OF PROPOSAL AND FIRST LOVE
CHAPTER ONE
9K+ of meh and fluff which is supposed to be a Valentine fic but I got so carried away—again.
Special for my baby Mima and my sweetheart guest88 who always cheer me up during this skripshit.
I love you guys so much.
.
"Mommy?"
Jongin kecil mengerjap pelan, sorot matanya menyiratkan bimbang yang seakan telah anak lelaki itu pendam sejak lama. Bibirnya mengerucut tebal, kepalanya mendongak, sementara ibunya membungkukkan badan agar bisa menyejajarkan mata dengan anak lelakinya.
"Yes, baby?"
"Nini feels odd." Gumam Jongin mencicit.
Alis anak lelaki itu berkerut mengingat gejala aneh yang menghantuinya akhir-akhir ini. Ia telah mencoba bertanya kepada teman sekelas di taman kanak-kanaknya mengenai apa mereka juga pernah merasakan hal yang sama, tetapi teman-temannya hanya menjawab dengan gelengan atau justru tetap sibuk berkutat dengan buku mewarnai mereka.
"Apa maksudmu, Nini?" Mrs. Kim kini berlutut di hadapan Jongin, raut kekhawatiran menguasai wajah wanita itu.
"Ada serangga-serangga kecil merayap!" Jongin menggerakkan jemarinya, menirukan kaki-kaki serangga yang tengah merangkak. "Di sini," Kata anak lelaki itu sembari menunjuk pusat dadanya sendiri, "dan di sini," sebelum berpindah ke perutnya yang tampak buncit.
Mrs. Kim tergelak tipis. Ia awalnya mengira Jongin kecil akan mengutarakan keluhan mengenai porsi sayur di bekal makan siangnya yang terlampau berlebihan atau memintanya untuk mencium luka di lutut anak lelaki itu seperti yang biasa ia lakukan—sebab keseimbangan Jongin ketika berlari terkadang patut dipertanyakan.
"Apa Nini merasakan itu hanya ketika berada di sekitar seseorang?" Tanyanya kemudian, matanya memindai Jongin yang masih berbalut pakaian seragam.
"Ya, ya, ya!" Jawab Jongin antusias seraya melompat kecil. "Nini hanya merasakan itu ketika sedang bersama Soo!"
"Soo?" Mrs. Kim memapatkan bibir agar tidak tertawa karena ia mengenal jelas siapa anak lelaki yang menarik perhatian Jongin. "Maksudmu teman sekelasmu sekaligus tetangga kita, Do Kyungsoo?"
Jongin mengangguk pasti. Anak lelaki itu kemudian mencoba memanjat sofa, kaki gempalnya menendang kecil agar tubuhnya bisa terangkat naik sebelum menempatkan diri di sebelah Mrs. Kim. Setelahnya, untaian kalimat bernada sedikit memekik memenuhi telinga Mrs. Kim.
"Jadi Mommy tahu Nini sakit apa?"
Mrs. Kim mengangkat Jongin, meletakkan anak lelaki itu ke pangkuannya. "Itu bukan penyakit, sayang."
"Bukaaan?" Mulut Jongin menganga lebar karena keterkejutan begitu pula kedua matanya.
"Bukan, Nini Bear." Tangan Mrs. Kim mengusap rambut Jongin sementara pikirannya berdebat untuk menyetujui apakah Jongin sudah siap mendengar sesuatu yang cukup rumit untuk dimengerti oleh anak seusianya. Namun ketertarikan yang tersirat dari lensa mata Jongin segera meyakinkannya bahwa ini bukan perkara yang perlu dipusingkan. "It's called love."
Lagi, Jongin bertanya lugu. "Love?"
Anak lelaki itu melafalkan kosakata yang baru didengarnya, merapalkannya berulang-ulang dalam hati, dan entah mengapa intuisinya menuntut bahwa itu merupakan penjabaran tepat tentang apa yang dirasakannya selama ini.
Pada usia lima tahun—kendati kata itu masih tercecap begitu asing di lidahnya, Jongin kecil meyakini ia telah jatuh cinta untuk yang pertama kalinya.
-o-o-o-
Mata Jongin tidak lekas lepas dari seorang anak lelaki yang sedang berkutat di dalam kotak pasir.
Berbekal peralatan lengkap istana pasir yang masih mengkilap, anak lelaki bermata besar itu duduk bersila di atas kotak pasir dengan antusias. Tangan mungilnya mengeruk sekepal pasir menggunakan sekop, memasukkannya ke dalam ember, kemudian membangun kastil beratap kerucut seperti yang biasa Jongin lihat di tayangan kartun minggu pagi.
Jongin memberanikan diri untuk mendekat. Di dalam sakunya, ia menggenggam sebuah benda—hasil karyanya sendiri yang menyibukkannya selama waktu istirahat.
"S-Soo?" Sapa Jongin lemah.
Anak yang dipanggilnya langsung menoleh, membuat keringat dingin seketika menyerbu tengkuknya.
Kyungsoo memandang Jongin dengan tatapan kosong. Bibirnya membentuk garis tipis, tidak menampakkan ekspresi maupun mengungkapkan kalimat balasan dari kata sapaan Jongin.
