Disclaimer Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Story by Faris Shika Nara

Warning : OOC, AU,TYPOS DLL.

Main pairing : Naruto x Hinata

"Hidup"

Chapter 1

Hinata Hyuuga hanya bisa menangis ketika membaca selembar kertas yang ada ditangan kanannya, gadis 19 tahun itu duduk bersimpuh di lantai, dengan tangan kiri menutupi mulut guna meredam suara tangisnya.

"Hinata, maafkan Ayah. Maafkan Ayah karna telah membuatmu menangis, Ayah harus menemani Ibu-mu."

Hancur sudah hidupnya, dalam kondisi yang bisa dibilang sangat rapuh, ia malah ditinggal oleh sang Ayah, satu-satunya orang tua yang ia miliki didunia ini malah pergi meninggalkannya, dengan alasan ingin menemani ibunya.

"Hinata, rumah beserta isinya akan disita oleh pihak Bank. Ayah menjual rumah kita untuk membayar seluruh pegawai perusahaan."

Dunia sepertinya masih belum puas dengan keadaan Hinata saat ini, sekarang dimana ia dan adiknya akan tinggal?

"kau tinggallah bersama sepupumu Neji di Osaka, turuti perkataannya, karna dialah satu-satunya keluarga yang kamu dan adik-mu miliki di dunia ini. Cobalah mencari pekerjaan, kalau kamu sudah merasa bisa mencukupi kebutuhan-mu dan adik-mu, cobalah untuk Hidup mandiri."

Dunia ternyata tidak begitu kejam, walaupun ia ditinggal oleh sang ayah menyusul ibunya, ternyata dunia masih menyisakan 2 orang untuknya.

"Jaga dirimu dan adik-mu baik-baik. Berbohong-lah pada adik-mu tentang kematian ayah yang sebenarnya, berbohong-lah untuk ayah yang terakhir kalinya. Maafkan Ayah."

Sungguh egois, mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain, tak memikirkan perasaan putrinya yang kini ia tinggal, yang kini sedang bersimpuh dengan air mata yang terus mengalir, yang kini tengah duduk dengan tubuh yang bergetar, yang kini jiwanya bagai digoncang dan dihantam oleh ombak. Hyuuga Hiashi dengan kejamnya mementingkan diri sendiri, tak berperikemanusiaan. Ia rela menjatuhkan air mata anaknya untuk kepentingannya sendiri.

Hinata menatap tak percaya pada kertas yang ia pegang sekarang, tapi inilah yang terjadi, ini bukanlah mimpi. Semua yang tertulis di kertas yang ia pegang adalah benar, tak jauh dari tempatnya bersimpuh, lebih tepatnya didepan matanya, terdapat sang ayah yang telah terbaring kaku dengan wajah pucat tak bernyawa.

Tubuh Hiashi yang tadinya bernyawa itu kini jadi seonggok daging tak berguna, setelah dengan sengaja menggantung dirinya sendiri. Hinata hanya bisa berteriak histeris saat melihat sang ayah yang sudah dalam keadaan tak bernyawa, tergantung di tambang di posisi leher dengan mata yang melotot.

Hinata dengan susah payah menurunkan sang ayah, bergegas menurunkan sang ayah, berharap nyawa sang ayah masih bisa diselamatkan. Setelah bersusah payah menurunkan tubuh yang sebenarnya sudah tak bernyawa itu, Hinata langsung memompa dada sang ayah, memberi nafas buatan, tapi Semuanya sudah terlambat, ayahnya sudah meninggal terbujur kaku, dengan tangan yang menggenggam kertas yang isinya malah membuat hatinya semakin hancur.

Dengan mata yang sembab memerah, Hinata bangkit berdiri, bergegas menelepon polisi melaporkan keadaan yang terjadi, setelah selesai menelepon polisi Hinata kemudian segera menelepon Neji sepupunya yang berada di Osaka.

Hinata bergegas berlari menuju kamarnya, dengan cepat ia mulai memasukkan baju kedalam koper yang ia ambil dari atas lemari. Setelah selesai dengan bajunya, kaki Hinata beranjak pergi menuju kamar adik semata wayangnya. Tas, buku, seragam dan baju milik adiknya ia masukan kedalam koper.

Selesai dengan baju dan peralatan penting lainnya, Hinata berlari dengan menenteng 2 koper menuju garasi. Tujuan utamanya sekarang adalah menjemput Hanabi yang sedang berada di sekolah, memenuhi permintaan terakhir dari ayahnya.

.

.

.

.

.

Pemuda berambut kuning itu mengais-ais tempat sampah di bawah teriknya matahari siang. Topi yang sudah tak layak pakai itu masih saja ia kenakan, sedikit menutupi rambut kuning kusam-nya. Rasa panas yang menyengat dari matahari siang tak ia hiraukan, ditambah lagi dengan kaos warna hitam yang pakai, memberikan kesan sempurna untuk panas yang ia rasakan. Celana yang sudah compang-camping sana-sini itu melekat dengan sempurna dikedua kakinya.

Keringat yang mengucur dikedua pelipis-nya tak ia hiraukan, walaupun hanya untuk sekedar mengusap-nya. Bau busuk yang menguar dari tong-tong yang penuh sampah itu tak menghentikan niatnya untuk mengorek-ngorek tong tersebut.

Satu-persatu tong sampah di tiap gang ia datangi, demi mencari barang yang ia anggap bisa menjadi rupiah, yang nantinya ia gunakan untuk makan sehari-hari.

Gembel, pemulung. Itulah julukan orang-orang terhadapnya. Badan tegap berotot, tubuh atletis, wajah tampan. Tak seperti gembel ataupun pemulung yang umumnya.

Pemuda itu tidak bodoh, pendidikannya hanya bisa sampai kelas 4 Sekolah Dasar. Itulah alasannya ia menjadi gembel,pemulung atau apalah itu, setiap tempat kerja sudah ia datangi, dan pastinya tempat kerja itu membutuhkan tenaga, pemuda 21 tahun yang diketahui bernama Naruto itu selalu ditolak, karna alasan minim pendidikan. Walaupun sudah berbagai cara ia lakukan untuk meyakinkan pemilik tempat yang membutuhkan tenaga kerja itu, Naruto tetap tidak diterima karna pendidikan adalah syarat utama untuk bekerja, minimal sekolah dasar. Keputusan Pemda Osaka sudah disahkan, dan sudah berjalan selama bertahun-tahun.

Andai saja orangtua angkatnya tidak meninggal dalam kecelakaan, mungkin nasibnya tidak akan seburuk ini.

Lihatlah, tak ada seorangpun yang mau berdekat-dekat dengannya. Setiap orang yang berpapasan dengannya pasti selalu menutup hidung. Entah itu bau busuk sampah, atau bau keringat yang menguar dari tubuhnya.

Dia sudah terbiasa dengan semua itu, lihat. Dia selalu tersenyum ramah pada setiap orang yang melewatinya, tak ada rasa benci. Walupun semua orang yang melewatinya selalu menutup hidung sambil mencibir dirinya.

TBC...

Tertarik? Review!