.
Entah sejak kapan pendengaran Doyoung mulai menajam, bahkan dia bisa mendengar dokter Park menghela nafas pelan. Tangannya semakin digenggam erat, dokter Park menarik nafas berat sebelum berbicara.
"Kau mengalami kecelakaan, sebuah mobil menabrakmu dan ibumu. Serpihan kaca merusak kornea matamu dan menyebabkan kebutaan. Ibumu meninggal, hanya kau yang selamat. Maafkan aku, aku sudah berusaha sebisaku. Tapi Tuhan berkata lain, maafkan aku."
Dan dalam sekejap mata dunia Doyoung runtuh.
Setelah dinyatakan sembuh, Doyoung dimasukkan ke panti asuhan karena dia memang tidak memiliki sanak saudara. Doyoung dihadiahkan sebuah White Cane oleh dokter Park Jungsoo. Hari pertama kedatangannya dia disambut ramah oleh anak panti asuhan. Mereka mengajaknya berkenalan dengan semangat. Dia sekamar dengan Seo Youngho-orang-orang memanggilnya Johnny-yang lebih tua setahun darinya, lalu Donghyuck-atau Haechan-dan Mark.
Karakter mereka unik, dan ketiga orang ini segera masuk ke dalam daftar favorit Doyoung. Johnny adalah hyung yang baik walapun terkadang menyebalkan karena selalu memperlakukannya seperti boneka kaca yang mudah pecah. Mark lucu, dia sering melemparkan lelucon garing hanya untuk melihat Doyoung tertawa. Haechan yang termuda di antara mereka bertiga juga melakukan perannya dengan baik, sebagai magnae dia senang ber-aegyo. Walaupun Doyoung tidak dapat melihatnya, tapi Doyoung dapat mendengar suaranya yang dibuat imut.
Tiba hari dimana dia harus melanjutkan sekolah. Pihak panti asuhan memasukkannya ke sekolah anak berkebutuhan khusus. Johnny mengantarnya sampai ke depan gerbang setiap hari. Johnny juga berpesan hal yang sama sebelum meninggalkan Doyoung di sekolahnya, "Belajar yang rajin, buat hyung dan yang lainnya bangga. Jangan melawan guru atau hyung akan marah, arraseo?"
Dan Doyoung akan mengangguk dan menjawab hal yang sama juga, "Ne hyung, aku mengerti."
Johnny mengacak rambut Doyoung dan mencium keningnya sekilas, "Hyung pergi sekolah dulu."
"Hati-hati di jalan hyung." Doyoung mengantar kepergian Johnny dengan tatapan kosong, sebelum mengikuti guru yang menuntunnya berjalan menuju kelas.
.
.
.
Sore harinya Doyoung akan duduk di trotoar depan sekolah menunggu Johnny menjemputnya. Johnny akan berlari dari sekolahnya agar Doyoung tidak menunggu terlalu lama. Dengan napas terengah, Johhny menggenggam tangannya dan berjalan pulang menuju panti asuhan yang sedikit demi sedikit bisa Doyoung hapal.
Malam harinya mereka akan bergantian mengerjakan tugas rumah, seperti menyapu, mengepel, mencuci baju dan piring, dan bersih-bersih. Doyoung tidak terkecuali. Namun dia diberi keringanan. Karena dirinya buta, dia hanya ditugaskan merapikan kamar mereka. Tapi Johnny lagi-lagi menggantikan tugasnya. Menyuruh Doyoung duduk di tempat tidur dan berlatih membaca huruf braille sedangkan dia mondar-mandir membersihkan kamar mereka, membuat Doyoung merasa bersalah.
Pernah sekali Doyoung menyuarakan pikirannya, "Hyung hentikan! Kenapa hyung melakukan tugasku? Aku bisa melakukannya sendiri. Hyung bisa kelelahan, dan rasa bersalahku akan semakin bertambah."
Johnny hanya tertawa sebelum mengusap rambut Doyoung lembut, "Hyung tidak lelah Doyoungie, lagian semua pekerjaan hyung sudah selesai, apa salahnya membantu adik sendiri? Bukankah itu tugas seorang hyung?"
Doyoung hanya cemberut dan menggembungkan pipinya. Tidak bisa berkata-kata lagi. "Ya sudah! Kalau hyung sakit, aku tidak mau merawat hyung!"