"Nini punya sesuatu." Lanjut Jongin ketika Kyungsoo tidak kunjung bicara.
Pandangan Kyungsoo menelitinya sejenak sebelum akhirnya anak lelaki itu menjawab, "Apa?"
Jongin dapat menangkap kegusaran dari nada Kyungsoo kepadanya. Mungkin anak lelaki itu tidak menyukai ketika seseorang mengganggu waktu bermainnya. Sembari menelan ludah, Jongin mengeluarkan sesuatu yang ia sembunyikan sedari tadi. Ia menarik tangan Kyungsoo ragu, memaksa anak lelaki di depannya untuk membuka telapak tangan.
"Nini membuatkannya untuk Soo."
Kyungsoo berkedip kaku mengamati tanaman merambat yang sengaja dibentuk melingkar di telapak tangannya. Matanya kembali berpindah ke Jongin, meminta Jongin untuk menjelaskan apa maksud pemberiannya.
"Mommy bilang Nini harus memberikan cincin jika ingin menikahi seseorang." Suara Jongin terdengar begitu lirih saat mengucapkannya. "Nini wants to marry Soo."
Raut wajah Kyungsoo berubah marah. Ia tidak mempercayai bahwa Jongin mengganggunya hanya untuk mengatakan suatu omong kosong. Kyungsoo segera membuang cincin yang Jongin berikan kepadanya, mengabaikan ekspresi kecewa Jongin ketika cincin buatan anak lelaki itu melayang ke udara hingga jatuh ke atas rumput tanpa suara.
"Lelaki tidak seharusnya saling menikah, Nini!"
Jongin menunduk, bibir bawahnya mencuat keluar sedang—mendadak suatu sengatan perih seolah menyerang matanya. Ia kemudian berlari menjauh sambil berurai air mata, meninggalkan Kyungsoo yang sudah kembali berkutat dengan kastilnya.
Tanpa Kyungsoo sadari—hari itu, ia telah membuat penghuni kediaman Kim panik karena anak terakhir mereka tidak mau berhenti menangis selama seharian penuh.
-o-o-o-
Penolakan terakhir Kyungsoo kepada Jongin ternyata hanya berpengaruh sementara.
Anak lelaki itu seolah tidak lelah melakukan berbagai cara untuk membuat Kyungsoo menyukainya. Mulai dari mengikuti Kyungsoo kemanapun ketika mereka sedang berada di sekolah, menunjukkan model istana pasir yang ia gambar di buku tulis, hingga mengajak Kyungsoo untuk pulang bersama setiap hari.
Sementara di sisi lain, Kyungsoo belum mau meretaskan sikap dinginnya.
Kyungsoo sama sekali tidak mengerti mengapa Jongin tidak bisa menangkap maksud dari perlakukannya. Ketika ia bersembunyi di bawah meja untuk menghindar, Jongin akan mencari ke seluruh penjuru kelas demi menemukannya. Ketika ia menolak bermain jungkat-jungkit bersama Jongin, anak lelaki itu akan menawarkannya untuk bermain permainan lain seperti perosotan atau monkey bars.
Bahkan ketika ia secara sengaja menjatuhkan lollipop Jongin, anak lelaki itu justru terkikik, memeluk lengannya kemudian berteriak dengan suara melengking, "Soo is adorable!"
Kyungsoo benar-benar kehabisan akal.
Ia berderap menuju bangku di sebelah Jongin dengan wajah cemberut karena seluruh anak kelas menuruti perintah Jongin yang melarang siapapun untuk duduk bersamanya.
"Soo doesn't wanna sit with Nini!" Pekik Kyungsoo sebal.
Seolah tidak mendengarkan, Jongin tergelak kecil. Anak lelaki itu menepuk bangku di sampingnya, meminta Kyungsoo untuk duduk.
Tidak mendapatkan pilihan lain, Kyungsoo melepaskan ranselnya lalu meletakkan ke atas meja yang sama dengan Jongin. Begitu ia menjatuhkan pantat, Jongin langsung berceloteh riang mengenai anjing peliharaannya. Bibir Kyungsoo semakin mengerucut, sementara matanya berkelana mengabaikan Jongin.
Pandangannya segera tertambat saat ia melihat set krayon baru di tangan Baekhyun. Anak lelaki bersuara tinggi itu selalu memiliki barang yang menyita perhatian. Kyungsoo tidak lagi heran jika anak sekelasnya selalu berkerumun di meja Baekhyun untuk sekedar mengagumi barang yang dibawanya dari hari ke hari.
"Soo?" Panggil Jongin tiba-tiba. "Lihat apa?"
Kyungsoo menoleh, mendesahkan nafas panjang. "Baekhyun punya set krayon paling lengkap yang Soo mau."
Jongin melongok untuk mengintip ke meja Baekhyun, sebelum kembali menatap Kyungsoo yang terlihat sedih. Ia tidak menyukai ketika Kyungsoo menampakkan raut murung. Hal itu begitu mengganggunya hingga ia tidak ikut bernyanyi walaupun lagu hari itu merupakan lagu favoritnya.
Selepas sekolah, Jongin merengek habis-habisan kepada ibunya untuk memberikan hadiah ulang tahunnya lebih awal dengan mata berkaca-kaca serta janji bahwa ia akan selalu membereskan lego-nya setiap selesai bermain.
Jongin sempat mempertimbangkan apakah keputusannya tepat atau tidak. Namun ketika mendapati senyum Kyungsoo yang ditujukan kepadanya saat ia menyerahkan set krayon keesokan harinya, Jongin merasa pilihannya sudah benar.
Dengan hati mengembang bahagia juga wajah berbinar penuh rasa lega, Jongin mengumpulkan tekad untuk bertanya, "Apa sekarang Soo mau menikah dengan Nini?"
Sayangnya, Kyungsoo terlalu tenggelam dengan krayon barunya dan tidak menyadari pertanyaan Jongin.
-o-o-o-
Ketika mereka memasuki bangku sekolah dasar, Kyungsoo dan Jongin berbagi kelas yang sama.
Setelah mengetahui kebaikan Jongin, Kyungsoo akhirnya menghangat.
Ia kini secara sukarela duduk sebangku dengan Jongin. Selama pelajaran berlangsung mereka akan bertukar kertas, menggambar karikatur berfigur kurus, lalu terkikik diam-diam karena gambar yang mereka buat sendiri. Kyungsoo bahkan seringkali bertukar bekal makan siang saat Jongin tidak menyukai menu yang berada di dalam kotak makannya.
Seluruh murid kelas mengetahui kedekatan Jongin dan Kyungsoo.
Jika mereka bertanya siapa Jongin untuk Kyungsoo, Kyungsoo akan menjawab bahwa Jongin adalah sahabat paling dekatnya. Berbeda dengan Kyungsoo, ketika para murid bertanya siapa Kyungsoo untuk Jongin, anak lelaki itu akan mengutarakan bahwa Kyungsoo adalah calon pasangan hidupnya.
Setiap kali mendengar pernyataan Jongin, Kyungsoo segera membantah. Ia selalu memukul Jongin, meminta agar anak lelaki itu berhenti mengarang cerita.
Tetapi Jongin justru mengerucutkan bibir, kemudian membalas dengan teriakan, "Nini berkata jujur!"
Hingga lama kelamaan, Kyungsoo lelah dan membiarkan Jongin menyebarkan apa yang menurutnya benar.
-o-o-o-
Pada saat mereka berusia sembilan tahun, Kyungsoo mengizinkan Jongin untuk menggenggam tangannya.
Mereka berjalan berdampingan dengan satu es krim di tangan masing-masing, sedang tangan mereka yang lain saling bertautan. Kyungsoo buru-buru menjilat es krimnya, berlomba dengan udara awal musim panas yang membuat gumpalan dingin itu begitu cepat meleleh.
Sementara di sampingnya, Jongin menggerutu pelan karena tidak berhasil mencegah lelehan es krim yang menodai bajunya. Kyungsoo berniat melepaskan ikatan tangan mereka untuk mengambil sapu tangan di ranselnya. Namun Jongin menolak, menggenggam Kyungsoo lebih erat lagi.
"Soo feels warm." Bisik Jongin lirih. Anak lelaki itu merapatkan bahu mereka sebelum melanjutkan, "Soo masih tidak ingin menikah dengan Nini?"
Seakan itu merupakan suatu pertanyaan biasa, Kyungsoo menggeleng tanpa pikir panjang. "Don't wanna."
Langkah Jongin terhenti sejenak. Anak lelaki itu menunduk bingung, memikirkan apa yang membuat Kyungsoo masih belum ingin menikah dengannya. "Bahkan jika nanti Nini sudah sebesar Daddy?"
"Hm." Sahut Kyungsoo membenarkan.
Jongin memberengut, menatap Kyungsoo yang terlampau lahap memakan es krimnya. "Bahkan jika nanti Nini memiliki kedai es krim kesukaan Soo?"
"Hm."
"Bahkan jika nanti Nini membangun istana pasir terbesar untuk Soo?"
"Hm."
"Bahkan jika nanti Nini ternyata adalah Superman?"
"Hm."
"Nini boleh mencium Soo?"
"Hm."
Kyungsoo tercekat, tidak sadar bahwa ia telah terjebak dengan permainan katanya sendiri. Tetapi sebelum ia sempat mengoreksi jawabannya, Jongin sudah terlebih dahulu menanamkan satu kecupan singkat di pipinya.
"Thanks, Soo." Ucap Jongin, separuh wajah anak lelaki itu bersemu merah muda.
Kyungsoo tidak menjawab. Ia menyentuh pipinya, terpaku—dan sepenuhnya bingung mengapa kecupan Jongin tercecap seperti sensasi rasa es krim kesukaannya.
Karamel.
-o-o-o-
Mereka tengah menginjak jenjang sekolah menengah pertama ketika Jongin akhirnya diperbolehkan bermalam di rumah Kyungsoo.