Hari-hari Doyoung berlangsung dengan damai dan bahagia. Walaupun sedikit sepi karena Haechan dan Mark sudah lebih dulu diadopsi, setidaknya dia masih memiliki Johnny disisinya.
Doyoung baru saja mulai berpikir kalau ini mungkin saja kebahagiaan keduanya sebelum mimpi buruk itu datang. Pengurus panti asuhan mereka, Ahjumma Kim yang baik hati diganti dengan seorang wanita yang lebih muda bernama Jung Soo Yeon.
Johnny bilang bahwa pengurus panti mereka yang baru cantik dan kelihatannya baik. Doyoung mempercayainya. Tapi tak lama kemudian, sosok aslinya mulai kelihatan.
Siang itu Doyoung tidak sengaja memecahkan vas di ruang tamu, dan Jung Soo Yeon melihatnya. Tangannya ditarik keras, Jung noona-penghuni panti memanggilnya begitu-menyeretnya ke sebuah kamar, menutup pintu lalu memerintahkan Doyoung untuk melepas bajunya.
"Lepas bajumu."
Doyoung mengernyitkan dahinya bingung, "Untuk apa noona?"
"Lepaskan saja bajumu! Cepat!" Nada bicaranya semakin tinggi. Doyoung dengan takut segera melepas bajunya. Tak lama setelah itu Doyoung merasakan perih teramat sangat di punggung. Jung noona memukulnya menggunakan rotan.
"Ini hukuman karena kau memecahkan vas, dasar anak buta tidak tau diri." Dan pukulan itu terus dilayangkan ke punggung kecil Doyoung.
"Hitung!" Jung noona kembali membentaknya.
Dengan terbata-bata Doyoung memulai hitungan, "S-Satu.. dua..."
Doyoung menggigit bibir. Demi Tuhan, punggungnya sangat sakit. Matanya memerah menahan tangis. Dia berharap hukuman ini cepat berakhir. Doyoung kehilangan hitungannya di angka sepuluh, dia jatuh berlutut karena kakinya tidak sanggup lagi menopang tubuhnya.
"Hukumanmu belum selesai, cepat berdiri!"
Bersamaan dengan Doyoung mencoba berdiri, Johnny mendobrak masuk. "Doyoung!" Johnny segera membantu Doyoung berdiri dan memakaikan bajunya.
Jung noona menatap mereka dengan marah, "Aku belum selesai menghukumnya! Kau Johnny, keluar!"
Johnny menelan ludah paksa, "Aku... aku akan menggantikan Doyoung menjalani hukuman. Pukul aku saja."
Doyoung membulatkan matanya mendengar perkataan Johnny. Tangannya menahan tangan Johnny, "Jangan hyung, ini kesalahanku, biar aku yang menanggungnya."
Johnny tersenyum, "Tak apa, hyung lebih kuat darimu, tenang saja Doyoungie."
Johnny membuka bajunya dan menggantikan hukuman Doyoung sampai pukulan kedua puluh. Setelah selesai, Johnny memapah Doyoung ke kamar mereka.
Malam itu untuk pertama kalinya sejak ibunya meninggal, Doyoung menangis keras. Menangis karena dirinya yang tidak berguna, Johnny harus mendapatkan hukuman menyakitkan. Walaupun Johnny sudah memeluk dan mengusap rambutnya pelan sambil berkata dia baik-baik saja, tangisan Doyoung tidak memelan. Dia benar-benar merasa bersalah. Kesedihannya meluap begitu saja.
Sebelum jatuh tertidur di pelukan Johnny karena lelah menangis, Doyoung membuat janji di hatinya kalau dia tidak akan menyusahkan Johnny lagi dan membuatnya bahagia.
Tanggal 1 Februari, saat umurnya genap empat belas tahun, panti asuhan mereka kedatangan satu anggota baru. Namanya Chittaphon Leechaiyapornkul-Doyoung butuh waktu sebulan untuk hafal nama lengkap Ten-atau bisa dipanggil Ten. Dia seumuran dengan Doyoung, tapi Johnny bilang tubuhnya sedikit lebih pendek dan kecil dari Doyoung. Ten juga menjadi teman sekamarnya dan Johnny.