Walaupun tempat tinggal mereka hanya terpisah beberapa rumah, Mr. dan Mrs. Kim memilki kewaspadaan yang cukup tinggi untuk tidak melepaskan Jongin dari pengawasan. Keduanya bahkan mengantar Jongin hingga ke depan pintu rumah Kyungsoo, memastikan bahwa Jongin akan menepati janji agar anak lelakinya tidak berulah.
Ketika Jongin memasuki ke ruang tidur, Kyungsoo segera menyambutnya dengan pelukan besar yang hangat. Ia menarik Jongin ke atas tempat tidur, memperlihatkan koleksi komik yang sudah sering ia banggakan kepada Jongin.
Setelah puas dengan koleksi komik Kyungsoo, keduanya memutuskan untuk menonton Big Hero 6. Mereka menyaksikan adegan demi adegan dengan banyak komentar diselingi tawa terbahak setiap kali Baymax melakukan hal konyol.
Pada penghujung film, Kyungsoo meredam tangisnya kuat-kuat. Ia mencengkram tepian ranjang, berupaya menahan air mata yang berkumpul di pelupuknya. Kyungsoo yakin Jongin akan mengejeknya jika anak lelaki itu tahu bahwa ia menangis karena sebuah film.
Jadi, ia sedikit melirik ke arah Jongin. Berharap Jongin tidak mendengar sesenggukannya sedari tadi. Akan tetapi, Kyungsoo berubah terkejut ketika melihat Jongin sedang menyembunyikan wajahnya di balik bantal.
"Nini?" Kyungsoo menepuk bahu Jongin lembut. "Apa kau menangis?"
Jongin mengangkat wajahnya, lalu segera membuang pandangan dari Kyungsoo. "I'm—not crying. Big boy—doesn't—cry!" Seru Jongin terbata.
Seharusnya, Kyungsoo memanfaatkan kesempatan ini untuk menertawakan betapa cengengnya Jongin. Tetapi entah kenapa, ia tidak tega melakukannya. Kyungsoo justru merengkuh kepala Jongin, kemudian membawanya ke bahu.
"There, there, Jonginnie."
Ia mengusap rambut Jongin lembut, menenangkan anak lelaki itu dalam dekapannya.
Malam harinya, tatkala mereka sudah berselimut dengan perut penuh setelah Mrs. Do menyuguhkan makan malam, Jongin memeluk pinggang Kyungsoo erat. Jari Jongin mengerut di piyama Kyungsoo, memaksanya untuk bergeser lebih dekat lagi.
"Aku tidak mau kehilangan Soo." Celetuk Jongin. Ia masih belum juga bisa mengatasi traumanya akibat menonton film tadi. "Kau tidak akan kemana-mana, kan?"
Kyungsoo mengangguk, segelas susu yang ia minum beberapa menit lalu membuat kelopak matanya begitu berat. "Soo janji."
Jongin tersenyum sekilas. "Ok." Ia memperhatikan Kyungsoo yang sudah terpejam sebelum mengecup pipi kanan anak lelaki itu. "Night, Soo."
"Night, Nini."
Sebelum kantuk sepenuhnya menenggelamkan Kyungsoo dalam mimpi, ia masih dapat mendengar Jongin menggumamkan kalimat yang bisa ia sebut sebagai lamaran kesekiannya.
"Please, marry me."
-o-o-o-
Kyungsoo pikir Jongin tumbuh dengan sangat baik.
Berbeda dengannya, lelaki itu memiliki postur tubuh yang ideal. Siluetnya selalu terlihat begitu atletis bagi Kyungsoo; mulai dari kakinya yang jenjang, dadanya yang bidang, hingga bahu tegaknya yang lebar. Oh, dan jangan meminta Kyungsoo menyebutkan tentang paras Jongin. Ketampanan Jongin terkadang membuat Kyungsoo menduga apakah Zeus memahat lekuk wajah Jongin dengan tangannya sendiri.
Lucunya, kepribadian Jongin sama sekali tidak berubah. Ia masih saja seorang Nini yang menunggunya di pintu gerbang untuk pulang sekolah bersama.
Meskipun Kyungsoo berkali-kali meyakinkan bahwa Jongin mempunyai hak untuk pulang sendiri, Jongin tidak pernah menggubris. Lelaki itu akan tetap bersikeras menunggunya disamping jadwal kegiatan mereka yang terkadang berlainan.
"Joonmyeon mengajakmu berkencan?!"
Ah, mungkin ada satu sifat Jongin yang berubah. Lelaki itu menjadi lebih ingin tahu mengenai segala sesuatu tentang Kyungsoo.
Jongin seringkali menanyakan dengan siapa Kyungsoo sedang bersama, atau tentang mengapa gadis itu selalu menemuimu, atau mengapa kau membalas pesan dari lelaki genit ini, apa kau menyukainya, kenapa kau tidak menjawabku, Soo tolong jawab aku, kenapa kau hanya diam saja, dan pertanyaan menuntut lainnya.
"Ya." Balas Kyungsoo singkat. Ia menyeruput habis jus kotaknya kemudian membuangnya ke tempat sampah. "Kenapa?"
Kening Jongin berkerut tidak suka. "Jangan pergi dengannya. Dia lelaki brengsek, Soo."
Mungkin bagi seseorang yang tidak mengenal Joonmyeon, kalimat Jongin akan menjelma menjadi suatu bentuk perhatian. Sebaliknya, jika seseorang berada di posisi Kyungsoo sekarang, ia akan tertawa keras persis seperti apa yang Kyungsoo lakukan.
"Jongin, dia adalah murid teladan yang menempati peringkat teratas di sekolah ini."
"Inteligensi tidak menutup kemungkinan seseorang menjadi brengsek."
Kyungsoo mendengus pendek, tidak mempercayai bahwa Jongin masih teguh dengan pemikirannya. "Kau mungkin lupa bahwa dia selalu menjadi penyumbang dana terbesar di acara sosial."
"Semua orang bisa melakukannya jika mereka memiliki orang tua sekaya dia."
"Dan dia adalah penggagas utama dari sebagian acara sosial itu sendiri."
"Itu masih belum menjamin—"
"Juga seseorang yang paling sibuk menggencarkan para murid untuk ikut membantu."
"Bisa jadi itu hanya—"
"Kemudian terkenal dengan julukan Genuine-Joon karena kebaikan hatinya."
"Well," Jongin mencoba mencari alasan lain untuk membantah, kakinya sedikit menghentak kesal karena Kyungsoo belum mau mengalah. "Jika menurutku dia brengsek, berarti dia brengsek."
Kyungsoo berbalik menghadap Jongin sambil menggeleng pelan. "Oke, jadi biar aku rangkum siapa saja yang kau sebut brengsek tahun ini." Ia mengacungkan telunjuknya ke arah Jongin, "Satu, Kim Jongdae yang rela datang ke rumah untuk memberikan buku catatanku yang tertinggal. Dua, Im Naeyeon yang membantuku mengerjakan essay dari Mr. Kang. Tiga, Kim Minseok yang mengantarkanku ke ruang kesehatan ketika aku tidak sengaja jatuh dari tangga—"
Kyungsoo melanjutkan daftar itu hingga ke hitungan empat belas, tidak membiarkan Jongin memotongnya sekalipun walau lelaki itu sudah memasang wajah kelewat masam.
"Dan terakhir," Kelima jari Kyungsoo terbuka, menandakan ia sudah berada pada angka lima belas, "Kim Joonmyeon yang dengan sangat ramah mengajakku ke bioskop." Ia kini bersedekap, menatap Jongin yang tampak terpojok. "Jadi sebenarnya, menurut pendapatmu, siapa orang yang tidak brengsek di dunia ini?"
"Uh…" Lelaki di hadapannya menelan ludah. "Kim Jongin?"
"Oh, terserah kau saja." Kyungsoo memutar bola mata.
Ia berderap meninggalkan Jongin, memilih untuk menuju ke kelasnya sembari tergelak karena sifat kekanakan lelaki itu. Ya, keanehan Jongin sama sekali tidak menganggunya. Walaupun lelaki itu memilki cara paling absurd untuk mempertahankan status lajang Kyungsoo hingga detik ini, ia tidak akan pernah mempermasalahkannya.
Kyungsoo sedikit terlonjak ketika ponsel dalam sakunya bergetar. Ia menarik benda itu keluar, mengecek siapa orang sialan yang mengirim pesan tepat ketika pelajaran mulai berlangsung.
From : Kim Nini
Kau menolak ajakan Joonmyeon? :'D
Huh, siapa lagi. Pikir Kyungsoo sarkastik. Ia segera mengetik beberapa karakter, kemudian mengirimkan kalimat balasannya ke Jongin.
To : Kim Nini
Aku tidak pernah mengatakan padamu bahwa aku menerimanya.
From : Kim Nini
Hehehehehehehehehehehehehe :'D
Kyungsoo menggigit bibir agar tidak tertawa. Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku, karena setidaknya Jongin akan berhenti membombardirnya untuk sementara. Namun pemikiran itu segera sirna begitu ia menyadari ada sesuatu yang janggal.
To : Kim Nini
Tunggu.
Darimana kau tahu?
From : Kim Nini
Uh...
To : Kim Nini
Oh, no.
What have you done?
Ponsel Kyungsoo tidak lagi memunculkan notifikasi pesan baru. Kyungsoo berkerut sebal, berupaya setengah hati membagi konsentrasi antara ponsel di genggamannya dengan materi mengenai Sistem Pernafasan yang sedang dipaparkan.
Akan tetapi setelah menit terus berlalu dan Jongin belum juga membalas, Kyungsoo segera menekan papan tombol ponselnya gusar.
To : Kim Nini
Yah, Kim Jongin.
To : Kim Nini
YAH!
To : Kim Nini
YAH, KIM JONGIN. ANSWER ME!
From : Kim Nini
Aku hanya bertanya langsung padanya lalu memberinya sedikit peringatan untuk tidak menganggumu lagi.
Tenanglah!
To : Kim Nini
Mengajak seseorang kencan BUKAN termasuk gangguan, Nini.
From : Kim Nini
Hey, Soo.
Katakan, kau lebih suka pesta pernikahan kita diselenggarakan di luar atau di dalam ruangan?