Johnny juga bilang kalau sebenarnya Ten itu orang Thailand yang sudah lama tinggal di Korea. Pantas saja aksen dan cara bicaranya agak aneh dari orang Korea kebanyakan. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan mobil saat mereka sekeluarga berencana untuk berlibur. Hanya Ten yang selamat. Dia juga tidak memiliki sanak saudara yang tertinggal, sehingga dia dimasukkan ke panti asuhan ini. Mirip dengan cerita Doyoung.
Doyoung mencoba dekat dengan Ten karena mereka seumuran, jadi malam itu dengan meraba dia naik ke atas kasur Ten dan menyapanya dengan ceria, "Annyeong Ten, Ðoyoung imnida. Ayo berteman baik."
Tapi Ten hanya mendengus dan mendorongnya sampai jatuh ke bawah tempat tidur, lalu berkata dengan kasar, "Jangan sok baik denganku!"
Doyoung terkejut, mata kelincinya membulat dan mulutnya menganga, tidak menyangka akan mendapat perlakuan kasar dari Ten. Johnny yang baru saja masuk kamar dan melihat kejadian itu langsung membantu Doyoung berdiri lalu memandang marah pada Ten, "Apa yang kau lakukan padanya?!"
Ten hanya membuang muka, lalu membungkus tubuhnya dengan selimut, "Pergi sana!"
Johnny akan membalas lagi, tapi tangan Doyoung yang meremas lengannya menghentikannya. Jadi Johnny menuntun Doyoung ke tempat tidur dan mendudukkan tubuh mereka disana.
"Apa ada yang sakit?" Johnny bertanya khawatir. Doyoung hanya menggeleng, "Gwenchana hyung,"
"Tapi aku melihatnya mendorongmu dengan keras, apa benar tidak apa-apa?" Johnny meneliti tubuh Doyoung, memastikan ada tidaknya luka.
"Aku tidak apa-apa hyung, tidak ada yang sakit. Ayo tidur, aku mengantuk, jaljayo hyung." Doyoung membaringkan tubuh di kasur.
Johnny menghela nafas, "Baiklah kalau kau berkata begitu, jaljayo Doyoungie." Doyoung membiarkan Johnny menyelimuti tubuhnya.
Walaupun dia sedikit kecewa dengan penolakan Ten, dia mencoba mengerti, Ten butuh waktu. Dia butuh waktu untuk membuka hatinya pada orang lain dan membiarkan orang lain untuk masuk ke dalam zona nyamannya. Jadi Doyoung tidak ambil hati dan memejamkan matanya. Besok... ya, besok dia pasti bisa membuat Ten luluh dan berteman dengannya
.
.
.
Doyoung sudah tidak bersekolah lagi. Jung noona menganggapnya tidak cukup penting untuk di sekolahkan. Lagian sekolah untuk anak berkebutuhan khusus itu lumayan mahal. Untung saja dia sudah ingat huruf-huruf braille. Walaupun agak lupa karena Doyoung sudah lama tidak berlatih.
Jadi sore itu daripada mati bosan menunggu Johnny pulang, Doyoung memutuskan untuk berjalan-jalan di daerah sekitar panti yang sudah dia hapal dengan White Cane pemberian dokter Park dulu. Saat dia melewati sebuah gang, dia mendengar percakapan sekitar empat orang, dan dia kenal suara salah satunya. Suara Ten.
"Serahkan uangmu!" Seseorang dengan badan tinggi besar dan dua kawannya memojokkan Ten ke dinding.
Walau sedikit gentar, Ten tetap menjawab dengan tegas, "Aku tidak punya uang. Kalau mau uang, minta saja pada orangtuamu, idiot!"
"Kau- beraninya!" Pemimpin dari kelompok kecil itu akan memukul Ten yang memejamkan matanya pasrah, bersiap menerima pukulan, sampai Doyoung berjalan pelan mendekati mereka dan berteriak, "Hentikan!"
Kepalan tangan itu berhenti di udara, preman-preman itu menoleh ke arah Doyoung dan memandangnya heran, "Apa ini? Orang buta ingin mencoba menjadi pahlawan?"
Doyoung mengayunkan tongkatnya dan mulai memukuli siapa saja yang terkena tongkatnya, "Pergi! Pergi!"
Si pemimpin yang berbadan paling besar menangkap tongkat Doyoung dan membuangnya, dan tak lama kemudian melayangkan bogem mentah ke pipi kanan Doyoung. Doyoung yang tidak siap segera jatuh membentur tanah. Tubuhnya kembali dihujani pukulan dan tendangan sampai perutnya mual dan kepalanya pusing.