To: Kim Nini
THAT IS NOT EVEN RELATED!
Kyungsoo memijat pelipisnya kuat kemudian menggeram dalam hati karena Jongin membuat migraine-nya kambuh seketika.
To : Kim Nini
Dengar.
Kau harus meminta maaf kepada Joonmyeon setelah ini.
From : Kim Nini
Aku lebih menyukai di luar ruangan.
Kau tahu, seperti di taman atau mungkin pantai?
To : Kim Nini
Oh, Tuhan.
Kau sama sekali tidak mendengarkan.
From : Kim Nini
Tetapi kita harus memilih tanggal yang tepat jika memilih di luar ruangan.
Kau tidak mau tamu kita kehujanan, kan?
To : Kim Nini
KIM JONGIN. KAU HARUS MINTA MAAF.
From : Kim Nini
Pesta di dalam ruangan juga tidak masalah.
Dekorasi yang bisa kita pilih justru tersedia lebih banyak.
To : Kim Nini
JONGIN!
From : Kim Nini
Well, kurasa semua ada keuntungan dan kerugiannya.
Jika kita menikah di pantai kita punya pemandangan alami.
To : Kim Nini
JONGIN!
From : Kim Nini
Namun jika kita menikah di dalam gedung,
Kita bisa membuat dekorasinya segemerlap mungkin.
To : Kim Nini
OH MY GOD!
From : Kim Nini
Jadi, kau lebih memilih yang mana?
To : Kim Nini
WE ARE /NOT/ GETTING MARRIED.
From : Kim Nini
:'(
-o-o-o-
"What are you doing?"
Seorang murid lelaki segera membeku di tempat ketika ia mendengar suara bernada tajam dari belakang kepalanya. Ia menelan ludah, kemudian berbalik perlahan mendapati tiga orang murid senior—Kim Jongin di tengah, sedang Oh Sehun dan Lee Taemin berada di kanan kiri lelaki itu tengah bersedekap menatapnya penuh ancaman.
"I—I—I'm sorry, J—Jongin-Sunbaenim." Ucap murid lelaki itu dengan bibir bergetar.
Jongin mengeluarkan decakan mencemooh. "Tsk. Jangan berani meminta maaf jika kau sudah tahu aturan apa yang berlaku pada situasi ini."
Mata murid lelaki itu terpejam kuat, tubuhnya menghimpit loker karena ketiga murid senior di depannya tiba-tiba berjalan mendekat, mengurungnya tanpa menyisakan celah untuk melarikan diri.
"Aku minta maaf, aku tidak akan melakukannya lagi." Pekik murid lelaki itu cepat. Suaranya sedikit meninggi karena ketakutan.
Jongin memincing untuk mendeteksi keseriusan dari pernyataan murid lelaki itu. Ia mencondongkan wajahnya mendekat, membuat murid di hadapannya semakin mengerut di sisi loker. Setelah cukup puas meyakinkan diri bahwa murid lelaki itu memang serius dengan pernyataannya, Jongin mengedikkan dagu—sebuah isyarat yang Sehun serta Taemin sudah tahu jelas apa maksudnya.
Mereka segera merebut coklat di tangan murid lelaki itu dalam sekali sentakan.
"Now get the hell out of my face." Perintah Jongin tegas.
Murid lelaki itu membungkuk berterimakasih, lalu berlari secepat kilat sembari menyesali tindakan nekatnya.
Mata Jongin mengekor langkah murid lelaki itu hingga hilang dari pandangan. Bahunya yang tadinya tegang kini mulai mengendur karena kelegaan. Ia menggeram lelah, menatap jengkel ke arah coklat yang sudah berpindah tangan ke Taemin.
"Laporkan statistik terakhir." Tutur Jongin, kedua tangannya berada di belakang punggung seperti seorang komandan yang tengah memimpin suatu pasukan perang.
Sehun buru-buru mengambil ponsel, membuka grup chat bernama 'Operation Valentine' yang sudah dipersiapkan Jongin khusus untuk hari ini. Setidaknya terdapat 30 murid dari berbagai angkatan yang bergabung dalam grup itu. Tugas mereka adalah menyita semua barang yang ditujukan untuk Kyungsoo pada hari Valentine sebelum barang-barang tersebut sampai ke tangan Kyungsoo.
"35 coklat, 20 mawar, dan 46 kartu ucapan, boss." Kata Sehun setelah menghitung laporan yang masuk.
"Ugh." Jongin menggeram kesal.
Terlalu banyaknya orang yang menaruh hati ke Kyungsoo sungguh membuatnya kewalahan. Ia telah berusaha mencegah siapapun untuk mendekati Kyungsoo, menegaskan kepada setiap murid di sekolah itu bahwa Kyungsoo merupakan properti dari Kim Jongin dan itu tidak bisa diganggu gugat lagi. Namun sepertinya, tetap terdapat celah yang tidak berhasil Jongin deteksi sebab terkadang Kyungsoo masih saja menceritakan ajakan kencan atau pernyataan cinta yang diterimanya.
"Jongin!"
Langkah Jongin seketika terhenti saat ia mendengar suara yang begitu familiar di telinganya. Bibirnya mendadak tertarik tidak terkendali, sementara dadanya buncah dengan gemelitik yang selalu ditimbulkan oleh kehadiran Kyungsoo.
"Soo!" Balasnya ceria, kakinya berderap menghampiri Kyungsoo. Ia menoleh sejenak ke arah Taemin dan Sehun, menggumamkan 'dismissed' dalam bisik samar yang membuat kedua lelaki itu membungkuk kemudian pergi meninggalkannya.
"Kenapa mereka membungkuk kepadamu?" tanya Kyungsoo heran.
Lelaki itu sama sekali tidak mengetahui bahwa Jongin adalah seorang bully terbesar di sekolah mereka. Walaupun Jongin sendiri sejujurnya menolak disebut bully karena ia tidak asal mengancam seseorang. Ia hanya mengumpulkan suatu pasukan yang tunduk padanya untuk membantunya dalam urusan yang menyangkut soal Kyungsoo—dan hanya Kyungsoo.
Mencoba mengalihkan fokus Kyungsoo, Jongin justru menarik tiga bar coklat di dalam sakunya yang sudah ia bingkis rapi kemarin malam. "Happy Valentine's Day, Soo."
"Aw. Thanks, Nini." Kyungsoo tergelak kecil, jemarinya meraih coklat dari Jongin. "Setiap Valentine kau adalah satu-satunya orang yang memberiku sesuatu."
Mendengar kalimat itu, Jongin berdeham—bingung antara harus merasa bersalah atau bangga atas keberhasilannya. "Y—Yeah. It's not that big deal."
"It's kind of a big deal." Sahut Kyungsoo. "Bagaimana aku harus membalasmu?"
"Well," Jongin mengangkat bahu. "You just have to marry m—"
"Apa Chocolate Mousse Cake terdengar menarik?" Potong Kyungsoo. "Kau bisa berkunjung nanti malam."
Jongin menyimpan kekecewaannya. Tubuhnya mengayun pelan sedang kepalanya tertunduk lesu. "Ya, itu terdengar menarik."
Kyungsoo menanggapi dengan senyum sepintas sebelum keningnya mendadak mengernyit ketika ia menemukan kertas terselip di antara bar coklatnya. Ia mengambil kertas itu, lalu membaca tulisan—yang ia yakini adalah milik Jongin tertera di atasnya.
"Dear, Kyungsoo." Kutip Kyungsoo sambil menahan tawa. "Roses are red, violets are blue. But they don't look pretty when compared next to you."
Pandangan Kyungsoo berpindah ke Jongin yang sedang gugup menunggu reaksi darinya.
"This is so cheeky." Komentar Kyungsoo selagi ia menepuk kening Jongin menggunakan kertas berisi puisi lelaki itu.
Jongin memberengut. "Aku memikirkannya semalam suntuk."
"Bukan salahku."
Jongin semakin memberengut, pikirannya membantah karena ini semua—pada hakikatnya adalah kesalahan Kyungsoo. Mengapa lelaki itu tercipta terlalu sempurna hingga kata tidak sanggup untuk menuangkan kekagumannya. Jongin sedikit bersyukur ia memilih puisi singkat itu di saat-saat terakhir dibanding berlembar kertas berisi kalimat pujian yang ia rangkai untuk Kyungsoo.
"Oh, ngomong-ngomong. Park Chanyeol baru saja mengajakku berkencan."
Kedua mata Jongin membelalak lebar sementara umpatan beruntun memenuhi batinnya. "Lalu? Kau menerimanya?"
"Tidak."
Segumpal es seakan mencair di dalam dada Jongin. Ia menarik nafas lega, walaupun benaknya masih belum mengerti mengapa Kyungsoo terus-menerus menolak ajakan kencan dari siapapun.
Kapital cetak tebal, SI-A-PA-PUN.
"Uh, Soo?"
"Hm?" Jawab Kyungsoo singkat.
Jongin menelan ludah susah payah. Lelaki itu melipat bibir sejenak, sorot matanya dipenuhi oleh kegugupan yang beradu dengan rasa ingin tahu. "Kenapa kau tidak pernah menerima ajakan kencan dari orang lain?"
Kyungsoo tersungging tipis. "Oh, entahlah." Kedua alisnya terangkat naik seolah sedang menantang Jongin untuk menerka—atau mungkin Kyungsoo memang sedang berupaya untuk membuat kalimat yang selanjutnya keluar dari mulutnya sebagai bentuk tantangan. "Kurasa kau bisa menebak alasannya."
-o-o-o-
Bunyi bass yang berdentum keras menciptakan riak seperti gelombang kecil di dalam gelas. Orang-orang saling berteriak, seakan sudah kehilangan akal sehat. Berbagai umpatan kasar melayang bersahutan diiringi tawa terbahak yang menyakitkan telinga.
Kyungsoo tidak pernah menyukai suasana pesta.
Bau alkohol tercium begitu menyengat di hidungnya. Ia bersandar malas pada sofa, mengamati pikuk yang tersaji di hadapannya dengan desahan panjang. Yixing yang tadinya ia pikir bisa menjadi teman bicara menghilang entah kemana. Mungkin lelaki itu akhirnya menemukan seseorang yang bisa diajak lepas kendali.