Ten melihat kejadian itu dengan tubuh gemetar dan airmata mengalir, tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah preman-preman itu puas menghajar Doyoung dan berlalu pergi, barulah tubuh Ten bisa bergerak dan segera menghampiri Doyoung yang terkulai lemah.
Ten memangku kepala Doyoung, mencoba bertanya walaupun kata-katanya terdengar berantakan karena isakan, "Apa- Apa kau tidak apa-apa Doyoung?"
Ingin rasanya Doyoung menjitak kepala Ten sekarang juga, "Apa kau tidak lihat? Aku sudah babak belur begini, bagaimana mungkin aku baik-baik saja." Doyoung menjawab dengan lirih.
"Ma-Maafkan aku... biar ku gendong." Ten mengambil White Cane Doyoung yang terlempar dan menggendong Doyoung dengan susah payah di punggungnya.
Sepanjang jalan menuju panti asuhan, Ten terus menerus meminta maaf padanya sampai telinga Doyoung sakit. Belum lagi Johnny yang histeris melihat Ten menggendongnya dalam keadaan babak belur, telinga Doyoung jadi tambah sakit dua kali lipat.
Ten membaringkan Doyoung di tempat tidur dan menjelaskan kejadiannya pada Johnny. Lalu mereka berdua saling membantu merawat Doyoung. Memperlakukannya seperti orang sekarat yang akan mati besok. Tapi Doyoung menikmatinya. Menikmati bagaimana hubungannya dengan Ten menjadi lebih baik. Hari itu, secara resmi Ten menjadi saudaranya, kedudukannya sama seperti Johnny di hati dan hidup Doyoung.
Walaupun sekarang Doyoung harus rela punya dua pengawal.
Saat umur Johnny menginjak dua puluh dua tahun, dia membawa serta Doyoung dan Ten-yang berumur dua puluh satu tahun-keluar dari panti asuhan. Selain karena mereka sudah dewasa, mereka juga sudah bisa mencari uang untuk kehidupan mereka sendiri. Dengan uang yang dikumpulkan Johnny selama lima tahun kerja sampingan, mereka menyewa sebuah apartemen. Apartemen itu kecil dan murah, tapi bersih dan cukup menampung mereka bertiga. Sebagai bonus, tetangga mereka ramah-ramah dan sering menyumbang makanan. Jadi mereka bisa menghemat uang makan mereka.
Johnny, dibalik sikap serampangannya, sebenarnya adalah seorang jenius. Dia mendapat beasiswa penuh untuk kuliahnya, ditambah dia mahir memainkan piano yang dipelajarinya secara otodidak dari seorang teman. Membuatnya mudah mendapatkan pekerjaan, menjadi guru les piano contohnya. Terima kasih kepada bakat dan wajah tampannya.
Ten adalah penari handal, berulang kali memenangkan kontes. Tubuhnya lentur dengan gerakan yang lembut. Karena keahliannya yang memang diakui, dia menjadi pelatih di sebuah klub dance.
Secara teknis, mereka tidak akan kekurangan uang. Tapi Doyoung menemukan dirinya tidak nyaman hanya duduk diam di rumah sedangkan dua saudara berbeda orangtuanya membanting tulang bekerja untuk mencari sesuap nasi. Doyoung berpikir keras apa yang bisa dilakukannya untuk meringankan beban kedua saudaranya.
Memasak? Tidak mungkin, melihat saja dia tidak bisa. Menjadi pengemis? Kondisinya yang buta lumayan memungkinkan, tapi dia akan dikurung Johnny dan Ten seumur hidup jika berani melakukan itu. Yang jadi masalahnya sekarang, apa ada pekerjaan yang bisa dilakukan orang buta seperti dirinya?
Jadi dia mencoba curhat dengan Moon Taeil, tetangganya yang baik hati. Dan Doyoung tidak pernah menyesali keputusannya, karena Taeil memang orang yang tepat.
"Kenapa kau tidak bernyanyi saja di café tempatku bekerja? Kebetulan kami sedang mencari penyanyi, karena penyanyi yang kemarin mengundurkan diri. Suaramu sangat bagus, dan kurasa tidak ada masalah kalau kau buta. Aku akan coba bicara pada manajer."