"Kau terlihat bosan." Sebuah suara tiba-tiba menyapanya.
Kyungsoo menoleh, menemukan seorang lelaki bergaris rahang runcing duduk di sampingnya. "Ya, kurasa."
Formalitas adalah yang mendorong Kyungsoo datang ke pesta ini. Peresmiannya sebagai mahasiswa baru dirayakan dengan cara bersulang segelas bir bersama para mahasiswa baru lainnya, lalu berpesta hingga fajar tiba.
"Sendiri?" tanya lelaki itu.
"Well," Kyungsoo berdecak. "Aku tidak melihat temanku lagi setelah pesta ini dimulai. Jadi yah, mungkin bisa dibilang aku datang sendiri."
Lelaki di sebelahnya mengangguk paham sebelum mengulurkan tangan. "Yifan."
"Kyungsoo." Jawabnya, sambil membalas jabatan tangan lelaki itu.
Ia memaksakan senyum ketika Yifan tidak kunjung melepaskan tangannya. Entah mengapa, alih-alih seperti orang yang ingin berkenalan, tatapan Yifan justru terlihat lapar. Lelaki itu terus memandangi tubuhnya dari atas sampai bawah, menelanjanginya perlahan lewat mata.
"Jadi," Yifan menghembuskan nafasnya dengan sengaja ke telinga Kyungsoo, "kau juga mahasiswa baru?"
Kyungsoo berjengit menjauh. Ia menggenggam kuat gelas plastik yang ada di pangkuannya sambil berusaha menjawab pertanyaan Yifan. Namun lelaki itu terus menghimpitnya, tidak menyisakan jeda apapun di antara tubuh mereka. Lengan Yifan melingkar di pundaknya, sementara wajah lelaki itu kini berada di dekat lehernya.
Kyungsoo segera mencari akal untuk beranjak begitu mengetahui maksud dari bahasa tubuh Yifan. Ia menyisir ke sekitarnya, berharap ada seseorang yang ia kenal agar ia bisa lolos dari situasi ini. Namun alangkah terkejutnya Kyungsoo ketika ia menemukan Jongin—yang tidak seharusnya berada di pesta ini berderap ke arahnya dengan raut berang.
"Jongin, what are you do— Oh, my God!"
Pekikan melengking lolos dari bibir Kyungsoo saat Jongin tanpa aba-aba menarik Yifan untuk berdiri dan memukul keras wajah lelaki itu.
"Bajingan!" Seru Jongin sembari meraih kerah kemeja Yifan, menarik lelaki itu kembali, lalu membantingnya ke salah satu meja.
Keributan tidak terhindarkan lagi. Beberapa orang segera datang untuk melerai perkelahian itu.
Walaupun Yifan tampak sangat marah karena serangan mendadak yang diterimanya, tetapi Jongin adalah perkara lain. Lelaki itu menatap Yifan tajam, dadanya membusung naik turun, sedangkan aura yang diciptakannya berubah terlalu menusuk.
Dengan geram, Jongin berkelit lepas dari kumpulan orang yang sedang menanahannya. Lelaki itu mengalihkan tatapannya ke Kyungsoo, membuat ia menjadi pusat perhatian dalam sekejap.
"You. Car. Now." Desis Jongin seraya mengambil langkah menuju ke luar ruangan.
Kyungsoo bergeming, pikirannya masih berjuang memproses kejadian yang berkelebat cepat di hadapannya. Ia memandang punggung Jongin yang menjauh dengan mulut menganga, karena sungguh ia seolah tidak mengenal siapa lelaki tadi.
"Do Kyungsoo," Jongin berbalik—pandangan mereka bertalian sesaat. "I said car, now!"
Kyungsoo buru-buru menggerakkan kakinya. Ia bersumpah ia dapat melihat api menyala di mata Jongin.
.
OF PROPOSAL AND FIRST LOVE : TO BE CONTINUED
.
Author's Note:
Yeah, good luck on that hiatus thing, Sher! PFT.
Dibagi jadi dua part karena kayanya kepanjangan dan aku takut kalian bosen di tengah jalan, muehehehe.
Chapter berikutnya mungkin bakal di-update tiga hari lagi :) Udah selesai kok tenang aja ga bakal aku gantungin.
REGARDING TO THE BULLET OF ELYSIUM
PLEASE DON'T BE MAD AND PLEASE DON'T HATE ME HUHUHU.
Maaf sekali, tapi aku harus berhenti dulu nulis cerita itu, karena itu cerita favoritku dan aku ga mau ntar jadinya ga sempurna gara-gara kebagi konsen antara nulis cerita (yang menurutku cukup complicated) sama skripsi. TAPI PASTI DILANJUTIN, JANJI. Aku nggak pernah ninggalin sesuatu yang udah aku mulai ehehehehe.
Mohon pengertiannya ya :(
eniwei, review, kritik, dan saran sangat teramat diapresiasi :)
KAISOO FTW!
XOXO
Red Sherry