Doyoung tidak pernah sesenang ini di dalam hidupnya. Dia memeluk Taeil erat dengan senyuman lebar sampai membuat pipinya pegal, "Terima kasih hyung! Hyung yang terbaik dari yang terbaik!"
.
.
.
Malamnya, Doyoung mendiskusikan hal ini pada Johnny dan Ten. Ten mendukung penuh keputusannya dan memberi semangat. Sedangkan Johnny masih terlihat ragu, "Apa kau bisa melakukannya? Apa kau akan baik-baik saja? Bagaimana jika ada pelanggan mesum lalu kau di culik lalu mereka-"
Doyoung mengerang kesal, memotong perkataan Johnny, "Stop hyung. Aku bekerja di café Taeil hyung, bukan di klub malam."
Johnny terlihat akan berargumen lagi, tapi Ten menyelanya, "Beri Doyoung kesempatan hyung, aku tau dia akan melakukannya dengan baik. Lagian memangnya kau mau membujuk Doyoung yang ngambek? Kalau aku ogah."
Doyoung mengangguk antusias, membenarkan perkataan Ten. Sambil sedikit aegyo, Doyoung menatap memelas Johnny dengan bunny eyes-nya.
Johnny menghela nafas lelah, "Arraseo, arraseo. Kau boleh bekerja di tempat Taeil hyung. Tapi berjanjilah satu hal, kau harus segera menghubungi aku atau Ten jika terjadi apa-apa, oke?"
"Oke hyung!" Doyoung bersorak gembira. Doyoung tidak sabar menanti hari esok. Dimana dia akan berkerja untuk pertama kalinya.
.
.
.
Keesokan harinya, dia pergi diantar Ten ke café tempat Taeil bekerja. Jam kerjanya lumayan singkat. Dia hanya akan bernyanyi 5 hari dalam seminggu, dari jam tujuh malam sampai jam sembilan malam, dengan istirahat di setiap satu jamnya. Saat dituntun Taeil ke atas panggung dan duduk di kursi yang telah di sediakan, jantung Doyoung mulai berdetak keras. Seakan dia sedang dalam lomba lari. Doyoung menarik nafas pelan, mencoba menstabilkan detak jantungnya sebelum memulai bicara, "Annyeong haseyo, Kim Doyoung imnida, saya adalah penyanyi baru disini, mohon bantuannya." Doyoung melakukan bow dengan kepalanya.
Awalnya memang menegangkan, tetapi Doyoung dengan mudah membiasakan dirinya. Doyoung menikmati setiap waktunya bernyanyi. Hingga dia sampai di lagu terakhir yang akan dinyanyikannya malam ini.
"Akhirnya kita sampai di penghujung acara, sebenarnya saya ingin menyanyikan lebih banyak lagu lagi. Tapi akan saya simpan untuk besok dan hari-hari selanjutnya. Lagu terakhir malam ini adalah lagu Sung Si-kyung yang berjudul 'To You'."
Suara petikan gitar mulai mengalun pelan, Doyoung memejamkan matanya, menghayati alunan suara yang dihasilkan, membuka matanya kembali, dan mulai bernyanyi, "Neoui maldeureul useo neomgineun naui maeumeul. Neoneun moreugessji neoui modeun geol. Johahajiman jigeum naegen dulyeoumi apseo."
"Neomu manheun saenggagdeuri neoreul garo maggoneun issjiman. Nal bogo useojuneun nega."
Tunggu.
Tunggu!
Perasaan Doyoung baru saja akan melanjutkan nyanyiannya, jadi tentu saja itu bukan suara miliknya. Lagian suaranya tidak terdengar agak berat dan ringan disaat bersamaan seperti itu.
Lalu... itu suara siapa?
.
.
.
TBC/End?
A/N: Ini apaaaaa? :'v Saya bahkan tidak mengerti ini apaaaa/? :'v Saya sedang kalap dengan nct, apalagi kelinci imut kita, karena sudah tidak tahan, terbentuklah ff tidak jelas ini, yeayy~ :'v Jaedonya belum muncul, munculnya di chapter depan, chapter ini puas-puasin dengan Johndo dulu :'v wahahahaha, kesambet gantengnya bang Johnny di Limitless sih :'v #abaikan
Terima kasih telah membaca~
